. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 21 Agustus 2019

Bule-bule Ini Rela Masuk Hutan Demi Cicipi Arak Khas Buton

Tujuh bule para yachter mancanegara ini akhirnya bisa mencicipi arak khas Buton usai berjalan kaki sampai tepi hutan di Desa Waanguangu, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten Buton.

Ketujuh bule terdiri atas 6 pria dewasa dan 1 perempuan itu datang ke Waanguangu diantar Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Buton Rusdin Nudi.

"Hemmm.., fantastic," ujar salah satu bule pria paling muda usai meneguk arak tradisional Buton itu dengan gelas kecil dari bambu yang disuguhkan Rusdin.

Kata yachter itu arak khas Buton yang baru saja diteguknya, rasanya unik, dan dia perkirakan kadar alkoholnya sampai 45%.

Rusdin menjelaskan ketujuh bule itu adalah para yachter mancanegara peserta Wonderful Sail Indonesia 2019 yang tengah mengikuti serangkaian kegiatan dalam Festival Budaya Tua Buton (FBTB) 2019 yang berlangsung 19-24 Agustus.

"Hari ini kami ajak mereka ke penyulingan arak tradisional Buton yang ada di Desa Waanguangu untuk menyaksikan prosesnya dari awal menyadap di pohon, proses fermentasi, dan proses penyulingan," terang Rusdin kepada TravelPlus Indonesia di Desa Waanguangu, Rabu (21/8).

Sewaktu tiba di lokasi penyulingan di tepi hutan, Rusdin langsung membeberkan proses penyulingan tuak tradisional Buton yang disebut konou, hasil fermentasi nira konou atau enau.

Konou itu ditempatkan dalam tong besi lalu dibakar di tungku dengan batang-batang kayu.

Bagian atas tong besi itu dihubungkan dengan 2 bilah bambu untuk menampung uap hasil pembakaran konou itu, lalu kedua batang bambu itu dihubungkan lagi dengan bambu-bambu lainnya sebagai tempat penyulingan sampai akhirnya menjadi arak.

Sambil mendengarkan penjelasan dari Rusdin, bule-bule itu nampak begitu antusias melihat dan mengabadikan proses pembakaran konou itu.

Karena butuh waktu lama, akhirnya Rusdin memberikan arak khas Buton yang sudah jadi dalam kemasan botol plastik.

"Ini sekadar buat mereka cicipi dan gratis. Soalnya kalau nunggu proses pembakaran sampai penyulingan itu butuh waktu lama," terang Rusdin.

Selepas melihat proses penyulingan tuak enau menjadi arak dan mencicipinya, para yachter itu berpendapat agar penyulingan arak itu tetap dipertahankan. Kalau bisa dibina atau dikemas karena bisa menjadi daya tarik wisata.

"Kata mereka dipastikan wisatawan asing sangat menyukai  proses penyulingan arak tradisional seperti itu," terang Rusdin.

Kepala Desa Waanguangu, Hasidi mengatakan penyulingan tuak enau menjadi arak di wilayahnya merupakan warisan nenek moyang sejak lampau.

"Sudah jadi tradisi di desa kami," terangnya.

Tuak disini, lanjut Hasidi dari Pohon Enau. Untuk menjadi arak melalui proses panjang dengan cara disuling.

"Arak itu memang mengandung alkohol. Kalau diminum berlebihan jelas bisa memabukkan tapi kalau sedikit bisa menyembuhkan penyakit gula dan lainnya," ungkap Hasidi.

Di desa yang dihuni 248 KK atau 1079 orang ini, arak dijual terbatas. "Harganya Rp 120 ribu per botol besar. Kalau setengahnya Rp 60 ribu," jelasnya.

Bukti kalau arak khas Buton sudah ada sejak lama bisa dilihat dalam postingan sebuah foto jadul oleh @potretlawas di twitter pada 10 September 2018 yang diberi captions: "Orang jual tuak di pasar. Pulau Buton, 1921.

Di sudut kiri foto hitam putih bergambar sejumlah pria dewasa dan anak-anak laki para penjual tuak lengkap dengan beberapa gerabah sebagai tempat tuak yang bentuknya mirip labu dan sederet botol beling berisi tuak itu, ada tulisan: Museum van Werelculturen - @potretlawas.

Di bawah foto itu dijelaskan bahwa tuak tradisional Buton disebut konou, hasil fermentasi nira konou atau enau. Dijual di pasar baik dengan botol maupun diminum langsung dari labunya memakai gayung.

Orang buton meyakini meminum konau baik untuk pencernaan - termasuk menyembuhkan sembelit dan mengobati sariawan.

Menurut Hasidi, kendati penyulingan tuak menjadi arak di di Buton sudah berlangsung lama namun baru belakangan ini turis asing atau bule yang datang ke desanya untuk melihat proses penyulingannya.

"Sebelumnya, pada bulan April lalu ada 3 turis bule asal Australia yang datang ke sini untuk melihat penyulingan tuak menjadi arak dan juga panen padi ladang," terangnya.

Daya Tarik Wisata
Hasidi pun berharap proses penyulingan tuak menjadi arak secara tradisional ini tetap dipertahankan agar tidak lenyap karena terbukti bisa menarik kunjungan wisatawan.

"Mudah-mudahan tahun-tahun depan bisa lebih banyak lagi turis yang datang. Kita siap menyambut dengam baik wisatawan yang datang ke desa kami sebagaimana penyambutan 7 bule hari ini secara adat," ungkapnya.

Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Buton, La Ode Zainuddin Napa menambahkan proses penyulingan tuak menjadi arak di Desa Waanguangu amat potensial menjadi daya tarik wisata baru bagi Buton.

"Jika dijaga, selain melestarikan salah satu tradisi budaya tua Buton, juga bisa mendatangkan kunjungan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara," ujarnya.

Selain dikenal sebagai lokasi penyulingan arak khas Buton, Desa Waanguangu juga tengah dikembangkan sebagai sentra kerajinan tangan Nyiru (bugis:pattapi) atau tampah atau tapisan beras sebelum dimasak.

Kerajinan yang juga dibuat secara tradisional itu pun sudah ada sejak lama dan turun-temurun.

Peminat Nyiru itu pun bukan cuma warga desa setempat dan sekitarnya, pun dari Baubau bahkan Kendari.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP