Gaya Baduy Menjaga Warganya dari “Sampah” Pengunjung
Suku Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten termasuk obyek wisata ekologi (ecotourism) yang ramai peminatnya. Tata cara hidup mereka yang beda dengan suku lain, berikut ketentuan adat yang mereka terapkan, membuat banyak eco traveler yang berbondong-bondong datang untuk menyibak misteri tentangnya.
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Baduy tahun 2010 mencapai 6.460 orang dari dalam negeri dan dan 122 orang dari mancanegara, termasuk di dalamnya eco traveler. Jumlah itu diperkirakan bertambah di tahun-tahun berikutnya.
Jauh sebelum itu, Urang Kanekes begitu mereka lebih senang disebut, telah menyadari wilayahnya bakal dikunjungi banyak wisatawan. Mereka pun sadar pengunjung yang datang pada akhirnya juga berdampak negatif, mencemari bukan hanya lingkungannya, pun prilaku warganya oleh kebiasan buruk yang dibawa pengunjung.
Untuk mengantisipasinya, mereka pun menerapkan cara tersendiri. Cara itu sudah dilakukan mereka sejak lama. Ketentuan adat tak tertulis mereka ini WAJIB dipatuhi setiap pengunjung.
Mereka tidak mengijinkan pengunjung bermalam lebih dari satu malam. Tempat bermalamnya pun di Baduy Luar atau disebut Panamping, khususnya di rumah yang sudah biasa menerima tamu atau ditunjuk oleh pimpinan tertingginya yang di sebut Puun. Tugas Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat, dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Sedangkan Baduy Dalam atau disebut Tangtu yang terdiri dari tiga desa inti yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik, pengunjung dilarang sama sekali bermalam. Hanya boleh singgah sejenak.
Tidak semua bangsa boleh masuk ke Tangtu. Ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid katanya dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Dengan kata lain turis asing hanya diperbolehkan memasuki daerah Panamping.
Saat upacara Kawalu yang merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy selama tiga bulan, semua pengunjung termasuk dari dalam negeri mutlak dilarang masuk Tangtu. Orang Baduy yang tinggal di Tangtu juga dilarang saba kota atau bepergian ke luar desa. Mereka berkonsentrasi penuh pada penyucian diri dan desanya. Jika ketentuan adat leluhur mereka dilanggar, maka yang kena kuwalat atau pamali adalah orang Baduy sendiri.
Dilarang Nyabun
Baduy termasuk suku yang amat peduli dengan keasrian alamnya, entah itu keberadaan hutan maupun sungainya.
Bagi mereka, hutan dan sungai merupakan sumber kehidupan.
Sungai menjadi sumber air utama orang Baduy untuk keperluan sehari-hari, memasak, mencuci, dan mandi. Ciujung salah satu sungai utamanya yang berhulu di Pegunungan Kendeng.
Jadi jangan heran kalau suku ini melarang setiap tamu nyabun (memakai sabun) dan bermacam produk mandi dan bersih-bersih/mencuci lain seperti shampoo, tapal gigi, dan deterjen jika ingin mandi di sungainya. Aneka produk tersebut mereka nilai dapat mencemarkan sungai.
Aturan itu pula membuat keberadaan sungai di wilayah mereka yang hanya berjarak sekitar 172 Km sebelah barat ibukota Jakarta atau sekitar 65 Km sebelah selatan Serang, ibukota Provinsi Banten ini, terlihat bersih dan berair jernih kehijauan, terlebih di musim panas.
Begitulah aturan larangan atau tabu yang memagari alam dan masyarakat Baduy. Karena tabu itu pula mereka mampu bertahan dari hal-hal negatif, imbas dari sampah yang dibawa pengunjung baik itu sampah logistik maupun “sampah” prilaku.
Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Pintu masuk menuju Baduy Luar dan plang tata-tertibnya.
2. Perkampungan Baduy Luar yang tenang.
0 komentar:
Posting Komentar