. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 28 Juli 2010

Enam Negara Gapai 2.958 Mdpl



Penggiat alam bebas dari 6 negara, bersama mengga-pai puncak Gunung Gede, Jawa Barat, pekan lalu (25/7). Manajemen perjalanan yang baik, kekompakan, dan stamina prima, menjadi kunci rahasia kemudahan keberhasilan mereka. Pascapendakian antarnegara itu, beberapa di antaranya berencana berpetualang ke obyek alam Indonesia lainnya.

Puncak gunung berketinggian 2.958 Meter di atas permukaan laut (Mdpl), pagi itu masih gelap. Kabut tebal belum beranjak dari langitnya. Udara yang dihembuskan anginnya menerpa tebing kawah, pucuk-pucuk pohon cantigi (Vaccinium varingiaefolium), dan tentu saja menampar tubuh dan wajah kami. Dinginnya sampai tulang, menusuk-nusuk.

Lantaran kedinginan, Isabelle Delforge dari Belgia yang lumayan fasih berbahasa Indonesia, kembali mengenakan jaket yang semula dilepasnya saat menapaki medan menanjak berbatu dari Aa Surken (Alun-alun Suryakencana) menuju puncak.

Hal serupa juga dilakukan Alexis Anderson, Alison Battisson, dan Penny Davis dari Australia, Sally Austen (Selandia Baru), Jean Wilkinson (Irlandia), Evie (Indonesia), dan Marie yang juga berkewarganegaraan Belgia. Bahkan setibanya di puncak, mereka pun mengenakan sleeping bag (kantung tidur) masing-masing, lalu duduk berdempetan untuk menghalau udara dingin yang pagi itu mendekati angka 5 derajat Celcius.

Goz dari Inggris dan aku (tentu saja asli Indonesia) memilih menyusuri setapak puncak ke arah Timur untuk mengabadikan pesona sunrise (matahari terbit). Sayang awan pekat masih bersemayam. Kepekatannya menghalangi pijar surya yang terbangun dari peraduan. Alhasil warna keemasannya kurang sempurna.

Sedikit kecewa memang. Tapi lekas terobati oleh pemandangan lain dari puncak yang cukup memesona. Di sebelah Utara, kerlap-kerlip lampu Kota Cipanas dan sekitarnya nampak seperti hamparan kunang-kunang aneka warna. Di sebelah Barat, kawah Gunung Gede yang dasarnya tak tampak, tiada henti mengepulkan asap putih beraroma belerang. Kawah lebar dan menganga ini tampil gagah sekaligus seram dengan gigir tebingnya yang curam. Tak berlebihan bila di sepanjang setapak puncaknya diberi pembatas berupa tali agar pendaki tidak terpeleset dan jatuh ke dasar kawah. Masih di sebelah Barat, Gunung Pangrango berdiri anggun berselimut hutan hujan tropis, hijau rimbun.

Sedangkan di sebelah Selatan, terlihat jelas savana (hamparan padang rumput) berwarna krem berhias pohon edelweiss (Anaphalis javanica). Itulah Alun-alun Suryakencana, lembah seluas 50 hektar yang indah dan tentu saja berudara dingin. Di sanalah, kami bermalam dengan mendirikan 7 tenda domme, tak jauh dari sumber mata air yang tak pernah kering.

Bukan panorama alam dari puncak Gede saja yang buat aku takjub. Keberadaan seorang pria penjual nasi uduk di puncak itu juga tak urung bikin aku terheran-heran. Gayanya seperti pendaki saja. Memakai raincoat (jaket hujan), balaklava (penutup kepala dari wol), dan daypack (ransel kecil) yang berisi dagangannya. Bayangkan dia harus mendaki sampai puncak cuma untuk menjual nasi uduk kuning dengan sedikit bihun dan potongan telur dadar goreng ukuran kecil seharga Rp 5.000 per bungkus. Lantaran penasaran ingin memotret isi nasi bungkus dan pedagangnya, aku pun membeli sebungkus nasi uduknya ditambah 3 gorengan bakwan jadi Rp 10.000. Ternyata nasi uduk khas Gunung Gede itu, lumayan enak meski dingin. Alison, Sally, dan Alexis mencicipi juga.

Usai minum teh hangat manis dan sarapan bubur kemasan yang dimasak tim porter, kami berfoto bersama berlatar kawah dan Gunung Pangrango. Wajah para pendaki mancangera ini nampak sumringah (cerah), lebih sumringah dibanding saat foto bersama di awal pendakian lewat Gunung Putri. Mungkin mereka senang karena berhasil menggapai puncak gunung terpopuler di Indonesia ini untuk kali pertama.

Langit puncak Gede mulai terang. Kami pun turun gunung, lewati jalur dari Cibodas. Tepat di atas medan bertebing agak curam, kami berkumpul lagi. Lalu secara bergantian meniti tali nilon berwarna biru, menuruni jalur berjuluk Tanjakan Setan. Disebut begitu karena banyak pendaki yang mengucap kata ‘setan’ saat memanjat tanjakan tersebut.

Semua pendaki mancanegara menuruni medan itu, kecuali Penny yang memilih lewat jalur lain bersama tim porter. Dia tak mau ambil risiko mengingat pergelangan tangannya pernah cidera dan tidak memungkinkan menuruni jalur itu.

Aku sengaja berangkat lebih dulu dari mereka. Dan menunggu di tengah jalur tersebut, untuk mengabadikan satu per satu aksi mereka bergaya abseiling (turun tebing).

Selepas jalur agak menantang itu, kembali para pendaki asing ini melaju begitu cepat, seperti saat mendaki. Sampai porter tak mampu menandingi. Itu berlangsung sampai pertigaan menuju ke puncak dan Curug (air terjun) Cibeureum. Stamina mereka begitu prima karena rajin olahraga dan kegiatan luar ruang lain. Tentunya didukung postur tubuh yang proposional. Sally, gadis berwajah fresh yang berprofesi pengacara dan gemar fitnes ini kembali berada di posisi terdepan bersama Jean. Disusul pasangan kekasih Alexis dan Alison lalu Penny, Marie, dan Isabelle.

Terapi Air Hangat
Meski naik-turun melintas lewat jalur umum. Namun pendakian 6 negara ini terasa bernilai lebih. Pasalnya selain berhasil menggapai puncaknya dalam waktu yang relatif singkat dari jalur Gunung Putri. Pun sempat mengunjungi beberapa obyek dan menikmati fasilitas alami saat turun lewat jalur Cibodas.

Jean dan Marie misalnya, sempat merasakan segarnya mandi di aliran sungai kecil berair hangat dekat Pos Kandang Batu. Lokasinya masuk agak ke dalam, meniti bebatuan berarus dan menerobos belukar.

Aku yang sedang mandi sendiri di tempat eksotik alami itu, sempat kaget dengan kedatangan Jean. Guru yoga beraksen Inggris khas Irlandia ini memang paling bermental petualang. Buktinya dia menyusulku sendiri, lalu menikmati kucuran air hangat yang mengalir deras dari bebatuan. Dia mencoba water massage theraphy (terapi pijat dengan air) seperti yang aku lakukan.

Jean permisi turun, ingin memanggil rekan lainnya. Tak lama berselang, dia datang bersama Marie. Aku gantian turun untuk mengambil kamera. Lalu kembali ke tempat semua untuk mengabadikan dua perempuan cantik yang begitu asyik menikmati mandinya, bak bidadari sedang ber-Spa.

Kami juga mendatangi Curug Cibeureum dan dua air terjun lagi yang sedang ramai pengunjungnya. Puluhan wisatawan lokal yang tengah menikmati air terjun nampak sedikit terkejut dengan kehadiran para pendaki asing itu. Jean beberapa kali dimintai foto bersama oleh pengunjung. Dia seperti selebritis Hollywood yang tengah dikerumuni fans-nya.

Sepulang dari curug tersebut, kami menyempatkan waktu ke Goa Lalay (kelelawar). Lokasinya agak terpencil, menerobos hutan dan menapaki medan menanjak. Hanya segelincir orang yang tahu keberadaan goa yang mulutnya digenangi air tenang kebiruan, bak telaga ini. Dan tidak ada tanda petunjuk ke goa yang konon dihuni oleh putri ular, perempuan yang setengah badan hingga ekornya berbentuk ular ini. Mungkin itu disengaja oleh petugas setempat, untuk menghindari serbuan pengunjung agar keberadaan goa tersebut tetap asri.

Sebelum tiba di pos pintu masuk jalur Cibodas, kami sempat mampir ke Telaga Biru. Telaga seluas 5 hektar ini airnya tenang dan kebiruan saat diterpa sinar matahari karena dasarnya ditumbuhi sejenis ganggang biru. Beberapa pohon berukuran raksasa seperti Rasamala (Altingia excelsa) tumbuh di sekitarnya.

Jelang senja, kami tiba di halaman Kantor Taman Nasional Gede Pangrango, Cibodas. Sambil menunggu mobil jemputan. Isabelle dan Jean membeli bangkuang, sawi, wortel, dan nenas di kios sayur-mayur yang berjejer di tepi jalan raya Cibodas. Sementara yang lain rebahan di rumput taman.

Ketika aku tanya mengenai pendakian yang baru saja mereka lakoni, hampir semua mengaku puas dan senang. Bahkan beberapa di antaranya ingin mengikuti pendakian atau kegiatan petualangan lainnya. Isabelle misalnya ingin sekali mendaki Gunung Pangrango, sementara Penny tertarik dengan Gunung Salak, dan Jean ingin mencoba caving (menyusuri goa), sama seperti halnya Goz.

Dua mobil jemputan datang. Aku bersama Isabelle, Marie, dan Jean serta tim porter naik mobil bak terbuka di bagian belakang. Di atas mobil yang melaju, Isabelle melantunkan lagu anak-anak Indonesia tempo doeloe yang bercerita tentang pendakian. “Naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali. Kiri-kanan ku lihat saja banyak pohon cemara..,” dengan rona bahagia. Jean dan Marie hanya memandangi Isabelle dengan senyum mengembang cerah.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP