. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Minggu, 09 April 2017

Rinjani Menggoda, Tambora Menyapa Saat Overland Plus Sea Journey Lombok-Sumbawa

Perjalanan darat (overland) dengan mobil apalagi bis, ditambah perjalanan laut (sea journey) dengan kapal roro atau ferry meskipun membuang waktu dan menguras tenaga lantaran jarak tempuhnya lebih lama, justru membuahkan cerita yang lebih panjang dan berwarna dibanding dengan perjalanan udara (air travel) dengan pesawat.

Kisah perjalanan yang berpelangi itulah alasan saya memilih overland plus sea journey ketimbang air travel ketika ada dua pilihan menuju Sumbawa dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) baru-baru ini.

Sebenarnya kalau air travel dari Lombok International Airport (LIA) di Praya, Lombok menuju Bandara Sultan M. Salahuddin atau dikenal juga dengan nama Bima Airport di Bima, Pulau Sumbawa cuma butuh waktu sekitar 1 jam dengan pesawat Wings Air setiap hari.

Dari bandara, butuh sekitar 1 jam berkendara menuju Dompu dengan kendaraan pribadi, atau sekitar 1,5 jam dengan bis Bima-Dompu pp yang dapat dicegat di depan bandara.

Sementara kalau overland dari Kota Mataram ke Pelabuhan Penyeberangan Kayangan, Lombok Timur saja kurang lebih 3 jam dalam kondisi lalu lintas lancar. Belum lagi harus menunggu antrian naik ferry, bisa 1 - 3 jam. Kemudian penyeberangannya sendiri sekitar 1,5 - 2 jam ke Pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat.

Namun karena ingin mendapatkan cerita perjalanan yang lebih seru, akhirnya saya memutuskan via overland plus sea journey.

Sebelum berangkat, saya sempatkan sarapan di Lombok Plaza Hotel & Convention, tempat saya menginap di Kota Mataram, persisnya di Jalan Pejanggik, Cakranegara.

Letak hotel dengan harga Superior Room-nya Rp 750 ribu hingga President Suite Rp 2,5 juta pe malam ini sangat strategis.

Di depan hotel yang memiliki kolam renang di lantai 2 ini, ada mini market dan karoke. Sedangkan di belakangnya ada Puri Melanting dan pasar tradisional. 

Menu sarapannya pun bermacam dari masakan khas Indonesia sampai western food.

Saya memilih menyantap seporsi bubur ayam dalam mangkuk kecil, dua telor mata sapi setengah matang, minumnya air putih dan teh manis, serta penutupnya dua kue lopis dan tiga potong pepaya ukuran kecil.

Pukul 9 pagi, mobil yang mengantar saya ke Sumbawa sudah datang. Agus dari Dispar NTB yang membawa mobil itu. Kami pun segera meluncur. “Perjalanan kita sekitar 3 jam ke Pelabuhan,” kata Agus. Di dalam mobil sudah ada sekantung makanan kecil. Ada wafer, kripik, jeruk, salak, dan air mineral. 

Tapi sewaktu mobil berhenti di lampu merah, Agus membeli kacang rebus, 5 ikat Rp 10 ribu. “Ini kacang asli Lombok lho, beda sama daerah lain,” kata Agus yang berasal dari Bali.

Jalan yang kami lalui terbilang mulus dan lalu lintasnya lancar. Mobil pun melaju tanpa hambatan berarti.

Di kiri jalan, nampak Gunung Rinjani menggoda kami. Sayang atapnya terhalang kabut. Hanya badannya saja yang nampak. Rinjani merupakan gunung utama di Pulau Lombok.

Gunung berketinggian 3.726 Meter di atas permukaan laut (Mdpl) ini menjadi ikon wisata alam bagi NTB, khususnya Lombok.

Rinjani sejak lama menjadi dambaan banyak pendaki di Tanah Air bahkan mancanegara. Maklum selain trek pendakiannya variatif dan menarik, gunung ini pun disebut-sebut sebagai salah satu gunung berparas tercantik di Indonesia.

Jadi jangan heran kalau setiap tahun, ada ribuan pendaki dalam dan luar negeri yang mendakinya untuk mencapai atap dan Danau Sagara Anak-nya yang benar-benar menawan.

Jelang siang, kami tiba daerah Rarang, Lombok Timur. Agus memberhentikan mobilnya di tepi jalan tepat setelah warung kecil yang menjual pisang goreng khas Rarang. Dia turun lalu membeli pisang yang sedang digoreng. Harganya Rp 1.000 per potong.

Saya pun ikut turun dan mencicipi pisang goreng tersebut. “Lihat tepungnya tidak berminyak,” kata Agus memperlihatkan pisang goreng khas setempat yang lagi-lagi memang beda dengan pisang goreng dari daerah lain.

Selain pisang goreng, Agus juga membeli tahu isi goreng harga satuannya sama Rp 1.000. Isi tahunya berupa adonan irisan kol dan toge. Sementara rekan lain memesan Nasi Rarang, nasi khas daerah tersebut untuk bekal makan siang di kapal ferry nanti.

Pukul 11 siang mobil kami tiba di Pelabuhan Penyeberangan Kayangan. Di lapangan parkirnya, sudah ada antrian bermacam kendaraan dari truk, bis, mobil, dan sepeda motor.

Tarif naik kapal ferry dari Kayangan ke Poto Tano Rp 25 ribu per orang sekali jalan. Kalau membawa mobil atau motor beda lagi.

Di samping lapangan parkir ada kios pedagang makanan kecil dan buah. Rupanya sedang musim Nanas Madu yang berukuran lebih kecil dibanding nanas biasa. Buktinya pedagang Nanas Madu mendominasi di deretan kios itu.

Harga seikatnya Rp 10 ribu, ada yang berisi 5 Nanas Madu berukuran kecil. Kalau yang agak besar seikatnya ada 3 buah.

Para pedagang buah Nanas Madu sampai berkeliaran di lapangan menawarkan ke sejumlah penumpang yang baru datang. Begitupun pedagang nasi bungkus, makanan kecil seperti keripik, emping, rokok, dan kopi.

Di pelabuhan ini baru ada 2 dermaga. Akibatnya kerap terjadi antrian kapal ferry yang hendak berlabuh dan bongkar muat penumpang, barang, dan kendaraan.

Karena lama menunggu, saya memilih jalan-jalan sekitar pelabuhan sambil melihat dan memotret suasana pelabuhan.

Siang itu di dermaga 2 yang diresmikan Menteri Perhubungan M. Hatta Rajasa pada tanggal 24 Mei 2006 itu, ada satu kapal ferry berwarna putih dengan tulisan “Citi Line” di badannya yang sedang bersandar menaikkkan penumpang dan barang termasuk bermacam kendaraan.

Bis jurusan Mataram (Lombok)-Celabai Kabupaten Dompu (Sumbawa) yang berukuran sedang serta bis Dunia Mas dan Surya Kencana yang berukuran besar pun ikut masuk kapal tersebut. “Pelabuhan ini bukan 24 jam nonstop,” terang Agus.

Sekitar pukul 1 siang, mobil kami baru dapat giliran naik kapal ferry berikutnya. Di badan kapal yang kami naiki tersebut ada tulisan “We Love Indonesia”.

Semua kendaraan, baik mobil, bis, truk dan sepeda motor di parkir bagian dek bawah kapal. Sementara penumpang naik ke geladak tengah, dan juga atas.

Di kapal ini juga ada mushola kecil, tempat mengambil wudhu, toilet, dan tentu saja anjungan khusus crew kapal termasuk nahkoda, serta kantin sederhana yang menjual minuman kopi, teh, mie instan, dan lainnya.

Saya bersama dua orang penumpang menunaikan Shalat Zuhur sekaligus Ashar di mushola kapal tersebut. Selepas itu, saya pergi ke bagian atas berkumpul dengan rekan lain.

Di atas kapal pemandangan lebih terlihat jelas daratan Lombok, termasuk Gunung Rinjani yang seolah-olah melambaikan tangan, mengucapkan selamat jalan.

Di bagian atas kapal yang tak beratap, kami santap siang bersama dengan Nasi Bungkus Ayam Rarang. Isinya nasi putih dengan ayam goreng bercampur bumbu sambal yang berkuah dan lalapan irisan mentimun. “Ini Nasi Rarang, bumbu atau sambalnya beda dengan Ayam Taliwang,” jelas Agus.

Selepas makan siang, saya turun ke geladak tengah yang beratap dan dilengkapi deretan kursi fiber glass berwarna orange.

Di sana ada suguhan live music organ tunggal dengan dua orang penyanyi dangdut, pria dan wanita.

Seru juga menikmati suguhan musik dangdut ala pantura di Jawa.

Bedanya ini di dalam kapal ferry yang sedang melaju menuju daratan Sumbawa dari Lombok dengan hembusan angin laut dan deburan ombak kecil yang menampar dan terkadang mengoyang-goyangkan kapal.

Beberapa lagu dangdut berirama riang dibawakan kedua penyanyi tersebut. Penyanyi perempuannya yang berambut panjang memakai topi, tak segan-segan bergoyang agak centil dan erotis, terlebih saat merayu penumpang agar memberikan uang alias nyawer. Segelintir penumpang termasuk saya pun ikut nyawer.

“Itu mas yang pake sarung tadi katanya mau nyanyi dan nyawer, koq sekarang diam aja,” kata penyanyi perempuan itu. Lantaran tak ada lagi yang nyawer, kedua penyanyi itu pun berhenti ‘beraksi’.

Tak lama kemudian kapal ferry mulai merapat ke dermaga Pelabuhan Poto Tano. Dari kejauhan nampak beberapa bukit di Pulau Sumbawa, termasuk Gunung Tambora yang menyapa malu-malu.

Gunung berketinggian 2.851 Mdpl atau 9.350 kaki ini memang kalah tenar dibanding Gunung Rinjani di Lombok.

Namun kalau dilihat dari sejarah letusannya yang terjadi tepat bulan April 1815, jelas Tambora juaranya. Bahkan kabarnya lebih dasyat dari erupsi Krakatau tahun 1883.

Belakangan ini, tepatnya mulai tahun 2015, kemasyuran Gunung Tambora didengungkan lagi lewat event bertajuk Tambora Menyapa Dunia (TMD) yang kemudian digelar setiap tahun. Dan tahun 2017, TMD digelar lagi dengan serangkaian acara seperti Festival Pesona Tambora (FPT), dan Tambora Challenge 320K yakni lari marathon lintas Sumbawa sepanjang 320 Km yang diikuti pelari dalam dan luar negeri.

Kapal Ferry yang kami tumpangi akhirnya berlabuh di Pelabuhan Poto Tano. Di tepian dermaga terlihat beberapa orang tengah memancing. Pelabuhan ini nampak lebih sepi dibanding Pelabuhan Kayangan. Tapi lebih tertata rapih dan pemandangannya lebih menawan berupa perbukitan.

Kami pun masuk ke mobil lalu menanti keluar dari dek kapal dan langsung ke luar pelabuhan. Selepas dari pelabuhan, jalan yang kami lalui pun sepi.

Di beberapa titik yang kami jumpai justru rombongan Sapi yang asyik berkeliaran di jalanan. “Di sini yang bukin macet bukan mobil tapi sapi,” ujar Agus yang harus sabar menunggu gerombolan sapi menepi dari jalanan.

Lokasi yang kami tuju adalah balapan ayam atau bahasa setempat menyebutnya Barapan Ayam di Lapangan Desa Mantar, Kecamatan Seteluk, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB).

Untungnya Barapan Ayam yang menjadi tradisi warga Sumbawa bagian Barat itu masih berlangsung, jadi kami masih sempat menyaksikannya.

Peserta lombanya jelas sepasang ayam yang dipacu pemiliknya sambal berlari sekencang-kencangnya sampai mengenai tongkat finish yang berjarak sekitar 100-an meter dari start.

Barapan Ayam merupakan salah satu acara dari Festival Pesona Mantar 2017 yang digelar 2-8 April lalu. Festival ini digelar untuk memeriahkan acara Tambora Challenge 320K yang lokasi start-nya berlangsung di desa tersebut.

Puas menyaksikan Barapan Ayam khas Sumbawa Barat, kami kembali ke Pelabuhan Poto Tano untuk naik kapal ferry lagi untuk kembali ke Pelabuhan Kayangan, Lombok.

Kapal yang kami tumpangi kali ini beda dari kapal sewaktu berangkat. Kapalnya tidak punya dek atas yang terbuka. Tapi ada ruang khusus ber-AC. Saya dan beberapa rekan memilih masuk di ruang ber-AC. Soalnya memang tidak ada hiburan live music di kapal ini.

Andri, salah satu penumpang di ruangan tersebut bercerita kalau Sumbawa Barat punya banyak objek wisata menarik, salah satunya Pulau Kenawa. “Pasirnya putih dan suasananya masih asri. Pulau ini tak berpenghuni. Biasanya pengunjung ke sana berkemah,” ujar pria asal Madiun, Jawa Tengah yang bekerja di PLN Sumbawa Barat, seraya menunjukkan foto-foto keindahan pulau tersebut dari HP-nya.

Selain pantai, lanjut Andri yang hendak ke Mataram karena ada tugas kantor, juga ada beberapa air terjun dan tentu saja pendakian ke Gunung Tambora. “Pendakian ke Gunung Tambora selain dari Kabupaten Dompu juga bisa lewat Kabupaten Sumbawa Barat ini. Sampai sekarang saya belum sempat mendaki Tambora, tapi suatu saat kepingin juga,” terangnya.

Lepas Maghrib, kami tiba di Pelabuhan Kayangan, kemudian langsung menuju Kota Mataram.

Di perjalanan, saat melewati daerah Anjani, masih wilayah Lombok Timur, Agus membeli “Bantal”, panganan khas setempat yang mirip Lepet Jakarta yang terbuat dari beras ketan, kelapa muda yang diparut, dan di dalamnya ada potongan pisang ataupun kacang merah, lalu dibungkus daun aren atau janur. Harganya satu renteng berisi 16 biji Rp 30 ribu.

Sebelum kembali ke Lombok Plaza Hotel, kami mampir ke Rumah Bakso milik Marianto di Jalan Brawijaya, Cakranegara, Kota Mataram untuk santap malam.

Tempat makan bakso satu ini tetap eksis di Mataram meskipun banyak penjual bakso lain. Faktornya, disamping terkenal enak dan pastinya serba halal, juga suasana tempatnya beda, berkonsep seperti resto dan café.

Selain aneka bakso original yang menjadi menu andalannya, juga ada menu lain seperti Sop Buntut, bermacam Mie Goreng, Nasi Goreng, Ayam Bakar, Pisang dan Roti Bakar serta beragam minuman panas dan dingin.

Saya memilih seporsi Bakso Istimewa seharga Rp 27.500 per porsinya, yang di dalamnya ada telur puyuh. Sedangkan minumannya Wedang Sereh yang dibanderol Rp 15.500 per gelasnya.

Keistimewaan lain Rumah Bakso ini, juga ada hiburan seorang penyanyi perempuan dengan iringan organ tunggal yang membawakan lagu-lagu pop Indonesia dan Barat.

“Rumah Makan Bakso ini bisa menampung sampai 100-an orang. Alhamdulillah pelanggannya mulai dari pejabat pemerintah, politikus sampai wisatawan dari dalam negeri dan Malaysia,” aku Marianto.


Selepas bersantap malam, kami langsung menuju Lombok Plaza Hotel untuk beristirahat.

Meskipun badan lelah dan kantuk menyerang, saya sempatkan menyicil tulisan perjalanan overland plus sea journey Lombok-Sumbawa pp ini menjadi tiga judul tulisan.

Ketika ditanya oleh rekan, ketiga tulisan itu untuk siapa? Ya tentunya untuk pembaca setia TravelPlus Indonesia di nusantara dan mancanegara yang ingin merasakan sensansi beda overland plus sea jouney dari Lombok ke Sumbawa.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP