Inilah Enam Kegiatan Inti Jejak Tradisi Daerah 2016
Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Aceh didukung Disbudparpora Kabupaten Aceh Besar selama 4 hari kedepan menggelar Jejak Tradisi Daerah (JETRADA) 2016 dari tanggal 13 hingga 16 April 2016 di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ada 6 (enam) kegiatan inti dalam JETRADA bertema “Menapaki Jejak Tradisi, Membentuk Generasi Emas” ini. Salah satunya Diskusi Tradisi yang akan menjadi acara pembuka pada hari pertama.
Diskusi Tradisi yang akan berlangsung usai acara pembukaan pada Rabu (13/4) sore di meeting room sebuah hotel di Aceh Besar, akan menghadirkan beberapa narasumber berbagai latar belakang antara lain Dosen Antropologi FISIP USU Medan Drs. Zulkifli Lubis M.Si, Akademisi DR. Anwar M.Ed (Akademisi), dan Wakil Ketua Majlis Adat Aceh (MAA) untuk Aceh Besar Drs. Aiyub Yusuf.
Di lima kegiatan inti JETRADA 2016 lainnya, para peserta yang berjumlah 50 orang, terdiri atas 40 orang siswa-siswi dari Aceh dan Sumatera Utara serta 10 orang guru pendamping dari kedua provinsi bertetangga itu, akan melakukan kunjungan ke beberapa desa di Aceh Besar dan wisata kota (city tour) di Banda Aceh.
Pada hari kedua, Kamis (15/4) pagi, seluruh peserta akan berkunjung ke desa nelayan di kawasan Krueng Raya, tepatnya di Gampong (Kampung) Meunasah Keudee, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar dimana terdapat mayarakat nelayan kapal bagan.
Sebagai catatan, satu kelompok nelayan kapal bagan di Krueng Raya, biasanya terdiri atas 5 sampai 7 orang. Mereka mencari ikan sesuai musim, kadang musim ikan teri, kadang ikan tongkol.
Mereka mulai berangkat kerja melaut sekitar pukul 5 sore, menuju ke tengah laut Krueng Raya yang berjarak sekitar 27 kilometer atau sekitar 15 mil laut dari daratan Krueng Raya. Mereka baru kembali mendarat keesokan paginya sekitar pukul 6.
Jika berhasil membawa hasil tangkapan, mereka angkut ke darat untuk dijual. Jika tidak, mereka kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak, lalu melaut lagi sore hari. Rutinitas itu mereka lakukan setiap hari, kecuali hari pantangan bagi masyarakat Aceh, seperti Hari Rasya Islam dan Jumat.
Sekali melaut, mereka harus mengeluarkan modal Rp 900.000-Rp 1 juta untuk membeli losgitik danbahan bakar selama di laut. Jika tak lagi punya modal, mereka terkadang harus berutang kepada penjual bahan bakar dan logistik. Modal utang itu baru diganti jika mereka mendapatkan hasil tangkapan yang berlimpah.
Selesai istirahat, sholat, dan makan (ishoma), kunjungan dilanjutkan ke desa pandai besi di Desa Baet Sibreh, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar.
Diskusi Tradisi yang akan berlangsung usai acara pembukaan pada Rabu (13/4) sore di meeting room sebuah hotel di Aceh Besar, akan menghadirkan beberapa narasumber berbagai latar belakang antara lain Dosen Antropologi FISIP USU Medan Drs. Zulkifli Lubis M.Si, Akademisi DR. Anwar M.Ed (Akademisi), dan Wakil Ketua Majlis Adat Aceh (MAA) untuk Aceh Besar Drs. Aiyub Yusuf.
Di lima kegiatan inti JETRADA 2016 lainnya, para peserta yang berjumlah 50 orang, terdiri atas 40 orang siswa-siswi dari Aceh dan Sumatera Utara serta 10 orang guru pendamping dari kedua provinsi bertetangga itu, akan melakukan kunjungan ke beberapa desa di Aceh Besar dan wisata kota (city tour) di Banda Aceh.
Pada hari kedua, Kamis (15/4) pagi, seluruh peserta akan berkunjung ke desa nelayan di kawasan Krueng Raya, tepatnya di Gampong (Kampung) Meunasah Keudee, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar dimana terdapat mayarakat nelayan kapal bagan.
Sebagai catatan, satu kelompok nelayan kapal bagan di Krueng Raya, biasanya terdiri atas 5 sampai 7 orang. Mereka mencari ikan sesuai musim, kadang musim ikan teri, kadang ikan tongkol.
Mereka mulai berangkat kerja melaut sekitar pukul 5 sore, menuju ke tengah laut Krueng Raya yang berjarak sekitar 27 kilometer atau sekitar 15 mil laut dari daratan Krueng Raya. Mereka baru kembali mendarat keesokan paginya sekitar pukul 6.
Jika berhasil membawa hasil tangkapan, mereka angkut ke darat untuk dijual. Jika tidak, mereka kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak, lalu melaut lagi sore hari. Rutinitas itu mereka lakukan setiap hari, kecuali hari pantangan bagi masyarakat Aceh, seperti Hari Rasya Islam dan Jumat.
Sekali melaut, mereka harus mengeluarkan modal Rp 900.000-Rp 1 juta untuk membeli losgitik danbahan bakar selama di laut. Jika tak lagi punya modal, mereka terkadang harus berutang kepada penjual bahan bakar dan logistik. Modal utang itu baru diganti jika mereka mendapatkan hasil tangkapan yang berlimpah.
Selesai istirahat, sholat, dan makan (ishoma), kunjungan dilanjutkan ke desa pandai besi di Desa Baet Sibreh, Kecamatan Suka Makmur, Kabupaten Aceh Besar.
Sebagai catatan Baet Sibreh merupakan sentra pembuat rencong atau senjata tradisional khas masyarakat Aceh yang terbesar di Aceh. Di desa ini sebagian besar penduduknya melakukan pekerjaan sebagai perajin rencong.
Pengunjung bisa melihat para pandai besi sibuk memukul-mukul besi dan mengecor kuningan untuk membuat sebuah rencong.
Bukan cuma melihat, pengunjung juga bisa membeli rencong yang dihasilkan perajin setempat.
Harganya bervariasi tergantung ukuran berkisar dari puluhan hingga ratusan untuk rencong berukuran kecil sampai sedang, dan ada yang di atas satu jutaan untuk yang berukuran besar.
Jika dulu rencong dipakai sebagai alat pertahanan diri ataupun senjata. Belakangan ini fungsinya sudah berubah menjadi cinderamata yang dapat ditemukan hampir di semua toko kerajinan khas Aceh.
Biasanya rencong yang dijual, selain ada yang bentuk asli, tak sedikit yang sudah dikombinasikan dengan keemasan unik lain, seperti bros berbentuk rencong sampai hiasan dinding dengan bingkai kaca.
Esok harinya, Jumat (16/4) pagi, para peserta akan melakukan kunjungan ke lokasi lain yakni desa wisata Aceh Besar di Desa Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, masih Kabupaten Aceh Besar.
Sebagai catatan Desa Lubuk Sukon yang dihuni sekitar 200 kepala keluarga (KK) yang setia menjaga kearifan lokal ini ditetapkan oleh pemkab setempat sebagai desa wisata pada tahun 2013.
Desa wisata ini terletak sekitar 20 Km dari pusat Kota Banda Aceh dengan akses yang terbilang mudah, bisa memggunakan angkutan kota jurusan Kabupaten Aceh Besar.
Desa ini bernuansa perkampungan dengan pemandangan sawah hijau yang membentang dan latar gugusan Bukit Barisan yang menyegarkan mata.
Saat memasuki gapura pintu masuk ke Desa Lubuk Sukon yang berjarak sekitar 500 meter dari jalan raya, ada deretan rumah tradisional Aceh yang masih terawat baik dan rapi.
Rumah Aceh di desa wisata ini dibangun menghadap kiblat, memiliki beberapa ruangan, yaitu serambi muka yang diperuntukkan bagi kalangan laki-laki, ruang tengah khusus ruang keluarga, dan serambi belakang untuk kaum perempuan.
Di ruang tengah atau yang disebut dengan rambat, ruangannya lebih tinggi dan di sisinya terdapat dua kamar. Masing-masing diperuntukkan bagi kedua orang tua dan anak perempuan yang sudah menikah.
Perkakas di dalamnya antara lain peralatan memasak, bertani, dan perabotan seperti alas duduk berupa tikar dengan penghias ruangan seperti keramik-keramik antik.
Bentuk khas rumah Aceh adalah rumah panggung yang semua materialnya terbuat dari kayu dan tidak menggunakan paku. Paku diganti dengan rotan atau dipasang langsung ke tiang penyangga.
Kabarnya rumah adat di desa ini berasal dari pedalaman Kecamatan Indrapuri, masih Kabupaten Aceh Besar juga yang umurnya saat itu sudah 100 tahun. Kemudain dipindahkan ke desa wisata ini.
Di desa ini pengunjung bisa bermalam di homestay dengan tarif Rp 300 ribu per kamar per malam sudah termasuk sarapan bahkan makan siang dan makan malam. maka tinggal menambah Rp 100.000 saja.
Menu khas Aceh besar yang disajikan antara lain "sie reuboh" atau daging rebus yang kaya bumbu dan rempah sebagaimana ciri khas masakan Aceh umumnya.
Usai ishoma, para peserta akan meneruskan kunjungan ke desa perajin makanan tradisional Aceh Besar di Empetrieng.
Pada hari terakhir, Sabtu (17) selepas acara penutupan dan penyelesaian administrasi, seluruh peserta akan mengikuti kegiatan city tour sekaligus belanja cendera mata dan oleh-oleh di Banda Aceh.
Usai ishoma dilanjutkan dengan pelepasan peserta Aceh di Terminal Bus Lueng Bata Banda Aceh dan disusul pelepasan peserta Medan di Terminal Bus Batoh, Banda Aceh.
Menurut Kepala BPNB Aceh Irini Dewi Wanti, anggaran kegiatan JETRADA 2016 ini dibiayai melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) BPNB Aceh tahun 2016.
“Kami juga membuka peluang kerjasama dengan pihak lainnya untuk mensinergikan kegiatan positif ini,” terangnya.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com )
0 komentar:
Posting Komentar