. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 30 Agustus 2016

Dari Poso ke Kepulauan Togean, Perjalanan Wisata Penuh Catatan dan Harapan

Deretan bangunan terutama rumah sudah terlihat jelas dari jendela pesawat Wings Air bernomor penerbangan IW 131 di ketinggian 800 meter di atas Teluk Tomini. Itulah Kota Poso, Ibukota Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah  (Sulteng) yang berada di tepi Teluk Tomini. Dari kota yang kini tengah menggeliat usai didera kerusuhan beraroma agama dan kisah perburuan kelompok teroris itulah, perjalanan darat menuju Kepulauan Togean dimulai.

Tepat pukul 9.55 Waktu Indonesia Tengah (WITA), pesawat mendarat di landasan pacu (runway) Kasiguncu, di Kelurahan Kasiguncu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah (Suteng) bandara kebanggan warga Poso.

Sebelum menyentuh landasan, pesawat ambil ancang-ancang dari kejauhan, maklum runway-nya tidak terlalu panjang. Alhamdulillah, pesawat berhasil mendarat meskipun tidak begitu mulus, karena pesawat terasa masih terlalu kencang melaju saat bannya menempel di permukaan runway.

Sejumlah penumpang, termasuk beberapa orang Jepang (dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka bukan wisatawan melainkan ekspatriat), turun dari pesawat langsung menuju gedung utama Bandara Kasiguncu yang juga terlihat masih baru.

Seperti saya, salah satu dari orang Jepang itu yang berpakain perlente, berjas biru dongker dan berdasi juga memotret pesawat dan suasana bandara Kasiguncu yang berlatar deretan pegunungan dari kejauhan.

Yang bikin hati tertawan, langitnya biru sekali berornamen awan putih beragam bentuk. “Ah langit biru dan awan putih berjamur di sana-sini seperti ini, mana bisa ku temui di Jakarta,” kataku dalam hati.

Sambil menunggu mobil jemputan, saya sempat mampir ke salah satu kios makanan dan minuman kecil di bagain depan bandara. Di dalam kios tersebut ada aneka panganan yang dipajang di atas rak. Ada satu yang menarik perhatian, yakni deretan bungkusan Nike (namanya kayak salah satu merk sepatu kesohor) yakni oleh-oleh khas Poso berupa ikan asin berukuran kecil. “Ini ikan asli dari Danau Poso Om,” kata pedagangnya.

Tak lama kemudia Akil, sopir yang menjumput saya datang dengan menggunakan Xenia. Kami pun segera meninggalkan bandara. Sebelum benar-benar meninggalkan bandara, saya sempat mengabadikan plang namanya.

Lucunya di plang itu tulisan Bandara Kasiguncu kalah besar dibanding tulisan Kementerian Perhubungan. “Ini yang mau ditonjolkan kementeriannya atau bandaranya ya,” gumanku dalam hati. Semestinya tulisan bandaranya yang jauh lebih besar agar orang bisa mudah melihatnya.

Sebelum bertolak menuju Kota Poso, kami mencari sarapan dulu. Akil, mengantar ke sebuah Rumah Makan Pangkep yang menjual aneka ikan bakar. Pemiliknya asli orang Bugis, namanya Daeng Munir.

Tak sampai 15 menit, kepala ikan Baronang bakar pesanan saya sudah siap, ditambah semangkup sop sodara berisi bihun dengan kuah pekat, sepiring sambal dabu-dabu, dan nasi putih serta segelas es teh manis yang disajikan istri Daeng Munir. Semuanya cuma Rp 40.000.

Selepas makan, tepat pukul 11 saing, kami bertolak menuju Ampana, Ibukota Kabupaten Tojo Una-Una (Touna). “Poso ke Ampana berjarak 168 Km atau sekitar hampir 4 jam lebih dengan mobil rental,” kata Akil asli orang Gorontalo yang lahir dan besar di Ampana.

Saat makan dan melintasi Kota Poso, jauh sekali dari imej tak aman. Suasananya justru terasa nyaman. Kehidupan kotanya terlihat cukup dinamis kendati tak sehiruk kota besar.

Lalu lintasnya pun cukup ramai, ada beragam mobil pribadi, sepeda motor, angkot, dan bis besar terlihat lalu lalu lalang. Deretan rumah makan, toko kelontong, dan toko bangunan material nampak menghias tepi jalan, bahkan sudah ada mall cukup besar berlabel Poso City Mall (PCM) yang sudah beroperasi meskipun bangunannya belum sepenuhnya rampung.

Tak ada kesan bahwa di kota itu dulu pernah terjadi konflik berdarah antar warga berbeda agama, seperti yang diceritakan Akil di perjalanan. “Waktu itu jalannya masih rusak, tidak semulus sekarang. Sepi karena orang takut lewat apalagi malam hari. Alhamdulilah sejak beberapa tahun, Poso sudah aman dan nyaman,” kata Akil.

Menurut Akil kondisi jalan dari Poso ke Ampana hampir sebagian besar mulus meskipun badan jalannya belum begitu lebar. Akil terus bercerita. Ada saja yang diceritakan mulai dari warga Ampana yang juga dihuni banyak orang Gorontalo, Makassar, Bugis, Bajo, Jawa, dan suku lainnya, serta budaya dan khidupan anak mudanya.

Saya sudah tak tak tahan kantuk, tak sanggup lagi mendengar cerita Akil, dan akhirnya tertidur pulas. Maklum sejak berangkat dari rumah jam 10 malam ke Bandara Sokarno-Hatta Jakarta lalu terbang ke Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, kemudian ganti pesawat ke Poso, belum sempat tidur.

Suara penyanyi Firman melantunkan lagu “Kehilangan” dari tape mobil Akil membangunkan saya. Rupanya sudah satu jam lebih saya tertidur.

“Ku coba ungkap tabir ini. Kisah antara kau dan aku. Terpisahkan oleh ruang dan waktu. Menyudutkanmu, meningalkamu..” begitu lirik salah satu lagu favorit Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang dilantunkan oleh Firman jebolan Indonesia Idol.

Perjalanan ke Ampanan ternyata masih panjang. Deretan pegunungan di sebalah kanan yang berhutan lebat, bentangan pantai di sebelah kiri mewarnai perjalanan. Beberapa kali melewati jembatan dan air terjun kecil yang airnya mengalir ke jalan sehingga badan jalan rusak.

Pukul 2 siang akhirnya kami sampai di Ampana dan langsung menuju Nebula Cottages yang halamannya penuh dengan pohon kelapa. Di cottages yang beralamat di Jalan Tanjung Api No.05 Labuan, Ampana itu, saya mendapatkan satu cottage seharga Rp 250.000 per malam.

Di dalamnya ada dua tempat tidur, AC, TV plat, kursi dan meja serta lemari. Juga ada kamar mandi di dalam dengan air panas dan dingin. Cottages ini juga punya serambi depan dengan dua kursi dan 1 meja, menghadap sungai kecil dan perkampungan nelayan.

Jam makan siang sudah lewat, kami pun mencari makan. Lagi-lagi Rumah Makan Pangkep menjadi pilihan karena jumlahnya cukup banyak di Kota Ampana. Sepengamatan saya di kota ini belum ada Rumah Makan Padang dan Warung Tegal (Warteg).

Kata  Akil masyarakat asli Ampana juga memiliki makanan khas yang disebut Sinole atau sejenis sagu yang dicampur dengan parutan kelapa muda yang sudah disangrai. Teman makannya ikan dan sambal dabu-dabu.

Sayangnya sulit mencari rumah makan yang menyajikan kuliner tradisional warga Ampana tersebut. Biasanya hanya disajikan di rumah-rumah orang Ampana atau pada saat-saat perayaan tertentu. Usai makan, kami pun keliling Ampana.

Di perjalanan kami membeli pisang goreng khas Ampana yang legit ditambah dengan sambalnya yang mirip sambal kerupuk amplang, buat ngemil. 

Ternyata wajah kota ini suduh berubah dibanding kali pertama saya datangi 10 tahun lalu. Paras Ampana lebih ramai, banyak penginapan bahkan ada resort. Rumah makan, café, salon, toko, bank, ATM, kios pulsa, dan sentra kuliner di pantai juga banyak, termasuk beberapa taman kota.

Lalu lintasnya juga semakin ramai, bahkan sudah ada beberapa lampu merah dan lampu hijau di beberapa persimpangan. Geliat dua pelabuhannya yakni Pelabuhan Ampana khusus kapal cepat dan penumpang serta Pelabuhan Penyeberangan Uebone, khusus Kapal Ferry juga terlihat menggeliat.

Bahkan kota ini sudah memiliki Bandara Tanjung Api dengan bangunan utama yang cukup besar. Sampai saat ini bandara tersebut hanya didarati pesawat kecil Susi Air berkapasitas 11 orang dengan rute Ampana-Palu setiap 3 kali seminggu (Selasa, Kamis, dan Sabtu) dengan tarif Rp 310.000 per orang. Waktu tempuhnya sekitar 45 menit.

Kadisbudpar Kabupaten Tojo Una-Una Moh Kasim Muslaini mengatakan September tahun ini, Bandara Tanjung Api, Ampana akan didarati pesawat ATR dari Wings Air yang berkapasitas 70 orang dengan rute Palu-Ampana-Luwuk pergi-pulang.

Beberapa obyek wisata di Ampana juga sedang dikembangkan, antara lain pembangunan water boom di Pemandian Malotong dan pembenahan kawasan wisata bahari di Desa Tete A dan B, Kecamatan Ampana Tete.

Tahun ini, Ampana menjadi lokasi penyelenggaraan Festival Pesona Bahari Kepulauan Togean ke-12 yang didukung Kementerian Pariwisata (Kemenpar). “Sebelumnya 11 penyelenggaran even bahari berskala kabupaten ini berada di Kepulauan Togean. Tahun ini sengaja diadakan di Ampana karena Ibukota Kabupaten Tojo Una-Una yang menyatu dengan daratan Sulawesi ini juga punya potensi wisata bahari yang luar biasa,” terang Moh Kasim.

Untuk menjangkau Kepulauan Togean, dari Ampana bisa menggunakan kapal ferry atau pun kapal cepat. Kalau dengan kapal cepat bisa dari Pelabuhan Ampana, salah satunya dengan Kapal Cepat SB. Hercules. Rutenya Ampana-Wakai-Kadidiri, tarifnya Rp 110.000 per orang dengan waktu tempuh sekitar 120 menit, berangkat pukul 8 pagi.

Selama ini wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Kepulauan Togean didominasi turis asal Eropa terutama Jerman, Perancis, dan Belanda. Belakangan ini turis asal China juga mulai meminati.

Umumnya wisman Eropa ke Kepulauan Togean lewat laut dari Gorontalo. Ada juga lewat darat dari Palu usai berkunjung ke Taman Nasional Lore Lindu. Setelah itu overland dengan menyewa mobil rental. Palu-Ampana berjarak 375 Km memakan waktu sekitar 8 jam, tarifnya Rp 1,5 juta sekali antar.

Pilihan lain naik bis umum berangkat pukul 10 pagi dari Palu sampai Ampana tengah malam atau sekitar 10 jam, dengan ongkos Rp 100.000 per orang. Bisa juga dengan mobil travel Rp 150 ribu per orang. Kemudian melanjutkan perjalanan laut dengan kapal cepat maupun kapal ferry.

Meski perjalanan menuju Kepulauan Togean cukup panjang dan melelahkan, namun tidak membuat para pemburu wisata minta khusus, terutama bahari untuk bersnorkeling, diving, relaxing, dan lainnya menjadi menyusut.

Buktinya Disbudpar Kabupaten Touna mencatat kunjungan wisman tahun ini pada semester pertama sudah mencapai 9.000 orang. “Jumlah itu sama dengan jumlah wisman selama tahun 2015 lalu,” aku Moh Kasim.

Tahun ini Dibudpar Touna menargetkan jumlah wisman ke Kepulauan Togean termasuk daerah lain di seluruh Kabupaten Touna sebesar 11.000 orang. “Saya optimis akan tercapai, karena dari Januari hingga Juli 2016 ini saja sudah 9.000 ribu wisman yang datang,” ujar Moh Kasim.

Pesona Kabupaten Togean ada di 6 kecamatannya. Bukan hanya karena memiliki sejumlah resort menawan dan asri, pantai berpasir putih, sejumlah spot diving, dan snorkeling tapi juga ada danau serta Gunung Colo, gunung api aktif yang pernah meletus tahun 1983.

Tak kalah menarik, juga kehidupan dan budaya masyarakat pulau-pulaunya, termasuk kehidupan Suku Bajo. Beberapa kawasannya juga sudah dijadikan Taman Nasional Kepulauan Togean yang keberadaannya sangat dilindungi karena merupakan kawasan konservasi.

Taman nasional satu ini bahkan dijuluki “The Heart of Coral Triangle”. Karena berada di temngah Teluk Tomini yang merupakan bagain dari segitiga terumbu karang dunia (coral triangle).

Wagub Sulteng H. Sudarto, usai membuka Festival Pesona Bahari Kepulauan Togean 2016 di Desa Tete B, Kecamatan Ampana Tete, Kota Ampana, optimis pariwisata Kepulauan Togean akan bisa sehebat pariwisata Bali dan Lombok.

Untuk mewujudkan itu, sambung Sudarto, tak ada pilihan selain pihak-pihak terkait mulai dari Pemkab Touna, Pemprov Sulteng, kalangan dari industri wisata, Kemenpar, dan lainnya harus bekerja sama membangun pariwisata Kepulauan Togean khususnya dan Kabupaten Touna secara keseluruhan sebagai pendukung.

“Semua harus kerja keroyokan dengan sungguh-sungguh, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri,” imbau Sudarto yang berdarah Jawa ini.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP