. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 30 Juli 2010

Good Mister Juara Foto Sadar Wisata 2010



Foto bocah lelaki Bali sedang memberi salam kepada turis pria tua berjudul Good Mister ini keluar sebagai juara pertama Lomba Foto Sadar Wisata 2010. Foto karya Anom Manik Agung dari Denpasar Bali ini mengalahkan 1.468 lembar foto hasil jepretan 367 fotografer dari seluruh Indonesia.

Menurut Anom, foto Good Mister dibuatnya saat berlangsungnya Pesta Kebudayaan Bali (PKB) 2010 di Taman Budaya Bali dengan kamera Nikon D90, Juni lalu.

Kekuatan foto ini menggambarkan kehangatan dan keramahan khas orang Indonesia kepada turis. Bukan semata menonjolkan keindahan pemandangan sebagaimana foto-foto bertema pariwisata lainnya.

Atas kemenangannya itu, Anom berhak atas hadiah uang Rp 10 juta, tropi Menbudpar, dan piagam. Hadiah tersebut diserahkan oleh Direktur Jendral Pengembangan Destinasi Pariwisata (Dirjen PDP) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Firmansyah Rahim di Ruang Pamer India, Mal Artha Gading, Jakarta, Jumat (30/7).

Dewan juri yang diketuai Arbain Rambey (ahli fotografi dari harian Kompas), dan empat anggota; Darwis Triadi (fotografer profesional), Sigit Pramono (Komisaris BCA), Bambang Wijanarko (Komunitas Fotografi Budpar), dan Erwin Nurdin (pemerhati fotografi) juga menetapkan foto berjudul Rutinitas Pagi karya Budi Winarno dari Bekasi sebagai juara II, foto Urut (Purwanto dari Yogyakarta) juara III, foto Aku Hidup Lagi (Rafi Tanjung dari Padang) juara harapan I, foto Good Morning Bromo (hadi Setia Dharma dari Semrang) juara harapan II, dan foto Fajar Buat Bromo akarya Umbu dari Bandung menjadi juara harapan III.

Juara dua dan tiga masing-masing mendapatkan Rp 7,5 juta dan Rp 5 juta, piagam, dan tropi. Sedangkan juara harapan satu, dua, dan tiga masing-masing Rp 3 juta, Rp 2 juta, dan Rp 1 juta serta piagam.

Foto Good Mister sebagai juara I dan juga juara II, III, dan semua juara harapan serta sejumlah foto yang masuk nominasi Lomba Foto Sadar Wisata 2010 dipamerkan dari tanggal 30 Juli hingga 1 Agustus di ruang pamer India, Mal Artha Gading.

“Tujuan pameran foto-foto hasil lomba foto sadar wisata 2010 ini untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang obyek wisata yang tertuang di masing-masing foto sekaligus untuk menggugah dan menarik orang untuk datang berwisata,” jelas Firmansyah Rahim.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 28 Juli 2010

Enam Negara Gapai 2.958 Mdpl



Penggiat alam bebas dari 6 negara, bersama mengga-pai puncak Gunung Gede, Jawa Barat, pekan lalu (25/7). Manajemen perjalanan yang baik, kekompakan, dan stamina prima, menjadi kunci rahasia kemudahan keberhasilan mereka. Pascapendakian antarnegara itu, beberapa di antaranya berencana berpetualang ke obyek alam Indonesia lainnya.

Puncak gunung berketinggian 2.958 Meter di atas permukaan laut (Mdpl), pagi itu masih gelap. Kabut tebal belum beranjak dari langitnya. Udara yang dihembuskan anginnya menerpa tebing kawah, pucuk-pucuk pohon cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dan tentu saja menampar tubuh dan wajah kami. Dinginnya sampai tulang, menusuk-nusuk.

Lantaran kedinginan, Isabelle Delforge dari Belgia yang lumayan fasih berbahasa Indonesia, kembali mengenakan jaket yang semula dilepasnya saat menapaki medan menanjak berbatu dari Aa Surken (Alun-alun Suryakencana) menuju puncak.

Hal serupa juga dilakukan Alexis Anderson, Alison Battisson, dan Penny Davis dari Australia, Sally Austen (Selandia Baru), Jean Wilkinson (Irlandia), Evie (Indonesia), dan Marie yang juga berkewarganegaraan Belgia. Bahkan setibanya di puncak, mereka pun mengenakan sleeping bag (kantung tidur) masing-masing, lalu duduk berdempetan untuk menghalau udara dingin yang pagi itu mendekati angka 5 derajat Celcius.

Goz dari Inggris dan aku (tentu saja asli Indonesia) memilih menyusuri setapak puncak ke arah Timur untuk mengabadikan pesona sunrise (matahari terbit). Sayang awan pekat masih bersemayam. Kepekatannya menghalangi pijar surya yang terbangun dari peraduan. Alhasil warna keemasannya kurang sempurna.

Sedikit kecewa memang. Tapi lekas terobati oleh pemandangan lain dari puncak yang cukup memesona. Di sebelah Utara, kerlap-kerlip lampu Kota Cipanas dan sekitarnya nampak seperti hamparan kunang-kunang aneka warna. Di sebelah Barat, kawah Gunung Gede yang dasarnya tak tampak, tiada henti mengepulkan asap putih beraroma belerang. Kawah lebar dan menganga ini tampil gagah sekaligus seram dengan gigir tebingnya yang curam. Tak berlebihan bila di sepanjang setapak puncaknya diberi pembatas berupa tali agar pendaki tidak terpeleset dan jatuh ke dasar kawah. Masih di sebelah Barat, Gunung Pangrango berdiri anggun berselimut hutan hujan tropis, hijau rimbun.

Sedangkan di sebelah Selatan, terlihat jelas savana (hamparan padang rumput) berwarna krem berhias pohon edelweiss (Anaphalis javanica). Itulah Alun-alun Suryakencana, lembah seluas 50 hektar yang indah dan tentu saja berudara dingin. Di sanalah, kami bermalam dengan mendirikan 7 tenda domme, tak jauh dari sumber mata air yang tak pernah kering.

Bukan panorama alam dari puncak Gede saja yang buat aku takjub. Keberadaan seorang pria penjual nasi uduk di puncak itu juga tak urung bikin aku terheran-heran. Gayanya seperti pendaki saja. Memakai raincoat (jaket hujan), balaklava (penutup kepala dari wol), dan daypack (ransel kecil) yang berisi dagangannya. Bayangkan dia harus mendaki sampai puncak cuma untuk menjual nasi uduk kuning dengan sedikit bihun dan potongan telur dadar goreng ukuran kecil seharga Rp 5.000 per bungkus. Lantaran penasaran ingin memotret isi nasi bungkus dan pedagangnya, aku pun membeli sebungkus nasi uduknya ditambah 3 gorengan bakwan jadi Rp 10.000. Ternyata nasi uduk khas Gunung Gede itu, lumayan enak meski dingin. Alison, Sally, dan Alexis mencicipi juga.

Usai minum teh hangat manis dan sarapan bubur kemasan yang dimasak tim porter, kami berfoto bersama berlatar kawah dan Gunung Pangrango. Wajah para pendaki mancangera ini nampak sumringah (cerah), lebih sumringah dibanding saat foto bersama di awal pendakian lewat Gunung Putri. Mungkin mereka senang karena berhasil menggapai puncak gunung terpopuler di Indonesia ini untuk kali pertama.

Langit puncak Gede mulai terang. Kami pun turun gunung, lewati jalur dari Cibodas. Tepat di atas medan bertebing agak curam, kami berkumpul lagi. Lalu secara bergantian meniti tali nilon berwarna biru, menuruni jalur berjuluk Tanjakan Setan. Disebut begitu karena banyak pendaki yang mengucap kata ‘setan’ saat memanjat tanjakan tersebut.

Semua pendaki mancanegara menuruni medan itu, kecuali Penny yang memilih lewat jalur lain bersama tim porter. Dia tak mau ambil risiko mengingat pergelangan tangannya pernah cidera dan tidak memungkinkan menuruni jalur itu.

Aku sengaja berangkat lebih dulu dari mereka. Dan menunggu di tengah jalur tersebut, untuk mengabadikan satu per satu aksi mereka bergaya abseiling (turun tebing).

Selepas jalur agak menantang itu, kembali para pendaki asing ini melaju begitu cepat, seperti saat mendaki. Sampai porter tak mampu menandingi. Itu berlangsung sampai pertigaan menuju ke puncak dan Curug (air terjun) Cibeureum. Stamina mereka begitu prima karena rajin olahraga dan kegiatan luar ruang lain. Tentunya didukung postur tubuh yang proposional. Sally, gadis berwajah fresh yang berprofesi pengacara dan gemar fitnes ini kembali berada di posisi terdepan bersama Jean. Disusul pasangan kekasih Alexis dan Alison lalu Penny, Marie, dan Isabelle.

Terapi Air Hangat
Meski naik-turun melintas lewat jalur umum. Namun pendakian 6 negara ini terasa bernilai lebih. Pasalnya selain berhasil menggapai puncaknya dalam waktu yang relatif singkat dari jalur Gunung Putri. Pun sempat mengunjungi beberapa obyek dan menikmati fasilitas alami saat turun lewat jalur Cibodas.

Jean dan Marie misalnya, sempat merasakan segarnya mandi di aliran sungai kecil berair hangat dekat Pos Kandang Batu. Lokasinya masuk agak ke dalam, meniti bebatuan berarus dan menerobos belukar.

Aku yang sedang mandi sendiri di tempat eksotik alami itu, sempat kaget dengan kedatangan Jean. Guru yoga beraksen Inggris khas Irlandia ini memang paling bermental petualang. Buktinya dia menyusulku sendiri, lalu menikmati kucuran air hangat yang mengalir deras dari bebatuan. Dia mencoba water massage theraphy (terapi pijat dengan air) seperti yang aku lakukan.

Jean permisi turun, ingin memanggil rekan lainnya. Tak lama berselang, dia datang bersama Marie. Aku gantian turun untuk mengambil kamera. Lalu kembali ke tempat semua untuk mengabadikan dua perempuan cantik yang begitu asyik menikmati mandinya, bak bidadari sedang ber-Spa.

Kami juga mendatangi Curug Cibeureum dan dua air terjun lagi yang sedang ramai pengunjungnya. Puluhan wisatawan lokal yang tengah menikmati air terjun nampak sedikit terkejut dengan kehadiran para pendaki asing itu. Jean beberapa kali dimintai foto bersama oleh pengunjung. Dia seperti selebritis Hollywood yang tengah dikerumuni fans-nya.

Sepulang dari curug tersebut, kami menyempatkan waktu ke Goa Lalay (kelelawar). Lokasinya agak terpencil, menerobos hutan dan menapaki medan menanjak. Hanya segelincir orang yang tahu keberadaan goa yang mulutnya digenangi air tenang kebiruan, bak telaga ini. Dan tidak ada tanda petunjuk ke goa yang konon dihuni oleh putri ular, perempuan yang setengah badan hingga ekornya berbentuk ular ini. Mungkin itu disengaja oleh petugas setempat, untuk menghindari serbuan pengunjung agar keberadaan goa tersebut tetap asri.

Sebelum tiba di pos pintu masuk jalur Cibodas, kami sempat mampir ke Telaga Biru. Telaga seluas 5 hektar ini airnya tenang dan kebiruan saat diterpa sinar matahari karena dasarnya ditumbuhi sejenis ganggang biru. Beberapa pohon berukuran raksasa seperti Rasamala (Altingia excelsa) tumbuh di sekitarnya.

Jelang senja, kami tiba di halaman Kantor Taman Nasional Gede Pangrango, Cibodas. Sambil menunggu mobil jemputan. Isabelle dan Jean membeli bangkuang, sawi, wortel, dan nenas di kios sayur-mayur yang berjejer di tepi jalan raya Cibodas. Sementara yang lain rebahan di rumput taman.

Ketika aku tanya mengenai pendakian yang baru saja mereka lakoni, hampir semua mengaku puas dan senang. Bahkan beberapa di antaranya ingin mengikuti pendakian atau kegiatan petualangan lainnya. Isabelle misalnya ingin sekali mendaki Gunung Pangrango, sementara Penny tertarik dengan Gunung Salak, dan Jean ingin mencoba caving (menyusuri goa), sama seperti halnya Goz.

Dua mobil jemputan datang. Aku bersama Isabelle, Marie, dan Jean serta tim porter naik mobil bak terbuka di bagian belakang. Di atas mobil yang melaju, Isabelle melantunkan lagu anak-anak Indonesia tempo doeloe yang bercerita tentang pendakian. “Naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali. Kiri-kanan ku lihat saja banyak pohon cemara..,” dengan rona bahagia. Jean dan Marie hanya memandangi Isabelle dengan senyum mengembang cerah.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 21 Juli 2010

Mendaki Cucu Krakatau dalam Festival


Seperti perayaan sebelumnya, Festival Krakatau 2010 yang akan berlangsung 24-25 Juli mendatang, diisi dengan pendakian ke Rakata, cucunya Gunung Krakatau. Festival yang diadakan untuk memperingati peristiwa bersejarah letusan Gunung Krakatau 1883 silam ini juga dimeriahkan dengan menyelam di Taman Bawah Laut Krakatau dan paralayang yang melibatkan komunitas hobiis.

Selain dua kegiatan bernuansa petualangan alam dan bahari itu, Festival Krakatau ke-20 ini akan didominasi dengan kegiatan adat dan budaya yang melibatkan masyarakat adat.

"Festival kali ini akan menonjolkan adat budaya di bumi Lampung," ungkap Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung Gatot Hadi Utomo.

Ada sejumlah festival adat yang akan digelar oleh paguyuban masyarakat adat, seperti Festival Ngarak oleh Paguyuban Lampung Sai yang berisi bermacam adat istiadat dari pelbagai kebuaian (marga) adat di Lampung, baik Pepadun, Sai Batin maupun Melinting. Jumlahnya 67 marga ditambah undangan khusus masyarakat adat dari Komering dan Cikoneng, Banten.

Selain arak-arakan budaya pada Sabtu (24/7) di GOR Saburai, Bandar Lampung, juga ada upacara adat pemberian gelar adat kepada sejumlah tokoh pemerintahan seperti Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Gubernur Lampung, dan Ketua DPRD Lampung oleh Majelis Penyimbang Adat Lampung (MPAL).

Nah, dengan adanya Festival Krakatau 2010 ini, pendakian ke cucu Krakatau itu akan terasa lebih lengkap.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelpuls@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 20 Juli 2010

Monumen Jenderal Sudirman Pascakabar Pelelangan



Hingga detik ini dia masih berdiri kokoh. Tenang dan tentu saja gagah. Sedikit pun dia tidak peduli dan ambil ambil pusing apa kata orang yang sedang hangat membicarakannya. Ada yang kecewa keberadaannya lalu meminta ganti rugi. Ada yang menentang pelelangannya. Ada pula yang terus mendukung kehadirannya. Dia cuma diam dan terus bertahan diterpa panas siang dan dibalut dingin malam. Entah sampai kapan.

Suasana di kawasan patung perunggu Jenderal Sudirman setinggi 8 meter yang berdiri di Dusun Sobo, Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan ini semula tenang, adem ayem saja. Termasuk suasana sekitar rumah yang pernah didiami Sudirman ketika bergerilya, pada April-Juli 1949.

Namun pertengahan Juli lalu, seketika atmosfirnya berubah ‘panas’ setelah tersiar kabar pelelangan patung dan bekas rumah atau markas Jendral Soedirman itu yang dilakukan oleh pihak ahli waris Roto Suwarno –bekas ajudan Jenderal Soedirman semasa perjuangan- di dua situs internet.

Pihak ahli waris meminta ganti rugi aset bangunan kepada pemerintah senilai Rp 40 miliar. Padahal menurut taksiran tim Pemkab Pacitan, nilai aset yang dibangun Roto Suwarno hanya sekitar Rp 4,2 miliar.

Pelelangan itu dikecam warga dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pacitan. Demontrasi pun terjadi (19/7) lalu. Puluhan warga mendatangi kawasan wisata sejarah Monumen Panglima Besar Jenderal Sudirman sambil membawa poster, mendesak agar aset bersejarah itu tidak dilelang. Penolakan senada juga sampai Jakarta. Ketua Paguyuban Warga Pacitan (PWP) di Jakarta dan Menbudpar Jero Wacik pun menyayangkan adanya informasi lelang tersebut.

Penyelesaian permasalahan mengenai ganti rugi tanah monumen ini antara pemilik tanah dengan Pemkab Pacitan hingga kini masih belum menemui titik temu.

Riwayat Monumen
Pembangunan kawasan monumen sejarah ini dimulai 1981-1993 atas prakarsa pribadi Roto Suwarno. Karena pembangunan terbengkalai lama, kemudian pada 2006 diusulkan direvitalisasi sejalan gagasan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tahun 2007 dilakukan revitalisasi Monumen Jenderal Sudirman, melibatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Panglima TNI. Pembangunannya selesai 22 Juli 2008 dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertepatan dengan Hari Juang Kartika ke-63 atau HUT TNI AD ke-63, pada 15 Desember 2008 lalu.

Kompleks Monumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman terdiri atas patung Jenderal Sudirman setinggi 8 meter, dilengkapi pasar seni, perpustakaan, lapangan, diorama, aula, parkir, toilet, dan tempat pertunjukan seni. Patungnya berada di ketinggian 1.300 di atas permukaan laut ini.

Ada 38 relief di kompleks monument ini. Relief tersebut terbuat dari perunggu yang menggambarkan perjalanan hidup Sudirman dari masa kelahiran, belajar mengaji, sekolah, kepanduan, mendirikan koperasi, menjadi anggota Peta, memimpin gerilya, hingga meninggal di Magelang.

Sebelum mencapai monumen ini ada 8 gerbang yang menunjukkan delapan provinsi pada 1948-1949. Masing-masing gerbang bertuliskan kata-kata petuah Jenderal Sudirman, antara lain tulisan berbunyi “Walau dengan satu paru-paru dan ditandu, pantang menyerah”.

Eks Markas Gerilya
Rumah yang ditempati Jenderal Sudirman selama 107 hari, sejak 1 April 1949 sampai 7 Juli 1949 sekaligus menjadi markas gerilya berlokasi di Dukuh Sobo, sekitar 2 Km dari monumen.

Di depan rumah milik Karsosoemito_seorang bayan di Dukuh Sobo ini, ada papan informasi mengenai sejarah dan rute perang gerilya Jenderal Sudirman, sejak berangkat hingga kembali ke Yogyakarta.

Rumahnya menghadap Utara. Berlantai dan bergenting tanah liat. Bagian depan dindingnya terbuat dari gebyok (papan kayu) dan bagian belakang dindingnya terbuat dari gedhek (anyaman bambu).

Di ruangan depan ada 2 pintu. Atapnya di topang tiang-tiang kayu. Di dalamnya ada 4 kamar tidur, salah satunya kamar tidur Jenderal Sudirman. Ada juga foto Sudirman dengan masyarakat di depan rumah bersejarah ini, foto ketika berangkat bergerilya dan ketika beliau pulang ke Yogyakarta. Juga ada tiruan tandu, meja-kursi tamu, dan tempat tidur pengawal/ajudan beliau, yaitu Soepardjo Rustam dan Tjokro Pranolo sert set meja dan kursi tamu dari kayu dan balai dari bambu.

Ruang bagian belakang, atapnya juga disanggah tiang-tiang kayu. Berfungsi sebagai dapur lengkap dengan alat-alat memasak, tempayan, meja, dan kursi makan dari kayu. Di dalamnya ada peralatan audiovisual untuk menyaksikan tayangan tentang Jenderal Besar Sudirman. Di belakang rumah berdiri mushola, toilet, dan bak penampungan air.

Di rumah bekas markas gerilya yang berpanorama indah dan berudara sejuk ini, dulu digunakan Jenderal Sudirman sebagai tempat bersosialisasi dan bergabung dengan masyarakat setempat. Beliau juga menerima tamu dengan pejabat pemerintah di Yogyakarta, di rumah ini.

Menurut Padi, anak dari Karsosoemito, pemilik rumah ini, ketika dia berusia 7 tahun, banyak komandan pasukan maupun pejabat pemerintahan yang datang ke Sobo untuk minta petunjuk. “Saya tidak tahu kalau yang tinggal di rumah itu Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman. Hampir setiap pagi, saya dipanggil beliau untuk sarapan bubur. Setiap pagi, beliau berjemur sinar matahari,” kenang Padi.

Pascaperjanjian Roem-Royen yang isinya Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat berdamai, Panglima Besar Jenderal Sudirman merencanakan pulang ke Yogyakarta. Akhirnya setelah dibujuk sejumlah pihak, Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman meninggalkan rumah ini, kembali ke Yogyakarta pada 7 Juli 1949.

Tips Perjalanan
Momumen Panglima Besar Jenderal Besar Sudirman di Desa Pakis Baru, Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan dapat ditempuh dari Solo maupun Yogyakarta. Dari Solo waktu tempuhnya sekitar 3 jam dengan kendaraaan roda empat, kalau dari Yogyakarta sekitar 4 jam. Sedangkan Rumah bekas markas gerilya, berada sekitar 2 Km dari monumen.

Bila dengan kendaraan umum, naik bis dari Solo ke Pacitan, lalu ganti bis lagi jurusan Pacitan ke Nawangan, kemudian berjalan kaki atau naik sepeda motor ke monumen dan rumah bekas markas gerilya Jenderal Sudirman. Kalau tak mau gonta-ganti kendaraan umum, Anda bisa membawa mobil sendiri atau sewa mobil travel dari Yogyakarta atau Solo Rp 500.000 per hari, belum termasuk bahan bakarnya.

Untuk mencapai monumen dan rumah itu, harus melewati perjalanan darat yang cukup panjang baik dari Solo maupun Yogyakarta dengan kendaraan roda empat. Jalannya berkelok-kelok, dan naik turun bukit dengan jurang di sisi jalan. Untungnya jalannya sudah beraspal mulus dan berpanorama indah.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Kamis, 08 Juli 2010

Freefall di Curug Gendang



Dang..,dang..,dang...Begitu bunyi yang dihasil-kan oleh tumpahan air terjun itu hingga warga sekitar menamakannya Curug Gendang. Tapi itu dulu. Konon suara itu berasal dari terpaan airnya yang deras ke sebatang pohon besar di bawahnya. Belakangan batang pohon itu hanyut terbawa arus hingga bunyi seperti gendang ditabuh itu tak lagi terdengar. Namun nama gendang itu tetap melekat dan justru menarik orang untuk bertandang.

Perempuan berkaos tanktop merah itu adalah salah satunya. Dia datang jauh-jauh karena terpikat daya tarik nama Curug Gendang yang bersemayam di ketinggian 170 meter di atas permukaan laut di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Jelang sore minggu itu, dia berada di atas tebing batu, di puncak air terjun yang mata airnya berasal dari hulu Gunung Pangajaran. Dia ambil ancang-ancang, sepintas seperti ingin bunuh diri. Rekannya pria bertelanjang dada, siap-siap mengabadikannya. Setelah dia memberi aba-aba ok, perempuan berambut pirang sebahu itu meloncat, terjun bebas dari sisi kiri tumpahan Curug Gendang, setinggi kurang lebih 7 meter.

Byur...ketika badannya menimpa air, masuk ke dalam genangan kolam alami tumpahan curug itu yang dalamnya sekitar 10 meter. Tak lama berselang dia muncul lalu berenang ke tepian. Aksi nekatnya sempat mengundang kagum beberapa pasang mata, termasuk aku yang berhasil mengabadikannya.

Sebenarnya aksi terjun bebas perempuan itu adalah hal biasa yang kerap dilakukan pengunjung yang beryali lebih. Udri (20) dan Ardi (17) misalnya, dua pemuda lokal ini sudah berkali-kali terjun bebas di curug ini. Setelah terjun dan berenang ke tepian, mereka berenang lagi ke dinding tebing lalu memanjatnya tanpa batuan akar apalagi tali. Setibanya di atas, mereka kembali terjun bebas.

Melihat aksi Udri dan Ardi berulang kali tanpa lelah dan takut, seolah sedang bermain-main di arena waterpark alami saja. Padahal untuk terjun bebas dari puncak curug ke kolamnya dibutuhkan keberanian. Terlebih memanjat tebingnya yang berair dan licin. Tubuh mereka lentur seperti cecak sedang merayap tembok. Bagi Udri dan Ardi, memanjat dinding Curug Gendang lalu terjun bebas dari puncaknya adalah keharusan sekaligus kesempurnan. Tanpa terjun bebas, keutuhan kunjungan rasanya kurang lengkap.

Puas mengabadikan aksi terjun bebas dari puncak curug. Aku bergegas menuruni setapak menuju kolam alami. Sebelum sampai ke bibir sungai, sempat berpapasan dengan perempuan bule ber-tangtop merah yang tadi melakukan aksi terjun bebas itu. Where do you come from? Tanyaku. “I’m Germany,” balasnya sambil tersenyum. How after freefall? “Verry satisfied,” akunya dengan wajah cerah yang menyiratkan kepuasan hatinya.

Awalnya aku pikir setapak menurun itu langsung menuju kolam alami, ternyata tidak. Aku harus menyusuri sungai sepanjang 15 meter, aliran dari tumpahan curug itu yang membelah dua tebing bebatuan di kiri kanannya. Aksi buka celana panjang dan underware pun tak terhindar. Daripada pulang berbasah-basah, cukup bercelana pendek saja.

Kesulitan pertama teratasi. Kesulitan kedua muncul. Aku lupa bawa kantung plastik untuk mengamankan kamera dari kemungkinan terjatuh lalu terbawa arus. Tak ada pilihan selain berjalan ekstra hati-hati, pelan namun pasti. Pikiranku kini terpusat bagaimana caranya kamera yang kubawa tidak tercebur.

Melangkah dari batu satu di dasar sungai yang terlihat ke batu satu lagi, buat aku seperti sebuah perjalanan perjuangan penyelamatan kamera. Aku menjinjingnya seperti menjinjing senapan, seolah sedang berperang gerilya mendekati markas musuh, melewati sungai berarus hingga setinggi dada.

Untunglah perjalanan pendek yang terasa lama itu tuntas. Aku sampai di bebatuan di tepian kolam curug itu. Dari situlah aku puas memotret tumpahan air Curug Gendang, tebing-tebingnya dan gemuruh airnya. Termasuk mengabadikan aksi Daden, penggiat alam bebas asal Kecamatan Menes, dan tentu saja aksi terjun bebas Udri dan Ardi yang begitu energik.

Minum kopi hangat, selepas mandi di air Curug Gendang yang dipercaya berkhasiat menyembuhkan rematik dan memberi aura cinta itu adalah pilihat tepat. Di atas puncak curug ada pondok warung yang menjual minuman mineral, kopi, makanan kecil, dan mie rebus.

Sebenarnya masih ada satu air terjun lagi tak jauh dari Curug Gendang, namanya Curug Putri. “Curugnya lebih indah, seperti Green Canyon,” kata Daden. “Cuma 30 menit dari Curug Gendang, sebelum tiba di curug itu harus menyusuri sungainya,” timpal Sardi yang baru mengantar turis asal Jerman dan dua rekannya itu.

Sayang, waktu tak cukup. Sore ini juga harus balik. Maklum kedatangan ke Curug Gendang benar-benar dadakan. Semula tujuan ke Pandeglang cuma untuk menyumbang sejumlah judul buku ke Rumah Buku Lentera Kalbu yang dikelola Fitri Suciwati secara swadaya di kediaman orangtuanya di depan Jalan Raya Labuan Km 2, Ciekek Melati.

Di tengah perjalanan, selagi mobil masih melaju di jalan tol Tangerang dari Jakarta menuju Serang, terlintas ide ke Curug Gendang yang memikatku setelah melihat tayangannya di sebuah TV swasta. Kedua rekanku, Herman dan Yadi menyetujui usulanku.

Gayung bersambut. Usai menyerahkan buku, tetangga Fitri bernama Adi bersedia menemani kami ke Curug Gendang. Dia mengajak Daden, rekan kuliahnya dulu yang tahu seluk-beluk curug itu. Kami pun menjemput Daden dan menunggunya di pertigaan Menes-Jalan Raya Labuan. Lalu kami berlima pun meluncur menuju Curug Gedang.

Di tengah perjalanan, Daden dan Adi menceritakan banyak hal. Mulai seputar demonstrasi yang terjadi di Pandeglang beberapa waktu lalu, soal politik, sampai kondisi pariwisata Pandeglang. Sementara rekanku, Herman mengaku perusahaan tempatnya bekerja pernah batal berinvestasi di provinsi ini lantaran kerumitan birokrasinya. Menurutnya kondusi birokrasi seperti itu menjadi salah satu penyebab investor urung menanamkan modalnya. Alhasil pembangunan Banten tertinggal dibanding provinsi lain.

Lokasi Pengungsian Tsunami
Setibanya di Jalan Raya Carita, mobil kami berbelok ke kanan. Masuk gerbang bertuliskan Taman Wisata Alam Carita (TWAC). Inilah satu-satunya jalan menuju Curug Gendang. Taman seluas 95 hektar ini dikelola Perum Perhutani KPH Banten. Tak jauh dari gerbang, ada pos tiket yang dijaga beberapa petugas, salah satunya bernama Iwan.

Iwan memberi penjelasan singkat seputar kawasan TWAC, lalu menyodorkan dua lembar tiket senilai Rp 8 ribu per orang dengan rincian Rp 6.000 untuk tiket hiking track termasuk asuransi karena melewati hutan yang dikelola Perhutani. Sedangkan Rp 2.000 untuk tiket masuk ke Curug Gendang.

Menurut Didan, curug ini dulu ramai dikunjungi orang terutama warga Banten dan Jakarta, namun setelah dikenakan tarif baru pengunjungnya rada sepi. Apa yang dibilang Didan ternyata benar. Sewaktu mobil kami tiba di parkir setelah menyusuri jalan yang diteduhi pepohonan besar, hanya ada dua mobil pengunjung yang parkir. Di sana ada pos jaga juga yang tak ada petugasnya serta sebuah warung non permanen yang menjual minuman mineral dan makanan kecil.

Yang menarik dari TWAC ini, mulai dari depan gerbang dan di beberapa titik hingga pertigaan ke Pasanggrahan, ada plang bercat kuning dengan tulisan bercat hitam berbunyi “Ikuti Jalur Aman Bila Terjadi Tsunami”. Plang itu dibuat dan ditaman sejak 2009 lalu oleh Badan Kesbang dan Politik Provinsi Banten.

Rupanya TWAC yang semula menjadi bagian dari Taman Nasional Ujung Kulon ini bukan hanya menjadi daerah resapan air dengan hutan yang masih terjaga. Di sini ada pengembangan hutan model RLKTA dengan tanaman Gaharu dan teknik rorak. Tapi juga menjadi lokasi aman untuk menyelamatkan diri bila suatu saat kawasan Carita dan sekitarnya diterjang tsunami.

Bukan hanya plang petunjuk arah ke lokasi penampungan pengungsi bila terjadi tsunami. Di puncaknya ada Pasanggrahan yang dikelola Perum Perhutani KPH Banten, BPKH Pandeglang. Pesanggrahan ini dilengkapi pondok wisata alam, aula (meeting room), camping ground, outbound, toilet, mushola, lapangan tenis, taman dengan bangku, meja, dan lampu, serta parkir.

Ada 16 kamar yang disewakan di Pasanggrahan ini, 4 di antaranya ber-AC. Menurut Surya, petugas Pasanggrahan, tarif sewa kamarnya Rp 150 ribu s/d Rp 250 ribu per malam. Sedangkan cottages-nya yang terdiri 2 kamar, dapur, dan kamar mandi Rp 350 ribu s/d Rp 550 ribu per malam, tergantung weekday, weekand atau peak season.

Dari tempat yang dikelilingi pepohonan besar dan rindang ini, lekukan bentangan Pantai Carita dengan kapal-kapal nelayan serta jalan raya jelas terlihat. Sayangnya beberapa menara listrik dengan kabel-kabelnya sedikit menggangu pemandangan.

TWAC yang ijo royo-royo dengan sejumlah flora besar seperti mahoni, meranti, jati, rotan, beringin, laban, benda, bambu, kecapi, khaya, pulai, dan manglid juga menjadi rumah yang nyaman bagi sedikitnya 7 jenis fauna antara lain kera, lutung, tando, biawak, elang laut, landak, dan musang.

Gemuruh air sungai dari Curug Gendang yang membelah TWAC terdengar dari jauh. Airnya terlihat masih bening dan arusnya putih. Itu membuktikan bahwa hutan kawasan ini masih terjaga. Kata Daden, air Curug Gendang dan alirannya tak pernah kering meskipun musim kemarau panjang. Namun untuk membuktikan apakah benar kawasan hutan di luar TWAC, terutama di bagian atas Curug Gendang dan Curug Putri ini masih terjaga? Perlu waktu lagi untuk memantau secara langsung.

Sebelum pulang, kami berlima sepakat untuk datang kembali dengan persiapan yang lebih matang. Kami berencana akan mengeksplorasi obyek wisata alam, sejarah, dan petulangan lainnya di Pandeglang selama 4 hari. Termasuk ke Gunung Karang dan Gunung Pulosari yang sedari awal perjalanan sebelum sampai ke kawasan Carita, puncak-puncaknya seolah melambai-lambaikan tangan, menanti untuk segera aku daki.

Dan pastinya kami juga akan ke Curug Gendang lagi sebagai lokasi rileksasi usai mendaki dua gunung itu. Untuk kembali menghirup udara bersih hutannya, menikmati khasiat airnya, dan mencoba melakukan aksi terjun bebas, sebebas-bebasnya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan

NB. cantumkan sumbernya, bila mengutip tulisan ini.

Read more...

Sabtu, 03 Juli 2010

Memacu Adrenalin di Tebing dan Jeram Toraja


Toraja tersohor lantaran budaya khasnya, sebut saja rambu tuka’, rambu solo’, dan desa wisata dengan tongkonan-nya. Padahal, obyek alamnya pun menarik untuk dijelajahi. Ada deretan tebing batu cadas yang menantang dipanjat, jeram-jeram sungai yang seru diarungi, dan obyek petualangan lain yang bisa memacu adrenalin Anda.

Toraja, Sulawesi Selatan berada di dataran tinggi. Banyak perbukitan bertebing cadas yang bisa digunakan untuk memacu adrenalin dengan memanjat hingga puncaknya. Coba saja Anda panjati tebing di Gunung Tinoring, 8 Km dari Kota Makale atau 26 Km dari Rantepao, pasti dijamin mengasyikkan.

Lokasi panjat lainnya ada di Tebing Sarera, tingginya sekitar 125 meter. Berada di Desa Bua, Toraja. Dan tak jauh dari Toraja, ada Tebing Bambapuang yang sudah lebih dulu tersohor di kalangan pemanjat tebing. Lokasi tebing lomestone setinggi 350 meter ini berada di Dusun Kotu, Desa Bambapuang, Kecamatan Anggereje, Kabupaten Enrekang, Selatan Toraja. Lokasi tebing Bambapuang bersebelahan dengan Gunung Nona dan Sungai Saddang.

Kalau Anda mau berarung jeram (rafting), ada dua salu (sungai) yang memiliki jeram-jeram yang selalu bergemuruh, yakni Salu Mai'ting di Desa Dende'-Piongan, Kecamatan Rinding Allo yang berjarak kurang lebih 60 Km dari Rantepao. Lokasi rafting lainnya di beberapa bagian Salu Sa’adan.

Paket rafting umumnya termasuk transportasi ke dan dari lokasi arung jeram, makan siang, camilan, buah-buahan, pemandu, porter, dan biaya parkir di lokasi arung jeram. Harga paket yang ditawarkan antara lain Rp 250.000 per orang untuk paket perjalanan 1 hari di Salu Mai’ting. Sedangakan di Salu Sa’adan yang ber-grade IV dan V harga paketnya Rp 1.400.000 per orang selama 3 hari. Operator arung jeram dapat dihubungi di kantornya di Kota Rantepao seperti Toranggo Buya, anak perusahaan Sobek Expedition, dan Indosella, atau melalui beberapa hotel berbintang, agen perjalanan, dan biro wisata di Toraja.

Bila Anda ingin mencoba dua kegiatan alam bebas yang menantang di atas, sebaiknya membeli paket atau menghubungi operator, pencinta alam atau pemanjat setempat yang sudah memahami kondisi lokasi masing-masing untuk mendapatkan informasi sekaligus sebagai pemandu.

Mau treking ke beberapa lokasi indah atau bersepeda gunung (mountain biking) juga jadi pilihan yang tak kala seru. Anda bisa ke desa wisata Batutumonga yang berada di lereng Gunung Sesean, Kecamatan Sesean Suloara. Dari lokasi ini, kita dapat menikmati panorama yang memesona berupa hamparan teras-teras sawah, perbukitan, hutan dan juga keseluruhan Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara (Torut) dari kejauhan.

Obyek ini dilengkapi beberapa rumah dan sebuah wisma yang dapat dijadikan sebagai tempat persinggahan atau akomodasi untuk menginap. Waktu terbaik ke obyek ini saat masa panen sekitar bulan Maret dan April atau ketika padi baru ditanam pada sekitar akhir bulan Juli dan Agustus karena menghadirkan keindahan alam yang indah serta aktivitas para petani yang menarik.

Batutumonga terletak sekitar 24 km dari Rantepao dan dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain Bemo dari Terminal Bolu, Rantepao. Atau naik ojek sepeda motor atau treking selama kurang lebih 4 jam.

Ke Tilangnga, Kecamatan Makale Utara, sekitar 12 km dari Rantepao. Di sana Anda bisa berenang di sebuah kolam alami yang airnya bersumber dari mata air yang sejuk dikelilingi oleh hutan bambu. Di kola mini ada belut-belut besar namun tidak berbahaya. Obyek ini ramai dikunjungi wisatwan pada akhir pekan atau hari libur. Tilangnga dapat dicapai dengan nain angkutan umum dari Terminal Bolu, Rantepao - Makale, dilanjutkan dengan ojek atau berjalan kaki.

Juga ke Makula’ di Kecamatan Sangalla' Selatan, sekitar 27 km dari Rantepao. Di tempat ini ada sumber mata air panas yang dialirkan ke tiga buah kolam. Kita dapat berendam atau berenang di tiga kolam air hangat tersebut yang konon airnya dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti rematik. Di obyek ini dua ada akomodasi untuk menginap dan restoran kecil untuk kebutuhan makan minum.

Kalau suka beragrowisata, Anda bisa ke Perkebunan Kopi Arabika dan Robusta Toarco Jaya di daerah Pedamaran, Desa Bokin, Kecamatan Rantebua, sekitar 14 Km dari Rantepao.

Panduan
Toraja dapat dicapai via darat dari Makassar dengan membawa mobil sendiri, mengendari motor secara berkelompok, atau backpacking dengan naik bis umum dari Terminal Daya, Makassar. Bisa juga menyewa mobil rental dan biro perjalanan berikut sopirnya yang sudah berpengalaman memandu wisatawan ke Toraja. Tarifnya sewa mobil jenis kijang Rp 350.000 per 12 jam, belum termasuk makan dan minum sopir termasuk tipsnya. Waktu tempuhnya lebih cepat sekitar 6-7 jam.

Tersedia bis non AC 3/4 dengan kapasitas 25-30 orang, tarifnya berkisar Rp 100.000 per orang. Waktu tempuhnya sekitar 8-9 jam. Sedangkan bis executive kapasitas hingga 40 orang, TV/video, AC, dan sandaran/penyangga kaki, tarifnya lebih dari itu.

Via udara dari Bandara Hasanuddin Makassar ke Bandara Pongtiku, Tator dilayani oleh maskapai Dirgantara Air Service (DAS) yang mengoperasikan pesawat jenis Casa 212 dengan kapasitas 24 orang.

Ada beberapa pilihan akomodasi di Toraja. Ada Sahid Toraja Hotel, Toraja Heritage, Toraja Prince, Hotel Indra I, Hotal Indra II, Wisma Bungin, dan Penginapan Makale. Hotel Indra I berada di Jl. Landorundun No 63 Rantepao, Torut. Tarif kamarnya mulai dari Rp 180.000 sudah termasuk sarapan. Di kamarnya terdapat TV dan Air Panas. Extra bed Rp 50.000.

Rumah makan juga sudah banyak, namun bagi muslim perlu waspada karena banyak restoran atau kedai yang menyajikan menu babi. Tapi tak perlu kuatir, ada beberapa rumah makan yang dikelola muslim dan menyajikan aneka menu halal seperti nasi goreng, capcay, dan lainnya.

Bila ingin menikmati makanan halal, datang saja ke Rumah Makan Hj. Idaman di Jalan Merdeka, Makale, tepatnya di sebelah Masjid Raya Makale yang berarsitektur tua. Atau rumah makan Padang dan Solo.

Cendera mata khas Toraja yang dapat dibeli untuk oleh-oleh antara lain bermacam kaos bertuliskan Toraja, aneka aksesoris, ukiran, dan kopi Toraja di Pasar Bolu, Ke’te Kesu’, dan sejumlah counter di hotel.

Waktu terbaik ke Toraja, saat penyelenggaraan acara Lovely December yang digelar Pemkab Toraja Utara dan Pemprov Sulsel pada November s/d Desember, dengan puncak acara pada 26 Desember. Pasalnya selama sebulan digelar sejumlah pentas seni-budaya, upacara adat, pameran kerajinan tangan & kuliner tradisional, lomba rafting, dan lainnya. Untungnya lagi, kita akan mendapat diskon inap 50 % di hotel-hotel setempat selama acara berlangsung.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP