Buton dalam Semangkuk Sop Parende
Menyebut sop, pastinya yang terlintas dibenak adalah makanan berkuah bening berisi iga sapi atau daging kambing ataupun ayam dengan aneka sayur seperti wortel, kubis, buncis, dan potongan kentang. Tapi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sopnya berbahan utama ikan laut segar. Namanya Sop Parende. Rasanya, alaaaaaamaaaaak…
Sewaktu Zaharaini (50), pemilik Warung Wangi-Wangi di Jalan Protokol, Kelurahan Saragi, Kecamatan Pasarwajo, Ibukota Kabupaten Buton menyuguhkan semangkuk sop parende di depanku, mataku langsung terbelalak.
Indra penglihatanku langsung tergoda dengan warna kuahnya yang kekuningan, ditambah taburan irisan daun bawang dan bawang goreng yang mengambang di permukaan kuahnya, menutupi 3 potong ikan di dalamnya.
Sebelumnya, hidungku sudah tergoda lebih dulu dengan aroma khas yang membuat usus dan lambungku kontan meratap-ratap ingin segera diisi.
“Warna kuning itu berasal dari kunyit. Tapi yang saya pakai kunyit bubuk kering yang dipesan dari Kota Kendari, bukan kunyit asli. Soalnya kalau kunyit asli, baunya terlalu menyengat dan banyak pelanggan yang kurang suka,” jelas ibu beranak 4 mencoba membongkar rahasia dapurnya.
Tak sabar mencicipi rasanya, aku segera mengambil irisan jeruk nipis yang ditempatkan di piring kotak kecil berikut dengan beberapa cabai rawit merah yang warnanya tak kalah menggoda. Perasan air jeruk nipis ke kuah sop itu kian mencuatkan aroma khas. Dan ketika aku hirup kuahnya, alamak sensasi segar begitu terasa dengan gurih yang ringan.
“Selain kunyit bubuk kering, bumbunya cuma bawang merah, sereh, dan belimbing. Tidak pakai bumbu penyedap sama sekali,” aku Zaharaini yang sejak 2003 berdagang sop ikan ini.
Kini tinggal ikannya yang membuatku penasaran. Sewaktu aku santap, ternyata empuk dagingnya, mirip dengan ikan patin tapi tidak terlalu lembek. Apalagi saat menyantap bagian kepalanya, rasanya pingin nambah, nambah, dan nambah lagi.
“Ikan yang dipakai untuk Sop Parende itu Ikan Bubara. Saya beli langsung di tempat pelelangan ikan di Teluk Pasarwajo. Harganya bisa mencapai Rp 300ribu per ekor dengan ukuran panjang hampir 1 meter. Ada juga yang memakai ikan Kakap Merah,” jelas perempuan yang setiap hari menjual minimal 50 porsi Sop Parende dengan harga Rp 25ribu per porsi ditambah sepiring nasi putih ini.
Menurut Zaharaini, tak sulit membuat Sop Parende. Prosesnya ikan dicuci dan dibersihkan sisiknya. Lalu ditiriskan hingga air cuciannya tak tersisa. Siapkan panci untuk memasak air. Setelah air mendidih, masukkan semua bumbunya yakni bawang merah, kunyit bubuk yang kering, jeruk nipis, belimbing, dan garam secukupnya.
“Kalau Sop Parende buatan saya, bumbunya tidak ditumis sesuai resep masakan orang Buton dulu. Tapi sekarang banyak orang yang menumis terlebih dulu bumbunya. Saya tetap mempertahankan resep asli warisan leluhur,” akunya.
Setelah itu potongan ikan dimasukkan. Masak sekitar 15 menit. Kalau aromanya sudah tercium, itu tandanya sudah siap disajikan. “Paling enak disantap selagi hangat,” jelas Zaharaini yang juga menjual masakan khas Buton lain seperti Ayam Parende.
Tak ada 20 semenit, semangkuk Sop Parende habis ku santap. Aku jadi teringat sop ikan khas Batam, Kepuluan Riau. Sekalipun sama-sama sop ikan tapi citra rasanya beda. Entah kenapa Sop Parende terasa lebih orisinil, kuat muatan lokalnya.
Semangkuk Sop Parende yang baru selesai ku nikmati, seolah memberi gambaran kongkrit bahwa potensi perairan Buton kaya aneka jenis ikan konsumsi. Sampai hampir 80 persen warganya tinggal di pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan sekaligus petani. Bahkan sektor perikanan menjadi andalan kedua PAD Buton, dibawah pertambangan terutama aspal.
Tak heran kalau makanan tradisional masyarakatnya juga berbahan dasar ikan. Dan tak heran juga jika sampai ada anggapan, belum lengkap kunjungan ke Buton kalau belum menyantap Sop Parende-nya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
1 komentar:
Mantaaaap eeeuyyyyy
Posting Komentar