. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 08 Maret 2013

Memori Ujung Kulon 21 Tahun Silam


Duapuluh satu (21) tahun silam, tepatnya Maret 1992 lalu kami berada di sini. Di ‘rumah tinggalnya’ Badak Jawa (Rhinocerous sondaicus) yang bercula satu. Ketika itu, badan kami masih ramping-ramping dan imut-imut. Maklum usia kami baru 20-an tahun bahkan ada yang belasan tahun. Masih enerjik dan begitu dinamis. 

Hampir sepuluh hari kami jelajahi taman nasional di ujung Barat Pulau Jawa itu. Banyak kisah menyenangkan, menggelikan, mengejutkan, dan menyeramkan yang tak terlupakan. Semua kejadian itulah yang membuat ikatan batin kami tetap kuat sampai kini, sekalipun jarang bertemu dan berpetualang bersama lagi.

“Ular, ulaar..,” teriak Irma sambil meloncat. Teriakannya jelas bikin semua kaget. Ternyata benar ular laut berukuran kecil itu ada di bawah batu karang, dekat dia duduk. Untunglah ular berbisa itu tak sempat mencateknya.

Ular itu langsung masuk ke dalam air. Itulah salah satu kejadian 21 tahun silam di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten yang tak terlupakan buat Irma. “Iya sampe sekarang gue inget banget ularnya belang hitam dan oranye. Muncul dari bebatuan karang,” katanya.

Kejadian yang cukup mengejutkan rekan-rekan seperjalanannya yang lain itu terjadi di daerah Shangyangsirah yang berpanorama eksotis berupa bebatuan karang menjulang tinggi. Kawasan itu ternyata banyak dihuni ular belang cincin emas yang racunnya mematikan.

Tak jauh dari tempat kejadian itu, ada Gua Shangyangsirah yang terkenal mistik. Kemistikannya itulah yang membuat kami penasaran dan akhirnya memasukinya.

Saat masih berada di luar hingga ke mulut gua, kami masih berjalan gagah dengan wajah pemberani. Tapi ketika mulai menelusuri gua mulailah terlihat sisi pengecutnya. “Saking takutnya masuk gua itu, ketika masuk dan keluar, kita bergandengan tangan,” kenang Santa.

Ada atmosfer yang beda saat masuk gua yang kerap didatangi peziarah dari berbagai daerah untuk bersemedi dan lainnya. Suasananya begitu hening dan dingin. Semakin dalam, semakin sunyi dan mencekam. Terlebih ada beberapa batu yang ditutupi dengan kain putih dan beberapa bekas sesaji.

Di ujung gua ada telaga yang kian mencuatkan kesan angker. Saking heningnya, tetesan air yang jatuh dari atap gua terdengar jelas saat menyentuh permukaan telaga itu. Tak tahan suasana mencekam, kami pun tak mau berlama-lama berada di dalamnya. Lalu keluar dengan perasaan tak karuan. 


Didera Pantai Penyiksaan

Sebelum sampai Shangyangsirah, kami sudah melalui banyak rintangan. Salah satunya saat kami menyusuri pantai panjang dari pos Karang Ranjang sampai pos Cibunar sejauh 26 Km. Saking pajangnya dan tak ada pilihan lain selain melewati pantai itu, kami menyebutnya Pantai Penyiksaan.

Beberapa dari kami sempat melemah fisiknya ketika melewati medan pasir yang lunak dan ke dalam saat dipijak. “Lo sama Prosper paling depan, sampe enggak kelihatan. Lo berdua enggak ada udelnye, enggak ada capeknya, bingung gue,” kata Santa mengenang sepenggal perjalanan di pantai itu.

Setibanya di pos Cibunar. Kami yang berjumlah 17 orang terbagi dua tim. Tim pertama lewati Gunung Payung lalu ke Shangyangsirah yang lebih jauh dan memutar. Sementara tim kedua langsung ke Cibom. Aku, Santa, Irma, Anisti yang biasa disapa Ithink, Wina, Gusur, Prosper, dan Ubai termasuk ke dalam tim ke Gunung Payung.

Ternyata gunung yang sebenarnya bukit berketinggian 500 meter di atas permukaan laut itu tak semudah yang kami kira. Medannya sempat menguras stamina kami. Jalur pendakiannya sudah tertutup lantaran jarang sekali orang yang mendakinya. "Wina aja sempat jatuh guling-guling waktu nanjak," kenang Santa.

Prosper dan Ubai menjadi leader. Mereka secara bergantian membuka jalur dengan membabat pepohonan kecil dan semak belukar yang menghalang. Sementara yang lainnya menjadi followers setia, membuntuti keduanya di belakang, seperti anak ayam mengekor biangnya kemanapun.

Selama perjalanan ke Gunung Payung dan menuruninya kami berharap bertemu dengan primadona Ujung Kulon ini yakni Badak Jawa. Tapi nasib baik tidak berpihak. Kami cuma bertemu dengan kotoran, urine, dan tapak-nya saja. Dan itu sudah cukup buatku puas karena ternyata memang butuh waktu teknik, persiapan, dan waktu khusus untuk melacaknya.

Akhirnya kami tiba di puncak gunung itu, dimana ada triangulasi buatan Belanda. Sama seperti Gua Shangyangsirah, Gunung ini pun terkenal angker. Kami merasakan suasana yang aneh ketika berada di puncaknya. Dan betul saja ketika kami mengambil gambar bersama di puncaknya, tak ada satupun foto yang jadi ketika dicetak. (Zaman itu masih kamera kami masih manual dan pakai film rol, belum ada kamera digital).

Ketika turun dari gunung itu dan menuju ke pantai lagi, kami bertemu nelayan liar. Kami diberinya lobster besar oleh nelayan tersebut. Siang itu kami pun makan besar dan nikmatnya luar biasa. “Lobster terenak di dunia,” kenang Irma. “Lobster gratis the first and the last,” timpal Santa.

Cerita lucu lagi. Waktu hari mulai gelap, kami masih menyusuri hutan menuju Tanjung Layar. Ithink yang badannya paling bongsor alias tinggi besar, kepalanya beradu dengan batang pohon yang melintang. "Bledug, suaranya jelas banget, sok kepede-an sih jalannya mentang-mentang tinggi," kata Santa lagi. 

Tapi ketika sampai di Mercusuar Tanjung Layar, ada cerita yang menggelikan. Sampai sekarang Irma masih mengingatnya betul. “Waktu itu kita nyambel rasa kaki Ubai,” katanya sambil ketawa. Dan Santa menambahkannya. “Nyambel cap kaki jempol,” detilnya.

Ubai yang dimaksud Irma kini suami dari Santa dan ayah dari dua putra hasil pernikahan mereka. Waktu di Ujung Kulon mereka belum pacaran. "Tapi sepulang dari sana, Ubai kesemsem tuh sama gue," aku Santa sambil menerawang ke masa lampau itu.

Peran Ubai dalam penjelajahan Ujung Kulon, cukup besar. Pria Betawi Depok ini berbadan paling tegap dan fisiknya prima. Dia pun pandai berenang gaya anjing. Kekuatannya menjadi andalan kami.

Sedangkan Prosper adalah pimpinan perjalanan kami. Kendati berperawakan kecil, pria berdarah Batak ini bernyali besar. Dia petualang sejati. Dia-lah yang mengajak kami menjelajahi Ujung Kulon untuk kali pertama. Sayang, umurnya pendek. Dia tewas terseret banjir lahar dingin Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur setahun setelah dari Ujung Kulon.

Kami pun kehilangan kegilaannya berpetualang. Kami kehilangan sosok pemimpin petualangan yang berani dan terkadang nekat ini. Kami kehilangan sosok motor penggerak organisasi kepencintaalaman di kampus kami ketika itu. Aku sendiri akui, sampai sekarang belum menemukan sohib petualangan segila dan senekat dia.


Happy Ending di Peucang 

Setelah berhari-hari berjalan, melintasi hutan, pantai, dan gunung. Akhirnya kami tiba di ujung perjalanan, yakni Pulau Peucang. Dari Cidaun kami menyeberangi selat menuju pulau mungil yang indah itu. Di sana kami tumpahkan lelah dengan berenang di airnya yang bening dan kebiruan.

Beberapa rekan lain ada yang bermain sampan, memancing, dan mengabadikan gambar. Ketika Irma mengirimiku salah satu foto kami di pulau yang pantainya berpasir putih dan lembut itu lewat BB baru-baru ini, aku sempat berujar. “Kalau lihat foto ini, rasanya ingin muda, muda, dan muda lagi”. 

Irma, ibu tiga anak ini langsung mengomentari dengan sepenggal lirik lagu lawas favoritku dan dia juga. “Forever young, I want to be forever young”.

Pulau Peucang menjadi titik terakhir perjalanan kami menjelajahi semenanjung dan pedalaman Ujung Kulon. Begitu banyak kisah indah yang terangkai di dalam habitat Badak Jawa yang menurut hasil monitoring dengan camera video trap tahun 2011, jumlahnya yang tertangkap kamera hanya 35 ekor, terdiri atas 22 ekor jantan dan 13 ekor betina itu.

Semua kisah di Ujung Kulon 21 tahun silam itu, amat sulit kami lupakan hingga kini dan mungkin sampai mati. Sampai-sampai Santa memohon. “Ya Rabb, jangan hapus kenangan manis itu dari benakku,” pintanya, sama seperti harapan rekan-rekan sepetualangannya yang lain, sampai kini, ya sampai detik ini.

Naskah: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa) @adjitropis
Foto: adji dan dok. TAPAL MUK 92 (Memori Ujung Kulon 92)

Captions:
1. Foto bareng berlatar tebing-tebing batu karang di Shangyangsirah, TNUK.
2. Istirahat sejenak usai susur pantai.
3. Tiba di Pulau Peucang, titik terakhir penjelajahan Semenanjung Ujung Kulon.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP