Silatuhrahmi ke Masyarakat Adat Cireundeu, Dihibur Karinding Celempung
Umumnya orang Asia termasuk Indonesia menjadikan nasi sebagai makanan wajib setiap hari. Namun, jika berkunjung ke pinggiran Selatan Kota Cimahi, Anda bakal menemukan orang-orang yang sejak lahirnya tak pernah merasakan seperti apa rasanya nasi dari beras padi. Bertahun-tahun, mereka mengkonsumsi singkong atau ketela sebagai makanan pokok yang diolah menjadi rasi alias beras singkong.
Masyarakat adat ini bermukim di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Jawa Barat. Kendati secara administratif masuk ke dalam wilayah kota, lokasi kampungnya cukup jauh dari keramaian.
Saat menyusuri kampung kecil ini, kami menjumpai rumah-rumah yang tidak berbeda dengan pemukiman pada umumnya. Perumahan di kampung ini dibangun secara modern, yakni beratap genting dan berdinding semen.
Kampung ini terdiri atas empat rukun tangga (RT), dihuni oleh sekitar 300 kepala keluarga (KK). Namun komunitas yang benar-benar konsisten menjalankan adat hanya 70 KK. Mereka terkonsentrasi di RT 2 dan 3.
Warga yang bermukim di kedua RT tersebut umumnya adalah penganut kepercayaan tradisional atau disebut juga dengan Agama Jawa Sunda yakni Sunda Wiwitan yang dibawa Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan.
Warganya masih konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Mereka juga sangat memegang teguh kepercayaannya, kebudayaan serta adat istiadatnya.
Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing.
Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa hand phone, dan penerangan.
Luas Kampung Adat Cireundeu sekitar 64 hektar, terdiri atas 60 hektar untuk pertanian/perkebunan dan 4 hektar untuk pemukiman.
Masyarakatnya pun memiliki konsep kampung adat yang diindahkan sejak zaman dulu, yaitu suatu daerah itu terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama, Leuweung Larangan (hutan terlarang), yakni hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.
Kedua, Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yakni hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.
Dan ketiga, Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Sebagian besar lahannya mereka tanami terutama singkong, jagung, dan kacang tanah.
Sekitar 70 persen penduduk di kampung ini bermatapencaharian sebagai petani singkong. Hal ini tidak terlepas dari budaya masyarakat Cireundeu yang menjadikan tumbuhan tersebut sebagai makanan pokok. Setiap keluarga memiliki tiga sampai lima petak kebun singkong yang berbeda-beda masa tanamnya.
Menurut cerita para tetua adat Cireundeu, sejarah singkong menjadi makanan utama di kamping berawal pada 1918. Ketika itu sawah-sawah milik penduduk setempat mengalami kekeringan.
Salah satu tokoh adat Cirendeu pada masa itu Haji Ali berusaha mencari solusi agar warganya tidak kelaparan dengan mencoba mananam aneka tanaman pengganti padi seperti sorgum, hanjeli, kacang-kacangan, dan umbi-umbian.
Akhirnya, Haji Ali menyarankan warga kampung ini membudidayakan singkong secara massal, mengingat tanaman ini dapat tumbuh di segala musim. Setiap bulannya, kampung ini menghasilkan 2 ton singkong.
Abah Emen Sunarya, Sesepuh Cireundeu, mengaku bahwa mereka sudah makan singkong sejak tahun 1924.
Kebiasaan ini mulai menjadi budaya setelah Omah Asmanah, menantu Haji Ali mengolah ketela menjadi beragam makanan. Dialah yang pertama yang memperkenalkan rasi alias beras singkong di kampung ini. Bahan makanan ini diperoleh dengan cara menyaring dan menjemur ampas aci (tapioka).
Di kampung ini kita dapat melihat pengolahan singkong setelah dipanen menjadi aci dan hasil olahan ini kemudian dijual ke pasar dan sebgain diolah untuk dijadikan rasi dan berbagai panganan kecil.
Hingga kini, rasi (dalam bahasa sunda disebut sangeun) inilah yang dijadikan makanan pokok oleh masyarakat Cireundeu.
Kebiasaan itu justru menguntungkan mereka, ketika sejumlah bahan pokok naik, kampung ini tidak ikut terpengaruh.
Atas sumbangsih tersebut, pada 1964 Kawedanan Cimahi menganugerahi Omah penghargaan sebagai “Pahlawan Pangan”.
Lambat laun, sejumlah penghargaan pun didapat oleh kampung ini baik oleh Pemprov Jabar maupun pemerintah pusat. Bahkan ketahanan pangan yang dimiliki masyarakat Cireundeu menarik perhatian orang asing, seperti perwakilan dari Mozambik dan negara-negara ASEAN.
Gaya hidup mereka sekaligus mematahkan asumsi keliru yang menyatakan singkong itu hanya makanan pokok orang-orang yang terbelakang secara sosial dan ekonomi.
Buktinya, mereka tetap mengikuti perkembangan zaman, terlihat dari desain rumah mereka yang modern dan sejumlah warganya berpendidikan tinggi, di antaranya sudah banyak yang sarjana.
Terpesona Karinding Celempung
Ketika tiba di Kampung Cireunde, Rabu (5/4/2016) siang, hujan turun. Kami sempat berteduh sambil menyurup kopi di warung kecil seberang pintu masuk ke kampung ini.
Sebelumnya kami sempat berfoto bersama di plang bertuliskan dua baris kalimat dalam aksara Sunda: “Wilujeung Sumping di Kampung Cireundeu Rukun Warga 10”, yang artinya Selamat datang di Kampung Cireundeu RW 10.
Setelah hujan mereda kami berjalan kaki menuju Kampung Cireundeu. Tak da 10 menit kami tiba di Bale Saresehan (rumah utama masyarkat adat Cireundeu). Arsitektur rumahnya berbeda dengan rumah-rumah penduduk, bahan materialnya pun lebih dominan dari bambu.
Kami disambut Jajat (36) dan tak lama kemudian datang Tri (30). Selepas Rudy Siahaan yang mewakili Biro Hukum dan Pusat Komunikasi Publik (BH Puskompublik), Kementerian Pariwisata (Kemenpar) memberikan penjelasan tujuan kami datang, kedua warga masyarakat adat Cireundeu yang bertugas menerima tamu itu menghibur kami dengan alat musik Karinding dan Celempung.
Kemudian datang Soni Suryadi atau Oni (15), siswa kelas 1 SMAN 4 Cimahi yang tak lain keponakan Tri.
Oni diminta pamannya memainkan Karinding dan Tri sendiri memainkan Karinding dan sekaligus sebagai vokalis.
Dia menyanyikan lagu Sunda berjudul Eling-Eling yang berkisah tentang permohonan ampunan atas segala khilaf dan kesalahan.
Sebelum beraksi, Tri menjelaskan bagaimana cara memainkan Karinding yang bentuknya kecil seukuran pena. “Cara memainkannya dengan diletakkan di bibir sebagai resonansi lalu ujungnya dipukul,” ujarnya.
Menurut Tri, Karinding merupakan alat musik tua karena tidak ada nadanya. “Nada yang dihasilkan itu nada alam contohnya bunyi tongeret. Karinding ini baru booming mulai tahun 2009,” aku Tri.
Selain di Jawa Barat, alat sejenis Karinding juga ada di Bali, Kalimantan, dan Papua namun nama dan bahan bakunya berbeda.
“Kalau Karinding dan Celempung, dua alat musik pukul tradisional Jawa Barat yang terbuat dari bambu itu” terang Tri.
Saat Jajat, Tri, dan Oni beraksi menyuguhkan kesenian Karinding Celempung sambil duduk, Burhan, Rudy, Joko, Bambang, dan saya pun mengabadikannya dengan kamera foto. Sementara Denny merekamnya lewat kamera video.
Kendati singkat, suguhan kesenian khas masyarakat adat Cireundeu itu membuat kami terhibur sekaligus terpesona.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar