Memutar Waktu di Benteng Lapis Tujuh Bukit Makes
Dulu, batu berbentuk lonjong di tengah lingkaran pusat benteng itu, menjadi wadah kepala musuh yang dipenggal oleh para pejuang usai berperang. Setelah kepala musuh diletakkan di atas batu itu, semua orang masuk dalam lingkaran batu itu untuk merayakan kemenangan sambil menari tarian likurai. Kini tempat itu menjadi obyek wisata sejarah yang (masih) apa adanya.
Lingkaran batu bersusun itu merupakan puncak utama dari Benteng Lapis Tujuh.
Disebut benteng lapis tujuh karena untuk mencapai pusat benteng itu ada pagar dari sususan batu karang alam yang mengelilingi lingkaran batu itu sampai tujuh lapis.
Ada juga yang menyebutnya Benteng Makes. Yang ini lantaran benteng itu berada di atas Bukit Makes, tepatnya di wilayah Desa Dirun Kecamatan Lamakne, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Benteng yang berada wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah para pejuang lokal yang mempertahankan NKRI dari penjajahan bangsa Portugis.
Benteng yang diperkiraan dibangun tahun 1800 ini disusun dari batu-batu karang yang berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan musuh kala itu.
Selain batu lonjong di pusat lingkaran, juga ada sebuah meriam tua peninggalan tentara Portugis di dekat pintu masuk lingkaran tersebut. Sementara di luar lingkaran terdapat beberapa peninggalan tua antara lain kuburan batu raja, kuburan batu pelat bersusun dan beberapa kuburan para leluhur dari berbagai suku yang masih utuh. Semuanya hampir tertutupi lumut. Jadi agak samar-samar bentuknya.
“Di dalam lingkaran batu bersusun berdiamater 6 meter inilah para pejuang, dulu melakukan pertemuan saat melawan penjajah bangsa Portugis,” kata Ignatius Bere, salah seorang tokoh masyarakat Desa Dirun.
Benteng ini, kata Ignatius lagi sudah ada jauh sebelum penguasaan Portugis. “Benteng ini beberapakali pindah tangan sampai akhirnya dijaga oleh tiga pahlawan lokal dari tiga suku lokal yakni Suku Monesogo, Loos, dan Suku Sri Gatal,” jelasnya.
Berada di benteng ini, serasa kita berada di era kerajaan tempo doeloe. Waktu seakan berputar ke masa lampau. Susunan batu karang yang berlumut, dikelilingi hutan yang rimbun, menguatkan atmosfir itu. Begitu hening.
Benteng Makes berada 25 Km. sebelah Timur Kota Atambua. Perlu waktu sekitar 2 jam untuk mencapainya dengan kendaraan roda empat. Aksesnya belum sepenuhnya mulus. Jalannya menanjak dan berkelok-kelok.
Pemandangan Menawan
Namun pemandangan yang ditawarkan, dipastikan bakal menebus lelah. Sebelum mencapai bukit ini, ada Lembah Fulan Fehan yang menawan. Letaknya arah Selatan dari Bukit Makes.
Lahan lapang berupa padang rumput yang berbukit diselingi tumbuhan kaktus dengan bunga-bunganya yang berwarna cerah dan pohon ekaliptus serta bukit-bukit karang, sungguh menghadirkan panorama berbeda, sedap dipandang mata. Belum lagi langitnya biru dihiasai gumpalan awan putih beragam bentuk.
Dari pinggiran bukit itu terlihat jelas negara tetangga Timor Leste dan wilayah desa-desa lain yang ada di perbatasan.
Di sebelah Barat tampak Gunung Laka’an yang menjulang gagah sebagai salah satu gunung tertinggi di Pulau Timor. Di arah Utara ada Lembah Balokama yang diapit Bukit Makes dan Gunung Laka’an.
Pemandangan desa-desa di wilayah perbatasan seperti Desa Leowolu, Kewar, Makir, Henes, Lakmaras dan lainnya juga menghadirkan pesona lain yang berbeda dengan pemandangan di desa-desa di Jawa. Beberapa rumah di sana masih ada yang beratap rumbai dari daun lontar walaupun sudah banyak yang beratap seng.
Di kaki Bukit Makes, ada Desa Dirun yang pada jaman kerajaan dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Laku Mali. Namun setelah orde baru, desa itu di pimpin seorang kepala desa sampai sekarang.
Dulu pusat desa ini berada di Benteng Makes namun setelah Indonesia merdeka, pindah ke kaki Bukit Makes. Keseluruhan perkampungan di desa ini beserta pemandangan alam sekitarnya jelas terlihat dari Bukit Makes, tepatnya di belakang Benteng Tujuh Lapis.
Di desa ini, ada beberapa peninggalan bersejarah yang dulunya digunakan untuk ksadan atau upacara adat antara lain besi dara yaitu tempat keramat yang dipakai untuk ritual jika ada warga hendak merantau atapun berperang. Sarat ritual tersebut dengan memotong ayam jantan merah dan babi.
Selain itu ada rumah-rumah adat dan bangunan tua tempat kediaman Raja Laku Mali serta sebuah Kapela tua permanen pertama di Lamaknen yang di tengah perkampungan Desa Dirun.
Tak heran desa yang belum dialiri listrik ini juga kerap didatangi turis asing. Biasanya kunjungan turis ke wilayah perbatasan ini selain ke Benteng Makes juga ke puncak Gunung Laka’an lalu mampir ke Desa Dirun.
Mobil travel yang biasa mengantar turis dari Atambua ongkosnya cuma Rp 15ribu per orang sampai Desa Dirun. Bisa juga mencarter hingga lembah Fulan Fehan lalu treking berjalan kaki sekitar 20 menit ke Benteng Makes.
Kalau turun di Desa Dirun, dilanjutkan treking lewat jalur jalan utama sekitar 2 jam melewati Lembah Fulan Fehan. Pilihan lain buat yang suka jalur trek yang lebih menantang bisa lewat belakang desa, menapaki medan menanjak terjal sekitar satu jam ke puncak Bukit Makes.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar