. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 21 April 2018

Launching FBIM 2018 Bikin Jakarta Mendadak Dayak

Jakarta mendadak Dayak. Begitu kesan awal ketika memasuki ruang Balairung Soesilo Soedarman, yang berada di lantai dasar Gedung Sapta Pesona, Kantor Kementerian Pariwisata (Kemenpar) di Jalan Medan Merdeka Barat 17, Jakarta Pusat, Kamis (18/4) malam lalu.

Bukan karena ada standing banner bertuliskan launching Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2018 berikut foto-foto festival tersebut yang sengaja diletakkan di dekat pintu masuk ruangan itu.

Bukan pula tulisan Press Conference FBIM 2018 berikut foto-foto festival tersebut yang tertera di layar video sebagai backdrop panggung.

Melainkan sejumlah orang Dayak yang datang langsung dari Kalimantan Tengah (Kalteng), terutama Dayak Ngaju, maupun orang Dayak ataupun berdarah Dayak yang sudah hijrah dan lama menetap di Jabodetabek.

Mereka, terutama perempuan dewasa semuanya mengenakan bermacam pakaian khas Dayak yang ada Kalteng.

Penampilan mereka itulah yang membuat atmosfir Jakarta khususnya di ruangan itu berubah menjadi seperti di salah satu wilayah Dayak yang ada di Kalteng.

Apalagi ada suguhan tarian Wadian Dadas yang menceritakan tentang pengobatan orang sakit yang kemasukan roh-roh jahat serta hiburan kesenian Karungut yang diiringi empat pemain musik yang memainkan alat musik kecapi, gendang, dan seperangkat gong Dayak, membuat suasana malam itu mendadak seperti sebuah dusun Dayak Ngaju di Kalteng yang tengah melakukan upacara Tiwah (dalam Kaharingan-kepercayaan asli orang Dayak, untuk mengantar ruh manusia yang meninggal dunia ke peristirahatannya), ataupun upacara meminta hujan, dan upacara pengobatan belian obat.

Pria dayak yang hadir malam itu rata-rata mengenakan Lawung atau peci khas pria Dayak Kalteng. Sementara baju-nya bukan baju adat Dayak melainkan kemeja batik dengan motif khas Dayak.

Ada juga yang menambahkan rompi (jaket simpel dan tipis tanpa lengan) dari kulit kayu yang dalam Bahasa Ngaju disebut Sangkarut, seperti yang dikenakan Kepala Taman Budaya Kalteng Wilbertus Wilson saat tampil menyanyikan Karungut berlirik potensi wisata budaya dan alam Kalteng.

Kata Wilson, Sangkarut yang dikenakan ini sudah modern karena bermotif. Ratusan tahun silam, sambung Wilson, masyarakat Dayak membuat Sangkarut ini dari kulit kayu yang disebut kulit nyamu.

Kulit kayu dari pohon keras itu ditempa dengan pemukul semacam palu kayu hingga menjadi lemas seperti kain. Usai dianggap halus, “kain” itu dipotong untuk dibuat baju dan celana. Ketika itu, rompinya tanpa hiasan apapun.

Selain Sangkarut, masyarakat Dayak tempo doeloe juga membuat cawat semacam sempak yang ketika dikenakan bagian depannya ditutup lembaran kain nyamu berbentuk persegi panjang yang disebut Ewah.

“Baik Sangkarut maupun Ewah itu berwarna coklat muda, warna asli kayu nyamu, jadi tidak diwarnai. Juga sama sekali tidak diberi hiasan alias polos sehingga kesannya sangat alami,” terang Wilson.

Selain mengenakan Sangkarut dan Ewah, biasanya pria Dayak Ngaju melengkapi diri dengan Mandau atau pedang dengan Taliwang atau perisai/tameng.

Sejak teknik menenun dikenal masyarakat Dayak Ngaju, konon kabarnya dari orang-orang Bugis, kulit kayu yang semula hanya ditempa menjadi lembaran-lembaran “kain”, kini diolah dengan proses panjang.

Kulit kayu yang telah dihaluskan kemudian dibuat serat lalu dicelupkan ke air pewarna alam sehingga dihasilkan benang dengan aneka warna.

Kemudian mereka tenun menjadi lembaran kain yang selanjutnya dirancang sedemikian rupa menjadi baju, celana, ikat kepala, dan kelengkapan lainnya.

Lambat laut masyarakat Ngaju pun mengenal teknik menenun kain halus dari kapas dan sutra sehingga dalam perkembangannya kini banyak pakaian acara-acara adat orang Dayak, termasuk kostum tari dan busana pengantin kebanyakan dibuat dari kain beludru, satin atau sutra. Namun corak hias dan modelnya tidak bergeser jauh dari bentuk asalnya.

Jika para lelaki Dayak malam itu tidak berpenampilan total, berbeda dengan perempuan Dayak-nya, malam itu kompak mengenakan bermacam busana dayak modern terdiri atas baju kurung Ngasuhui berlengan panjang atau pendek, dari kain satin atau beludru, yang pada bagian bawahnya diberi corak hias bentuk flora atau fauna.

Paduannya rok panjang sebatas betis yang disebut Salui, dari kain yang sama yang juga diberi corak hias berupa penggayaan bentuk tumbu-tumbuhan ataupun hewan.

Rambut yang disanggul bentuk sanggul lipat atau dibiarkan terurai lalu diberi hiasan ikat kepala, Lawung Bawi atau Salutu Bawi dari kain yang sewarna dengan baju dengan bulu-bulu Burung Haruei yang diselipkan pada ikat kepala bagian belakang.

Begitupun dengan enam penari perempuan yang membawakan tarian Wadian Dadas, semuanya mengenakan kostum tari Dayak berwarna kuning berhias  kalung manik-manik, dan anting-anting atau suwang serta ikat kepala dari rajutan daun kelapa muda serta hiasan dari bulu-bulu Burung Haruei.

Corak hias busana yang dikenakan para perempuan Dayak itu pun berbeda-beda. Wilson menjelaskan kalau di Kalteng memang pemakaian corak hias busana adat untuk perempuan dan laki laki itu berbeda, begitupun untuk para pemuka kelompok, para tetua adat, panglima perang, kepala suku, dan ahli pengobatan.

Malam itu, usai pemberian cendera mata, peluncuran FBIM ditutup dengan tarian bersama oleh para tamu utama antara lain Staf Ahli Menteri Bidang Multikultural Esthy Reko Astuti yang mewakili Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng Guntur Talajan, Pjs. Bupati Katingan Suhaemi, Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Katingan Mido Mahar, dan Kepala Disbupar Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Fajrurahman dengan para penari.

Meskipun tak berlangsung lama, dan warga Dayak yang datang pun tidak terlalu banyak, namun karena yang hadir rata-rata mengenakan pakaian Dayak ditambah suguhan tarian Wadian Dadas dan kesenian Karungut, membuat kesan Jakarta Mendadak Dayak menjadi terasa.

Nah, kalau Anda ingin benar-benar merasakan atmosfir sebenarnya berikut sejumlah suguhan
tari, lagu daerah, dan atraksi aneka permainan khas Dayak seperti lomba Jukung Tradisional, Besei Kambe, Sepak Sawut, dan lainnya, datang saja ke Kalteng pas penyelenggaraan culture event FBIM 2018 yang bertempat di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas, tanggal 2-6 Mei mendatang.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto: adji & dok. humas-kemenpar

Captions:
1. Hiasan kepala perempuan Dayak Kalteng.
2. Menarikan tarian Wadian Dadas.
3. Kesenian Karungut.
4. Wilson mengenakan rompi atau Sangkarut dari kulit kayu.
5. Lawung ataui kat kepala khas pria Dayak Kalteng.
6. Menari bersama di ujung acara.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP