. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Senin, 31 Mei 2010

Pentas & Diskusi Tari Saman di SBN 2010



Tari Saman dari Tanah Rencong, Aceh menye-marakkan Semarak Budaya Nusantara (SBN) 2010 di Gedung Sapta Pesona, Jakara, (26/5). Acara yang digelar Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film (Ditjen NBSF), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) ini juga mengetengahkan diskusi tentang tari tersebut.

Menurut Direktur Kesenian, Ditjend NBSF, Kemenbudpar Sulistyo SBN 2010 dilaksanakan untuk meningkatkan apresiasi seni bagi pelajar, mahasiswa, masyarakat, dan karyawan di lingkungan Kemenbudpar, serta serta instansi-instansi di sekitar kantor Kemenbudpar.

“Tari Saman dipilih untuk SBN kali ini sebagai bentuk dukungan pemerintah untuk nominasi Tari Saman sebagai Intangible Cultural Heritage in Need of Urgent Safeguarding di Unesco, dengan harapan melahirkan pengakuan lebih dari negara lain,” jelasnya.

Sesi pertama, 15 penari lelaki asal Kabupaten Gayo Lues menampilkan Tari Saman. Mereka langsung mengambil posisi duduk. Gerakan mereka semakin cepat. Terkesan manly. Penonton yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan undangan memberi tepukan hangat.

“Di Gayo Lues, Tari Saman hanya boleh dibawakan oleh lelaki dalam jumlah ganjil. Sebab gerakannya cepat dan kerap menepuk dada. Kalau ada penari perempuan yang menarikan garakan Tari Saman itu namanya tapi pengembangan dari Tari Saman,” jelas Sehumur (40), salah satu penari Saman asal Gayo Lues.

Sesi kedua, tampil 12 penari perempuan ditambah satu lelaki dari World Dance Company membawakan pengembangan Tari Saman. Lelaki mengawali tarian dengan lantunan syair lagu, kemudian muncul 8 penari perempuan yang menari berdiri. Disusul 4 penari perempuan. Gerakan mereka lebih feminin namun tetap gagah. Sesekali menghantakkan kaki di lantai dan menepukkan tangan di pinggul.

Keduabelas penari kemudian mengambil posisi duduk seperti penari Saman. Dan menampilkan bermacam gerakan khas Tari Saman.

Usai pagelaran, disusul diskusi mengenai Tari Saman dengan menghadirkan 3 narasumber yakni Kepala Pusat Penelitian Kebudayaan, Kemenbudpar Harry Waluyo, Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Gayo Lues Bungkes Hapsah, dan seniman Aceh sekaligus Dosen IKJ Marzuki Hasan.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 25 Mei 2010

Borong Paket Wisata di Gebyar Wisata Nusantara 2010


Belum punya paket wisata untuk liburan panjang tahun ini? Borong saja di Gebyar Wisata Nusantara 2010 di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan pada 27 – 30 Mei 2010. Pasalnya, pameran tahunan yang diselenggarakan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Wahyu Promocitra ini juga menyajikan Bursa Paket Wisata Nusantara.

Selain pameran dan juga Bursa Paket Wisata, pameran yang digelar untuk mensukseskan Visit Indonesia Year 2010 lewat peningkatan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) dan angka perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) ini juga ada dialog nasional wisata nusantara, Indonesia Hotel & Restaurant Table Top, festival tari nusantara, peragaan busana pengantin nusantara, peragaan busana batik nusantara, demo membatik nusantara, festival band indi ethnic, lomba foto wisata nusantara, dan lomba mewarnai nusantara 2010.

Pameran wisata terbesar dan terlengkap ini diikuti lebih dari 250 obyek wisata unggulan daerah mulai dari wisata budaya, alam, sejarah, bahari, religi, agro, kuliner, dan wisata petualangan, outbond, paket wisata dosmestik, cendera mata, dan kerajinan.

Panitia memasang target jumlah pengunjung yang akan datang 20.000 orang, mengingat pameran ini diadakan menjelang liburan panjang sekolah.

Sejumlah paket wisata ke destinasi andalan seperti Bali, Manado, Bandung, dan Jogja diperkirakan diminati pengunjung pameran ini. Namun bisa jadi perkiraan itu salah, mengingat banyak destinasi baru yang belakangan ini mendapat permintaan banyak seperti paket wisata Laskar Pelangi ke Belitung yang booming setelah filmnya beredar dan sukses di pasaran. Atau juga paket wisata ke Jakarta, mengingat ada wahana baru yang dirilis pas liburan panjang seperti Histeria di Taman Impian Jaya Ancol yang akan membuat histeris pengunjung.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Hari Museum Indonesia 24 Desember



Seminar Hari Museum Indone-sia (HMI) yang diseleng-garakan Direktorat Museum, Ditjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan (Kemenbudpar) di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta selama 2 hari (22-23/5), berhasil merumuskan tanggal HMI pada 24 Desember. Tanggal tersebut diambil dari terbentuknya Djawatan Kebudayaan ‘Urusan Museum’ tahun 1957.

Menurut Direktur Museum, Ditjen Sejarah dan Purbakala, Kemenbudpar Intan Mardiana, tujuan utama seminar HMI ini memang untuk merumuskan tanggal HMI. “Bila nanti tanggal HMI sudah dirumuskan dan ditentukan maka seluruh museum di Indonesia dapat merayakan HMI baik secara nasional maupun di masing-masing museum mulai tahun 2011,” jelasnya.

Perumusan tanggal HMI berlangsung lancar. Tim perumus yang dipimpin Dr. Agus Aris Munandar dengan anggota yang terdiri atas beberapa tokoh permuseuman Tanah Air antara lain Prof. Dr. Djoko Suryo, Prof. Dr. Edi Sedyawati, Dr. Daud Aris Tahudirjo, KRT Thomas Haryonogoro, dan Direktur Museum merumuskan 3 hal. Pertama, pertanyaan tentang perlukah kita memiliki HMI? Kedua, menawarkan 4 alternatif calon tanggal HMI. Keempat tanggal tersebut adalah 28 Oktober 1890 yakni tanggal berdirinya Museum Radya Pustaka, 6 November 1935 berdirinya Museum Sono Budoyo, 24 April 1778 terbentuknya Museum Nasional, dan 24 Desember 1957 terbentuknya Djawatan Kebudayaan ‘Urusan Museum’. Dan ketiga, program peringatan HMI.

Beragam pendapat terlontar mengenai perlu tidaknya HMI. Ada yang bilang HMI tidak perlu karena sudah punya hari peringatan museum masing-masing. Namun lebih banyak peserta yang menyatakan HMI itu perlu untuk meningkatkan kualitas permuseuman sehingga tim peremus akhirnya memutuskan bahwa HMI itu perlu ada dan diperingati.

Saat pemilihan tanggal HMI juga terjadi perdebatan cukup alot. Beberapa peserta menentukan pilihan tanggal HMI disertai dengan argumen kuat masing-masing. Salah satu peserta dari luar Jawa misalnya menganggap dua tanggal pertama terlalu Jawasentris. Ada pula yang berpendapat tanggal terbentuknya Museum Nasional sangat tepat dijadikan tanggal HMI mengingat Museum Nasional mewakili bermacam koleksi dari seluruh Indonesia sekaligus melambangkan persatuan dan perayaannya bisa dilanjutkan dengan peringatan Hari Museum Internasional yang jatuh pada 18 Mei.

Sesi pertama belum juga menghasilkan tanggal HMI. Justru muncul dua usulan baru untuk menambahkan 2 tambahan tanggal alternatif lain. Usulan pertama datang dari Kepala Museum Joang 45, Jakarta Setia Gunawan. Dia mewakili 11 museum dibawah Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta mengusulkan supaya tanggal HMI disamakan dengan tanggal Hari Museum Internasional 18 Mei dengan alasan perayaannya akan lebih praktis. Usulan tersebut ditolak tim perumus yang diamini seorang peserta dengan dalih untuk memakai tanggal tersebut harus meminta izin terlebih dulu dengan dewan permuseuman internasional dan prosesnya panjang. Akhirnya usulan tersebut tidak dimasukkan dalam daftar pilihan calon tanggal HMI.

Usulan kedua datang dari Kepala Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta Sri Ediningsih yang mengusulkan supaya tanggal perumusan HMI 23 Mei 2010 dimasukkan sebagai salah satu calon tanggal HMI mengingat tanggal tersebut menjadi tonggak bersejarah penentuan HMI oleh insan permuseuman Tanah Air. Meski sempat disanggah oleh seorang peserta dengan alasan tanggal tersebut dianggap telat untuk dijadikan HMI, namun sejumlah peserta menyetujui usulan tersebut sehingga tim perumus mencantumkannya sebagai pilihan kelima calon tanggal HMI.

Sesi kedua, tim perumus akhirnya mengambil keputusan dengan menggunakan voting untuk menentukan suara terbanyak pemilihan tanggal HMI. Ada 57 pemilih yang mengikuti voting. Hasilnya, tanggal 24 Desember memperoleh 24 suara sekaligus menjadi pemenang. Tanggal 23 Mei mendapatkan 20 suara sebagai peringkat kedua. Tanggal 24 April memperoleh 6 suara sebagai peringkat ketiga. Tanggal 6 November dan 28 Oktober, masing-masing mendapat 4 dan 3 suara sebagai peringkat ketiga dan keempat.

Usai merumusan tanggal HMI yang jatuh pada 24 Desember, tim perumus membacakan program-program peringatan HMI yang semestinya dilaksakan baik secara nasional maupun oleh masing-masing museum. Ada tiga program yang dirumuskan. Pertama, peringatan HMI tidak hanya pada hari H, tapi dapat berupa bulan museum. Kedua, ada program penelitian untuk meningkatkan kualitas informasi. Dan ketiga, ada kegiatan pemberian penghargaan museum, semacam award untuk bermacam kategori, misalnya kategori museum terbaik dan penghargaan bagi insan permuseuman yang telah berjasa demi kemajuan permuseuman Tanah Air.

Sebelum diskusi perumusan tanggal HMI, Seminar HMI pada hari pertama (22/5) menampilkan pembicara Dosen Arkeologi UGM Dr. Daud Aris Tanudirjo yang membawakan makalah bertajuk “Mengubah Pola Pikir Masyarakat untuk Cinta Museum”. Dilanjutkan Prof. Dr. Djoko Suryo dengan makalah “Museum dari Perspektif Sejarah”. Setelah rehat, tampil Dr. Agus Aris Munandar yang membawakan makalah berjudul “Peran Hari Museum dalam Pengembangan Museum di Indonesia”. Dan pada hari kedua (23/5), tampil pembicara Prof. Dr. Sedyawati dengan makalah bertajuk “Museum untuk Persatuan dalam Perbedaan”.

Berdasarkan pantauan penulis, Seminar HMI tingkat nasional ini gaungnya kurang terdengar. Seolah cuma terbatas untuk orang-orang museum saja. Kondisi tersebut terjadi karena sebelum pelaksanaan tidak ada konferensi pers. Dan saat pelaksanaan, media yang meliput pun hanya segelincir. Padahal seminar ini cukup berbobot dengan menghadirkan sejumlah narasumber yang cukup andal. Kabar yang terendus dari panitia, penyebabnya lagi-lagi lantaran keterbatasan dana. Benarkah?

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Jumat, 21 Mei 2010

Jogja dalam Secangkir Wedang Ronde



Jogja malam hari penuh warna. Bukan sekadar pekat, bukan cuma remang-remang. Banyak tingkah laku yang dihadirkan penghuninya, terlebih pengunjungnya. Dan pastinya, ada kehangatan lain yang disuguhkan kota romantis ini. Ya..seperti secangkir wedang ronde, begitulah Jogja jelang malam hingga pagi. Beragam isinya, bermacam warnanya, dan tentu saja menghangatkan.

Kelam sudah menyelimuti langit Jogja saat Kereta Taksaka dari Stasiun Gambir Jakarta berhenti di Stasiun Tugu Jogja. Hampir 10 jam kereta eksekutif itu melaju di atas rel menempuh jarak ratusan kilometer.

“Becak Oom, lima ribu saja diantar sampai hotel,” rayu salah seorang tukang becak yang berderet di depan pintu keluar Stasiun Tugu. Beberapa tukang becak lainnya juga senada menawarkan jasa antarnya. Namun tetap santun.

Anehnya ketika ditanya berapa ongkos ke Museum Benteng. Salah seorang tukang becak memasang tarif Rp 20.000. “Tadi katanya lima ribu sampai hotel,” kata rekanku aneh. “Jauh Om, harus muter dulu. Yo wis 10 ribu aja lah,” balasnya.

Merasa kecele, akhirnya kami menyetopkan andong, kereta berkuda. Setelah sepakat dengan harga Rp 15.000, kami melaju. Tuk-tik-tak-tik-tuk, begitu suara sepatu kuda beradu dengan aspal Malioboro, jalan utama wisata kota ini.

Menyusuri Malioboro malam hari dengan berandong, menemukan warna Jogja tersendiri. Lampu-lampu jalan khas Malioboro bercahaya, tak redup tak pula begitu terang. Pijar lampu neon dan bohlam di sepajang kiri-kanan jalan ini menandakan kehidupan di jalan ini terus menggeliat, meski malam kian merayap.

Tak pernah mati, begitulah suasana jalan yang gaungnya sudah memancanegara ini. Di sebelah kanan, deretan pedagang kaki lima yang menjual aneka macam batik, aksesoris, kaos, tas, dan sandal ramai diserbu pembeli. Kondisi serupa terlihat di beberapa toko batik ternama di jalan itu yang menjual aneka batik yang lebih berkualitas.

Kusir, atau sopir andong terlihat lebih ekstra hati-hati melawati jalan ini. Maklum padat. Di sebelah kiri ada beberapa andong dan deretan becak yang tengah parkir tertata. Di sebelah kanan, ramai oleh lalu-lalang pelancong yang tengah menikmati suasana malam Malioboro. Hampir saja salah seorang perempuan muda dicium kuda andong ini karena jalannya terlalu ke tengah.

Setibanya di depan gerbang masuk Benteng Vredeburg, sejumlah pelancong tengah berfotoria berlatangbelakang gerbang museum kokoh ini. “Ambil yang keren ya, buat foto profil facebook gue,” seru salah seorang di antaranya. Sebelum gerbang di depan parkir terpampang beberapa spanduk kegiatan di museum ini, salah satunya Seminar Hari Museum Indonesia yang diselenggarakan Direktorat Museum, Ditjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan pada 22-23 Mei 2010.

Pendatang dari berbagai kota, rupanya yang ‘menghidupkan’ kota ini dibanding penghuninya. Warga Jogja, justru sudah banyak yang terlelap usai didera rutinitas seharian. Hanya segelincir yang masih setia melayani pelancongnya, terutama para pedagang, pemilik becak dan andong serta pengamen.

Begitu pula dengan kaum mudanya. Sebagian besar yang hinggap di trotoar Malioboro hingga Museum Benteng adalah para pelancong yang tengah berlibur. Anak-anak Jogja justru kena wajib belajar jam 7 sampai dengan 9 malam.

Di kantong-kantong hiburan malam Jogja seperti tempat dugem, karoke dan lainnya, wajah kaum muda terutama mahasiswa mendominasi. Dan juga lagi-lagi para pelancong yang gemar ajip-ajip.

Buat berlibur, Jogja memang tempatnya. Begitu pun bagi penikmat wisata kuliner. Beragam kuliner tradisional yang disajikan kota gudeg ini. Bukan cuma gudeg dan bakpia tapi bermacam kudapan lain seperti wedang ronde, nasi goreng, dan mie jawa khas Jogja.

Harganya? jelas terjangkau. Jangan lagi takut dikemplang meski masih ada beberapa pedagang yang ‘nakal’, memanfaatkan kesempatan dengan menaikkan harga sedikit tinggi bila tahu yang membelinya pendatang.

Namun semahal-mahal harga yang dipatok, tak semahal harga di kota lain. Sampai ada anggapan, semahal-mahalnya di Jogja tetap terjangkau oleh kalangan mahasiswa. Makan nasi goreng misalnya masih ada yang seharga Rp 5.000 per porsi. Kos dengan fasilitas lengkap ber-AC dan kamar mandi di dalam, harga sewanya ada yang Rp 500.000 per bulan. Coba di kota lain, rasanya sulit mendapatkan harga semenarik itu.

Penginapan murah dan lumayan bersih mulai dari harga puluhan ribu per malam pun mudah ditemukan di dekat Malioboro, Stasiun Tugu dan pusat kota ini. Itu juga yang membuat turis lokal dan mancanegara kelas backpaker betah tinggal berlama-lama.

Harga Terjangkau
Itulah salah satu daya tarik Jogja hingga membuat banyak orang dari berbagai penjuru kota dan daerah lain mengunjungi dan menghuninya. Ada yang kuliah dan tentu saja berwisata bahkan tak sedikit yang bekerja dan menetap di kota ini.

Namun untuk urusan cari uang, banyak yang bilang Jogja bukan tempatnya. Buktinya banyak lulusan kuliahnya yang mencari pekerjaan di luar Jogja, terutama ke Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Batam, Bintan, dan kota lainnya.

“Ya benar, Jogja itu enak buat santai dan tinggal. Tapi kurang enak buat cari duit,” kata Memet, lulusan salah satu universitas di Jogja yang baru habis kontrak kerja di Bintan, Kepulauan Riau kepada penulis di Bandara Hang Nadim, Batam saat hendak bertolak ke Jogja.

Beda lagi bagi I’in. Perempuan berjilbab asal Indramayu, Jawa Barat ini justru menjadikan Jogja sebagai kota tumpuan hidupnya kini. Usai menamatkan kuliah di UII, lalu dia bekerja di salah satu perusahaan swasta dan ngekos di kota pelajar ini. “Meski UMR-nya kecil dibanding kota besar lain, tapi mencukupi untuk hidup karena serba terjangkau,” jelasnya.

Malam kian larut. Di sepanjang Malioboro hingga Museum Benteng masih berdenyut. Denyutannya terlihat dari aktivitas pelancong yang duduk-duduk di teras-teras trotoar sepanjang jalan, terutama di depan Benteng dan Istana Presiden. Ada yang sambil menikmati wedang ronde di depan gerbang Paguyuban Pasar Sore Malioboro (PPSM), dekat dengan Museum Benteng. Harga secangkirnya Rp 5.000 diiringi alunan lagu rekaman dangdut Isi Dahlia dan Ike Nurjanah. Ada juga yang sedang menyantap sate ayam murah meriah Rp 3.000, isi 10 tusuk atau sekadar menyuruput kopi dengan dihibur nyanyian pengamen jalanan.

Saat asyik menikmati secangkir wedang ronde, ada pesan pendek masuk di ponsel. “Mas..jalan aja ke ujung Malioboro, di sana ada Sarkem. Tinggal pilih aja perempuan yang mas suka buat malam ini,” begitu isinya.

Rupanya rekanku yang menetap di Jogja itu, ingin menawarkan ‘kehangatan’ lain dari kota bersejarah ini. Aku cuma senyum membaca pesan itu lalu membalasnya. “Ah, nanti kalau ke sana, aku dipilih jadi lurah Sarkem lagi hehe”.

Seperti secangkir wedang ronde, begitulah 'warna' Jogja kala malam hari. Segala macam tingkah pola penghuni dan pelancongnya ibarat isi wedang tersebut. Ada kolang-kalingnya, kelepon putih berisi gula, kacang tanah, potongan roti kotak-kotak kecil, dan tentu saja air jahe yang menghangatkan tubuh peminumnya.

Bila dulu ada pameo, belum ke Jogja kalau belum ke Tugu. Rasanya kini bisa ditambah, belum sempurna ke Jogja kalau belum menikmati secangkir wedang ronde. Ah Jogja, memang bikin kangen sejogja-jogjanya.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Adji & Wiko

Read more...

Mengabadikan Pulau-Pulau Cantik Anambas-Batam


Ssssssttt.., Jangan diam termangu apalagi tidur saat mengudara dari Bandara Matak, Anambas menuju Bandara Hang Nadim, Batam. Buka mata, lihatlah ke bawah. Di sana ada pulau-pulau cantik beragam bentuk yang muncul di tengah lautan. Ambillah kamera, lalu abadikanlah.

Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memiliki 238 pulau. Yang berpenguni baru 26 pulau, sisanya (212 pulau) masih kosong alias tak berpenduduk termasuk di dalamnya 5 pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara tetangga.



Dengan kondisi berpulau-pulau, kabupaten ini hanya terbagi menjadi 7 Kecamatan, yakni Kecamatan Siantan, Siantan Tengah, Siantan Timur, Siantan Selatan, Palmatak, Jemaja, dan Kecamatan Jemaja Timur. Di sebelah Utara, kabupaten ini berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan dengan Kepulauan Tembelan, sebelah Barat dengan Laut Cina Selatan, dan sebelah Timur dengan Laut Natuna.

Dengan kondisi berpulau-pulau, kabupaten ini hanya terbagi menjadi 7 Kecamatan, yakni Kecamatan Siantan, Siantan Tengah, Siantan Timur, Siantan Selatan, Palmatak, Jemaja, dan Kecamatan Jemaja Timur. Di sebelah Utara, kabupaten ini berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Selatan dengan Kepulauan Tembelan, sebelah Barat dengan Laut Cina Selatan, dan sebelah Timur dengan Laut Natuna.

Rasanya tak mungkin dapat menjelajahi semua pulaunya dalam sepekan. Selain waktunya tak cukup, akses untuk menjangkau semuanya juga sulit. Hanya dengan transportasi laut yang jumlahnya juga belum memadai.

Untuk menyiasatinya, pilihlah pulau-pulau yang memiliki potensi wisata luar biasa, baik yang sedangdikembangkan maupun yang belum dipoles sama sekali. Masing-masing pulaunya memiliki pesona dan daya tarik tersendiri.

Kalau suka berwisata bahari rasanya kabupaten ini punya segalanya. Anda bisa datangi Pulau Penjalin, Kecematan Palmatak. Pemandangan alam pulau ini sangat indah berhias pulau-pulau mungil di sekitar perairannya. Pantainya berpasir putih dan lembut sangat cocok untuk tempat berjemur dan melakukan bermacam aktivitas pantai lainnya. Perairannya tenang, berair biru dan dihiasi ornamen bebatuan bermacam bentuk dan ukuran, sangat cocok untuk tempat berolahraga air seperti menyelam, snorkeling, berenang ataupun bersampan.

Gugusan Pulau Penjalin ini rencana akan ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status cagar alam atau mungkin taman nasional laut. Untuk menjangkau pulau ini dari Tarempa, Ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas dapat ditempuh dengan perahu kayu motor atau pompong sekitar 3 jam atau kalau dengan speedboat waktu tempuhnya lebih cepat.

Dilanjutkan ke Pulau Durai, pulau mungil yang juga berlokasi di Kecamatan Palmatak. Di pulau ini Anda bisa melihat penyu bertelur di bentangan pasir putih nan lembut. Menjelang sore puluhan penyu betina mendarat ke pantai lalu menggali pasir pantai kemudian bertelur. Setelah itu penyu menutup lubang yang berisi puluhan telur kemudian kembali ke laut.

Kalau suka menyelam, datang saja ke Pulau Bawah di Kecamatan Siantan Selatan. Panoramanya indah dengan pantai berpasir putih dan halus, air lautnya biru lengkap dengan terumbu karang dan bermacam ikan hiasnya. Lokasinya dapat ditempuh dari Matak dengan menyewa perahu kayu bermotor maupun speedboat.

Lokasi lainnya Padang Melang, sebuah pantai panjang yang berada di Kecamatan Jemaja ini dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda 2 selama lebih kurang 30 menit dari Letung, Ibukota Kecamatan Jemaja. Pantai ini punya keistimewaan sendiri. Panjangnya mencapai lebih 7 kilometer. Pasirnya sangat landai dan bentangannya cukup lebar sehingga sering digunakan masyarakat untuk lomba volley pantai bahkan motor cross.

Bila belum puas lanjutkan ke Selat Rangsang yang memiliki pemandangan alam yang menawan berupa beberapa pulau berbukit yang rimbun. Perairan tenang yang berada di Kecamatan Siantan Timur ini sangat cocok untuk tempat bersantai sambil melakukan berbagai aktivitas bahari seperti snorkeling, renang, dan bersampan atau sekadar berjemur di pantainya yang berpasir putih dan halus.

Lokasi menyelam lainnya ada di Perairan Pulau Berhala yang dikenal sebagai salah satu lokasi menyelam dan snorkeling terbaik di Kepulauan Anambas, tepatnya di Kecamatan Jemaja. Di perairan ini Anda juga dapat melihat lebih dekat kehidupan masyarakat melayu pesisir yang memelihara bermacam ikan karang dan konsumsi di perairan tersebut. Lokasinya sangat dekat dengan pelabuhan Jemaja atau bisa juga dari Padang Melang dengan ojek sepeda motor sekitar 20 menit.

Masih ada sejumlah obyek wisata bahari lain di kabupaten ini yang tersebar di sejumlah kecamatan. Di Kecamatan Palmatak misalnya ada Pulau Kelong, Semut, Pahat, dan Pulau Batu Alam serta sejumlah pantai indah dengan pemandangan bawah laut berupa aneka ikan dan terumbu karang. Di Kecamatan Jemaja ada sejumlah pantai menawan seperti Pantai Air Raya, Kresik Rewak, Kuku, Keramut, Pantai Nguan Bay, dan Pulau Ayam.

Sedangkan di Kecamatan Jemaja Timur ada Genting Pulur lokasi pemukiman masyarakat melayu pesisir dan Juga Bukit Padi tempat contoh persawahan. Di Kecamatan Siantan Selatan ada Pulau Mengkait dan juga Telaga. Di Kecamtan Siantan Timur ada Pulau Temawan, dan di Kecamatan Siantan Tengah ada penambakan bermacam ikan laut di Desa Air Sena dan Desa Air Asuk serta sentra pembuatan sampan dan perahu kayu bermotor (pompong).

Di Bawah Negeri Awan
Sisa pulau yang belum dikunjungi di kabupaten ini, jelas masih banyak. Sementara waktu terbatas. Nah, sewaktu terbang pulang dari Bandara Matak, Palmatak ke Bandara Hang Nadim, Batam itulah kesempatan untuk melihat sejumlah pulau lainnya yang belum disinggahi, dari atas ketinggian. Seperti yang penulis lakukan usai menghadiri acara peluncuruan buku Mak Atun, Pejuang Kesehatan di Tapal Batas di Tarempa, pertengahan Mei lalu.

Bila terbang dalam kondisi cuaca cerah, dipastikan akan mendapat pemandangan yang jelas, baik bentuk pulau, hutan belantara, maupun bentangan pantainya. Gugusan awan putih yang berarak-arak menjadi ornamen alam yang kian memperindah pemandangan.

Dengan pesawat Deraya berkapasitas duduk 36 seat, Anda bisa menikmati suguhan berbeda pulau-pulau cantik antara Anambas-Batam di bawah negeri awan. Waktu tempuhnya sekitar 1 jam lebih. Sayangnya Anda harus mencarter pesawat ini, karena tidak lagi beroperasi secara reguler. Pilihan lain naik pesawat RAL dari Matak ke Tanjung Pinang. Tarifnya sekitar 800.000 per orang.

Selagi di atas, siapkan kamera lalu jepretlah pulau-pulau tak berpenghuni dan masih perwan itu. Untuk sementara, rasa penasaran Anda akan terobati. Suatu hari, bila ada kesempatan, Anda pasti bisa mengunjungi dan mengeksplor pulau-pulau itu lebih puas.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Kamis, 20 Mei 2010

Ayo Ikut Lomba Foto Sadar Wisata 2010


Suka berwisata dan motret? Cobalah ikuti lomba foto Sadar Wisata 2010 untuk umum yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengembangan Pariwisata (Ditjen PDP), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar). Siapa tahu Anda beruntung mendapatkan hadiah uang dari jumah total 31,5 juta. Penyerahan foto yang terbuka untuk umum ini mulai 10 April s/d 10 Juli 2010.

Menurut Dirjen PDP Kemenbudpar Firmansyah Rahim, lomba foto ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam menyebarluaskan destinasi pariwisata yang dikunjunginya kepada khalayak luas. “Lewat foto yang menarik, orang dapat tertarik untuk datang ke destinasi wisata. Apalagi foto tersebut memenuhi unsur Sapta Pesona. Dan foto tersebut bisa saja hasil karya masyarakat umum atau fotografer amatiran, “ jelasnya di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, (19/5).

Juara pertama lomba foto ini berhak atas uang Rp 10 Juta, tropy Menbudpar dan piagam. Juara kedua dan ketiga, masing-masing Rp 7,5 juta dan Rp 5 Juta serta tropi dan piagam. Sedangkan juara harapan satu, dua, dan tiga masing-masing Rp 3 juta, Rp 2 juta, dan Rp 1 juta serta piagam.

Tim juri lomba foto ini terdiri atas lima orang yakni ketua Arbain Rambey (ahli Fotografi), dan empat anggota; Sigit Pramono, Darwis Triadi, Bambang Wijarnarko, dan Erwin Nurdin.

Setiap peserta maksimal mengirimkan 5 foto, baik foto digital maupun konvensional dari berbagai jenis kamera. Foto yang dikirim yang berukuran minumum 30 Cm dan menyerahkan file digital dengan sisi panjang minimum 3.000 pixle format JPG dalam bentuk CD. Sedangkan foto dari film harus menyertakan klisenya. Di balik foto dilekatkan kertas yang memuat judul foto, nama, alamat, & nomor telp/HP pemotret, lokasi pemotretan, dan data teknis foto. Semua karya foto dimuat dalam amplop tertutup dan di sudut kiri artas amplop ditulis Lomba Foto Sadar Wisata 2010.

Foto dikirim ke Sekretariat Panitia Lomba Foto Sadar Wisata 2010 di Gedung Sapta Pesona, Kemenbudpar, Jakarta paling lambat 10 Juli 2010. Foto yang masuk akan dinilai tim juri pada 16 Juli 2010.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

53 Museum Ikut Lomba Toilet Umum Bersih


Dari total 275 museum di Indonesia, hanya 53 museum yang bersedia mengikuti Lomba Toilet Umum Bersih di Museum 2010 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata (Ditjen PDP), Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) dalam rangka program Sadar Wisata. Ini membuktikan bahwa sebagian besar toilet umum di museum masih buruk.

Penghargaan Toilet Umum Bersih di Museum 2010 ini merupakan tindaklanjut dari penghargaan serupa di Bandara tahun 2009. Menurut Direktur Jenderal PDP Kemenbudpar Firmansyah Rahim, penghargaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja para pengelola museum untuk memperbaiki toilet umumnya sehubungan dengan Tahun Kunjungan Museum. “Dengan kegiatan ini, banyak museum yang memperbaiki toilet umumnya, bahkan ada yang dibongkar atau direnovasi lagi,” jelasnya di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, (19/5).

“Sebenarnya kami sudah mengirimkan surat kepada semua museum, namun yang mengembalikan surat dan bersedia mengikuti lomba tersebut hanya 53 museum,” terang Endang Sriwiganti, Kasubdit Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Museum, Ditjen Sejarah dan Purbakala yang merangkap anggota tim juri.

Menurut pemerhati toilet Enny Boediarjo S yang juga anggota tim juri, penilaian Lomba Toilet Umum Bersih di Museum ini mencakup tiga hal, yakni harus memenuhi standar umum toilet internasional, perawatan yang baik, dan kenyamanan. “Standar umum menyangkut bersih dan sehat. Sedangkan nyaman, misalnya ada air panas dan dinginnya, ada musiknya, dan lainya,” jelasnya.

Kendati belum ada penelitian mengenai pengaruh keberadaan toilet di museum terhadap tingkat kunjungan wisatawan ke museum, namun Firmansyah Rahim yakin ada pengaruhnya. “Ini lebih ke citra. Kalau toilet umum di museum itu sesuai standar umum, bersih, dan nyaman pasti memberi imej yang baik kepada museum tersebut dan orang akan senang datang ke museum tersebut,” jelasnya.

Hal senada juga diakui Enny, bahkan menurutnya keberadaan toilet berpengaruh besar terhadap kunjungan wisatawan, tanpa menyebut seberapa besar pengaruhnya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 12 Mei 2010

Menggapai Atap Dunia Tanpa ‘Cacat’


BISA berdiri di atas Everest (8.850 mdpl), puncak tertinggi Pegunungan Himalaya sekaligus pucuk bumi ini, mungkin jadi obsesi dan kebanggaan banyak pendaki. Sekalipun itu bukan lagi jadi orang pertama, tercepat, termuda, tertua, tanpa oksigen, di jalur tersulit, terbaru, dan prestasi lain dalam meraihnya. Tapi bila pendakiannya berandil kian mengotori atap dunia saja, kebanggaan itu terasa ‘cacat’.

Sejak Sir Edmund Hillary (1919-2008) dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay (1914-1986) asal Nepal berhasil menjadi pendaki pertama di dunia yang menapaki kakinya di puncak Everest, 29 Mei 1953 dengan bantuan tabung oksigen, jelas puncak tertinggi di bumi itu tak lagi ‘perawan’. Namun nama puncak tertutup salju abadi itu justru kian tersohor hingga menghipnotis sejumlah pendaki Eropa dan Amerika untuk mendakinya.

Terlebih setelah Messner dan Habeler menorehkan prestasi baru menundukkan gunung di perbatasan antara Nepal dan Tibet dengan puncaknya di Tibet ini tanpa oksigen tahun 1978. Sejak itu berbondong-bondong pendaki dari benua lain baik berkelompok maupun solo berusaha ingin menggapai puncak yang disebut Chomolangma atau Qomolangma oleh orang Tibet yang berarti Bunda Semesta itu.

Sudah ribuan pendaki yang mencoba menorehkan prestasi dengan berbagai cara untuk meraih Sagarmatha, orang Nepal menyebutnya demikian yang berarti Dahi Langit, namun yang gagal bahkan meninggal justru lebih besar. Penyebab utamanya akibat terluka, kelelahan, dan tentu saja terserang sakit ketinggian, baik HACE (high altitude cerebral edema) atau pun HAPE (high altitude pulmonary edema).

Anehnya, fenomena itu tidak menyurutkan niat pendaki manapun untuk menaklukannya. Justru peminatnya semakin bertambah. Sampai-sampai pemerintah Nepal membatasi jumlah pendaki Everest guna meminimalisir jumlah pendaki yang tewas sekaligus kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat pendakian dalam jumlah besar tiap tahunnya.

Pembatasannya berupa kenaikkan biaya administrasi pendakian baik untuk ekspedisi, solo maupun pemula, termasuk untuk upah Sherpa_julukan yang diberikan kepada penduduk lokal yang bertugas sebagai kuli barang (porter) atau pemasang tali pengaman di sepanjang rute pendakian. Pembatasan lainnya, pendaki di bawah umur 16 tahun hanya boleh mendaki sampai basecamp pertama.

Sejak Everest berhasil didaki, belum banyak pihak yang begitu memikirkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pendakian itu sendiri. Padahal jelas kerusakan sudah mulai ada kendati skalanya masih kecil ketika itu. Namun ketika gunung tersebut dikomersialkan, dimana sejumlah agen wisata berlomba menjual paket perjalanan ke Everest hingga pendakian massal terjadi, banyak pihak baru sadar akan akibatnya.

Terjadi perubahan tujuan pendakian Everest yang semula untuk penelitian ke tujuan wisata dan sekadar pencapaian ego semata, kerusakan parah pun tak terhindari. Everest menanggung sampah yang ditinggalkan para penakluknya yang tak peduli lingkungan. Beragam sampah terutama tabung gas, botol-botol oksigen kosong, peralatan pendaki yang rusak, tenda-tenda robek, kemasan makanan dan minuman, bahkan mayat pendaki yang kandas, akhirnya menyelimuti beberapa bagian puncaknya.

Hingga akhirnya Everest mendapat julukan memalukan sebagai ‘tempat sampah tertinggi di dunia’. Sebuah julukan yang bukan cuma ‘menampar’ pengelola Everest sekaligus pemerintahan setempat, tapi juga para pendaki itu sendiri.

Mendapat stempel tak enak itu, sejumlah pendaki berinisiatif melakukan aksi bersih sampah Everest sejak 1990 hingga kini. Ratusan Kg sampah memang berhasil diturunkan dari aksi terpuji tersebut. Tapi lantaran tiap tahun yang mendaki Everest makin banyak, gunung ini pun tak pernah bisa bebas dari sampah. April tahun ini giliran death zone yang dibersihkan. Di sebut demikian karena zona di ketinggian 8.000 meter atau 26.246 kaki ini minim oksigen hingga membuat banyak pendaki meregang nyawa.

Kendati alamnya sudah tercemar sampah, daya tarik Everest tetap tak terbantah. Dia pun berhasil menghipnotis para pendaki kita. Sejumlah pendaki di Tanah Air berusaha sekuat tenaga untuk menorehkan prestasi sebagai orang pertama Indonesia yang berada di puncak berketinggian sekitar 8,9 Km dari permukaan laut tersebut.

Asmujiono kelahiran 1 September 1971, seorang anggota Kopassus boleh berbangga merebut predikat tersebut pada 27 April 1997 dan sekaligus sebagai orang pertama pula se-Asia Tenggara. Namun kebanggaan yang diakui pemerintah Indonesia itu seolah terusik dengan pengakuan mengejutkan Clara Sumarwati yang mengaku sebagai orang Indonesia pertama yang berhasil mendaki Everest pada April 1996, sekaligus menjadi pendaki perempuan Indonesia pertama.

Pro-kontra terjadi. Entah siapa sebenarnya yang benar. Yang pasti, seperti pendaki-pendaki dari negara lain, masih banyak pendaki Indonesia lainnya yang tertarik untuk menapaki Everest hingga trianggulasinya.

Lalu masih adakah kebanggaan yang didapat bila kedatangan di Atap Dunia hanya kian memperparah kerusakan lingkungannya? Biarlah hati nurani terdalam yang menjawabnya.

Kalau sekadar mencari kebanggaan karena telah berhasil mendaki Everest, rasanya sia bila punya andil mencemarkan lingkungannya. Pasalnya sudah sederet orang beragam profesi, umur, status kelamin, kepentingan, dan juga cara yang berhasil menapakinya.

Bahkan ada yang sukses menggapainya berkali-kali, seperti pendaki gunung Nepal, Apa Sherpa (50). April 2010 ini dia berusaha mencatatkan rekor 20 kali meraih puncak Everest sekaligus menebar abu jenazah pendaki pertama Everest, Sir Edmund Hillary yang meninggal di Selandia Baru, 2008 lalu.

Sekarang saatnya mengukir prestasi menggapai Atap Dunia yang berdingin ekstrim dan berudara tipis tanpa ‘cacat’. Caranya bukan cuma tidak menyumbang sampah sendiri, tapi ikut pula aksi bersih Everest. Kalau belum mampu, cukuplah di gunung-gunung tropis khas negeri kita sendiri yang tak kalah kotornya oleh sampah. Toh, cara itu tak kurang membanggakan.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok.7summits.com

Tulisan ini untuk mengenang 57 tahun keberhasilan Edmud Hillary menapaki Everest, 29 Mei 1953 pada usia 33 tahun hingga mendapat gelar kebangsawan 'Sir' dari Ratu Elzabeth II.

Read more...

Senin, 10 Mei 2010

Serunya Bersepeda Gunung Bromo-Dempo



Indone-sia memiliki sejumlah gunung yang menan-tang untuk didaki dan dituruni dengan sepeda gunung (mountain bike). Dua di antaranya Gunung Bromo dan Gunung Dempo yang berkarakter medan dan pesona alam berbeda. Masih ada beberapa gunung lagi yang kerap digunakan para pengayuh pedal di medan curam dan sulit ini

Gunung Bromo dan Gunung Dempo bukan cuma milik para pendaki gunung. Kedua gunung ini juga sering digunakan para pegiat olahraga wisata sepeda gunung untuk memacu andrenalin-nya.

Gunung Bromo berada di awasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru di Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo, Jawa Timur. Tofografinya variatif berada di ketingggian rata rata 750 sampai 3.670 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan suhu antara 3 hingga 20 derajat celsius.

Alam Bromo khas dengan lautan pasir dan matahari terbitnya, ditambah tradisi budaya Kasado yang rutin digelar setiap tahun oleh Suku Tengger yang menghuni kawasan berudara dingin tersebut.

Untuk menikmatinya, selain berjalan kaki, berkuda, menyewa mobil jeep landrover, dan bersepeda motor, juga bisa dengan bersepeda gunung. Bila tak membawa sepeda gunung pribadi karena jauh dan merepotkan, tak perlu cemas.

Di beberapa penginapan di kaki Bromo ada yang menyewakan sepeda gunung, salah satunya Java Banana Lodge Bromo di Jalan Raya Bromo, Wonotoro, Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Hotel butik yang nyaman dengan pemandangan indah dengan fasilitas berupa pondok, kafe, dan galeri ini menawarkan sewa sepeda gunung dengan harga mulai Rp 650.000 per sepeda.

Sedangkan Gunung Dempo (3159 mdpl) terletak di perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu. Untuk mencapai desa terdekatnya, harus mencapai Kota Pagaralam yang dapat ditempuh sekitar 7 jam perjalanan darat dari Palembang. Bisa juga turun di Lahat, kalau menggunakan bus dari Jakarta ke Bengkulu atau ke Padang.

Dari puncak gunung aktif ini terdapat kawah atau kaldera. Hamparan Provinsi Bengkulu dengan Lautan Hindia dan lembah, terlihat dari puncaknya. Lintasan sepeda gunungnya berada di Kebun Teh Gunung Dempo, Kota Pagaralam, yang dulu di gunakan sebagai tempat pelaksanaan PON XVI tahun 2004.

“Masih ada beberapa gunung dan daerah berbukit yang kerap digunakan para pegiat sepeda gunung seperti Gunung Tangkuban Parahu dan Lembang di Jawa Barat, Gunung Kintamani di Bali, dan Kaliurang, lereng Gunung Merapi di Yogyakarta,” kata Risa Suseanty, atlit perempuan sepeda gunung dowhiller nomor satu di Indonesia usai acara Pocari Sweat Converence Be Active & Healty di 13 Kota di Hotel Ritz Carlton, SCBD, Jakarta Pusat, (8/5).

Menurut brand ambassador Pocari Sweat ini sebenarnya Indonesia masih memiliki banyak gunung lain yang dapat digunakan untuk bersepeda gunung namun jalurnya belum tersedia. “Jadi masih menggunakan jalur yang biasa digunakan pendaki gunung,” terangnya.

Bagi Risa bersepeda gunung selain dapat menikmati keindahan alam dan kehidupan masyarakat sekitarnya, juga menumbuhkan kepedulian akan keasrian alam. “Saya memilih oharaga ini karena dapat memacu andrenalin, back to nature, dan tentu saja bikin sehat & fun ”, kata perempuan yang sudah 17 tahun menggeluti sepeda gunung dan berhasil mengumpulkan medali emas dari beberapa kejuaran SEA Games.

Saat bersepeda gunung nomor downhill (menuruni lintas dari puncak menuju bawah), mojang Bandung kelahiran 23 Oktober 1980 ini mengaku mendapatkan sensasi dan kenikmatan tersendiri dibanding olahraga terkait wisata alam lain.

Dengan bersepeda gunung, lanjut Risa, stamina terkuras dan cairan tubuh banyak yang terbuang. Namun itu bukan soal, sebelum bersepeda dia selalu melakukan pemanasan dan meminum minuman berisotonik seperti Pocari Sweat, begitu juga saat istirahat dan sesudah selesai. “Soalnya minuman ini tidak bikin kembung dan mudah larut dalam tubuh, cepat menormalkan suhu badan, dan tentunya mencegah dehidrasi,” jelas atlit yang tetap tampil feminim dengan riasan make-up dan bulu mata palsu saat bertanding.

Sudah tak terhitung berapa kali perempuan berambut pendek trendi ini jatuh tersungkur atau terpental dari sepeda gunungnya saat berlatih maupun bertanding. Tanda cidera di tangan dan di bagian tubuh lainnya masih membekas. Namun Risa mengaku tetap menikmati. “Kalau kita enjoy dan melakukannya dengan hati senang, apapun risikonya itu bukan masalah. Jatuh saat bersepeda gunung itu hal lumrah. Justru dengan jatuh kita jadi tahu batas kemampuan kita. Untuk mengurangi risiko itu caranya dengan giat berlatih,” imbuhnya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Jumat, 07 Mei 2010

Tiga Perempuan, Tiga Teater, Satu Panggung



Tiga sutrada-ra perempu-an masing-masing menampilkan sugguhan teater berbeda dalam satu panggung di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta semalam (7/5). Ada teater yang menyuguhkan komposisi tarian dan suara dinamis. Dilanjutkan teater realis yang mengisahkan kaitan masa lalu seseorang dengan masa depannya. Dan terakhir teater musikal yang menceritakan perlakuan deskriminatif perempuan Cina.

Seorang perempuan berbaju putih, melayang-layang di udara menjadi suguhan utama dalam pementasan teater tari bertajuk Me, Seruas dengan Tanda Kutip arahan sutradara sekaligus penulis naskah Yuniati Arfan Snn.

Sambil melayang bak bunga ilalang yang tertiup angin musim semi, gadis muda itu mengajak semua orang yang dijumpainya merasakan apa yang dirasakan baik sedih, senang, maupun bimbang. Buatnya dunia itu selalu tersenyum, memberikan damai hingga dia terbang melayang, menembus ruang waktu penuh warna-warni masa kecil dan suara-suara yang menariknya ke masa lalu yang jauh sekali.

Pertunjukan berdurasi 45 menit ini dibagi dalam tiga babak. Dari awal sampai akhir, teater yang memunculkan sisi terdalam manusia yang jarang tersentuh ini sangat kaya gerak imajinatif. Terkadang gerakan para pemainnya sangat lamban hingga mencuatkan keheningan dan kepedihan, tiba-tiba sangat menghentak memunculkan keceriaan dan kelucuan, dan tentu saja melayang-layang yang menghadirkan ketenangan dan keringanan hidup.

Makna pementasan yang mengajak orang untuk tersenyum agar alam membalasnya dengan senyuman terindah ini berakhir dengan happy ending. Sambil membawa balon aneka warna, seluruh pemain menari dan menyanyikan suara hati “...mengejar cita tiada lelah.. mencari cinta begitu indah...”.

Satu Hari, begitu judul pementasan teater berikutnya yang mengupas kisah masa lalu seorang perempuan bernama Mutia yang akhirnya berdampak buruk terhadap masa depannya. Teater berdurasi 40 menit arahan sutradara sekaligus penulis naskah Sari W. Suci ini terbagi dalam 2 babak.

Meski tema yang diangkat dalam teater realis ini sangat umum, namun pemainnya mampu menghadirkan ekspresi yang menarik. Adegan pemerkosaan yang brutal tetap ditampilkan dalam kemasan artistik.

Teater yang mengajak orang untuk melupakan masa lalu yang suram untuk meraih masa depan ini berakhir sad ending. Mutia yang membunuh ayah tirinya yang telah memperkosanya dengan cara meminumkan cairan beracun, akhirnya mengakhiri hidupnya dengan cara minum obat lantaran depresi berat.

Teater terakhir bertajuk Perempuan Itu Cina hadir dengan tampilan setting sederhana bernuansa hitam dan merah nan artistik. Visualisasi tiga lampion dan kostum khas perempuan Cina berikut pemeran utamanya seorang perempuan berwajah oriental sangat mendukung judul tersebut.
Teater berdurasi 45 menit yang terbagi 4 babak arahan sutradara sekaligus penulis naskah Mery Kasiman ini menghadirkan pemain musik cello, perkusi tambur, flute, dan bebatuan.

Yang menarik dari teater ini, berhasil mengkombinasikan harmonisasi suara, bunyi-bunyian dari bermacam alat musik, dan tentu saja gerak sesua tema yang menyatu secara keseluruhan.

Ketiga pementasan teater dalam satu panggung ini dipersembahkan PeQho (baca: Pekho), sebuah komunitas teater yang berdisi sejak 2000. Buat Anda yang ingin menyaksikan pertujukan bertajuk Panggung dari Perempuan (2): “Yesterday Once More” ini masih ada kesempatan hari ini, Sabtu (8/5) pukul 19.00-22.00 WIB di Teater Kecil, TIM. Harga tanda masuknya Rp 40.000 per orang.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Gaya Betawi 70-an dalam Sandiwara Musikal DOEL...



Ada tari Topeng Betawi yang dibawakan perempuan muda dengan enerjik. Ada sejumlah pasangan muda-mudi bergaya tren ala 70-an yang asyik bertamasya dan berpacaran di Monas. Ada street fighting (berkelahi di jalanan) antar pemuda dengan unsur kuda-kuda dan jurus khas silat Betawi. Intinya ada warna lain dari budaya Betawi.

Begitulah salah satu adegan Sandiwara Musikal Betawi (SMB) berjudul DOEL, “Antara Roti Buaya dan Burung Merpati, Kembang Parung Nunggu Dipetik” yang ditampilkan sebelum konferensi pers terkait pementasan SMB tersebut di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta, semalam (6/5).

Usai pertunjukan singkat itu, sejumlah pertanyaan pun mengalir terutama tertuju kepada Maudy Koesnaedi selaku produser sekaligus pemain SMB tersebut. Beberapa pertanyaan lain diarahkan kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) DKI Jakarta Arie Budiman, sutradara Adji N.A, penulis naskah Ratih Kumala, penata gerak Atiem, dan tiga pemain utamanya Ade Firman Hakim sebagai pemeran utama DOEL, Senandung Nacita Mizwar (Usnul), dan Nabilah Zata Dini (Asnah).

Mpok Maudy yang tampil cantik berkebaya khas Betawi warna biru dengan santai menjawab semua pertanyaan. Menurut None Jakarta 1993 ini, pementasan SMB DOEL yang berdurasi 2 jam, bukan hanya sekadar pembinaan kreativitas para alumni Abang None (Abnon) Jakarta dari angkatan 1990-an sampai 2009 melainkan pula untuk melestarikan budaya Betawi.

Menurutnya, SMB DOEL yang ceritanya diadaptasi dari Film berjudul “Si Doel, Anak Sok Modern” tahun 1973 ini menawarkan budaya Betawi dari sisi lain, bukan melulu dari legenda Betawi yang sudah ada.

Biaya produksi SMB DOEL lebih besar dibandingkan pementasan SMB pertama Cinta Dasima tahun lalu. Kata Maudy, penambahan biaya dikarenakan jumlah pemain dan kru-nya lebih banyak dan konstum pemain serta setting-nya tahun 70-an harus dibuat sendiri.

Maudy menargetkan penonton SMB DOEL yang akan dipentaskan pada tanggal 14 dan 15 Mei 2010 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), bisa memenuhi kapasitas kursi gedung tersebut. Kapasitas GKJ 430 duduk dikali 3 kali pertunjukan menjadi 1200-an penonton.

Usai permentasan, Maudy berharap ada pementasan-pementasan SMB di tahun berikut dengan lebih besar dan dipentaskan selama seminggu. Atau dalam bentuk lain seperti konser musik Betawi, film berlatar Betawi, dan lainnya.

Menanggapi hal itu, Arie Budiman menyambut baik pementasan SMB ini dan berharap pula dapat diteruskan pada tahun-tahun berikut sehingga menjadi daya tarik wisata bagi para pelancong nusantara maupun asing di Jakarta yang dipentaskan secara reguler.

Pementasan SMB Doel yang didukung oleh Gubernur DKI Jakarta, Disbudpar DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara ini juga akan diramaikan sejumlah artis ternama lulusan Abnon Jakarta, antara lain Alya Rohali sebagai MC, Adam Jordan dan Atalarik Syach (peragawan), Adji Pangestu (Bapaknya Doel), Maudy Koesnaedi (Ibunya Doel), Eva Marliah, dan Fifi Aleyda Yayha (peragawati).

Pementasan ini juga didukung desainer ‘Restro’ Malik Moestaram yang khusus mendesain fashion show ala 70-an, Raden Sirait, dan desainer kostum Betawi Hj Decy Widhiyanti.

Menurut Maudy lagi, selain pementasan SMB DOEL juga diselenggarakan pameran khas Betawi seperti bermacam souvenir khas Betawi, Kebaya Encim dan bermacam kuliner tradisional Betawi seperti Bir Pletok, Roti Buaya, dan Kerak Telor. “Biar penonton juga dapat menikmati nuansa Betawi yang kental,” akunya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 04 Mei 2010

Antara Maudy, Travelling, Betawi, dan ‘Hutang’


Bicara soal travelling, artis cantik Maudy Koesnaedi punya pengalaman segudang. Maklumlah sejak masih gadis sampai kini, dia masih melakoni hobinya berpergian ke obyek-obyek wisata di Tanah Air. Mengapa pula ibu satu anak ini kembali bersibuk diri memproduseri sandiwara musikal Betawi? Padahal dia asli orang Sunda. Usut punya usut dia mengaku mau melunasi ‘hutang’.

Maudy punya hutang? Mungkin ini pertanyaan yang paling mengusik Anda ketika membaca judul di atas. Pasti Anda heran artis setenar Maudy yang kerap membawakan acara besar baik itu on air di TV maupun off air, bisa begitu. Padahal perempuan ceria ini pun laris manis membintangi sejumlah iklan bermacam produk ternama. Bahkan sampai saat ini dia masih terikat kontrak sebagai bintang iklan salah satu merek ponsel yang rajin menayangkan wajah cantiknya di layar kaca dan sejumlah billboard besar di jalan-jalan utama Jakarta.

Pundi-pundi uang yang dikumpulkannya dari semua itu, tentu sudah lebih dari cukup untuk membiayai kehidupannya, keluarga, dan masa depan anaknya kelak. Apalagi dia juga dikenal sebagai artis elegan yang tetap bersahaja dan tentu saja berimej baik. Lalu kenapa bisa punya hutang? Mungkin ini jadi pertanyaan Anda selanjutnya.

Hutang yang ‘menghantui’ artis yang belum lama ini menjadi juri salah satu acara di Kendari, bukanlah hutang piutang berupa uang atau harta benda. Melainkan hutang atas janjinya sewaktu mengikuti pemilihan Abang None (Abnon) Jakarta beberapa tahun silam.

Ketika itu dia ditanya oleh salah satu juri. Apa yang bisa dilakukannya apabila terpilih menjadi None Jakarta? Dia menjawab, akan mengajak anak-anak jebolan Abnon Jakarta membuat suatu pertunjukan seni yang mengangkat budaya Betawi.

Setelah terpilih menjadi None Jakarta dari perwakilan Jakarta Utara, namanya pun mulai dilirik orang. Sampai akhirnya dia menjadi salah satu artis besar yang telah memainkan sejumlah sinetron, model videoklip, FTV, presenter, bintang iklan, dan juga film layar lebar, baru setahun lalu dia bisa melunasi ‘hutang’nya itu. Dia mengajak Abnon khususnya perwakilan dari Jakarta Utara mementaskan pertunjukkan seni drama musikal Nyai Dasima yang sukses dalam 2 kali pertunjukan.

Tahun ini, istri Erik Meijer ini melunasi satu ‘hutang’nya lagi dengan mementaskan sandiwara musikal Betawi bertajuk DOEL “Antara Roti Buaya dan Burung Merpati, Kembang Parung Nunggu Dipetik”. Dia terlibat kembali sebagai produser sekaligus pemain. Kok, bisa hutangnya dibayar dengan sandiwara musikal dengan judul tersebut? Mungkin ini jadi pertanyaan Anda lagi.

Menyusuri jejak karier Maudy, tak bisa dipungkiri banyak orang yang terkesan dengan aktingnya sebagai perempuan Betawi bernama Zaenab dalam sinetron fenomenal Si Doel Anak Sekolahan (Si DAS) beberapa tahun lalu. Berkat sinetron berlatar budaya Betawi itulah, namanya melesat sebagai artis tersohor di jagat hiburan Tanah Air. Dia merasa ‘berhutang’ dengan sineteron tersebut, karena itulah untuk membayarnya dia mementaskan drama musikal yang diberi judul DOEL....Dengan judul tersebut, seolah Maudy ingin membuktikan bahwa dia bukanlah kacang yang lupa kulitnya.

Sandiwara musikal Betawi yang akan dipentaskannya itu akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada tanggal 14 dan 15 Mei 2010. Menurut pengakuannya, pementasan kali ini lebih rumit dan bikin pusing dibanding pementasan pertama tahun lalu, baik dari jumlah orang yang terlibat maupun perlengkapan pementasannya. Pasalnya melibatkan 200 orang, termasuk para pemainnya yang sebagian besar dari pemenang dan finalis Abnon perwakilan dari seluruh wilayah Jakarta. Kendati begitu dia mengaku senang menjalaninya meskipun harus merogoh kocek pribadi dan mencari sponsor sana-sini, di tengah kesibukannya sebagai artis dan ibu rumah tangga.

Lalu mengapa lagi-lagi dia mengakat budaya Betawi? Apakah pula untuk membayar ‘hutang’ lantaran dia jadi terkenal usai terpilih jadi None Jakarta 1993, dan namanya makin melambung setelah berperan sebagai perempuan Betawi dalam Si DAS? Mungkin ini juga jadi pertanyaan Anda.

Maudy tak menampik itu. Wajar rasanya budaya Betawi melekat didirinya meskipun kedua orangtuanya asli Sunda. Dia lahir dan besar di Jakarta, terlebih belajar banyak mengenai budaya tersebut saat mengikuti pemilihan Abnon dan syuting Si DAS.

“Aku menyukai segala macam pertunjukan seni. Kebetulan aku memahami budaya Betawi makanya aku buat sandiwara musikal berlatar budaya tersebut sekalipun dalam kemasan modern. Kalau pun kelak aku buat pementasan budaya China atau Arab dan lainnya, tetap saja ada unsur Betawinya,” jelasnya kepada Travelplusindonesia dengan wajah sumringah saat memantau latihan persiapan pementasannya di Gedung Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Selatan tadi malam, Selasa (4/5).

Malam merayap pasti. Dengan langkah pasti pula Maudy memberi arahan kepada beberapa pemain sandiwara musikal Betawi yang bakal dipentaskannya beberapa hari lagi. Akan dibawa kemana drama musikal yang diproduserinya ini? Apakah berlanjut di tahun-tahun berikut atau hanya sekadar pelunasan hutangnya?

Dia mengaku belum tahu dan enggan berhutang janji lagi. Yang pasti, jerih payahnya bersibuk diri membuat dua kali pementasan sandiwara musikal berakar budaya Betawi, makin melebarkan sayap keartisannya dan membuat citra positifnya kian berkilau.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Senin, 03 Mei 2010

Suatu Siang di Gedung Joang



Siang itu Gedung Joang’ 45 tetap berdiri anggun seperti biasa. Gedung bekas Hotel Schomper 1 ini masih tetap seperti dulu dengan 6 pilar bergaya Eropa yang kokoh menyangga atap depannya. Namun siang itu, atmosfir petualangan begitu mencuat di gedung yang berdiri tahun 1938 ini. Ada apa gerangan?

Selain atmosfir yang tak biasa itu. Minggu siang di awal Mei, pengunjung Gedung Joang 45 juga nampak berbeda. Wajah-wajah para pegiat wisata, pecinta alam, petualang, dan backpacker datang silih berganti sejak pagi hingga malam.

Mereka yang datang bukan cuma warga Jakarta dan sekitarnya tapi juga dari Eropa dan Malaysia. Ada yang datang sendiri, berdua dengan pasangan atau rekan, ada juga yang berkelompok. Parkiran di depan gedung ini pun dipenuhi mobil dan sepeda motor. Bahkan ada yang parkir di jalan dan halaman gedung sebelah.

Siang itu mereka datang bukan ingin menikmati koleksi gedung itu yang sejak 1974 berganti nama menjadi Muesum Joang 45. Tujuan mereka satu, ingin menikmati kegiatan pameran JUST (Jelajah Untuk Surga Tersembunyi) Travellers @ Weekend yang berlangsung sejak sehari sebelumnya.

Pameran yang rancang Vidyakara Indonesia, kumpulan dari penggiat dan penikmat wisata ini membuat atmosfir geduang ini berubah hangat. Suasana keakraban dan kekeluargaan khas anak-anak alam, begitu terasa siang itu.

Tepat di halaman belakang Museum Joang 45 ini, sejumlah stan sedeharna yang menawarkan aneka perlengkapan kegiatan alam bebas untuk mendaki gunung seperti sandal lapangan, sepatu gunung, ransel, raincoat, kaos, celana dan kemeja lapangan, diserbu para pengunjung yang nota bene para pegiat alam bebas. Maklum harganya lebih miring dibanding harga toko atau pesan secara online.

“Harga barang yang kami jual di pameran ini bisa beda Rp 100 ribu-150 ribuan per item. Soalnya penyelanggara bilang, harganya kalau bisa dimurahin,” jelas Iriel pedagang perlengkapan outdoor lewat internet yang ikut dalam pameran ini.

Bukan cuma bazaar yang diserbu pengunjung, di sudut lain mereka juga menikmati pameran fotografi yang memajang foto-foto keindahan alam Indonesia yang jarang terekspos. Seorang perempuan backpacker asing asal Eropa nampak serius melihat dan mencatat judul foto-foto yang dipamerkan.

Siang itu, beberapa pengunjung juga nampak asyik mengikuti workshop underwater photography oleh Teguh Tirta, dan bedah buku Mountain Climbing For Everybody (MCFE) oleh penulisnya Harley Bayu Sastha serta aksi panjat dinding.

Hari sebelumnya juga ada beberapa workshop lain yang bertujuan untuk menambah ilmu dan pengetahuan tentang dunia wisata dan pecinta alam seperti video travelling dokumentasi oleh Nunu Nugroho, diving oleh Jhon Sijabat, bedah foto eksebisi oleh Arbain Rambe, dan travel journal writing oleh Teguh Sudarisman.

Di pameran yang bertujuan untuk memperkenalkan surga-surga yang tersembunyi di negeri ini, juga membagikan sejumlah doorprizes kenang-kenangan dari penyelenggara.

Sayangnya, hanya segelincir media yang meliput acara ini. Andai saja penyelenggara mengadakan jumpa pers dengan sejumlah media yang konsen di pariwisata, pasti gaungnya akan lebih luas diterima masyarakat dan pastinya yang datang jauh lebih banyak. “Awalnya kami ingin mengadakan preskon, tapi karena keterbatasan waktu akhirnya acara tersebut ditiadakan,” aku Devi salah seorang panita.

Kendati begitu, pameran ini berhasil membuat suasana Gedung Joang siang itu terasa lebih hidup. Seakan pameran itu menjadi wadah ajangsana serta temu kangen para pegiat wisata dan pecinta alam yang mungkin sudah lama tidak bersua.

Iwoe misalnya, perempuan Indonesia yang tinggal dan bekerja di perusahaan minyak di Malaysia, meluangkan waktu datang untuk menikmati pameran ini bersama Tuti, temannya. Sebelumnya dia bermalam di salah satu hotel di Jalan Gatot Subroto. Anggota komunitas pegiat alam KembaraTropis ini mengaku datang ke JUST Travellers khusus untuk melihat bedah buku MCFE sekaligus bertemu rekan lama sesama serdadu KembaraTropis.

“Senang banget bisa ketemu teman sekomunitas dulu, setelah jutaan tahun nggak ketemu,” ungkapnya kepada Travelplusindonesia usai memborong topi, kaos berwarna merah berlabel I Love RI, dan belasan souvenir bertulisankan I’m Indonesian di salah satu stan sebagai oleh-oleh untuk rekan kerjanya di negeri Jiran itu.

Sekali lagi, kendati pengunjung JUST Travellers yang datang ke Gedung Joang siang itu bukan untuk menikmati koleksi museumnya, namun secara tidak langsung kegiatan ini turut menggaungkan nama gedung yang pernah digunakan oleh Kelompok Menteng 31 antara lain Sukarni, Chaerul Saleh, A.M. Hanafi, dan Adam Malik ini.

Semestinyalah, gedung tua dan bersejarah lainnya membuka pintu untuk tempat pameran dan sejenisnya, agar fungsinya lebih luas dan sekaligus menggaungkan namanya sebagaimana dilakukan Museum Joang 45 ini.

Sebagai informasi, Museum Joang 45 yang berada di Menteng Raya 31, Jakarta Pusat, dibuka setiap Hari Selasa s/d Minggu, pukul 9.00 s/d 15.00 WIB dengan tiket masuk Rp 2.000/orang dewasa.

Koleksi yang dapat dilihat antara lain foto-foto para pejuang, patung, maket, film perjuangan, perlengkapan perang, mesin jahit dan celana panjang yang pernah dipakai Bung Karno saat membacakan teks proklamasi, serta Mobil REP 1 dan REP 2 yang pernah dipakai sebagai mobil dinas Presiden dan Wapres RI pertama.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Minggu, 02 Mei 2010

Indonesia Juara Lomba Tari di Turki



Indone-sia yang diwakili pelajar SMP Islam Al-Ikhlas menyabet juara pertama kompetisi tari dan budaya kelas dunia khusus anak-anak, The 3rd International Children Folk Dance Competition (Golden Sun Competition) di Kota Fethiye, Mugla, Turki pada 21 s/d 29 April 2010.

“Ini membuktikan bahwa bangsa kita unggul di bidang seni budaya. Pembinaan harus terus ditingkatkan dan iklim berkreasi harus diciptakan. Jangan dilarang-larang atau dibatasi, asal kreasi itu tidak melanggar koridor yang ada,” jelas Menbudpar Jero Wacik saat menyambut tim tari SMP Islam Al-Ikhlas di Kedatangan Terminal D2, Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, (30/4).

Di ajang yang diselenggarakan Lykia World Oludeniz, sebuah resort ternama dan termahal di negara Turki ini, tim tari SMP Islam Al-Ikhlas yang beranggotakan 24 siswa-siswi, menampilkan Tari Kipah dari Aceh. Mereka juga menyuguhkan Tari Pendet (Bali), Tari Pukat (Aceh), Tari Piring (Sumbar), Tari Satrio Watang (Jateng), dan Musik Angklung (Jawa Barat).

Ada 16 tim dari belahan negara yang ikut dalam ajang ini antara lain Albania, Azerbaijan, Bulgaria, Cyprus Utara, Georgia, Kazakhstan, Lithuania, Maldova, Montebegro, Rusia, Rumania, Serbia, Turki, Ukraina, Yunani, dan Indonesia yang baru pertama kali mengikuti kompetisi ini, langsung memboyong juara pertama. Padahal dua kali penyelenggaraan sebelumnya, Rusia selalu jadi tim favorit.

“Seharusnya yang ikut ada 27 negara, tapi 11 negara batal karena terhambat penerbangan akibat letusan Gunung Eslandia. Dan kita tidak salah pilih mengajak tim SMP Islam Al-Ikhlas yang dilatih oleh Sanggar Gema Citra Nusantara pimpinan Mira Arismunandar,” jelas Andris dari Avara Indonesia selaku ketua rombongan.

Sebagai tanda penghargaan bagi pemenang, menbupar menjanjikan akan mempertemukan tim tari SMP Islam Al-Ihklas dengan Presiden SBY di Istana Negara dalam waktu dekat.

Hadir dalam penyambutan tersebut, Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni & Film (NBSF) Kemenbudpar Tjetjep Suparman dan beberapa stafnya.

Naskah & Foto : Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Mendaki 9 Gunung Jawa Barat Lewat Buku



2 Mei 2010
For Adji...
“Thx mas udah memberi pelajaran berharga tentang penulisan...mohon masukan”.


Begitu tulisan tangan Harley Bayu Sastha yang ditorehkan dengan pena tinta biru di halaman pertama buku karyanya yang berjudul Mountain Climbing For Everybody Panduan Mendaki Gunung. Buku yang dibelikan rekanku di pameran Jelajah Untuk Surga Tersembunyi (JUST) Travellers @ Weekend di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (2/5) itu juga dibubuhi tandatangan dan namanya.

Membaca tulisan tangannya itu, mencermikan si penulis yang mencoba mengkhususkan di bidang penulisan pendakian gunung ini adalah pribadi yang rendah hati. Tulisan itu membuktikan pula bahwa dia berusaha ingin seperti penggalan puisinya yang tercantum di dalam buku tersebut “...Berdiri di puncak gunung, meruntuhkan segala kesombongan pada diriku...”.

Sejatinya pendaki haruslah seperti itu. Mengubur keakuan dan keangkuhan adalah tujuan utama dari pendakian itu sendiri, bukan semata mengusung dada kebanggaan dan kepuasan atas keberhasilan menggapai pucuk-pucuk bumi itu.

Dan sejatinya penulis harusnya pun begitu. Memberikan sejujurnya apa yang diketahui, dirasakan, dan dialaminya lewat tulisan, tanpa lupa meminta masukan guna menambah, memperkaya, dan menyempurnakan tulisan-tulisan untuk buku terbitan berikutnya kelak.

Sebelum membuka dan membaca buku ini, saya menduga pasti isinya berisi informasi awal pendakian gunung seperti beberapa buku panduan mendaki gunung lainnya. Sebagai 'bekal' pengantar orang untuk mendaki gunung yang benar dan nyaman, tak lebih dari itu. Dan ternyata dugaan itu benar.

Buku setebal 264 hal ditambah galeri foto ini berisi panduan bagaimana mendaki 9 gunung di Jawa Barat, yakni Gunung Gede, Pangrango, Ceremai, Salak, Cikurai, Papandayan, Guntur, Burangrang, dan Gunung Halimun, hasil pendakiannya selama beberapa tahun plus data skunder dari berbagai sumber.

Pra mengurai satu-persatu gunung tersebut, penulis yang juga pengurus Federasi Mountaineeering Indonesia (FMI) ini mencantumkan informasi singkat persiapan dan tips seputar pendakian gunung dari hal 9 s/d 27. Sayang penyajian tulisan terasa kaku dan terkesan menggurui. Andai saja, ditulis dalam bentuk bertutur atau bercerita pasti lebih lentur dan bersahabat, apalagi bila ditambah dengan gambar misalnya foto peralatan pendakian gunung dan lainnya.

Tulisan sekilas Jawa Barat di hal 30 s/d 39 terasa mubazir. Andai penulis mengganti tulisan tersebut untuk menambah tulisan masing-masing gunung dengan informasi mengenai legenda, sejarah keaktifannya atau hal-hal menarik seputar kebiasan unik masyarakat yang tinggal kaki gunung-gunung tersebut, pastinya jauh lebih menarik dan punya nilai lebih.

Sebagaimana panduan mendaki gunung, infomasi ke-9 gunung dalam buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Herman O.Lantang- salah seorang pendiri MAPALA UI ini hanya berisi profil gunung dan informasi bagaimana mendaki gunung-gunung tersebut di jalur pendakian yang sudah tersedia, berikut pos-pos pendakiannya, obyek menarik di gunung dan sekitarnya serta peta rute pendakian sederhana.

Andai saja penulis menulisnya dengan gaya bercerita dan dibubuhi dengan sisi-sisi lain buah pengalaman pendakiannya sebagaimana yang dilihat, dirasakan, dialami, dan didengarnya baik itu hal yang indah, seram, sulit, takjub, dan lainnya, pasti tulisannya jauh lebih ‘hidup’, dalam, dan berwarna.

Sayangnya lagi, foto gunung yang dimuat hitam putih sehingga tak memunculkan keindahannya. Terutama foto Gunung Cikurai hal 166-167, gelap sekali tak sesuai dengan caption-nya yang bertuliskan “Kendahan Sebuah Kerucut Raksasa”. Boleh saja hitam putih, asal masih menampilkan keindahan dan karakter gunung tersebut.

Pencantuman tiga puisi karya si penulis berjudul “Berdiri di Puncak Gunung” yang ditulisnya di Puncak Selatan Gunung Raung pada 2005, “Rindu Nyanyian Alam “(Bogor-2006), dan “Mandalawangi” (alun-alun Mandlawangi-2006) terkesan ingin memberitahukan kepada pembaca bahwa penulis adalah pendaki yang juga berjiwa seni. Penulis seolah ingin bilang bahwa di gunung pun seorang pendaki dapat berkreasi menciptakan sesuatu. Kebetulan si penulis bisa menulis puisi, lalu mencatumkannya dalam buku ini. Itu sah-sah saja, meskipun hanya sebatas pemanis.

Sampul muka buku ini memang nampak elegan dengan warna putih awan berkombinasi biru langit. Tapi kalau diperhatikan lebih detail, terasa ada yang ganjil. Gambar pendaki gunung di cover depan buku ini dengan berjaket biru, berpenutup kepala warna senada, lengkap dengan kacamata khusus besar serta tali karmantel yang melilit di badannya lebih terkesan seperti pendaki gunung bersalju, bukan pendaki yang mendaki ke-9 gunung tropis yang dibahas dalam buku ini.

Pemberian judul buku ini dalam Bahasa Inggris juga meninggalkan pertanyaan. Apakah karena tuntutan pasar biar lebih gaya dan menarik pembeli? Apa benar kalau buku ini mengunakan judul berbahasa Indonesia, jadi ‘murahan’? Dengan penggunaan bahasa asing dalam buku ini seolah-olah meniru judul-judul film kita yang juga banyak berbahasa Inggris. Justru penggunaan bahasa asing itu memberi kesan kita tidak percaya diri dan tidak menghargai bahasa sendiri.

Lepas dari semua itu. Buku terbitan Hikmah (PT Mizan Publika) ini jelas sangat membantu pendaki pemula atau masyarakat awam yang ingin mendaki gunung kendati tak beda jauh dengan buku-buku panduan gunung yang telah lebih dulu hadir.

Upaya Harley memperkenalkan dan mengajak orang untuk menikmati gunung-gunung di Jawa Barat khususnya lewat buku ini patut dihargai dan didukung.

Indonesia masih membutuhkan penulis-penulis yang segar, kreatif, dan menarik untuk mempromosikan kekayaan, keindahan dan kekhasan alamnya (gunung, gua, air terjun, hutan belantara, dan sebagainya) ke dalam bentuk buku maupun wadah lain (blog, buletin, dsb) agar orang lain dapat menikmatinya pula.

Masih banyak yang bisa digali dan ditulis mengenai pendakian gunung-gunung populer maupun yang tidak terkenal dengan menitikberatkan pada sisi-sisi lain, misalnya dari geologinya, flora-faunanya, potensi kepariwisataannya, ataupun petulangan membuka jalur pendakian terbaru. Dan, Harley adalah segelincir pendaki yang baru saja memulai menuliskan buah pendakiannya di jalur umum dalam bentuk buku panduan, sesuai gaya dan kemampuannya.

Ayo mendaki gunung dan menulislah!

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP