. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Minggu, 16 April 2017

Cara Lelaki Memahami R.A. Kartini Lewat Tiga Film Berbeda Masa dan Rasa

Kesetaraan hak perempuan dengan laki-laki yang diperjuangkan Raden Adjeng (R.A.) Kartini tak bisa dipungkiri telah membuat banyak perempuan di negeri ini tampil sejajar dengan pria dalam berbagai profesi, karier, jabatan, dan keahlian. Tak heran sosoknya sejak dulu sampai kini begitu istimewa di mata jutaan perempuan bangsa ini.

Keistimewaan sosok Pahlawan Nasional satu ini pun dirasakan kaum lelaki. Lewat beragam karya, para pria pun ingin memahami sosok R.A. Kartini lebih dalam.

Sjuman Djaya, Azhar Kinoy Lubis, dan Hanung Bramantyo contohnya. Ketiga sutradara berbeda masa ini mengagumi sosok R.A. Kartini dan memahami perjuangannya yang disuguhkan lewat karya film layar lebar.

Aksi perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 yang meninggal di Rembang juga Jawa Tengah, 21 April 1879 pada usia 25 tahun yang selama hidupnya memperjuangkan kesetaraan hak antara wanita dan pria, telah mengingspirasi ketiga sineas Indonesia ini untuk membuat film Kartini.

Sjuman Djaya menjadi pria pertama yang membuat film biografi pertama tentang sosok R.A Kartini berjudul R.A. Kartini.

Film yang yang diproduksi tahun 1984 dan dibintangi aktris Jenny Rachman sebagai R.A. Kartini serta sederet aktor ternama seperti Bambang Hermanto dan Adi Kurdi ini mengisahkan tentang perjuangan R.A. Kartini dalam memperjuangkan hak kaum wanita Indonesia yang pada saat itu masih belum disetarakan dengan hak-hak kaum pria dalam hal mendapatkan pendidikan dan sebagainya.

Menariknya di film yang diproduksi berdasarkan isi dari buku Biografi Kartini yang ditulis oleh Sitisoemandari Soeroto ini Sjuman Djaya juga mengangkat soal kerajinan perak, tenun, dan ukiran buatan pribumi setempat agar lebih berkualitas dan bisa bersaing di Eropa pada masa itu.

“Kita akan usik rasa keindahan mereka, akan kita perbaiki ketrampilan mereka. Untuk menghasilkan kerajinan yang lebih halus. Lalu kita perkenalkan hasil kerajinan mereka ke Eropa, kita akan buktikan tenunan, perak, dan ukiran kita tidak kalah buruk dengan Tiongkok ataupun Jepang,” kata Kartini di film tersebut.

Selain menyinggung soal kerajinan yang terkait erat dengan pariwisata, Sjuman Djaya pun turut menonjolkan sisi religi Islami Kartini, kebetulan Kartini memang seorang Muslimah.

Ini terlihat dalam adegan saat Kartini bertanya kepada guru mengajinya seorang perempuan tentang apa arti sebenarnya Al Fatihah yang menurutnya terdengar indah sekali dan pasti mengandung arti yang dalam. Namun gurunya itu tidak bisa menjawabnya karena tidak paham arti surat Al-Fatihah lantaran belum ada terjemahan dalam bahasa lokal.

Rasa penasarannya membuat Kartini kemudian bertanya kepada Kyai Sepuh apakah benar Al-Qur’an itu tidak boleh disalin dalam bahasa lokal? Kyai itu menjawab abu-abu, setengah-setengah.

Akhirnya Kartini bilang bahwa dia teringat sebuah hadis yang dia dengar dari Eyang Putri-nya. Hadis itu berbunyi: “Barang siapa yang memiliki ilmu dan ilmu itu tidak diajarkan kepada orang banyak maka kelak di akhirat orang itu akan dikendali mulutnya oleh Allah itu dengan api”.

Lalu Kartini bertanya lagi. “Jadi mengapa Kyai Sepuh tidak menyalin seluruh terjemahan Al-Quran ke dalam bahasa kita sendiri?” Sang Kyai pun ber-istighfar lalu mengucap Insya Allah Ta’ala Raden Ajeng.

Sisi kesuksesan sekolah yang didirikan Kartini juga diperlihatkan Sjuman Djaya di film ini. Diceritakan bahwa sekolah yang semula sekadar didirikan Kartini untuk gadis-gadis sekitar dalam Kepatihan, kemudian berkembang dan diminati oleh anak bangsawan Karisidenan Pekalongan sebanyak 40 orang.

Sekolah itu pun sudah diketahui oleh Semarang dan Batavia. Bahkan saat ini sedang menerima utusan dari Bandung yang khusus datang untuk mempelajari sistem belajar yang dipakai sekolah buatan Kartini.

“Mereka datang berdua, mereka putri-putri bangsawan Bandung. Mereka manis dan lahap sekali belajar apa yang terjadi di sini sampai berhari-hari. Namanya Dewi Sartika dan adik perempuannya. Mereka akan mendirikan balai pendidikan yang sama di Jawa Barat nanti. Gagasan Mbak Yu akan terwujud dimana setiap Kota Karisidenan di Jawa akan memiliki sekolah idaman. Dan sebentar lagi langit gelap akan menjadi terang untuk kaum kita,” begitu isi surat yang dibaca Kartini yang termuat dalam film itu.

32 tahun kemudian sutradara Azhar Kinoy Lubis menggarap film tentang R.A. Kartini berjudul Surat Cinta untuk Kartini yang diputar serempak 21 April 2016 lalu.

Di film yang dibintangi Rania Putri Sari sebagai R.A. Kartini ini, Azhar memadukan unsur fiksi yang lebih dominan dan tentu saja ada muatan sejarahnya.

Kisahnya lebih dititikberatkan pada kisah percintaan R.A Kartini dengan seorang pria dari kalangan rakyat jelata yang berprofesi sebagai tukang pos bernama Sarwadi, diperankan Chicco Jerikho.

Azhar pun menceritakan asal mula Sarwadi jatuh hati dengan Kartini di film ini. Duda beranak satu yang baru saja pindah dari Semarang itu diceritakan mengantarkan sejumlah surat, salah satunya surat untuk R.A. Kartini.

Paras Kartini nan ayu langsung membuat Sarwadi jatuh hati apalagi setelah tahu Kartini sangat peduli dengan rakyat kecil.

Lalu Sarwadi  menceritakan peretmuannya itu kepada Mujur (Ence Bagus). Tapi sahabatnya itu mencap Kartini wanita aneh, lantaran ingin menentang adat yang menurut masyarakat setempat sangat tabu untuk dilanggar. Orang-orang yang ia temui pun menilai serupa soal Kartini hingga membuatnya bingung (galau, kata anak sekarang).

Kegalauan Sarwadi pun sirna setelah tahu Kartini ingin mendirikan sekolah bagi kalangan bumiputra, terutama kaum perempuan. Kartini ketika itu berpendapat perempuan pribumi yang terdidik, kelak pun akan mendidik anak-anaknya dengan lebih baik dan lebih maju.

Pemikiran Kartini melawan kodrat wanita hanya untuk menikah dan mengurus keluarga, membuat Sarwadi bertambah kagum. Ia pun mengajak putri kandungnya Ningrum (Christabelle Grace Marbun) untuk belajar di sekolah milik Kartini.

Namun kekaguman Sarwadi seketika musnah ketika dia mendengar Kartini dilamar oleh seorang Bupati Rembang yang sudah beristri 3.

Azhar mengakui film Surat Cinta untuk Kartini (2016) memang bukan film biografi murni melainkan pengembangan dari kisah hidup R.A. Kartini.

Lukman Sardi selaku produser film ini pun mengamini bahwa film ini bukanlah film sejarah. Sebab 70 Persen film ini adalah fiksi, sisanya 30 persen sejarah.

Dalam waktu hampir bersamaan, sutradara lainnya yakni Hanung Bramantyo juga menggarap film tentang sosok R.A. Kartini berjudul Kartini (2017).

Film ini berkisah tentang R.A. Kartini (diperankan Dian Sastro) yang tidak diperbolehkan memperoleh pendidikan yang tinggi, sekalipun dia seorang ningrat.

Kartini hanya diharapkan menjadi Raden Ayu dan menikah dengan seorang pria Ningrat. Kartini tumbuh dengan melihat langsung bagaimana ibu kandungnya, M.A. Ngasirah (Cristine Hakim) menjadi orang terbuang di rumahnya sendiri, bahkan diangggap pembantu hanya karena tidak berdarah ningrat.

Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo), pun tidak kuasa melawan tradisi saat itu.

Bersama kedua adiknya, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita), Kartini membuat sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan lapangan kerja untuk rakyat di Jepara dan sekitarnya.

Film Kartini (2017) yang juga dibintangi Nova Eliza sebagai M.A. Ngasirah Muda, Djenar Maesa Ayu (Raden Adjeng Moeriam), Reza Rahardian (Sosrokartono), Adinia Wirasti (Soelastri), dan Denny Sumargo (Slamet), Dwi Sasono (Raden Adipati Joyodiningrat), dan Rianti Cartwright sebagai Wilhelmina ini terasa lebih emosional dibanding film R.A. Kartini (1984) dan Surat Cinta untuk Kartini (2016), karena Hanung fokus memilih untuk menggambarkan kehidupan Kartini dalam masa pingitan sampai kemudian menikah.

Hanung menitikberatkan saat Kartini berusia 16-25 tahun, ketika Kartini kesulitan melakukan apa yang dia inginkan karena dia perempuan dan Raden Ajeng. Oleh karena itu sosok ibu kandung Kartini, Ngasirah juga dihadirkan di film ini.

Visual yang disuguhkan film ini pun terasa lebih menarik, kaya sudut pengambilan (angle) dan jauh lebih arstistik. Begitupun dengan pencahayaan (lighting-nya).

Kendati beda masa dan rasa, baik Sjuman, Azhar, dan Hanung bertujuan sama, ingin menyebarkan virus perjuangan yang telah dilakukan R.A Kartini semasa hidupnya yakni mendobrak tradisi, melawan tradisi yang mengekang lewat film garapannya masing-masing agar perempuan-perempuan Indonesia khususnya, terus terinspirasi dan termotivasi berbuat sesuatu yang terbaik bagi bangsanya dalam berbagai bidang.

Sebagai penikmat film-film Indonesia berkualitas, saya sebagai lelaki pun punya penilaian tersendiri.

Di film Kartini (2017) Dian Sastro terlihat berusaha keras menonjolkan aksen Jawa-nya. Lain halnya dengan Jenny Rachman di film R.A. Kartini (1984) dan Rania Putri Sari di film Surat Cinta untuk Kartini (2016), keduanya terutama Jenny Rachman tidak terlalu menegaskan aksen Bahasa Jawa-nya.

Kalau di film Kartini (2017) selain Dian Sastro yang memang mendapat porsi lebih karena sebagai pemeran utama, seluruh pemain pendukungnya pun berhasil menampilkan kekuatan karakter peran masing-masing sehingga terasa merata.

Sementara di film Kartini (1984), acting Jenny Rachman begitu menonjol dan sangat total hingga membuat sosok Kartini melekat dalam diri aktris senior yang pada era tahun 70-an dikenal sebagai salah satu dari the big five bintang film Indonesia terlaris ini.

Kalau dari segi wajah pemeran utamanya sebagai R.A. Kartini, TravelPlus Indonesia pun menilai wajah dan karakter Jenny Rachman lebih cocok memerankan Kartini pada masa itu.

Sementara paras Rania Putri Sari, terlebih Dian Sastro terlihat lebih fresh (terkesan kemudaan dan kecantikan) buat memerankan sosok Kartini. Tapi acting keduanya sebagai R.A. Kartini tak kalah bagus, terutama Dian Sastro yang berupaya menguatkan aksen Bahasa Jawa-nya.

Selamat Hari Kartini 21 April buat kaum perempuan Indonesia di manapun. Selamat menonton film Kartini (2017) tanggal 19 April ini.

Dan selamat menjelajahi negeri ini, berwisata ke kampung halaman Kartini di Jepara dan juga Rembang, Jawa Tengah, untuk menemukan makna kebebasan jiwa dan pikiran.

Seperti kata Kartini: “Tubuh boleh terpasung tapi jiwa dan pikiran harus terbang sebebas-bebasnya.”

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto:  dok. poster film & foto Kartini

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP