Seribu Wajah dan Kisah Tapal Batas Indonesia-Timor Leste
Wilayah perbatasan makin dilirik wisatawan. Tak terkecuali di perbatasan Indonesia-Timor Leste. Pasalnya ada banyak hal menarik di sana. Ada banyak kisah yang tak pernah habis untuk diceritakan. Dan jelas ada perbedaan wajah terdepan di antara kedua negara bertetangga itu.
Di ujung Mota’Ain, wilayah perbatasan milik Indonesia, ada deretan bangunan permanen dengan dinding bercat kuning dan beratap genteng berwarna hijau yang berfungsi sebagai kantor-kantor. Ada kantor khusus bea cukai, imigrasi, karantina, kepolisian dan lainnya. Di belakang bangunan itu ada jejeran kios pasar tradisional Mota’Ain dan juga warung makan, salah satunya warung makan RW alias daging anjing.
Salah satu rekan bertanya RW itu apa? Rekanku yang lain langsung menjawab RW itu singkatan Raja Wug-Wug. Jawabannya itu kontan jadi bahan tertawaan rekan-rekanku yang lain.
Di sisi lain, ada sebuah bank swasta merangkap money changer secara legal. Kendati buka, bank itu nampak sepi. Di depannya ada papan putih bertuliskan harga beli 1 dollar AS Rp 9.500, harga jualnya Rp 9.650, yang disandarkan di atas kursi plastik berwana biru.
Dan di sisi kiri bank tersebut ada gedung Pos Mota’ain berdinding cat hijau muda dan di samping gerbang ada tenda hijau tempat tentara kita tengah berjaga-jaga. Beberapa lagi berjaga di pos pertama sebelum perkantoran dan di pos gerbang selamat datang Indonesia.
Di samping gerbang itulah ada batu putih dengan lempengan hitam yang ditandatangani oleh menteri luar negeri RI Hasan Wirayuda dan perwakilan dari Timor Leste Ramos Horta tertanggal 30 Agustus 2005. Dua tandatangan itu sebagai garis akhir wilayah Indonesia dan awal dari negara muda Timor Leste.
Di sebelah batu tugu, ada Jembatan Mota’Ain I yang berpagar semen dengan cat merah putih. Jembatan itu berada di atas sungai yang menjadi pembatas alam antara wilayah RI dengan Timor Leste.
Sebelum perkantoran itu, ada rumah makan padang yang dibuka seorang ibu dari Jawa Timur. Dan ada juga rumah makan bermenu masakan Jawa.
Meski kedua warungnya sederhana justru keduanya menjadi primadona bukan hanya warga Indonesia yang tinggal di perbatasan itu termasuk para pegawai perkantoran serta tentara, pun warga Timor Leste yang ada di perbatasan, para pegawai, dan juga tentara negara muda yang dulunya merupakan bagian dari provinsi RI yang bernama Timor-Timor.
Kedua warung itu, setiap hari ramai pembelinya. Banyak warga dan polisi Timor Leste yang berjalan kaki menembus perbatasan, hanya untuk makan di warung yang berada sekitar seratus meter dari tapal batas.
Warga lokal Timor Leste cukup melapor ke petugas imigrasi di loket keberangkatan yang ada di bagian depan dengan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) negaranya. Setelah kenyang mereka kembali mengambil KTP-nya lalu pulang berjalan kaki lagi melewati gerbang perbatasan.
Beberapa orang Timor Leste mengaku masakan yang dijual di kedua warung itu lebih enak dan variatif di banding yang ada di wilayah perbatasan Timor Leste.
Petugas imigrasi di Atambua sempat menjelaskan kalau masyarakat perbatasan yang biasa modar-mandir Timor Leste ke daerah perbatasan Indonesia cukup menunjukan pemakai lintas batas. Sementara yang bertujuan khusus wisata dan lainnya selama beberapa hari, harus menggunakan paspor dengan membayar visa. “Warga Timur Leste dikenakan visa Rp 35.000 per orang sedangkan warga Indonesia yang hendak ke Timor Leste lebih murah dikenakan visa Rp 30.000 per orang,” jelas petugas itu.
Sebenarnya, beberapa ratus meter sebelum di ujung Mota’Ain itu, pemandangan menarik sudah saya jumpai saat berada di depan Polsubsek Mota’Ain, yang berada tepat di pertigaan jalan arah ke Atapupu, Silawan, dan arah ke perbatasan.
Setiap mobil yang ingin ke perbatasan harus membuka kaca dan turun melapor maksud dan tujuan ke petugas polsubsek tersebut. Petugas kepolisian cukup ramah menyapa pengunjung.
Yang menarik, di sana ada beberapa warga lokal menawarkan mata uang dolar Amerika, baik kepada warga Indonesia yang hendak ke Timor Leste atau sebaliknya. Aksi mereka terang-terangan.
Sejak menjadi negara, Timor Leste menggunakan mata uang dolar Amerika. Sejak itu pula dolar bukan hal baru di Mota’Ain. Terlebih perbatasan Mota’Ain menjadi perbatasan utama Indonesia dengan Timor Leste. Pintu perbatasan lainnya ada di Motamasin masih di Kabupaten Belu, Napan dan Wini di Kabupaten Timor Tengah Utara, serta Oepoli di Kabupaten Kupang.
Puas berfoto-foto di gerbang selamat datang Indonesia di Mota’Ain, saya dan rekan-rekan lain memasuki wilayah Timor Leste didampingi salah seorang TNI. Bambang, namanya yang mengaku sudah 6 bulan bertugas di tapal batas itu.
Kalah Megah
Cerita tentang wilayah terdepan Timor Leste lebih bagus, mentereng, dan canggih terjawab sudah ketika saya memasuki halaman depan Timor Leste.
Sama halnya dengan perbatasan lainnya, pembangunan dan infrastruktur di pintu perbatasan Motaain dan Motamasin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini kalah cepat dan kalah lengkap dibanding dengan milik pemerintah Timor Leste. Padahal negara tetangga itu baru baru merdeka 10 tahun itu.
“Infrastruktur di pintu perbatasan di Timor Leste lebih megah bahkan canggih karena dilengkapi dengan peralatan seperti mesin pendeteksi barang masuk dan keluar. Di kita masih manual,” aku Bambang.
Sebelum masuk ke pintu gerbang Timor Leste berupa loket dan sebuah bangunan besar, ada jembatan berkerangka baja yang menarik perhatian bertuliskan selamat datang di Timor Leste.
Di depan loket ada tugu yang bertuliskan Timor Leste. Banyak pengunjung yang berfoto di jembatan dan berlatarbelakang tugu itu, termasuk saya dan beberapa rekan. Ini membuktikan, bangunan yang dibuat menarik, akan menarik perhatian orang.
Kendati wajah terdepan Indonesia dengan Timor Leste kalah megah dan lengkap, tetap saja warga Timor Leste yang berada di perbatasan memilih belanja dan makan di wilayah Indonesia. Bahkan beberapa lainnya memilih berwisata ke beberapa obyek wisata yang ada di sekitar Mota’Ain. Biasanya mereka menggunakan mobil travel dari Timor Leste sampai di Mota’Ain lalu ganti mobil travel menuju Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.
Obyek-obyek wisata yang biasa mereka kunjungi antara lain Pasir Putih, Sukaer Laran, Kolam Susuk, dan Tanjung Gurita yang berjarak beberapa kilometer dari Mota’Ain, termasuk menyaksikan sejumlah acara Festival Wisata Perbatasan Timoresia di Atambua dan pacu kuda di Desa Tnimanu yang digelar Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di Kabupaten Belu, NTT setiap tahun.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar