Dikmensi, Belajar di Alam Gaya SMP Bakti Idhata
Media pendidikan luar ruang atau biasa disebut outbound, dilirik SMP Bakti Idhata, Cilandak, Jakarta Selatan mulai tahun ini. Outbound yang diterapkan oleh sekolah yang di kepalai Drs. H. Adi Dasmin, M.M ini diberi nama Dikmesi alias Pendidikan Mental dan Spiritual. Outbound plus ala SMP Bakti Idhata ini memadukan beragam kegiatan outbound dengan kegiatan spritual dalam kemasan santai tapi serius.
Lokasi outbound yang digunakan SMPN Bakti Idhata di Kampung Ciputang, Desa Talaga, Kecamatan Caringin, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Di areal seluas sekitar 4 hektar yang di dalamnya terdapat satu rumah permanen dan 3 rumah panggung serta 5 MCK terpisah, termasuk 4 balong (empang) yang berisi ikan nila, emas, dan lele, serta beberapa petak sawah dan kandang kambing.
Kendati hanya berdurasi 3 hari 2 malam, outbound yang dilakukan SMP Bakti Idhata terasa selangkah lebih maju. Pasalnya, pada malam kedua, siswa-siswi yang menjadi peserta diharuskan bermalam di rumah penduduk sekitar yang sudah ditentukan sebelumnya oleh panitia dalam hal ini guru pendamping.
Ketika dikmesi kelima digelar, ada 32 murid kelas 8B yang ikut serta dengan lima guru pendamping yakni Bashar Kalam, Mansur, Swastika Kesdiyanti atau biasa disapa Tika, Muhasan, dan Syarifudin yang akrab dipanggil Syarif. “Tiga murid tidak bisa ikut karena sakit,” jelas Bashar.
Dalam Dikmensi SMP Bakti Idhata, tidak menggunakan tenaga profesioal outbound. Para guru dilibatkan secara langsung dalam kegiatan ini secara bergantian. Mereka bukan saja sebagai pendamping, pun sekaligus instruktur outbound dan spiritual-nya.
Bashar misalnya, guru olahraga SMP Bakti Idhata ini dipercayakan sebagai instruktur utama khusus outbound dalam Dikmensi tahun ini berkat pengalamannya sebagai pembina pramuka dan pegiat kesenian khususnya seni Betawi. Kegiatan outbound sudah tak asing buat guru yang gemar memancing ini. Kegiatan bidang spiritual dipegang
Mansur yang tak lain guru Agama Islam dibantu Syarif sebagai guru bimbingan dan konseling serta muhasan sebagai guru matematika. Baik Muhasan dan Syarif juga merangkap sebagai pendokumentasi kegiatan ini. Kedua guru muda ini sama-sama gemar memotret.
Sementara Tika bertugas memantau prilaku siswa-siswa selama dikmensi berlangsung sekaligus mengatur konsumsi dan keuangan.
Pada hari pertama, selepas makan siang, seluruh peserta mendapat tugas awal yakni mengumpulkan 10 jenis daun tanaman pangan, buah dan tanaman obat-obatan sesuai yang tertera di LKS. Menurut Bashar, kegiatan ini berkaitan erat dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
“Banyak pelajara cuma tahu buahnya tapi tidak mengenal pohon atau tanamnya. Jadi kegiatan ini bermanfaat untuk memperkenalkan pelajar dengan sejumlah pohon yang memang sulit ditemukan di Jakarta,” jelasnya. Kesepuluh tanaman yang dicari itu antara lain padi, kelapa, sirsak, durian, sereh, kumis kucing, mangga, dan
lainnya
Treking 6 Km
Selesai menyelesaikan tugas tersebut, peserta dikmensi melanjutkan kegiatan treking atau jalan lintas alam ke luar lokasi sejauh lebih kurang 6 kilometer. Bashar mempimpin kegiatan outbound berunsur petualangan ini ditemani Mang Dedi, warga lokal sebagai pemandu.
“Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan alam pedesaan kepada siswa berikut kehidupan masyarakatnya secara langsung dan sekaligus melatih stamina fisik mereka,” terang Bashar. Rute treking diawali dari lokasi menuju perkampungan, selanjutnya memasuki areal persawahan dengan medan naik turun.
Di beberapa rumah di desa ini terdapat kegiatan pembuatan panganan seperti kue tambang, bandrek, dan biskut wijen yang dijual hingga keluar sukabumi. Bahkan ada juga yang membuat kerajinan berupa pelampung jala yang bentuknya menyerupai gangsing, yang diekspor hingga ke Taiwan. Beberapa siswa memesan kue tambang untuk oleh-oleh. Harganya Rp 5.000/bungkusnya.
Sayang, dalam dikmensi yang baru pertama digelar SMP Bakti Idhata tahun ini, tidak melakukan kunjungan ke rumah industri kecil-kecilan itu. Padahal itu ada kaitannya dengan ilmu ekonomi berbasis ekonomi rakyat pedesaan yang menarik diketahui lebih jauh.
Selepas perkampungan, hujan turun. Rombongan sempat berteduh di rumah kosong. Beberapa siswa mendapat suguhan minuman teh hangat dari warga setempat.
Warga Desa Talaga terbilang ramah dengan tamu. Bahkan setiap bertemu dengan orang luar yang datang ke daerahnya, mereka selalu berjabat tangan.
Selepas hujan berhenti, rombongan kembali beranjak. Kali ini medan sawah menjadi sajian utama. Mulai dari setapak kecil sampai jalan pematang sawah yang memisahkan antara petak sawah satu dengan sawah lainnya menjadi rute treking. Tanah yang becek dan licin sedikit menyulitkan pergerakan. Tapi semangat para siswa begitu berapi-api. Mereka seakan tak ada lelahnya.
Jelang sore rombongan tiba di lokasi. Mereka istirahat sejenak kemudian mengikuti fun games yakni meniti jembatan bambu yang membentang di atas empang berisi air sampai berhasil mengambil bendera merah putih yang tertanam di ujung titian disebilah bambu. “Permainan ini untuk melatih keseimbangan fisik siswa sekaligus menanamkan cinta tanah air dan menumbuhkan semangat pantang menyerah,” papar Bashar.
Satu per satu siswa bergantian meniti jembatan bambu yang beberapa bagiannya dilumuri lumpur dan air. Licin sudah pasti. Alhasil pada putaran pertama dan kedua, tak ada satupun siswa yang berhasil mencapai ujung titian. Semuanya kecebur ke empang dan jadi tertawaan peserta lain dan juga beberapa warga yang menonton permainan yang mengundang tawa itu. Baru pada putaran berikutnya, beberapa siswa dan siswi ada yang berhasil mencabut bendera merah putih itu.
Di permainan ini terlihat jelas, ada beberapa siswa dan siswi yang begitu bersemangat pantang menyerah menggapai ujung titian sekalipun beberapa kali jatuh dan bermandi air keruh dan berlumpur. Dan tak sedikit yang terlihat mudah menyerah.
Malam harinya giliran acara bertema spiritual menjadi menu utama. Selepas Shalat Magrib bersama para guru pendamping yang dipimpin Mansur menggelar zikir bersama sampai Shalat Isya berjamaah.
Setelah itu dilanjutkan dengan kegiatan yang diberi nama Emosional Aqidah atau disingkat Esa. Kegiatan yang tersebut diisi dengan pembekalan spiritual berisi nasihat dan penyadaran atas dosa-dosa agar siswa bertaubat dan kembali menjadi pribadi taat agama dan patuh kepada orangtua, guru, dan menghargai perbedaan dengan sesama.
“Hampir semua siswa menangis saat mengikuti Esa. Bahkan ada yang teriak menyebut mama-nya,” kata Syarif.
Keesokan harinya sejumlah kegiatan berunsur pendidikan kembali dilakukan siswa-siswi, antara lain memeras sapi di luar lokasi dengan berjalan kaki terlebih dahulu sekitar 2 Km untuk mengetahui cara memeras sapi yang benar dan memelihara sapi perah. Beberapa pelajar memesan susu sapi segar untuk dibawa pulang. Harganya Rp 6.000/liternya.
Dilanjutkan mengunjungi Pasar Ikan Talaga untuk mencatat jenis ikan tawar yang dijual dan proses pengembangbiakannya.
Kemudian peserta kembali ke lokasi dengan menggunakan angkot untuk sarapan pagi dan mengikuti kegiatan membajak sawah, menanam padi dan beberapa fun games yang bertujuan membentuk kerjasama dan kekompakan seperti permainan menyeberangi jala dan tower air.
Sorenya mereka mengikuti kegiatan santai memancing ikan di salah satu empang. “Kegiatan memancing ini selain sebagai rileksasi juga untuk membentuk jiwa sabar dan konentrasi agar siswa kelak lebih fokus dalam belajar,” aku Bashar lagi.
Malam kedua, peserta diharuskan bermalam di rumah penduduk. Ada 12 rumah penduduk yang dijadikan lokasi bermalam. Setiap rumah diinapi 2 sampai 3 peserta. Kegiatan terakhir inilah yang membedakan outbound SMP Bakti Idhata dengan outbound sekolah lainnya.
Meskipun hanya bermalam, setidaknya mereka sudah merasakan bagaimana menginap di rumah penduduk desa yang atmosfir dan fasilitasnya jauh berbeda dengan kediaman mereka masing-masing.
Kurang Kritis
Berdasarkan pantauan penulis, selama berlangsungnya dikmensi para murid masih takut mengeluarkan pendapat. Daya kritis-nya amat minim. Komunikasi masih berlangsung satu arah, yakni dari guru sebagai pendamping kepada murid yang melulu menjadi pendengar.
Padahal diharapkan dalam kegiatan ini, murid berani kritis dan bertanya secara logis serta mengungkapkan alasan dan sarannya. Bisa jadi ini dampak dari metode mengajar yang selama ini melanda sejumlah sekolah di Tanah Air, termasuk di SMP Bakti Idhata, dimana kurangnya membangun jiwa berani berpendapat, berdiskusi dan berdebat atas sebuah soal atau kasus terhadap murid-muridnya sejak dini.
Kendati begitu banyak kelebihan yang terlihat dari kegiatan pendidikan alam terbuka ini. Setidaknya, murid semakin mengenal karakter diri dan teman-temannya serta tidak ada lagi pengelompokan (gank). Mereka semakin membaur dan melebur satu sama lain.
Krisnamurti Sugiharto, salah satu siswa kelas 8B SMP Bakti Idhata yang mengikuti dikmensi mengaku senang mengikuti outbound ala sekolahnya ini. Dia bilang banyak mendapat ilmu pengetahuan secara langsung, “Pokoknya lebih enak belajar di alam. Kalau di kelas bikin bĂȘte,” akunya jujur.
Keputusan SMP Bakti Idhata menerapkan pendidikan dan latihan di luar kelas ini sangat tepat. Dan sudah saatnya mendapat porsi lebih untuk mengantikan pendidikan konvensional (di dalam kelas/ruangan) yang selama ini begitu mendominasi dan dilakukan secara masif, yang akhirnya lebih berorientasi pada nilai-nilai kuantitatif, bukan pada proses pengenalan lebih dalam pada sumber-sumber pengetahuan di alam.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
1 komentar:
My school!✨
Posting Komentar