. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 30 April 2013

Atmosfir Lain Mendaki Sanggabuana dalam Kegelapan

  • Kendati tingginya di bawah 2.000 Mdpl, gunung yang mencakup 4 kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Kabupaten Bogor di Jawa Barat ini punya atmosfir tersendiri. Terlebih bila mendakinya pada malam hari. Mencekam, mengejutkan, dan penuh tanda tanya mewarnai perjalanan ke puncaknya. 

Ada 4 jalur pendakian untuk mencapai puncak utama Gunung Sanggabuana. Dua jalur langsung ke Puncak 1 yakni dari Purwakarta dan Cigeuntis, Karawang. Dua jalur lagi ke Puncak 2 terlebih dulu yakni jalur dari Desa Mekarbuana, Karawang dan jalur dari Bogor serta Cianjur yang menyatu.

Minggu pagi, tanggal 21 April 2013, tepat Hari Kartini, saya berada di Puncak 1 Gunung Sanggabuana bersama Badri, rekan seperjalanan yang biasa saya sapa adek. Kami mengambil jalur pendakian dari Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru menuju Puncak 2 terlebih dulu, baru keesokan harinya ke puncak utamanya.

Keberadaan kami di puncak yang sekelilingnya pepohonan cukup besar dengan batang-batangnya berlumut ini, bukan untuk merayakan Kartini-an. Bukan pula dalam rangka memperingati Hari Bumi yang jatuh sehari kemudian, 22 April.

Kami semata ingin mendaki gunung mungil berbentuk barisan pegunungan yang menyimpan misteri hingga begitu diminati para peziarah serta pencari pesugihan atau kekayaan/kelancaran/keharmonisan dan lainnya dengan jalan pintas atau tak biasa ini.

Tujuan kami bukan untuk menyibak misteri itu, terutama misteri keberadaan makom-makom-nya yang berbentuk kuburan.

Buat saya pribadi, mendaki gunung ini lantaran penasaran ingin mengetahui bentuknya, medan pendakiannya, penghuni hutannya, dan tentu panoramanya terutama dari kedua puncaknya. Sementara Badri mengaku ingin mengulang kembali pendakian pertamanya yang dulu pernah dilakoninya secara rombongan beberapa tahun silam.

Hal yang membuat saya penasaran ingin segera mendaki gunung ini setelah mendapat informasi keberadaannya sepekan sebelumnya, lantaran gunung ini masuk wilayah Karawang juga.

Semula saya kira kabupaten yang pernah berjuluk Lumbung Padi Jawa Barat dan terkenal dengan Goyang Karawang-nya ini, tidak bergunung sama sekali. Ternyata saya keliru. Gunung ini buktinya berada di wilayah Karawang Selatan yang beberapa bagian wilayah memiliki dataran tinggi berudara sejuk dan persawahan di kaki serta lereng-lerengnya.

Kondisi alam Karawang Utara, itu baru wilayah khas tofografi Karawang, termasuk Karawang Timur dan Barat yakni pesisir pantai, persawahan, dan pemukiman penduduk serta perkotaan dataran rendah yang datar.

Perbedaan lainnya, penduduk di wilayah Utara Karawang, Bahasa Sunda-nya agak kasar. Termasuk yang tinggal di Karawang Barat dan Timur. Mungkin karena adanya pengaruh dan pembauran dengan penduduk wilayah pesisir pantai utara atau Pantura lainnya.

Sementara warganya yang di Selatan, termasuk di sekitar Gunung Sanggabuana ini menggunakan Bahasa Sunda yang standar, sama dengan wilayah Sunda lainnya.

Batu semen yang di tengahnya ada lempengan besi bertuliskan 1.074 mdpl adalah triangulasi yang menandakan tempat yang kami pijaki ini adalah puncak utama atau Puncak 1 Gunung Sanggabuana.

Biasanya triagulasi berbentuk tugu, agak tinggi. Tapi di sini, berbentuk kotak kubus dengan tinggi dan lebarnya sekitar 50 Cm. Tak jauh dari triangulasi ada makom berbentuk kuburan yang tidak ada nisannya dan bentuknya pun sudah berantakan.

Puncak 1 ini berupa tanah lapang cukup datar yang mampu menampung sekitar 3 tenda berkapasitas masing-masing 4 orang.

Setibanya di puncak ini, kami tidak dapat menyaksikan matahari terbit. Cuaca pagi itu masih berkabut dan mendung. Andai saja cerah juga tak akan sempurna melihatnya, lantaran terhalang kerimbunan pepohonan yang mengitari puncak ini.

Kami pun tidak menemukan rombongan pendaki lain. Padahal, sebelumnya saya sempat mengira rombongan pendaki muda dari Bekasi dan Kerawang itu langsung ke Puncak 1 ini semalam. “Kalau kita bawa tenda dan semalam tidur di sini, pasti bakal dapati atmosfir BEDA,” kataku pada Badri. “Iya bang, soalnya sepi, nggak ada pendaki lain,” balasnya.

Kendati tak populer di kalangan pendaki, puncak gunung ini pun tak bebas sampah. Beberapa sampah logistik kemasan plastik, bungkus rokok, dan kardus entah milik pendaki atau peziarah berserakan di bekas tempat pembakaran. Selepas sarapan dengan roti, Badri mengumpulkan sampah-sampah itu lalu membakarnya.

Tak lebih dari  30 menit kami berada di puncak itu, lantaran tak banyak obyek menawan yang bisa membuat kami bertahan lama. Kami hanya memotret pepohonan berakar artisitik dan berlumut, ada juga pohon perdu yang daun-daunnya berwarna hijau berbentuk hati, karenanya saya sebut Pohon Perdu Cinta, dan tak ketinggalan foto narsis. Itu saja. Lalu kembali turun ke puncak 2.

Perjalanan dari puncak 2 ke puncak utama Sanggabuana pagi itu, terbilang kurang berkesan. Pertama, karena sudah agak terang dan tidak menemukan sesuatu yang mengejutkan, entah itu bertemu hewan dan atau lainnya. Kedua, medan pendakiannya pun terbilang mudah dan singkat.

Tak sampai 30 menit, kami sudah sampai di puncaknya walau sempat meragu ketika bertemu dengan setapak bercabang. Namun berkat insting ormed (orientasi medan) yang kuat, kami dengan cepat menemukan jalur yang sebenarnya. Begitupun ketika turun ke Puncak 2. Mulus-mulus saja.

Beda sekali dengan kemarin, sewaktu kami memulai pendakian dari Desa Mekarbuana, sekitar 35 Km dari pusat Kota Karawang. Butuh waktu 6 jam untuk mencapai Puncak 2, itu sudah termasuk istirahat sekitar 1,5 jam di perjalanan. Pendakian dimulai pukul 17.00 WIB atau jam 5 sore sampai di Puncak 2 Pukul 23.00 WIB atau jam 11 malam.

Dan sebelum sampai ke desa terakhir di kaki gunung itu, saya sudah menangkap ada keraguan terselip di hati Badri. Waktu menjemput saya di pertigaan lampu jalan baru Karawang Barat, dia sempat bilang. “Bang, teman-teman saya enggak ada yang bisa ikut lantaran sibuk. Jadi kita berdua aja. Gimana nih?” tanyanya. “Ga apa, nanti kita cari penduduk lokal. Kalau enggak dapat, ya kita berdua. Tenang saja,” balasku meyakinkannya.

Rupanya Badri masih kurang yakin. Di tengah perjalanan, selepas membeli logistik di mini market dan makan siang dengan karedok di warung kecil dekat mini market tersebut, dia bertanya. “Bang, nanti kita mampir ke tempat teman saya dulu. Dia tahu kondisi Sangabuana, siapa tahu dia bisa antar kita. Kalau dia nggak bisa, bang yakin kita nanjak berdua dan malam hari pula,” tanyanya lagi. “Iya lah, kan pakai senter. Bawa senter nggak?” tanyaku santai. “Lupa bang,” balas Badri. “Bentar saya cariin di mini market, mumpung dekat” jawabku.

Benar saja, Badri menyempatkan waktu menjumpai temannya yang akrab dipanggil Kacel.

Dia berharap temannya itu mau menemani kami mendaki.

Sayangnya, Kacel tidak bisa karena malamnya ada acara resepsi pernikahan saudaranya. “Mudah koq jalurnya, 99 % enggak bakal nyasar. Nanti kalau ketemu pertigaan selepas sawah terakhir ambil setapak yang ke kiri, itu jalur trek ke Sanggabuana. Jangan yang ke kanan, itu arah ke Kebon Jahe,” pesan Kacel.

Selepas minum kopi, kami pun berdua melanjutkan perjalanan menuju Desa Mekarbuana.

Dari kejauhan barisan pegunungan berhutan lebat sudah semakin terlihat. Saya yakin salah satunya, atau mungkin di balik pegunungan itu berdiri Gunung Sanggabuana yang kami incar.

Akses jalan menuju desa ini belum sepenuhnya mulus. Mendekati desa ini, jalannya rusak parah, berbatu-batu besar. Dengan sangat hati-hati, Badri mengendari motor matic-nya.

Akhirnya kami sampai di sebuah rumah sebelum tanjakan berbatu. Cuma motor bermesin besar yang melewati tanjakan berbatu itu. Badri menitipkan motornya di rumah yang merangkap warung dan juga tempat parkir motor.

Di ujung desa ini ada belasan rumah merangkap warung dan parkir motor. Ini membuktikan bahwa pengunjung Sanggabuana ramai. Namun yang ramai bukan pendaki yang hendak mendaki Sanggabuana melainkan muda-mudi berpasangan atau keluarga yang ingin berwisata ke Curug Cigeuntis, di kaki gunung ini.

“Setiap akhir pekan ramai pengunjungnya. Apalagi kalau lebaran, pengunjungnya membludak. Jalanan ini sampai macet,” kata pemuda penjaga warung tempat Badri menitipkan motornya.

Selain motor Badri, ada beberapa motor lain yang diparkir di situ. Kata ibu pemilik warung, ada rombongan anak muda dari Karawang dan Bekasi yang baru saja berangkat ke Sanggabuana. “Paling juga baru sampai sawah terakhir, nanti pasti ketemu mereka,” kata ibu itu. Mendengar itu, kami sedikit senang. Berarti nanti ada teman seperjalanan.

Tepat pukul 17.00 WIB atau 5 sore, kami beranjak dari warung itu. Selepas tanjakan berbatu kami sempat ragu. Tapi sebelum berangkat, Badri sempat bertanya sama ibu pemilik warung dalam Bahasa Sunda. Ibu itu bilang, nanti setelah tanjakan berbatu itu, ambil ke kanan. “Kalau jalan ke kiri itu ke Curug Cigeuntis,” kata ibu tadi.

Rupanya Badri mengingatnya, dan jalur yang diambilnya benar. Namun untuk lebih meyakinkan, saya memintanya bertanya lagi dengan seorang ibu lainnya lantaran jalur itu melewati samping rumah penduduk yang sempat bikin saya ragu.

Ternyata benar, setelah melewati beberapa rumah penduduk yang sebagian besar pondasinya diberi penyangga batu, baru nampak setepak menuju persawahan. Di samping kanan setapak itu ada aliran sungai berair jernih dan berarus cukup deras. Kami terus menyusuri setapak itu, di beberapa bagiannya ada perkebunan kopi yang kelihatannya kurang terawat.

Beberapa kali kami berpas-pasan dengan petani yang hendak pulang ke rumah usai bersawah. Setiap bertemu, kami disalami (berjabat tangan), terutama oleh petani yang sudah uzur.

“Penduduk di sini masih ramah-ramah ya bang,” ujar Badri. “Iya, itulah salah satu kepribadian asli Indonesia. Sayang semakin maju, semakin banyak orang Indonesia termasuk orang desa yang keramahannya memudar,” balasku.

Di ujung persawahan terakhir kami menemukan pertigaan yang dibilang Kacel tadi. Untuk lebih meyakinkan, Badri bertanya dengan seorang petani muda yang terakhir kami temui. Dan dia membenarkan rute ke kiri arah ke Sanggabuana. Sementara arah ke kanan melintasi jembatan bambu yang membentang di atas sungai kecil berair jernih, itu ke Kebon Jahe.

Kami sempat beristirahat sejenak di sewung milik penduduk. Setelah itu rute perkebunan kopi dengan medan sedikit menanjak mewarnai perjalanan.

Sebelum perkebunan kopi berakhir, hari sudah gelap. Mata kami sudah tak bisa melihat lagi kondisi jalur. Saya segera mengenakan headlamp dan menyalakannya. Sementara Badri memakai senter tangan kecil barunya. Lumayan juga cahayanya.

Sejak di sawung tadi, saya berjalan di depan Badri. Menapaki medan pendakian pada malam hari ketimbang tadi selagi masih terang, jelas BEDA. Kami merasakan atmosfir lain. Terlebih sebelumnya saya mendengar di gunung ini banyak makom berbentuk kuburan yang dikeramatkan.

Dan atmosfir itu semakin terasa setiap kali melihat bangunan, berupa rumah gubuk dalam kegelapan. Angker, itulah kesan awal yang saya rasakan.

Entah kenapa, biasanya setiap kali mendaki gunung, saya senang kalau bertemu bangunan di jalur pendakiannya. Itu pasti pos atau shelter buat istirahat sejenak.

Lain halnya dengan di Sanggabuana, bangunan itu justru makom berisi kuburan yang dinaungi rumah seperti gubuk. Yang membuat kami tak mau berlama-lama di situ. Melewati saja agak sedikit ketakutan, terlebih dalam kegelapan malam.

Jujur, jantung saya berdebar agak cepat ketika melihat gubuk itu yang ternyata makom kuburan pertama. Di samping makom itu ada pohon besar dan di depannya ada rumah merangkap warung namun tutup.

Saat memasuki areal makom itu, saya mengucapkan salam Assalamu’alaikum dan juga bilang permisi. Begitu juga ketika bertemu makom-makom lainnya di beberapa titik sampai di Puncak 2.

Sempat Salah Jalur
Lepas dari makom pertama itu, perasaan saya agak sedikit tenang. Untuk lebih menenangkan suasana, saya mengajak ngobrol Badri. Kadang bernyanyi-nyanyi kecil. Sampai airnya kami tiba di aliran sungai terakhir di gunung ini.

Setelah menyeberang, ada pancuran air sungai yang kerap dipakai peziarah mandi dan bersih-bersih. Masyarakat setempat menamakannya Pancuran Kejayan.

Keberadaan pancuran ini amat disayangkan. Bagaimana tidak, waktu pertama kali melihatnya terkesan kumuh. Pancuran tersebut ditutupi bentangan lembaran plastik biru sebagai dinding dan karung plastik sebagai pintunya.

Di dalamnya terdapat beberapa pancuran yang terbuat dari bilahan bambu yang ditancapkan di bebatuan yang dialiri air sungai. Di luar dan bagian dalam pancuran itu, saya menemukan banyak celana dalam dan kaos yang tercecer di bebatuan, juga bungkusan samphoo sachetan.

Bayangkan kalau saat musim peziarah tiba, mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan orang yang mandi dan bersih-bersih di sini. Aliran air sabun dan samphoo-nya pasti ikut mengalir ke bawah hingga ke desa di kaki gunung ini. Pencemaran pun tak terhindari, dan entah sudah berapa lama berlangsung.

Melihat kondisi pancuran itu, saya jadi teringat kearifan Suku Badui di Banten yang begitu santun menjaga hutan dan sungai-sungai yang mengalir di dalamnya. Di Badui, warga dan pengunjungnya dilarang mandi mengenakan sabun, samphoo, dan pasta gigi langsung di aliran sungainya. Kalau mau, harus di pancuran yang sudah disediakan.

Aliran pancurannya tidak mengalir ke sungai utama. Pancuran khusus perempuan dan laki-laki dibedakan. Yang menarik kondisi pancurannya, kendati kecil tapi tetap alami dan bersih dengan memanfaatkan bambu-bambu setempat sebagai penutupnya, jauh dari kesan kumuh.

Mungkinkah Pancuran Kejayan di Sanggabuana dan atau pancuran lainnya bisa dibuat seperti di Badui? Semestinya BISA. Dan seharusnya pengelola gunung ini termasuk masyarakat setempat melakukan hal serupa, sebelum terlambat. Mengingat Sanggabuana dengan hutannya yang masih lebat menjadi sumber mata air sungai-sungai yang mengalir di Karawang Selatan.

Sewaktu kami menyeberangi sungai itu, kami berpas-pasan dengan rombongan peziarah ditemani penduduk setempat dan juga kuncen-nya.

Kenapa kami berkesimpulan mereka itu peziarah, karena bisa dilihat dari perlengkapan yang mereka bawa. Tak seorang pun yang membawa ransel khusus mendaki. Dan biasanya, kalau bertemu sesama pendaki pasti sering tegur sapa. Ini tidak sama sekali. Entah mereka seperti buru-buru dan seakan mereka tidak mau diketahui orang lain, habis apa dan dari mana.

Di seberang sungai itu, ada sawung terbuka. Di sana ada beberapa orang tengah istirahat dan di depannya, mereka pasang tenda.

Semula kami pikir mereka rombongan anak muda yang menitipkan motor-motornya di warung yang sama di Desa Mekarbuana. Ternyata bukan. Mereka siswa pecinta alam (Sispala) Wanareksa, SMA Pedes Kabupaten Karawang yang tengah beristirahat.

Sejak jam 3 sore, mereka berada di sini dan berencana bermalam lalu keesokan paginya ke puncak. Mereka tengah mengadakan kegiatan pengembaraan dan survival, didampingi seorang guru pria. Kami pun mampir di sawung itu sekalian istirahat.

Hampir tiap tiga bulan sekali, Sispala Wanareksa mengadakan kegiatan kepecintalaman di gunung ini. “Sanggabuana merupakan gunung favorit pecinta alam di Karawang karena dekat dan murah ongkosnya. Selain itu ada juga Gunung Rungking lewat Tegalwaru,” kata Ozi pelajar kelas 2 SMA sekaligus anggota Sispala tersebut.

Oji juga akui alasan lain mengapa Sanggabuana jadi gunung favorit anak-anak pecinta alam Karawang, lantaran tidak ada pilihan gunung lain. Tidak seperti daerah di Jawa Barat lainnya yang memiliki banyak gunung.

Ketika ditanya kenapa tidak mencoba Gunung Salak, Gede, dan Gunung Pangrango yang letaknya masih di Jawa Barat, Oji punya jawaban yang juga masuk akal. “Sebenarnya mau banget tapi jauh. Ongkosnya mahal buat pelajar seperti kami,” jawabnya. Jawaban itu pun diamini Hasan, temannya yang menyuguhkan kami kopi hangat.

Ongkos mahal. Itulah salah satu kendali pendaki gunung sekarang, mulai era tahun 2000-an. Bukan cuma ongkos transportasi, biaya logistik dan perlangkapan pendukungnya pun ikut-ikutan membengkak.

Jelas ini memberatkan, khususnya buat mereka yang masih sekolah dan kuliah apalagi kebanyakan peminatnya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tak heran kalau hobi mendaki gunung di era kini, buat mereka menjadi salah satu hobi MAHAL. Faktor lainnya, banyak pilihan kegiatan lain seperti touring motor, sepeda gunung, dan lainnya belakangan ini.

Beda sekali dengan kondisi pendaki era tahun 70-an hingga 90-an. Ketika itu biaya transportasi dan lain-lainnya masih teramat murah. Dan belum begitu banyak pilihan kegiatan outdoor. Kendalanya justru akses dan alat transportasinya yang minim.

Contohnya jika dulu ke desa terakhir di kaki gunung-gunung tidak ada ojek motor bahkan jalan pun belum ada. Satu-satunya jalan dengan berjalan kaki. Jadi agak irit.

Tapi sekarang, sudah ada akses jalan dan biasanya pendaki naik ojek motor, sewa angkot dan lainnya yang jelas menambah biaya. Belum lagi sekarang banyak pendaki yang memakai jasa porter yang tarifnya juga menambah ongkos lantaran tak mau susah-susah bawa barang sendiri.

Saya masih ingat, ketika masih kuliah, berpetualang sendirian ke Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1991. Dengan modal tak sampai Rp 500 ribu saya bisa keliling Flores dari Taman Nasional Gunung Kelimutu atau Danau Tiga Warna, mendaki Gunung Meja, ke Situs Rumah Bung Karno di Ende, lalu ke Ruteng dan lanjut ke Labuan Bajo menyeberang dan bermalam ke Pulau Kanawa serta menginap 3 malam di Taman Nasional Komodo. Pulang dari NTT mampir ke Bali dan mendaki Gunung Agung. Dan anehnya uang segitu cukup sampai kembali ke Jakarta, padahal hampir sebulan berkelana sendirian.

Mendengar cerita saya, Oji langsung bilang. “Haaa.., tahun ‘91. Saya belum lahir bang,” akunya agak keheranan.

Sebelum beranjak kembali, saya pun memberi sedikit saran buat Oji yang ingin sekali mendaki Semeru dan juga Hasan yang kepincut dengan Gunung Rinjani.

Salah satu cara agar tetap bisa mendaki gunung, pertama harus fokus ke satu minat, artinya sisihkan hobi lain yang menguras uang jajan, dan kedua, menabung. “Kalau suka yang menantang atau sedikit adventuring, harus punya jiwa nekat. Tapi nekat yang dibekali ilmu dan wawasan, bukan asal nekat,” jelasku.

Mendengar saran itu, Badri langsung berujar. “Jadi abang sekarang nekat nih, naik Sanggabuana malam-malam hehe,” celetuknya.

Apa yang dibilang Badri, saya akui benar. Sejak mendengar Gunung Sanggabuana ada di Kerawang, entah kenapa kenekatan saya muncul dan tak terbendung. Tiba-tiba saya merindukan jiwa kenekatan yang dulu pernah berapi-api sewaktu saya masih berstatus mahasiswa. Dan saya kangen berpetualang yang tak biasa, yang agak menantang, dan bikin jantung berpacu kencang. Bukan sakadar mendaki rame-rame di siang hari, seperti orang antri kondangan, yang unsur petualangannya tidak ada sama sekali.

Tak terasa, lama juga kami duduk dan ngobrol di sawung itu dalam kegelapan. Hampir satu jam. Akhirnya kami pamit beranjak melanjutkan pendakian tepat pukul 19.00 WIB atau jam 7 malam.

Entah kenapa Badri langsung mengambil arah ke sungai. Saya membuntutinya walaupun hati saya ragu. Semakin kedalam koq tetap jalur sungai. “Ini salah de, bukan ini jalurnya,” kataku. “Benarlah bang, tadi ‘kan peziarah itu turun lewat sini, saya lihat sendiri,” kilahnya.

Badri masih penasaran, dia mencoba terus lewati sungai. Sampai mentok di bebatuan yang terjal dan berarus desar. Dia pun ragu.

Feeling-ku makin tidak yakin ini jalur pendakian. “Balik aja de, ini bukan jalurnya,” saranku lagi. Akhirnya Badri mengikuti kataku. Tapi ketika melewati jalur sungai itu tak jauh dari pancuran, dia menemukan kalung tasbih putih, “Ini bang buktinya ada kalung tasbih, pasti punya salah seorang peziarah yang tadi lewat sini,” ujarnya.

Keraguan saya dengan jalur sungai itu benar. Kami kembali ke sawung tempat Sispala Wanakreksa beristirahat. Ketika saya periksa, di sebelah kanan sawung itu ada jalur yang sebenarnya. Lantaran jalur itu dipakai buat tenda oleh Sispala tersebut, jadi kami tidak melihatnya.

Tanjakan 2 Jam
Setelah melewati sawung itu, saya dan Badri tertawa geli. Tapi yang kami heran, sebenarnya siapa rombongan peziarah yang diyakini Badri turun dari jalur sungai itu. Daripada mikir yang tidak-tidak, kami melanjutkan perjalanan lagi.

Kali ini kami menapaki medan pendakian terberat di Sanggabuana. Namanya “Tanjakan 2 Jam”. Tidak ada keterangan pasti siapa yang menamakannya begitu. Namun dalam sebuah tulisan yang saya temukan di internet, asal muasal medan pendakian tersebut dinamakan Tanjakan 2 Jam lantaran siapapun yang menapaki medan yang menanjak terus-menerus itu, membutuhkan waktu sekitar 2 jam pada siang hari.

Menurut tulisan itu lagi, kalau medan tersebut dilalui saat hujan turun, bisa berjam-jam lamanya lantaran jalurnya amat licin dan beberapa bagiannya jadi saluran air alami. Lalu bagaimana kalau mendakinya saat malam hari seperti yang kami lalukan? Di tulisan tersebut tidak dijelaskan, mungkin penulisnya ketika itu mendakinya pada siang hari.

Lama istirahat di sawung itu ternyata membuat otot-otot kaki kami dingin dan ketika langsung dihajar medan menanjak jadi kaget. Kami pun jalan perlahan, menapaki setapak demi setapak medan menanjak yang bikin tubuh kami bermandi keringat. Kami bersyukur, tidak turun hujan.

Entah berapa kali kami beristirahat sejenak karena kelelahan. Kadang di batang kayu yang membentang di trek, di batu, dan juga di tanah agak lapang. Yang pasti jauh dari makom.

Kami memang menemukan beberapa makom lagi yang bikin merinding, juga beberapa bekas warung yang tidak beratap. Mungkin warung itu buka, pas ramai musim peziarah yakni setiap bulan Mulud. Di salah satu warung yang tak beratap, kami istirahat.

Sampah kemasan makanan kecil berserakan di lantai tanah warung itu. Badri mengumpulkannya lalu membakarnya. “Sebenarnya de, cara terbaik untuk membersihkan sampah plastik ini dengan membawanya turun kembali. Kalau dibakar, selain bisa menyebabkan kebakaran juga sisa plastik yang terbakar tetap membekas,” jelasku. “Paling tidak, cara ini bisa mengurangi sampah-sampah plastik yang tak sedap dipandang mata bang,” ujarnya.

Di situ, kami sempat makan roti, minum, dan merokok sambil menunggu bakaran sampah mengecil dan mati. Setelah itu melanjutkan perjalanan lagi.

Selama pendakian malam ini, beberapa kali saya melihat semacam penampakan. Padahal setelah didekati jelas-jelas bukan. Misalnya daun pisang hutan tertiup angin sepoi-sepoi, dari jauh dalam kegelapan malam nampak seperti lelaki tua bersorban tengah berdiri dengan sorban melambai-lambai. Ada juga penampakan makhluk putih besar yang bergerak-gerak, padahal setelah didekati hanya pohon berdaun rimbun yang daunnya berwarna keputihan bergerak-gerak terbawa angin.

Dan yang pasti, mendaki gunung malam begini, tidak begitu menguras tenaga. “Enggak enaknya tidak bisa lihat sekeliling dan jalurnya dengan jelas,” kataku pada Badri yang terus berada di belakangku hingga Puncak 2.

Dan satu lagi, mendaki gunung malam-malam, atmosfirnya jelas beda. Untuk membuktikannya, saya meminta Badri mematikan senternya. Lalu kemudian saya mematikan headlamp. Alhasil dunia gelap pekat yang kami temui.

Saat itulah suara penghuni hutan semakin nyaring terdengar. Ada suara Tonggeret yang sejak awal senja tadi terus bernyanyi. Dan yang lebih heran lagi terdengar suara burung bersahut-sahutan. Semuanya bak tengah memainkan simponi alam dalam kemasan orkestra hutan.

Saya merasa beruntung. Bukan cuma mendengar suara hewan-hewan malam yang tengah beraktivitas, pun melihat beberapa hewan secara langsung seperti bermacam serangga yang tengah kawin. Saya sempat mengabadikannya lewat kamera poket digital berlampu flash otomatis.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, kami sempat bertemu ular yang tengah melintas menyebrangi trek pendakian, sebelum mencapai Puncak 2. Ular itu mirip sekali dengan Ular Derik. (Baca: Ular di Sanggabuana, Derik atau Viper?).

“Udah bang, jangan lama-lama motretnya,” pinta Badri saat saya asyik mengabadikan ular itu. Pukul 23.00 WIB lebih sedikit, kami akhirnya sampai di Puncak 2.

Lagi-lagi suasananya bikin merinding karena banyak bangunan berbentuk rumah yang di dalamnya terdapat makom berbentuk kuburan. Di antara makom itu ada warung, pemilikya Kang A’ep yang mengaku sudah 10 tahun tinggal di sana.

Saat kami masuk ke warungnya ternyata ada bale-bale kayu tempat beristirahat. Kang Aef sedang main catur dengan salah seorang Ketua RT di Desa Mekarbuana. Sementara di sebelah pojok kanan, ada 2 orang pengunjung peziarah yang sudah tertidur pulas.

Lalu kemana rombongan anak muda yang sama-sama menitipkan motor di Desa Mekarbuana? Apa mungkin mereka langsung ke Puncak 1?  “Cepat sekali langkah mereka. Kalau begitu mereka benar-benar pendaki,“ kataku dalam hati.

Soalnya Kang A’ep tidak melihat ada rombongan orang mampir ke warungnya. “Biasanya setiap pendaki ataupun peziarah selalu mampir ke sini dulu, istirahat atau belanja,” katanya.

Di bale-bale warung Kang A’ep, kami hempaskan lelah. Sebelum tidur, kami meminta pria beranak 2 ini menyeduh bubur ayam (buryam) kemasan yang dijual di warung sederhananya itu, berikut teh manis panas.

Sewaktu membaringkan badan, sebelum benar-benar tertidur pulas, saya terkenang-kenang kisah pendakian dalam kegelapan tadi, terlebih bertemu dengan ular yang mirip Ular Derik.

Sepanjang pendakian selepas sawung dekat Pancuran Kejayan, menuju Tanjakan 2 Jam hingga Puncak 2, kami tak bertemu pendaki atau pun peziarah lain. Ya cuma kami berdua, dalam keriuhan konser alami penghuni malam hutan.

Mungkin kalau pendakian ke Sanggabuana ini tidak kami lakukan malam hari, belum tentu bertemu dengan ular itu. Dan belum tentu kami mendapatkan atmosfir lain yang beda, dimana rasa penasaran bercampur cemas dan takut yang sempat bikin dada kami deg-degan.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

Captions:
1. Rekan sependakianku, Ahmad Badri tengah mengabadikan hutan Gunung Sanggabuana, Karawang Selatan, Jawa Barat.
2. Kendati tingginya di bawah 2.000 Mdpl tapi medannya cukup menantang terutama pas Tanjakan 2 Jam.
3. Hutan Gunung Sanggabuana saat berselimut kabut, menawarkan suasana lain.

NB.: Terimakasih  buat Ahmad Badri yang sudah menemani saya mendaki Gunung Sanggabuana. Sekarang sudah tahu ‘kan, kalau kenekatan saya kambuh, gaya berpetualang saya pun beda..:)




Read more...

Ular di Sanggabuana, Derik atau Viper?

Inilah ular yang saya temui di Gunung Sanggabuana, Kabupaten Karawang, Jawa Barat sepekan lalu. Ular berukuran panjang sekitar 50 Cm ini, sampai hari ini belum saya temukan jenisnya. Waktu pertama kali melihatnya, saya langsung menyebutnya Ular Derik. Tapi saya RAGU.

Bukan saya saja yang bilang begitu. Rekan seperjalanan saya, Badri juga mengatakan yang sama. “Itu Ular Derik bang, awas beracun!,” katanya.

Tanpa dikasih tahu Badri yang agak ketakutan berdiri di belakang saya itu, sebenarnya saya sudah tahu kalau Ular Derik itu beracun, bahkan termasuk salah satu dari 10 ular paling beracun di dunia. Makanya saya tetap jaga jarak dengan ular itu, sewaktu ingin mengabadikannya lebih dekat.

Namun setelah beberapa kali saya memotret ular itu, keraguan pun muncul. Apa benar ular berkulit agak bersisik berwarna hitam dan bermotif warna keperak-perakkan itu Ular Derik?

Keraguan itu sempat saya utarakan pada Badri. Cuma saya tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Mungkin rekan saya itu juga ragu dan tidak begitu tertarik dengan ular itu.

Jujur, seumur hidup saya belum pernah melihat Ular Derik secara langsung. Selama puluhan tahun berpetualang, naik gunung, susur gua, susur pantai, jelajahi hutan, arung jeram, dan lainnya baru Ular Piton, Cincin Mas, Uar Belang Laut, Ular Hijau, Ular Gua, dan beberapa jenis lain yang saya temukan dan lihat di alam liar dengan mata kepala sendiri.

Ular Derik yang pernah saya lihat, cuma di TV lewat tayangan channel-chanel khusus hewan dan petualangan. Dari situlah saya mengetahui bentuk dan ciri khas serta prilaku ular satu ini, termasuk darimana dan dimana biasanya hidup dan berkembangbiak.

Tidak seperti ular-ular yang saya temukan sebelumnya, yang tidak membuat saya tertarik untuk mengetahuinya lebih jauh. Ular di Sanggabuana justru bikin saya penasaran. Saya semacam diberi “Pekerjaan Rumah” (PR) untuk mencari tahu jenis ular itu sebenarnya.

Dari data yang saya kumpulkan terutama lewat browsing internet, ternyata Ular Derik itu hanya hidup di padang tandus dan gurun di semua negara Amerika Selatan kecuali Ekuador dan Chili serta ditemukan juga di beberapa Pulau Karibia. Jadi Ular Derik bukan ular asli Indonesia dan tidak ada di Indonesia.

Tapi setelah saya cari informasi mengenai Ulai Viper, ternyata ciri dan prilakunya saat tersusik mirip dengan ular yang saya temui di gunung ini.

Selain di Indonesia, Ular Viper yang juga ditemukan di Srilangka dan India ini pun biasa keluar pada malam hari dan sangat beracun. Jadi ada kemungkinan ular di Sanggabuana yang saya dan Badri kira Ular Derik sejak awal, itu adalah Ular Viper. Tapi itu baru dugaan saya.

Alasan saya pertama kali mencap ular di Sanggabuana itu adalah Ular Derik, karena ciri-ciri fisiknya termasuk prilakunya saat terusik itu mirip sekali dengan bentuk dan kebiasaan Ular Derik yang selama ini saya ketahui lewat tayangan TV.

Dari segi fisiknya, kepalanya berbentuk segitiga dengan buntut yang agak tumpul. Prilakunya saat terusik langsung mengambil sikap seperti menyerang dengan kepala meliuk dan buntutnya berderik menimbulkan suara khas.

Keraguan saya muncul setelah mengingat tayangan TV mengenai Ular Derik yang habitatnya di padang tandus dan gurun berudara panas. Belum pernah saya melihat tayangan atau gambar ada ular derik di hutan lebat yang ada di gunung berudara sejuk dan dingin.

Sepulang dari Sanggabuana, hati saya terus bertanya-tanya. Apa benar ada Ular Derik made in Indonesia? Apa benar ada jenis Ular Derik baru yang hidupnya di hutan rimbun yang ada di gunung seperti di Sanggabuana?

Mungkin kalau saya menemukan ular seperti Ular Derik itu di Nusa Tenggara Timur yang beberapa bagian alamnya tandus dan berkaktus, tidak begitu jadi tanya besar karena alamnya rada-rada mirip dengan padang tandus di negara tempat ular itu berasal. Tapi ular yang saya temukan ini berada di dalam hutan Gunung Sanggabuana yang lebat, di ketinggian hampir 1.000 meter di atas permukaan laut, dengan udara sejuk sekalipun di siang hari.

Pertemuan saya dengan ular yang mirip Ular Derik di Sanggabuana, tidak disengaja. Karena niat mendaki gunung berketinggian 1.074 mdpl yang berada di empat (4) kabupaten yakni Kabupaten Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Kabupaten Bogor ini, bukan untuk mencari ular. Melainkan ingin melihat dan merasakan seperti apa kondisi dan suasana gunung yang dua dari empat jalur pendakiannya itu berada di wilayah Kabupaten Karawang.

Waktu pertama kali tahu gunung itu masuk wilayah Karawang juga, saya sempat kaget. “Koq, ada gunung juga yah di Karawang?” tanya hati ini. Dan itulah yang membuat saya penasaran dan ingin mendakinya.

Soalnya sebelum tahu ada Gunung Sanggabuana, saya mengira kondisi alam Karawang hanya melulu dataran rendah, berupa pesisir pantai dan persawahan. 

Yang menarik lagi, selama ini saya bertemu ular selalu siang hari. Tapi di Sanggabuana saya bertemu ular yang mirip Ular Derik ini pada tengah malam hari, sekitar pukul 22.45 WIB.

Ketika itu, saya sedang melewati jalur pendakian menuju puncak 2.

Saat melintas, tiba-tiba di depan saya terdengar suara berdesis. Setelah tersorot cahaya dari headlamp saya, baru terlihat ada ular persis di depan saya yang tengah berposisi ingin menyerang mungkin arena terusik. Rupanya ular itu mau menyeberangi lintasan trek itu.

Melihat prilaku dan bentuk kepalanya yang segitiga dengan corak di badannya, kontan saya menyebutnya itu Ular Derik. Cuma warnanya hitam. Sementara yang saya tahu Ular Derik di Amerika Selatan itu berwarna coklat dengan kulit agak bersisik.

Selepas mengambil gambarnya beberapa kali, saya pun membiarkan ular itu merayap kembali dalam kegelapan. Padahal sempat terbersit ingin mengambil ular itu untuk mengetahui jenisnya. Namun kalimat yang kental muatan konservasi-nya; “JANGAN MENGAMBIL SESUATU KECUALI GAMBAR” dan juga kalimat usang sok romantis “MENCINTAI BUKAN BERARTI HARUS MEMILIKI”, seketika terngiang-ngiang di benak hingga saya mengurungkan niat itu.

Yang bikin heran, ketika saya bertanya kepada Kang A’ep, pemilik warung di puncak 2 Gunung Sanggabuana, dia mengaku belum pernah bertemu ular seperti yang saya sebutkan ciri-cirinya. Padahal dia sudah 10 tahun berada di sana.

“Yang sering saya temukan cuma Musang. Sering menyantap ayam saya di kandang,” jelasnya seraya membawa senapan anginnya ke luar, karena mendengar suara berisik di belakang rumahnya.


Bertemu Lagi 
Keesokan harinya, sewaktu naik ke Puncak 1 Sanggabuana, saya berharap menemukan ular serupa. Tapi sepanjang jalur menuju puncak dan juga di puncaknya tidak saya temukan. Cuma sebuah kuburan usang dan triangulasi serta sisa-sisa sampah pendaki dan peziarah.

Begitu pun ketika kembali ke Puncak 2. Nah, ketika turun dari puncak 2 menuju titik awal pendakian, saya berharap menemukan ular yang semalam saya temukan di jalur dan di tempat yang sama. Dengan harapan dapat lebih jelas mengamati dan mengambil gambarnya.

Sewaktu melewati tempat itu, saya tak menemukannya. Tapi tak disangka-sangka, sekitar 300 meter dari tempat itu, saya melihat ular lagi yang mirip dengan ular yang semalam saya temukan. Cuma warnanya tidak sehitam yang pertama dan badannya juga lebih kecil.

Sayangnya, saat ingin memotretnya, ular itu langsung merayap dan masuk ke dalam pohon besar yang berlubang.

Selama menaiki dan menuruni Gunung Sanggabuana dari jalur Kabupaten Karawang, bukan ular yang mirip Ular Derik saja yang kami temukan. Pada malam hari, saya juga menemukan beberapa serangga berbentuk aneh yang sedang kawin di sebuah batang pohon. Kami juga mendengar suara burung yang terus berkicau.

Siangnya ketika turun, Badri melihat seekor primata di sebuah pohon besar. “Bang, ada Lutung di atas pohon itu,” teriaknya. Tapi sewaktu dia ingin ambil gambarnya, primata itu meloncat-loncat dengan lincahnya, pergi ke puncak pohon yang rimbun. Badri nampak kecewa karena tak berhasil mengabadikannya.

“Nanti kalau ketemu lagi, jangan teriak dan jangan langsung mengarahkan kamera ke primata itu. Soalnya dia mengira mau ditembak, jadi ketakutan lalu kabur,” jelasku menghiburnya.

Primata yang juga sempat saya lihat itu, bentuk mukanya kecil dan badannya agak gempal dengan bulu lebat dan berekor panjang. Yang buat saya heran, biasanya primata berkelompok saat mencari makan di atas pohon. Tapi yang saya lihat itu sendirian.

Kami juga menemukan ulat pohon berwarna orange cerah yang berkelompok dan beberapa laba-laba yang bentuknya tak lazim.

Laba-laba bertanduk itu tengah menyergap mangsanya yang terjebak di sarangnya.

Badri sempat memotretnya berulangkali dengan susah payah lantaran cahaya matahari amat minim, terhalang kabut. Dua gambar laba-laba itu pun, baru-baru ini dia upload ke dinding facebook-nya.

Menemukan ular yang mirip Ular Derik dan beberapa hewan lain di jalur pendakian Gunung Sanggabuana, buat saya ini kejutan sekaligus bonus. Semula saya tak mengira bakal melihat hewan-hewan itu di gunung yang tak begitu tinggi ini.

Di benak saya, paling bertemu makom-makom berbentuk kuburan yang konon menurut penduduk setempat, jumlahnya semakin bertambah. Dan memang benar, saya menemukan makom-makom yang dianggap keramat dan sekaligus membuat gunung ini amat populer di kalangan peziarah ketimbang pendaki.

Sampai selesai menulis tulisan ini, saya masih belum tahu jenis ular apa di Sanggabuana yang mirip Ular Derik ini. Sementara Badri, di FB-nya juga bertanya-tanya mengenai jenis laba-laba yang berhasil dijepretnya di sana.

Terus terang kami berdua lebih tertarik menyibak misteri kedua hewan itu ketimbang mengungkap misteri makom-makomnya, apalagi sampai melakukan ritual. Sebab, kami berada di ‘jalur’ berbeda.

Tapi tak bisa dipungkiri, keberadaan makom-makom itulah yang membuat nama gunung yang sumber air tawarnya cukup melimpah ini, jadi tersohor juga di kalangan pemburu pesugihan.

Kenapa saya bisa bilang gunung ini temasuk salah satu tempat orang yang mencari kekayaan dan semacamnya itu dengan cara ‘potong kompas’? Soalnya menurut salah seorang warga di sana, tak sedikit orang yang melakukan ritual tertentu.

“Ada yang membawa sesajen macam-macam tergantung kemauan kuncen-nya. Ada yang melempar koin uang, membawa buah, ayam bahkan kambing,” kata warga yang enggan disebut namanya.

Kata warga itu lagi, pernah ada kejadian peziarah sampai meninggal dunia karena kuncen-nya mengharuskan orang itu naik gunung itu. “Kalau ingin sembuh, kuncen itu menyuruh peziarah itu naik, padahal orang itu sedang sakit. Ya akhirnya meninggal,” terangnya.

Pada waktu-waktu tertentu, ratusan bahkan ribuan orang rela bersusah payah menapaki jalur pendakiannya yang tak bisa diangap enteng sampai ke puncaknya. Dan sampai kini masih banyak orang yang melakukannya, membawa sesajen, berdoa, dan atau melakukan ritual tertentu sebagai sarat di makom-makom pilihan, yang biasanya dipandu atau dipimpin kuncen-nya dengan tujuan dan harapan masing-masing yang sulit diterima akal sehat. 

Sewaktu di Puncak 2 dan saat menuruni Sanggabuana, kami berpas-pasan dengan sejumlah peziarah dan pencari pesugihan itu.

Beberapa di antaranya terlihat terengah-engah, kelelahan menapaki medan menanjak Sanggabuana dengan perlengkapan dan perbekalan seadanya.

Hmmm.., melihat ada ‘sesuatu’ di gunung ini, lagi-lagi hati ini cuma bisa bilang; “Betapa uniknya perbedaan keyakinan penghuni negeri ini, termasuk perbedaan cara meraih sesuatu yang diinginkannya.



Nama Lokalnya Ular Gibuk 
Kembali ke soal ular di Sanggabuana yang fotonya terpampang di tulisan saya ini. Lantaran hampir seminggu belum menemukan jawaban apa jenisnya, akhirnya saya menghubungi, temannya Badri di Karawang Selatan yang mengenal betul kondisi Sanggabuana.

Setelah saya beri tahu soal penemuan ular mirip Ular Derik di Sanggabuana dan ciri-cirinya ternyata Kacel mengetahuinya. Menurutnya itu ular lokal yang hidup di Gunung Sanggabuana dan sekitarnya. “Ular itu sangat beracun dan penduduk setempat menyebutnya Ular Gibuk,” kata Kacel yang mengaku pernah menemukan ular itu juga di gunung ini.

Selain berada di lereng-lereng Sanggabuana, ular ini pernah ditemui penduduk di areal dekat persawahan di kaki Sanggabuana. “Dulu pernah ada beberapa penduduk yang dicatek ular itu, ada yang tertolong nyawanya, ada juga yang meninggal dunia,” terangnya.

Tapi anehnya, selama ini Kacel belum pernah mendengar ada peziarah atau pendaki yang tercatek ular itu. “Ular Gibuk ini memang mirip Ular Derik, kalau terganggu dia pasti menyerang. Tapi kalau tidak terganggu aman-aman aja,” jelasnya.

Mendengar keterangan Kacel, misteri ular di Sanggabuana mulai tersibak. Kini yang menjadi pertanyaan, apa benar Ular Gibuk itu termasuk keluarga atau saudara jauh Ular Derik yang berasal dari dataran tandus Amerika Selatan atau satu kerabat dengan Ular Viper yang ada Srilangka, India, Timur Tengah, dan Afrika? Hmmm.., saya belum menemukan jawabannya.

Satu yang pasti, setelah melihat langsung dan juga berdasarkan keterangan dari Kacel, saya menyarankan para pendaki atau pun peziarah yang mendaki Gunung Sanggabuana harus tetap waspada. Kalau bisa mengenakan sepatu dan kaos kaki serta celana panjang. Dan yang terpenting tidak mengganggu ular tersebut.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
Foto: adji & badri

Captions:
1. Inilah ular yang saya temukan di trek pendakian Gunung Sanggabuana, Karawang Selatan, Jawa Barat.
2. Laba-laba bertanduk di hutan Gunung Sanggabuana
3. Ular di Gunung Sanggabuana yang mirip Derik dan Viper ini bernama lokal Ular Gibuk.

Read more...

Rabu, 24 April 2013

Mengenal Lebih Dekat Kaltara, Provinsi Termuda Indonesia

Tahukah Anda sejak tahun lalu, jumlah provinsi di Indonesia bertambah lagi menjadi 34? Pertambahan itu terjadi karena kehadiran Kalimantan Utara yang disingkat Kaltara sebagai provinsi termuda Indonesia. Wilayah Kaltara yang dulunya Kalimantan Timur ini memiliki potensi wisata alam dan budaya yang luar biasa, di antaranya Taman Nasional Kayan Mentarang yang merupakan kawasan konservasi terbesar di Pulau Kalimantan bahkan termasuk salah satu yang terbesar di wilayah Asia Pasifik. 

Provinsi Kaltara secara resmi terbentuk sejak ditandatanganinya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara pada tanggal 16 November lalu oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.

RUU pembentukan Provinsi Kalimantan Utara ini sebelumnya telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR pada 25 Oktober 2012 untuk disahkan menjadi undang-undang (UU).

Tujuan pembentukan provinsi ini adalah untuk mendorong peningkatan pelayanan dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.

Pada saat dibentuknya, wilayah Kaltara terbagi 5 wilayah administrasi yang terdiri atas 1 kota dan 4 kabupaten yakni Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Seluruh wilayah tersebut sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kalimantan Timur.

Sesuai bunyi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012, Kaltara beribukota Tanjung Selor yang berada di Kabupaten Bulungan. Namun status Tajung Selor sampai saat ini masih Kota Administratif dan akan dinaikkan menjadi Kota Madya. Kotif ini juga masih menjadi ibu kota Kabupaten Bulungan, yang masih dipimpin oleh camat.

Batas wilayah Kaltara ini di Utara berbatasan dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makasar dan Laut Sulawesi. Di sebelah Barat berbatasan dengan Negara Bagian Serawak, Malaysia.

Sedangkan di Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, dan Kabupaten Berau yang merupakan wilayah Provinsi Kalimantan Timur.

Pemilihan dan pengesahan Gubernur dan/atau Wagub Provinsi, akan dilaksanakan paling cepat 2 tahun sejak diresmikannya Provinsi Kalimantan Utara.

Biaya pertama kali untuk pelaksanaan pemilihan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur Kalimantan Utara dibebankan kepada APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kabupaten Bulungan, Kota Tarakan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung.

Kini Kaltara dipimpin oleh Irianto Lambrie yang dilantik sebagai penjabat Gubernur Kaltara oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi di Gedung Kemendagri, Jakarta pada Senin, (22/4/2013), bersamaan dengan pelantikan 10 pejabat kabupaten baru hasil pemekaran.

Mengenai keanggotaan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Provinsi, UU ini menegaskan, DPRD Kaltara dibentuk melalui hasil Pemilihan Umum Tahun 2014, dengan jumlah dan tata cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Mengingat berbatasan langsung dengan negara tetangga, kebaradaan Kaltara dengan populasi penduduk 622.350 jiwa ini, dipastikan punya peran penting.


Potensi SDA & Wisata 

Potensi sumber daya alam Kaltara pun melimpah. Salah satunya Taman Nasional Kayan Mentarang yang melintasi wilayah Kabupaten Nunukan dan Malinau dengan luas sekitar 1,35 juta hektar dan terletak di dalam wilayah Kecamatan Kayan Hilir, Pujungan, Krayan, Mentarang, dan Lumbis. Taman nasional ini berbentuk panjang dan menyempit, dan mengikuti batas internasional dengan Negara bagian Sabah dan Serawak, Malaysia.

Potensi mineral dan energinya yang sudah terdektisi antara lain batu gamping sebanyak 654 ribu ton di Malinau dan 25 ribu ton di Nunukan, sirtu 2,50 juta ton di Nunukan, dan pasir kuarsa sebanyak 1 milyar ton di Nunukan.

Potensi wisatanya juga beragam antara lain wisata alam Pantai Batu Lemampu, Puncak Bukit Batu Sicien, Air Terjun Ruab Sebiling, dan Air Terjun Binusan serta wisata budaya musik dan tari bambu tradisional di Kabupaten Nunukan.

Sedangkan di Kabupaten Malinau, potensi wisatanya antara lain Air Terjun Taras, Air Terjun Marthin Billa, Batu Ujang-ujang, arus liar Sungai Tugu dan Sungai Bahaowulu, air panas Semolon, dan wisata eko di Taman Nasional Kayan Mentarang serta wisata budaya di Desa Long Ampung, Long Nawang, dan Desa Samburudut. Produk khas Malinau antara lain tas rajutan, keripik buah, dan madu asli Malinau.

Potensi wisata di Kabupaten Tana Tidung Gunung Rian di Desa Safari Rian Kecamatan Sasayap yang berhutan lindung luas dengan Air Terjun Rian-nya, Batu Mapan yang dinilai keramat di Km 6 Tidung Pale, sumber air panas di Mantalapan, Air Terjun Bikis, dan menyusuri Sungai Sesayap dengan perahu menikmati hutan lindung di sepanjang Sesayap serta wisata budaya melihat adat istiadat dan kebudayaan Suku Tidung.

Di Kota Tarakan sendiri potensi wisatanya antara lain Pantai Amal di Kampung empat, 11 Km dari pusat kota, Wana Wisata Persemaian di daerah Juata, bunker dan gudang museum peninggalan Belanda, Tugu Australia, Tugu Perabuan di Jalan Markoni, dan Meriam Perang bekas peninggalan Belanda di Jalan Sumatra, depan Wisma Patra.

Sedangkan di Kabupaten Bulungan, potensi arung jeram di Sungai Giram dan Sungai Kayan, Air Terjun Long Pin,  Sumber Air Panas Sajau, Gunung Putih, Air Terjun Idaman KM 18, Pulau Burung, Pantai Tanah Kuning, Pantai Nibung, Pantai Nibung yang berpasir putih, dan Pantai Bahari Karang Tigau di Desa Tanah Kuning yang juga berpasir serta oleh-oleh khas Tidung Pale yaitu madu asli dan udang sungai.

Dengan kehadiran Kaltara sebagai provinsi termuda ini, jumlah provinsi di Indonesia menjadi 34, lima di antaranya memiliki status khusus sebagai Daerah Khusus atau Daerah Istimewa yaitu Aceh, Jakarta, Papua, Papua Barat, dan Yogyakarta.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: dok. ist & borneolastytourism

Read more...

Gunung-Gunung Bermitos di Luar Jawa

Gunung bermitos ternyata bukan melulu di Jawa. Di pulau lain lain juga ada sejumlah gunung yang berpredikat sama. Mitosnya pun beragam dari buaya putih sampai mitos naik haji. Hmmm.., alangkah uniknya penghuni negeri ini. 

Di Gunung Gamalama, Ternate, Provinsi Maluku Utara (Malut) yang berketinggian 1.715 meter di atas permukaan laut (mdpl) misalnya, memiliki danau yang dipercaya didiami buaya putih. Gamalama adalah salah satu dari empat gunung api di Malut. 

Danau Tolire berada persis di kaki gunung ini. Ada dua buah, yakni Danau Tolire Besar dan Danau Tolire Kecil. Keduanya berjarak sekitar 200 meter. Bentuk Danau Tolire Besar menyerupai kuali besar lantaran dikelilingi tebing-tebing tinggi, bagian Gunung Gamalama.

Mitosnya, Danau Tolire Besar (Lamo) menggambarkan sang ayah. Sedangkan yang lebih kecil (Ici) mencerminkan sang anak perempuan. Keduanya menjadi danau akibat sang ayah menghamili anak perempuannya itu hingga membuat warga murka dan mengusir keduanya.

Tuhan pun menghukum keduanya, sewaktu mereka melangkahkan kaki dari desa tiba-tiba terjadi gempa dasyat hingga merubah desa itu menjadi dua buah danau. Warga desa pun berubah menjadi buaya putih menghuni Danau Tolire Besar.

Warga setempat percaya di danau itu ada ratusan buaya putih berukuran sampai 10 meter yang kerap muncul ke permukaan. Karena itu pengunjung dilarang berenang, memancing dan berendam di danau ini karena mereka yakin siapapun yang mengggau danau itu akan menjadi santapan buaya putih.

Ada juga yang percaya kalau buaya putih itu terusik, maka Gunung Gamalama akan meletus dan laharnya menyembur kemana-mana.

Data yang lebih masuk akal menyebutkan, terbentuknya ke dua danau itu akibat letusan dasyat Gamalama pada tahun 1775 yang mengakibatkan Desa Soela Takomi bersama 141 penduduknya lenyap dan membentuk dua danau yang berjarak 12 kilometer dari pusat Kota Ternate ini.

Gunung Gamalama diambil dari kata Kie Gam Lamo yang berarti negeri yang besar. Gunung aktif ini terakhir meletus pertengahan 2013 dan sempat berstatus waspada level II pada Maret 2013 lalu.

Mitos di Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) lain lagi. Masyarakat Lombok ada yang meyakini puncak Gunung Rinjani yang ketinggian 3.726 mdpl ini sebagai tempat bersemayam ratu jin, penguasa gunung Rinjani bernama Dewi Anjani yang memilik pengikut dari golongan jin.

Konon, Dewi Anjani adalah seorang putri raja yang tidak diijinkan oleh ayahnya menikah dengan kekasih pilihannya. Dia pun menghilang di sebuah mata air yang bernama Mandala, dan akhirnya dia menjadi penguasa dunia gaib sebagai ratu jin yang cantik dan sakti.

Gunung Rinjani berdanau kawah bernama Segara Anak, berair biru dengan kedalaman sekitar 230 meter. Danau ini dihuni ikan mas dan mujair sehingga sering dipancingi. Danau inipun dipercaya memiliki daya magis hingga membuat pengunjungnya betah berlama-lama.

Danau ini pun diyakini sebagai tempat bermukimnya para jin dalam jumlah besar. Konon, kalau orang memandang danau ini terlihat luas, umurnya masih panjang. Sebaliknya jika tampak sempit akan berumur pendek.

Karena dinilai sakral, masyarakat yang beragama Hindu Bali maupun Islam masyarakat Sasak, kerap menggelar upacara adat di danau ini pada waktu-waktu tertentu.

Gunung Mutis di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipercaya sebagai area pemakan kuno, terutama di bukit Dirun, lereng gunung ini. Di bukit lain, masih di daerah ini terdapat bukit yang disebut Fatu Kopa (Batu Kapal). Warga setempat ada yang percaya batu itu adalah kapal Nabi Nuh.

Gunung ini berada di wilayah Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Secara administratif, masuk dalam Cagar Alam Gunung Mutis yang berada dalam dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara. Puncaknya berketinggian 2427 mdpl.

Lain halnya dengan gunung-gunung aktif yang ada di Sulawesi utara, seperti Gunung Lokon yang berketinggian 1.580 mdpl dan Gunung Soputan (1.784 mdpl). Masyarakat di kaki gunung ini ada yang meyakini, kedua gunung "jantan" ini kerap bergejolak belakangan ini lantaran tengah mencari perhatian terhadap Gunung Mahawu yang oleh masyarakat dianggap sebagai Gunung "betina" yang cantik.

Kedua gunung ini berusaha agar Gunung Mahawu mau menoleh dan memilihnya dengan cara menunjukkan kehebatannya dengan mengeluarkan letupan dan asap yang membumbung.

Karena mitos ini, geliat gunung Lokon yang berjarak sekitar 5,3 Km sebelah barat laut Kota Tomohon atau 20 Km di barat daya Kota Manado maupun Gunung Soputan yang terletak di Kabupaten Minahasa Selatan, sekitar 50 Km di Baratdaya-Selatan Kota Manado, tidak akan menimbulkan bencana besar dan tidak begitu dicemaskan oleh warga di kakinya, termasuk warga Tomohon.

Mitos Naik Haji 
Mitos unik juga dimiliki Gunung Bawakarang di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang berketinggian 2.705 mdpl.

Bawakaraeng dalam bahasa setempat terdiri dari Bawa yang bermakna mulut, Karaeng yang berarti Tuhan. Jadi Gunung Bawakaraeng bermakna Gunung Mulut Tuhan.

Masyarakat sekitar ada meyakini Gunung Bawakaraeng sebagai tempat pertemuan para wali. Mereka ada yang melakukan ibadah haji di puncak Gunung Bawakaraeng setiap musim haji atau bulan Zulhijjah, bertepatan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci, Mekkah. Kemudian muncullah istilah "Haji Bawakaraeng".

Dulu, sehari sebelum hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan Shalat Idul Adha dan melakukan ritual naik haji. Mereka mendaki dan bermalam di puncak dengan membawa sesajian, bekal makanan, dan pakaian seadanya sehingga ada yang sakit bahkan meninggal.

Kabar terakhir menyebutkan, lambat laun pelaku keyakinan naik haji ke puncak gunung Bawakaraeng mulai berkurang. Bisa jadi mulai ada kesadaran pemahaman ajaran Islam yang benar.

Itulah mitos yang hidup di gunung-gunung yang ada di luar Jawa. Keberadaan mitos-mitos tersebut bukan hanya menambah daya tarik gunung-gunung tersebut, pun memperjelas bahwa negeri ini memang pantas berjuluk Negeri Sejuta MITOS!

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 23 April 2013

Nasi Tradisional Khas Indonesia Timur Tak Kalah Makyus

Nasi tradisional bukan cuma ada di Pulau Sumatera dan Jawa. Di  Bali, Lombok, dan belahan Indonesia bagian Timur juga ada. Contohnya Nasi Jinggo, Nasi Puyung, Nasi Lapola, dan Piong Bo’bo. Masing-masing punya kekhasan, baik bentuk maupun rasa. 

Nasi Jinggo merupakan nasi khas Pulau Dewata, Bali. Nasi ini serupa dengan Nasi Kucing di Jogja. Namun lauknya beda. Ada goreng, sambal, serundeng dan ayam yang disurir-suwir pedas. Pilihan telur, tahu, ceker ayam pedes, daging, tahu, dan tempe. 

Dan nasi ini umumnya dibungkus dengan daun pisang. Karena porsinya sedikit, biasanya orang beli beberapa bungkus.

Harganya relatif murah sekitar Rp 3.000 sampai Rp 7.000 per bungkus tergantung lauknya. Lokasi penjualnya juga menentukan harga nasi ini. Penjual Nasi Jinggo sekitar Pantai Kuta atau Pantai Seminyak, agak lebih mahal.

Nasi Puyung lain lagi. Nasi khas mayarakat Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini pedesnya juara. Penampilan naisi ini sama seperti lainnya yakni nasi putih yang diletakkan di atas daun pisang.

Keistimewaannya, lauk pauknya sambal, kedelai goreng, suwiran, dan daging ayam cincang serta kelapa parut yang rata-rata bercitra rasa pedas. Maklum pakai cabe kering khas Lombok yang pedasnya membara.


(Nasi Jinggo khas Bali)

Nama Nasi Puyung diambil dari nama daerah asalnya yakni Kampung Puyung, Lombok Tengah, NTB. Pelopor pembuat Nasi Puyung ini bernama Papuk Isum yang berasal dari Kampung Puyung. Nasi ini kian menjamur hingga ke pusat kota seperti di Mataram, Lombok Barat.

Di Mataram, nama kedai yang asli berasal dari Kampung Puyung adalah Nasi Balap Puyung Inaq Esun. Kedai sederhana ini terletak di depan Hotel Grand Legi, Jalan Sriwijaya, Mataram dan buka setiap hari mulai pukul 09.00-21.00. Nasi Puyung disini harganya hanya kisaran Rp 12.000-an.

Nasi Lapola khas Maluku. Bahannya dari beras, kacang polo dan kelapa muda yang biasa dipakai untuk urap ditambah daun salam. Nasi ini seperti Nasi Uduk cuma yang membedakannya ditambah dengan kacang polo.

Sedangkan Piong Bo’bo adalah nasi khas Toraja yang terbuat dari nasi ketan yang dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar. Bahan dan bentuknya, tak beda dengan Lemang khas Jawa, Sumbar, dan Sumut.

Cara memasaknya, beras ketan dicampur santan, ditambahkan garam dan bawang putih sesuai selera lalu dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar.

Ada juga yang memasak nasi dan santannya dulu. Setelah setengah matang baru dibungkus daun pisang kemudian dimasukkan ke dalam bambu kemudian dibakar sebentar.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: wisatabali4u & astakusuma.


Read more...

Tour de Indonesia 2013 Tawarkan Konsep Sport Tourism

Dinilai kualitasnya stagnan, Tour de Indonesia (TdI) tahun ini bakal digelar dengan menawarkan konsep paduan olahraga dan pariwisata atau sport tourism. Dengan konsep ini, diharapkan lomba balap sepeda tingkat internasional  di Indonesia ini bakal semakin besar dan meningkat kelasnya. 

Selama ini, TdI berkonsep olahraga murni. Namun mulai tahun ini akan mengusung konsep sport tourism sebagaimana yang sukses diraih Tour de Singkarak yang berlangsung di Sumatera Barat.

Puspita Mustika, Konsultan Teknis balapan dari JIP berharap dengan konsep baru ini akan meningkatkan kelas balapan TdI.

TdI merupakan balapan sepeda kelas 2.2 dalam kalender Tur Asia Persatuan Balap Sepeda Internasional (UCI). Artinya, balapan jalan raya atau road race kelas dua yang melombakan lebih dari satu etape.

"Dengan kualitas balapan yang meningkat, diharapkan meningkatkan kelas balapan, dari kelas 2.2 menjadi 2.1,” kata Puspita di Jakarta beberapa waktu lalu.

Di TdI 2013 jumlah etape yang dilombakan tetap yakni10 etape dengan rute lama dari Jakarta hingga  Denpasar, Bali sepanjang 1.500 kilometer.

Dalam konsep baru ini, sebelum memulai lomba akan ada suguhan agenda budaya untuk menyemarakkan balapan. "Atraksi budaya setiap daerah yang menjadi titik start dan finish akan ditampilkan," ujar Puspita.

Dengan konsep ini, diharapkan kualitas balapan juga meningkat. Caranya, penyelenggara menargetkan mengundang 25 tim. “Sekitar 6 tim ditujukan untuk tim lokal atau tim nasional. Sisanya untuk tim mancanegara, tim continental ataupun klub-klub,” terangnya.

TdI 2013 rencananya akan digelar 25 Oktober hingga 3 November 2013. Ada beberapa kategori yang diperlombakan antara lain sprinter dan climber atau tanjakan.

Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) sangat mendukung lomba balap sepeda terbesar di Indonesia ini. Ketua Umum PB ISSI, Edmound Simorangkir, memastikan TdI tahun ini bakal lebih meriah dari tahun sebelumnya.

Menurut Azis Manaf perwakilan KONI Pusat Bidang Humas, pihaknya sangat menyambut gembira event yang diselnggarakan Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (PB ISSI) bekerjasama dengan PT Mitra Lintas yang diwakili oleh Associantenya JIP dan Arthayasa ini.

Ismed M.Noor perwakilan JIP selaku penyelenggara TdI 2013 mengatakan konsep sport tourism merupakan perpaduan yang sangat ideal. “Konsep ini memiliki misi memajukan dunia olahraga sekaligus pariwisata di Indonesia," ujarnya.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Di Festival Teluk Jailolo, NOAH Bakal Mentas di Atas Laut

Band papan atas NOAH yang digawangi Ariel, Lukman, Uki, Reza, dan David bakal manggung di atas laut dalam Festival Teluk Jailolo yang akan digelar tanggal 16-18 Mei 2013 di Jailolo, Halmahera Barat, Maluku Utara. 

Ketika mendapat tawaran menjadi pengisi acara Festival Teluk Jailolo yang ke-5 ini, Ariel dan teman-temannya langsung setuju. Menurutnya ini kesempatan untuk turut serta memperkenalkan keindahan alam dan budaya yang ada di Halmahera Barat, khususnya di Jailolo. 

“Mumpung ada jalan, kita berusaha bantu agar minimal Jailolo dikenal masyarakat Indonesia dan juga mancanegara,” jelasnya saat jumpa pers Festival Teluk Jakarta 2013 di Jakarta, Senin (22/4/2013) yang dihadiri Dirjen Pemasaran Pariwisata Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) Esthy Reko Astuti, Bupati Halmahera Barat Ir. Namto H. Roba SH, Ketua Komite Tetap Pariwisata KADIN Adi Sulisto, Ketua Umum Ikatan Duta Budaya dan Pariwisata Indonesia Doddy Matondang, dan personil NOAH lainnya Uki, Reza, Lukman, dan David.

Sebagai vokalis yang kerap keliling Indonesia sambil manggung bersama band-nya, Ariel mengaku sering melihat beragam obyek wisata yang ada di negeri ini.

Namun mantan kekasih Luna Maya ini menyayangkan masih banyak obyek wisata yang belum terpublikasikan sehingga kurang terekspos secara luas, padahal memiliki kebanggaan. “Kita punya banyak obyek wisata yang luar biasa indah tapi masih banyak yang belum tahu. Cuma Bali, Bali, dan Bali lagi,” akunya.

Dengan keikutsertaan NOAH dalam Festival Teluk Jailolo 2013 ini, dia berharap masyarakat Indonesia jadi tahu dan tertarik datang ke Jailolo untuk berwisata.

Manggung di Festival Teluk Jailolo nanti dengan panggung Sasadu on the Sea atau panggung berbentuk rumah adat Jailolo yang di sebut Sasadu yang berada di atas permukaan air laut, buat Ariel bakal menjadi sebuah tontonan yang berbeda.

 “Ada pemikiran nanti kita akan berkolaborasi dengan alat musik tradisional setempat. Mudah-mudahan terwujud. Soal pakaian atau kostum apakah mengenakan unsur etnik setempat, kita belum tahu,” ujar Ariel.

Lain lagi dengan David. Sebelum jumpa pers berlangsung dia mengaku ingin diving di perairan Jailolo. “Saya dengar Jailolo punya potensi bahari yang luar biasa terutama untuk diving. Minimal saya snorkeling-lah,” jelas pemain keyboard NOAH yang pernah diving di Tulamben, Bali dan mengaku ketagihan.

Festival Teluk Jailolo 2013 yang menonjolkan pesona bawah Laut Jailolo dan budaya masyarakatnya, juga adakan diramaikan dengan serangkaian acara dan lomba menarik seperti spice parade, spice expo, menyusuri perkebunan rempah-rempah di acara spice trip, lomba memancing, lomba renang, lomba mendayung, fun diving sambil menanam karang laut, ritual laut Sigofi Ngolo, juga cultural party di pinggir pantai untuk menikmati pesta makanan adat bersama masyarakat lokal dengan membakar ikan sebanyak 10 ton.

Juga ada acara adat istiadat, antara lain pertunjukan tarian tradisional, acara makan makanan tradisional bersama, upacara adat khas Jailolo, dan parade gerobak sapi.

Sebagai puncak acara, selain NOAH yang akan tampil di panggung “Sasadu on The Sea”, juga akan dimeriahkan dengan pertunjukan musikal drama dan tari karya kolaborasi Eko Supriyanto, Oleg Sanchabakhtiar, dan Dimas Leimena.

Festival tahunan yang bertemakan “The Treasure of Golden Spice Islands” ini ditargetkan untuk memecahkan dua rekor MURI yaitu Panggung Festival Pertama di Atas Laut dan Pengiriman Postcard Terbanyak dengan desain objek wisata Kabupaten Halmahera Barat sebanyak 5000 lembar yang disebar ke seluruh penjuru tanah air, presiden, kementerian, komunitas budaya dan pariwisata, komunitas diving, dan seluruh kantor perwakilan negara-negara yang ada di Jakarta.

Esthy Reko Astuti mengatakan Kemenparekraf mendukung Festival Teluk Jailolo 2013 sejak tahun lalu. Pemasaran yang dilakukan secara bersinergi dengan melibatkan berbagai pihak. Tahun ini mengikut sertakan KADIN, artis, Abang-None, dan juga sejumlah media.

Dengan promosi sinergi akan jauh lebih efektif dan diharapkan dapat terekspos ke seluruh masyarakat Indonesia. “Dengan cara ini diharapkan masyarakat Indonesia mengenal dan mengetahui Teluk Jailolo dan mau datang saat event Festival Teluk Jailolo nanti atau saat liburan untuk mendapatkan atmosfir wisata yang berbeda,” jelasnya.

Ir. Namto H. Roba SH menargetkan jumlah pengunjung Festival Teluk Jailolo 2013 menjadi 10ribu orang, atau meningkat 2 kali lipat dibanding festival tahun lalu sekitar 5ribu orang.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok. Imagedynamics

Read more...

Kamis, 18 April 2013

Candi Borobudur Kembali Hadir di Film Hollywood

Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah kembali muncul di layar lebar. Salah satu keajaiban dunia ini, kali ini hadir dalam film JAVA HEAT yang tengah tayang di sejumlah bioskop di Tanah Air per 18 April 2013. Kehadiran Candi Borobudur dalam film bukan untuk kali pertama. Sebelumnya candi berbentuk stupa ini muncul di film Arisan 2 dan juga the Philosophers. 

Candi Borobudur menjadi salah satu lokasi syuting film Arisan! 2 yang diproduseri dan disutradarai Nia Dinata serta dibintangi Cut Mini, Tora Sudiro. dan Surya Saputra. Namun Borobudur yang ditampilkan dalam suasana berbeda yakni saat perayaan Waisak, hari raya umat Budha.

Pasca film bertema gay dan kehidupan kalangan jetset ibukota ini dirilis 1 Desember 2011 ini, banyak orang yang mengaku tertarik datang ke Borobudur terutama saat Waisak untuk melihat pelepasan ratusan lampion ke angkasa sebagai salah satu kegiatan dari rangkaian perayaan Tri Suci Waisak.

Di film the Philosophers yang syuting di beberapa tempat Indonesia pada tahun 2011, Candi Borobudur juga menjadi setting-nya. Film Hollywood hasil kerjasama Amerika dan Indonesia yang disutradari John Huddles ini dibintangi oleh bintang-bintang muda internasional, antara lain James D’Arcy yang pernah membintangi film Master and Commander bersama Russel Crowe, Daryl Sabara serta pemeran Ginny Wesley dalam film Harry Potter.

Film ini mengisahkan tentang 20 siswa dan siswi di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Para pelajar itu ditantang guru filsafat mereka untuk memilih sepuluh dari mereka untuk tinggal di bunker yang akan melindungi mereka dari ledakan nuklir.

Selain Borobudur, film yang juga dibintangi penyanyi dah pemain film asal Indonesia Cinta Laura ini pun menyajikan lokasi wisata populer di Indonesia lainnya seperti Candi Prambanan, Monas, kawasan Gunung Bromo-Semeru dan pantai di Belitung. Berkat film ini, nama candi ini pun kian mendunia.

Dan kini, Borobudur juga hadir dalam Film action Hollywood terbaru berjudul Java Heat yang sutradarai Conor Allyn bekerja sama dengan ayahnya, Rob Allyn.

Film yang dibintangi Kellan Lutz yang terkenal melalui seri film Twilight, Mickey Rourke, aktor yang sempat bermain di film Iron Man 2, dan juga aktor dan aktris Indonesia antara lain Ario Bayu yang berperan sebagai polisi dan Atiqah Hasiholan yang berperan sebagai putri keraton ini, juga ber-setting di kota gudeg Yogyakarta, antara lain di Taman sari, Pasar Ngasem, dan di jalan tersohor Malioboro.

Banyak pihak menilai film yang bercerita tentang seorang polisi Indonesia yang bekerjasama dengan orang asing warga negara Amerika Serikat dalam menumpas kejahatan di Jawa, khususnya di Jogja ini. akan mampu mengundang lebih banyak turis mancanegara untuk datang ke Borobudur.

Salah satu harapan itu datang dari Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko (PT TWCBPRB), Purnomo Siswoprasetjo. "Kuil Angkor Wat di Kamboja pernah menjadi lokasi syuting film Tomb Raider. Sejak film itu keluar, banyak sekali turis yang datang. Kita berharap begitu juga dengan Borobudur lewat film ini," jelas Purnomo.

Untuk mengantisipasi lonjakan wisman pasca film ini, pihak PT TWCBPRB akan menyambut kedatangan turis asing sebaik mungkin dengan melibatkan masyarakat sekitar. “Turis-turis bukan hanya melihat Borobudur, pun akan di ajak keliling desa-desa wisata di sekitar Borobudur dan bermalam di homestay di desa wisata tersebut,” terangnya.

Candi Borobudur berada sekitar 100 Km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta (Solo), dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta.

Candi ini didirikan oleh para penganut agama Budha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra.

Candi yang dibangun dengan 60 ribu meter kubik struktur bebatuan dengan tinggi 34,5 m (113 kaki) dan kerangka dasarnya berukuran 123x123m ini dinobatkan sebagai Candi Budha Terbesar di Dunia oleh Guinnes World Records yang berpusat di London, Inggris.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Tujuh Obyek Wisata di Jawa Favorit Fotografer

Pulau Jawa punya obyek wisata yang melimpah, mulai dari wisata alam, sejarah, budaya, kuliner, religi, buatan, dan lainnya. Dari sekian jenis obyek tersebut, wisata alam, sejarah, dan budaya-lah yang kerap diabadikan oleh para fotografer baik pemula maupun profesional lewat lensa kamera beragam tipe. Sekurangnya ada tujuh (7) obyek wisata favorit pilihan para pelukis cahaya ini. 

Pertama, Gunung Bromo di Jawa Timur. Tak bisa dipungkiri, obyek wisata berpanorama menawan, seperti pemandangan gunung masih menjadi incaran para traveler pecinta fotografi. Satu di antaranya Gunung Bromo yang berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). 

Banyak kelebihan yang dimiliki gunung berketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut ini dibanding gunung lainnya. Kendati tidak tinggi, gunung yang berada di perbatasan 4 kabupaten yakni Kabupaten Malang, Probolinggo, Pasuruan, dan Kabupaten Lumajang ini masih aktif dan dikelilingi lautan pasir.

Namun pesona terkuatnya terletak saat matahari terbit. Fenomena alam inilah yang kerap diincar bukan hanya oleh para fotografer khusus pemburu landskap gunung, pun ribuan pengunjungnya dari dulu hingga kini. Sampai ada anggapan, kurang lengkap kalau ke Bromo tidak melihat dan mengabadikan sunrise-nya.

Lokasi tersohor untuk mengabadikan keindahan terindah dari Bromo ini, sampai kini masih dari Gunung Pananjakan. Untuk berhasil menjepretnya, harus rela bangun dini hari kemudian beranjak dari penginapan ke Gunung Pananjakan melewati lautan pasir dalam balutan dingin yang menggigit.

Kelebihan lain selain keindahan panoramanya, adanya beragam aktivitas masyarakat Suku Tengger yang mendiami sekitar kawasan ini. Kasada, salah satu upacara ucap syukur warganya dan kehidupan keseharian seperti cara mereka bercocok tanam di lahan subur, merupakan bagian kecil dari obyek foto human interets yang memikat di sana.

Kedua, Pantai Sawarna di Selatan Banten. Jika California, AS punya Pantai El Matador yang menjadi pantai favorit fotografer di sana, maka di Jawa ada Pantai Sawarna yang belakangan diminati para fotografer.

Sawarna yang dijuluki  surga yang tersembunyi (hidden paradise), berpantai pasir putih dengan garis pantai yang panjang. Panjang pantainya mencapai 65 km dihiasi karang dan pasir putih. Pantai ini merupakan pantai terindah dari lima pantai yang dimiliki Provinsi Banten.

Air lautnya masih berwarna biru jernih dan bersih. Deburan ombaknya cukup kencang dan tinggi. Pantai yang menghadap Samudera Hindia ini pun kerap digunakan para pecinta olahraga surfing untuk berselancar.

Di Sawarna, selain pantai Sawarna juga ada beberapa obyek lain yang kerap diabadikan fotografer yakni Pantai Tanjung Layar dengan formasi batu karangnya yang mirip layar perahu yang tengah berkembang, Laguna Pari dengan sunrise-nya, dan Goa Lalay yang menaruk disusuri.

Ketiga, Kawasan Kota Tua di Jakarta. Dari sekian banyak kawasan kota tua di sejumlah kota di Jawa, tak bisa dipungkiri, Kawasan Kota Tua di Jakarta Pusat ini paling ramai dan diminati fotografer.

Hampir setiap hari terlebih di akhir pekan banyak fotografer yang hunting foto di kawasan dengan beragam bangunan tua dan bersejarah ini, antara lain gedung Museum Fatahillah, Museum Wayang, gedung Pos Indonesia, Gedung Merah, jembatan Kota Intan dan lainnya.

Kelebihan lainnya, kehidupan masyarakat yang bergantung di kawasan ini seperti tukang ojek sepeda tua atau ontel juga menarik dijepret. Tak jauh dari kawasan ini juga terdapat Pelabuhan Sunda Kelapa, tempat berlabuh deretan perahu kayu Phinisi.

Kegiatan bongkar pasang bermacam komoditi dari perahu tradisional ini ke daratan dan juga aktivitas ojek sampan, menjadi daya tarik yang tak pernah bosan diabadikan para fotografer.

Keempat, Tamansari di Yogyakarta. Arsitektur bangunan bersejarah di kompleks Kasultanan Ngayogyakarta ini menjadi magnet utama mengapa diminati para fotografer.

Arsitekturnya perpaduan gaya Jawa dengan Eropa. Di dalamnya ada kolam besar yang dulu menjadi tempat pemandian para selir sultan.

Selain kolam yang kerap diabadaikan fotografer, juga ada beberapa kamar antara lain kamar sultan yang menarik dijepret. Tak heran kalau Tamansari kerap dijadikan sebagai tempat kumpul para fotografer Jogja dan sekitarnya.

Kelima, Taman Nasional Ujung Kulonan (TNUK) di Banten. Dari sekian taman nasional yang ada di Jawa, TNUK boleh dibilang menjadi favorit fotografer karena banyak obyek menarik yang diabadikan, antara lain beragam hewan terutama Badak Jawa yang menjadi primadonanya, bentangan mulai dari Pantai Karang Rancang hingga Cibunar, dan pengembalaan banteng liar.

Selain itu ada Gunung Payung dengan kelebatan hutannya, formasi batu karang di Sangyangsirah lengkap dengan gua angker-nya, Tanjung Layar dengan mercusuarnya dan tentu saja Pulau Peucang dengan pasir putihnya.

Taman nasional lain yang juga kerap diabadikan fotografer adalalah Taman Nasional Baluran di Situbondo, Jawa Timur. Kondisi alamnya khas dengan savana mirip seperti alam Afrika.


Keenam, Kawah Ijen di Banyuwangi, Jawa Timur. Alam Jawa juga dihiasi oleh sejumlah kawah gunung aktif yang kerap diabadikan fotografer.

Dari sekian banyak kawah, Kawah Ijen-lah yang menjadi pilihan. Kelebihan kawah yang berada di ketinggian 2.386 mdpl ini selain danau kawah besar berwarna hijau toksa, juga ada kegiatan penambang belerang yang menarik diabadikan.

Satu lagi, kemunculan fenomena alam blue fire atau api biru yang dapat dilihat dan dijepret pada malam hari sampai jelang subuh atau sebelum matahari terbit.

Satu kawah lain yang juga menjadi favorit fotografer adalah Kawah Putih di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Yang bikin menarik dari kawah ini adalah pepohonan di sekitar kawah yang merangas tinggal ranting-rantingnya hingga memberi kesan artistik.

Ketujuh, Grebel Syawal di Yogyakarta. Dari sekian wisata budaya tradisi yang ada di Jawa, tradisi ala Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Grebeg Syawal-lah yang menjadi favorit sejumlah fotografer untuk diabadikan.

Tradisi unik untuk menyambut hari raya Idul Fitri ini digelar setiap 1 Syawal penanggalan Hijriyah, atau bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Biasanya berlangsung di sekitar Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, usai pelaksanaan sholat Idul Fitri berjama’ah.

Inti upacara ini adalah pelepasan Gunungan Lanang yang kemudian diperebutkan oleh masyarakat. Perebutan gunungan inilah moment yang paling ditunggu fotografer untuk diabadikan.

Sebelum dilepas, Gunungan Lanang terlebih dahulu diarak dari Pagelaran Keraton Yogyakarta menuju halaman Masjid Agung Kauman untuk didoakan. Arak-arakan khas keraton ini juga menjadi daya tarik tradisi dalam upacara ini. 

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Gunung-Gunung Pesugihan di Pulau Jawa

Di Pulau Jawa ada sejumlah gunung yang bukan hanya diminati para pendaki pun para pencari pesugihan. Bahkan di antaranya justru lebih ngetop di kalangan para pencari berkah lewat jalan pintas yang dianggap menyesatkan ini. 

Konflik antara Adi Bing Slamet dengan Eyang Subur yang tak lain mantan guru spitualnya sendiri, kian membuka mata banyak orang bahwa pesugihan atau sejenisnya itu memang ada.

Benar apa tidaknya Eyang Subur itu melakukan praktek pesugihan, membantu sejumlah artis, pejabat, pengusaha, orang awam dan lainnya untuk mendapatkan kelancaran, kesuksesan, dan kekayaan dengan ajaran sesat, itu memang belum terbukti.

Namun tempat-tempat pesugihan yang tersebar di negeri ini, itu juga bukti kuat adanya praktek yang dinilai menyesatkan itu. Di Pulau Jawa misalnya terdapat sejumlah pesugihan, termasuk yang berada di gunung.

Pesugihan berasal dari kata sugih yang secara bahasa bermakna kaya. Sedangkan pesugihan berarti upaya agar seseorang menjadi sugih (kaya). Bisa juga berarti ilmu mendapatkan harta kekayaan, atau dalam istilah asing disebut getting rich. Pesugihan ini berhubungan dengan makhluk gaib atau jin.

Sekurangnya ada tujuh (7) gunung di Jawa yang memiliki tempat pesugihan sehingga disebut-sebut pula sebagai gunung pesugihan.

Pertama, Gunung Kawi di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Gunung berketinggian 2.551 meter di atas permukaan laut  (mdpl) ini sudah lama dikenal sebagai tempat pesugihan paling populer di Indonesia bahkan Asia Tenggara.

Bermacam ritual harus dilakukan oleh para pencari berkah yang tak masuk akal ini seperti selamatan, ubo rampe, sesajen, berebut daun dewa ndaru yang dianggap sebagai daun harapan dan keberuntungan, dan menyembelih kambing pilihan sebagai syarat pesugihan.

Kendati tak masuk akal, tetap saja banyak orang yang percaya dan melakukannya. Yang menjadi masalah banyak orang yang mencari kesempatan di sini dengan dalih melancarkan urusan pesugihan sebagai syarat dan lainnya.

Karena itu disarankan pengunjung berhati-hati. Kalau sekadar berkunjung untuk menikmati keindahan panorama Gunung Kawi atau penasaran melihat suasananya, boleh-boleh saja.

Kedua, Gunung Kemukus di Sragen, Jawa Tengah. Gunung yang merupakan bukit kecil berketinggian 300  mdpl ini juga sudah lama terkenal sebagai lokasi pesugihan dengan ritual yang lebih tak masuk akal bahkan edan.

Pasalnya untuk mendapatkan pesugihan itu, pelakunya harus melakukan ritual seks dengan wanita bukan pasangan sahnya selama tujuh kali berturut-turut. Na'uzubiillah...

Lambat laut ritual ini menjadi ajang prostitusi berkedok wisata ziarah. Bagaimana tidak, di gunung ini tersedia jasa teman tidur atau pekerja seks komersial (PSK) yang menawarkan diri untuk menjadi teman tidur sesaat.

Kendati Pemerintah Daerah sudah berusaha mencegah praktek menyesatkan ini namun tetap berkembang lantaran konsepsi tentang ritual seks ini sudah tertanam kuat dalam masyarakat setempat.

Ketiga, Gunung Srandil di Cilacap, Jawa Tengah. Di gunung yang merupakan bukit karang di pesisir Pantai Laut Selatan, tepatnya di Desa Gemplang Pasir, Kecamatan Adipala ini dipercaya sebagai petilasan tokoh-tokoh sejarah seperti Kunci Sari dan Dana Sari yang merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Selain itu juga diyakini sebagai tempat petilasan tokoh-tokoh mitologis Jawa seperti Hanoman dan Eyang Semar.

Konon orang pertama yang tinggal di gunung ini adalah Sultan Mukhriti, putra kedua dari Dewi Sari Banon, Ratu Sumenep Jawa Timur. Versi lain menyebutnya yang pertama menghuninya adalah Kunci Sari dan Dana Sari.

Petilasan-petilasan yang ada di gunung ini antara lain petilasan Mbah Kanjeng Gusti Agung, Nyai Dewi Tanjung Sekarsari, Kaki Semar Tunggul Sabdojati Dayo Amongrogo, Juragan Dampo Awang, Kanjeng Gusti Agung Akhmat atau Petilasan Langlang Buwana yang berada diatas bukit, dan petilasan Hyang Sukma Sejati yang dianggap memiliki kekuatan sakti.

Mereka yang mencari berkah ke gunung ini biasanya membawa berbagai sesajen, berupa bunga-bungaan, sembelihan ayam bahkan kambing. 

Keempat, Gunung Lawu di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Gunung berketinggian sekitar 3.265 mdpl ini memiliki tiga puncak utama yakni Harga Dalem, Harga Dumilah, dan Harga Dumiling yang dimitoskan sebagai tempat sakral di Tanah Jawa.

Harga Dalem dipercayai warga setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga Dumilah merupakan tempat sakral untuk meditasi.

Banyak juga yang menilai gunung ini sebagai pusat kegiatan spiritual di Tanah Jawa. Hubungannya erat dengan tradisi keraton, semisal upacara labuhan setiap bulan Sura yang dilakukan Keraton Yogyakarta.

Kelima, Gunung Tampomas di Sumedang, Jawa Barat. Gunung berketinggian 1.684 mdpl ini memiliki area terbuka sekitar 1 hektar di puncaknya yang bernama Sangiang Taraje. Sekitar 300 meter ke arah Utara Sangiang Taraje terdapat makam keramat yang dikenal dengan nama Pasarean.

Konon, ada dua makam keramat di Pasarean tersebut yang diyakini banyak orang sebagai patilasan Dalem Samaji dan Prabu Siliwangi.


Keenam, Gunung Padang di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Namanya saja gunung padahal cuma bukit kecil, tingginya hanya 885 mdpl. Yang membuatnya tersohor lantaran terdapat situs megalitikum yang diduga tempat peribadahan orang-orang musyrik masyarakat prasejarah dengan ‘kiblat’ pemujaan menghadap ke Gunung Gede.

Situs di gunung yang berlokasi di Desa Karyamukti, Kecamatan Cempaka ini berupa punden berundak dan bebatuan andesit berbentuk menhir.

Pada saat-saat tertentu, banyak orang datang ke situs yang di dalamnya terdapat beberapa makam yang dianggap keramat untuk berziarah. Tujuannya sudah pasti, ingin mendapatkan kelancaran, kesuksesan, dan kekayaan.

Ketujuh, Gunung Merapi di Sleman, Jawa Tengah. Gunung berketinggian 2.968 mdpl ini merupakan salah satu gunung teraktif di dunia.

Selain kerap didaki pendaki pun didatangi para peziarah pencari berkah bahkan pencari jalan pintas menuju kekayaan. Lokasi pesugihannya berada di lerengnya, tepatnya di Cangkringan, lereng Merapi sebelah Selatan.

Di sana terdapat sebuah gundukan tanah yang dipercaya sebagai makam keramat. Lokasi ini dinamakan Watu Tumpeng. Konon makan itu berisi jasad seorang sakti dari masa lampau.

Tulisan ini tidak bermaksud mengajak orang datang ke tempat-tempat yang dimaksud untuk melakukan pesugihan. Justru penulis menyarankan untuk terus berusaha dengan cara yang benar sesuai tuntunan agama dan tak lupa berdoa.

Buat muslim, sebaiknyalah melakukan ‘pesugihan’ secara Islami yakni berdagang dengan ulet dan jujur, melakukan Shalat Dhuha dengan istiqomah, dan bersedekah dengan ikhlas dengan tetap menjalankan perintah-Nya.

Jangan mencoba mencari jalan pintas atau pesugihan dengan beragam ritual menyesatkan, menganut ilmu sesat, sihir, memasang susuk, dan semacamnya untuk maksud tertentu termasuk mendapatkan kekayaan secara instan.

Dalam ajaran Islam, semua itu jelas-jelas syirik yaitu perbuatan menyembah atau menyekutukan sesuatu selain Allah. Dan itu adalah DOSA BESAR.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP