. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 15 Juli 2016

Menpar: 2017, Pariwisata Geser Minyak dan Gas sebagai Penghasil Devisa Utama Nomor Satu

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya kembali dengan Pede (percaya diri)-nya mengatakan sektor pariwisata akan mengantikan posisi minyak dan gas sebagai penghasil devisa utama bagi negara di urutan pertama. Jika tahun lalu orang nomor satu di Kementerian Pariwisata (Kemenpar) ini mengatakan hal itu akan terjadi tahun 2019, namun di awal semester 2016 ini dia berani menegaskan, hal itu akan terwujud tahun 2017, alias tahun depan. Wow!

“Dulu kita selalu dikasih tahu ada berapa industri penghasil devisa utama buat negeri kita, jawabannya pasti ada dua, pertama Migas dan kedua Non Migas. Nanti mulai 2017, kita ganti, pertama Pariwisata dan kedua Non Pariwisata. Jadi Minyak dan Gas, Batu Bara, CPO dan Timah termasuk Non Pariwisata,” tegas Arief Yahya saat memberi kata sambutan dalam cara grand launching Festival Pesona Serumpun Sembalai Nusantara 2016 di Balairung Susilo Soedarman, gedung Sapta Pesona, kantor Kemenpar, Jakarta, Jumat (15/7) yang hadiri Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Rustman Effendi, Wakil Walikota Pangkalpinang, anggota DPR, Dirut PT Timah, pebisnis, sejumlah wartawan, dan lainnya.

Lebih rinci Arief Yahya menjelaskan selama ini penghasil devisa terbesar bagi negeri ini memang masih oil & gas di urutan pertama, lalu kedua batu bara, ketiga CPO dan nomor 4 pariwisata. “Tapi poin 1, 2, dan 3 turun, dan turunnya tidak main-main, dratis,” ungkapnya.

Kata Arief, devisa dari oil & gas tahun 2014 masih 30 milyar dolar AS, sekarang tinggal 18 milyar dolar AS. Batu bara juga pasti pasti turun. “Ujungnya sudah turun, tidak sustain lagi. Sekali kita eksplorasi, eksploitasi sudah habis. Hanya pariwisata yang justru naik dan sustain,” terangnya.

Soal oil & gas, lebih lanjut Arief Yahya menerangkan pemerintah beberapa kali sampai menurunkan harga minyak per barelnya. Pertama dari 100 dolar AS menjadi 50 dolar AS, sekarang tinggal 35 dolar AS lalu didiskon lagi sama pemerintah 30 persen, berarti diskonnya jadi 70 persen.

“Kalau 70 % dari 18 milyar dolar AS itu, jadi devisa dari minyak cuma tinggal sekitar 13 dolar AS untuk tahun 2016 ini. Padahal tahun 2015, sektor pariwisata sudah menyumbang devisa 12,6 milyar dolar AS,” ungkap Arief Yahya.

Jadi hampir bisa dipastikan kalau tidak 2016, ya tahun 2017, pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar menggantikan oil & gas. “Ini perhitungan anak kecil, anak SMP pun sudah bisa hitung-hitungan seperti ini,” ujarnya.

Menurut Arief Yahya berdasarkan rumus sederhana PDB itu ada konsumsi, investasi, government spending, dan eksport minus import.

Pariwisata itu masuk import. “Ketika ada orang spending 100 juta US dollar di pariwisata, itu namanya devisa. Devisa itu masuk kategori import. Maka impact terhadap PDB itu adalah 170 %, baik direct maupun indirect,” terangnya.

Orang awam seperti kita, lanjut Arief Yahya selalu bicara kalau pariwisata itu multi flyer effect-nya sangat besar. Namun dengan statistik dijelaskan seberapa besar itu adalah 170 %. Jadi multi flyer effect pariwisata terhadap PDB itu bahasa sederhananya impact perekonomiannya 170 %.

“Itu yang tertinggi. Tidak ada yang mengalahkan. Tidak ada industri dengan impact tertinggi selain pariwisata,” tandas Arief Yahya seraya menambahkan bahwa nominal PDB kita dari pariwisata terbesar se-ASEAN.

Jadi untuk apa mencari sesuatu yang sangat susah dan tidak murah. “Pariwisata itu sangat mudah dan murah,” tegasnya lagi.

“Begini saya kasih contoh hanya dengan anggaran 2 persen, kita bisa mendapatkan 100 % itulah pariwisata. Dua persen itu biaya promosi. Kalau diproyeksikan kita ingin devisa 100 juta US dollar, kita hanya perlu 2 juta US dollar. Kalau kita ingin 10 miliar US dollar, kita hanya perlu 200 juta US dollar. Saya pebisnis tahu banget itu. Tidak ada bisnis yang seperti itu, selain pariwisata dengan value yang sangat besar dan sustain lagi,” terang Arief Yahya.

Keistimewaan lain sektor pariwisata, lanjut Arief Yahya selain pertama PDB paling tinggi impact-nya, kedua devisa paling mudah serta cepat, dan ketiga murah biaya untuk mencetak employment atau tenaga kerjanya.

“Yang paling menarik adalah biaya untuk mencetak satu employment. Kalau semua industri yang ada di BPS kita kumpulkan itu 100.000 dolar AS. Tapi pariwisata hanya butuh 5.000 dolar AS atau sekitar Rp 65 juta, kita sudah bisa mencetak 1 tenaga kerja, berarti seperduapuluh dari rata-rata industri lain,” ungkapnya.

Oleh karena itu aneh sekali kalau seorang gubernur sampai tidak memanfaatkan sumber dayanya, tidak untuk dialokasikan ke pariwisata. “Sebenarnya omongan ini juga cocok untuk Pak Presiden (Presiden Joko Widodo-red). Tapi kan saya tidak berani ngomongnya. Kalau ke gubernur saya berani,” kelakar Arief Yahya yang disambut tepuk tangan dan tawa hadirin.

Soal sektor pariwisata merupakan cara termudah untuk mendapatkan devisa negara memang bukan hal baru.

Sejak setahun menjabat sebagai Menpar, Arief Yahya sudah berani dan sering mengatakan hal itu, termasuk mengatakan bahwa pariwisata akan menjadi penghasil devisa terbesar. Bahkan setahun lalu dia pernah begitu optimis mengatakan pariwisata akan mampu menyalip sektor minyak dan gas pada 2019.

Kini, di awal semester 2 tahun 2016, dia sesumbar mengatakan tahun 2017 pariwisata akan menggeser posisi minyak dan gas di urutan pertama penyumbang devisa negara. Berarti itu lebih cepat, tentu Arief Yahya berani mengungkapkan hal itu, bukan tanpa alasan. Yang menjadi pertanyaannya sekarang, lanjut Arief Yahya apakah APBN kita sesuai tidak dengan industrinya.

“Kalau bukan pariwisata atau creative economy atau creative industry bangsa ini mau bersaing dimana? Ini harus berkali-kali saya tanamkan di kepala kita semua,” kata Arief Yahya.

“Mau agriculture, kita kalah jauh dengan bangsa lain di dunia, paling dekat saja dengan Thailand, kita kalah. Mau manufacture, semua negara apalagi Indonesia kalah jauh dengan China. Bahkan manufacture Eropa, Canada, dan lainnya semua pindah ke China mulai dari teknologi tinggi sampai pisau, boneka, dan CD yang harganya sampai 1000 rupiah semua di China, dan cuma China yang bisa begitu. Blackbarry manufacture-nya di China begitupun Ipone. Pokoknya di era ketiga infomasi digital ini, kita sudah lewat, kita kalah,” beber Arief Yahya.

Tinggal pariwisata atau creative industry, sambungnya mungkin bangsa ini bisa menang. Menurutnya lagi pariwisata Indonesia juga kemungkinan besar bisa yang terbaik di dunia. Kalau terbaik di ASEAN mungkin tahun 2019, pada tahun 2017 pariwisata Indonesia akan mengalahkan Malaysia, dan tahun 2019 akan mengalahkan Thailand.

“Saya bisa mengatakan itu dengan confident. Coba menteri perindustrian disuruh pidato di sini, kalau bisa confident akan mengalahkan siapa dan tahun berapa? Tidak mungkin.., karena tidak ada modal. Bukan menterinya ya, tapi memang di indusrti terutama manufacture kita tidak bisa bersaing. Kecuali di sektor pariwisata termasuk di dalamnya creative industry,” pungkasnya.

“Jadi saya ulangi lagi, penghasil PDB, devisa, dan employment termudah dan termurah dan membuat bangsa ini bersaing itu adalah pariwisata, termasuk creative industry, tandas Arief Yahya.

Diakhir kata sambutannya, Arief Yahya pun berpesan kepada anggota DPR agar tidak mempersulit gubernur. “Pak DPR nanti tolong bantuin DPR yang lain ya, jangan nyulit-nyulitin gubernurnya, biasanya DPRD-nya tuh yang bandel-bandel. Jadi alokasi Sumber Daya kita harus sesuai dengan industrinya,” tutup Arief Yahya disambut kembali dengan tepuk tangan meriah hadirin.

Naskah: adji kurniawan (kembaratopis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
Foto: ilham eks humas-kemenpar & zona humas-kemenpar

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP