Ketika Risma (Ngotot) Menutup Dolly
Di balik kaca, enam perempuan tengah “beraksi”. Riasan wajah mereka amat medok. Warna pakaian mereka rata-rata mencolok, semencelok warna cat petak-petak rumah yang depannya diberi kaca seperti etalase. Dari raut mereka, perempuan-perempuan di balak kaca itu tak bisa berkelit kalau sebagian dari mereka tak kinyis-kinyis atau tak fresh lagi. Walaupun sudah ditutupi bedak yang tebal, sekalipun sudah berusaha tampil semuda mungkin dengan mengenakan tang top dan rok “setan” super pendek.
Bak seorang model mereka sebentar-sebentar berpose. Ada yang berdiri sambil mengepulkan asap rokok putihnya. Ada yang duduk-duduk di sofa berwarna pink sambil bercengkerama, sesekali melihat cermin dan menebalkan bibir dengan gincu ranum. Ada juga yang berkacak pinggang serasa artis. Yang jelas mereka berusaha tampil ceria, sekalipun belum tentu hati mereka gembira.
Itulah sepenggal Dolly yang sempat aku lihat beberapa tahun silam. Ketika itu ada seorang teman di Surabaya mengajakku “survey” ke lokalisasi terbesar di Ibukota Jawa Timur, Surabaya. Ajakan itu jelas tak bisa ku sia-siakan lantaran penasaran ingin melihat dari dekat dan memotret suasananya. Maklum, selama ini hanya mendengar nama harumnya doang.
Perempuan-perempuan berdandan menor dengan pakaian”berani” itu pércis seperti ikan hias warna-warni dalam aquarium. Bagian depan kaca sengaja lampunya dimatiin, sedangkan bagian dalam diterangin seterang-terangnya sehingga dari luar aksi mereka terlihat jelas sekali.
Kalau ada “konsumen” yang tertarik dengan salah satu dari mereka tinggal menunjuk nomor yang disematkan di dada perempuan tersebut atau menyebutkan warna baju yang dikenakannya. Setelah cocok dan harga deal dengan anak buah mucikari, perempuan itu pun jadi "milik" pria itu. Dia pun bergegas ke kamar impian untuk segera melapas “tendangan bebas”.
Meski sebentar “memantau” Dolly, tak dipungkiri lokalisasi ini memang memberi keuntungan ekonomi bukan cuma bagi perempuan-perempuan penjual surga dunia dan para mama rosa alias germo, pun buat warga setempat yang berdagang nasi rames, rokok, minuman, tukang parkir, tukang okek, tukang becak, dan lainnya. Apalagi di sebelah Dolly juga ada lokasi esek-esek serupa yang tak kalah meriahnya, namanya Jarak. Keduanya sama-sama berada di Pasar Kembang.
Temanku yang lebih tahu kedua tempat “panas” itui menjelaskan kalau Dolly dan Jarak itu tak bisa dipungkiri jadi magnet tersendiri bagi Surabaya. Banyak lelaki pemuja seks yang datang ke sini dari berbagai penjuru kota. Tak sedikit mereka yang usai bertugas atau berbisnis di Kota Buaya ini mencicipi “apem sejuta umat” made in Dolly dan Jarak.
Kendati berdekatan, Dolly dan Jarak menurut temanku ada bedanya. Katanya kalau di Dolly, penjaja cintanya banyak yang muda-muda dan tarifnya menengah ke atas. Lokasinya di depan jalan raya. Sementara di Jarak, rada tua-tua dengan tarif menengah ke bawah. Tapi banyak juga yang masih bau kencur. Lokasinya di gang-gang. Wisma yang ada di kedua lokalisasi itu memakai nama-nama bunga. Yang pasti isi “peghuni”nya bukan cuma pelacur dari Kota Buaya, pun dari Kota Lumpia Semarang, kota-kota kecil di Jawa Tengah dan Pantura bahkan dari Kalimantan.
Rencana ingin memotret Dolly ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Apalagi ketika itu Dolly baru habis kena rahazia. Jadi keamanannya agak ketat di sana. Jadi gagal total. Entah sudah berapa kali tempat melepas “Taik Macan” ini dirahazia, tapi tetap saja berkibar sampai kini.
Namun erangan birahi perempuan-perempuan peredam tegangan tinggi para lelaki hidung belang ini bakal mereda beberapa bulan lagi. Pasalnya Dolly yang konon katanya sudah ada sejak zaman Belanda, ketika itu dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Dolly van Der Mart ini bakal ditutup oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang akrab disapa Risma. Target penutupan kedua lokalisasi terbesar di Jawa Timur ini sebelum puasa 2014.
Risma ngotot menutup Dolly dan Jarak lantaran keduanya berbaur dengan pemukiman penduduk yang padat. Risma amat khawatir dengan masa depan anak-anak di kawasan hitam itu. Menurut Risma warga asli setempat menginginkan keduanya ditutup, sementara para pendatang yang mencari nafkah di sana dengan membuka wisma "spesial" menolaknya.
Kendati ada yang menentang, Risma keukeuh menutup keduanya demi menyelamatkan masa depan anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi. sekaligus menghilangkan citra mesum Surabaya.
Sebelumnya Risma dengan jajarannya dari Pemkot Surabaya sudah resmi menutup sejumlah lokalisasi di Surabaya antara lain Klakah Rejo, Tambak Asri (Kremil), dan Bangun Sari.
Akankah Risma benar-benar berhasil menutup Dolly dan Jarak secara tuntas? Lihat saja nanti. Mudah-mudahan saja BISA!
Naskah: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: dok. enciety.co
0 komentar:
Posting Komentar