Menikmati Pesona Perbatasan dari Puncak Gunung Laka’an
Kalau Anda suka naik gunung, sayang kalau tidak meluangkan waktu mendaki Gunung Laka’an saat berkunjung ke Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Bukan semata karena gunung ini atap tertingginya kabupaten yang berbatasan dengan Timor Leste, namun salah satu gunung tertinggi di Pulau Timor ini memang menawarkan pesona khas dan cerita panjang.
Gunung Laka’an bukan sekadar gundukan batu karang yang menjulang mengerucut di tengah lembah.
Gunung setinggi 1.580 mdpl ini ini punya arti penting bagi masyarakat Belu bahkan dianggap sakral dan suci. Maklum, di atas puncaknya terdapat Patung Kristus Raja dan Patung Bunda Maria sehingga menjadi tempat ziarah. Setiap tanggal 7 oktober, gunung ini ramai didaki para peziarah untuk mengikuti misa dan berdoa.
Gunung ini juga dinilai unik. Disebut begitu karena di puncaknya tumbuh pohon bakau, tanaman penyerap air yang biasanya tumbuh di pesisir pantai dataran rendah. Konon. Dulunya, seluruh daratan Kabupaten Belu merupakan lautan. Daratan yang tersisa hanyalah puncak Gunung Laka’an yang ditumbuhi bakau.
Sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Belu, orang Belu pun menjuluki puncak gunung itu dengan julukan Baudinik Mesak atau Seperti Bintang Tunggal. Ada juga yang menyebutnya Sa Mane Mesak (Seperti Lelaki Tunggal), Foho Laka An (Gunung Yang Memiliki Cahaya Sendiri), dan sebutan Manu Aman Laka An yang berarti Ayam Jantan Merah Bercahaya Sendiri.
Keunikan lainnya, puncak gunung ini diyakini masyarakat Belu sebagai tempat lahirnya manusia pertama Belu. Leluhur pertama orang Belu yang pertama kali menetap di puncak gunung ini memberi nama manusia pertama Belu yang tak lain seorang putri cantik dan sakti dengan nama Laka Lorak Mesak yang dalam bahasa Belu berarti Putri tunggal yang tidak berasal usul.
Karena kesaktiannya yang mumpuni, Laka Lorak Mesak dapat melahirkan anak dengan suami yang tidak pernah dikenal orang. Itu sebabnya putri ini mendapat julukan lain Nain Bilakan yang berarti berbuat sendiri dan menjelma sendiri. Salah satu anak keturunan putri ini menetap di Belu dan kemudian turun-temurun menjadi masyarakat Belu. Keturunannya yang lain tinggal di Timor Leste, Timor Tengah Utara, dan Flores.
Dari kisah ini muncul kebiasaan di Belu dimana anak-anak selalu mengikuti keluarga ibu hingga sekarang. Kisah ini pun membuat keyakinan bahwa orang Belu, Timor Leste, Timor Tengah Utara maupun orang Flores adalah bersaudara.
Sekarang penduduk Belu semakin bertambah. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 lalu, jumlahnya 352.400 jiwa, terbesar kedua sesudah penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mereka menetap di wilayah kabupaten seluas 2.445,57 Km2 di Pulau Timor.
Sebagai bukti bahwa di puncaknya dulu menjadi tempat tinggal leluhur orang Belu, ada tiga buah tunggu yang masing-masing bernama. Konon ada ceritera bahwa tiga tunggu ini lambang berpisahnya tiga nenek moyang orang Belu yang berpisah di atas puncak ini, yakni; Sabu Mau, Belu Mau dan Rote Mau.
Tak sulit mendaki gunung ini, cuma butuh sekitar 1 jam dari lembah di kakinya. Dari puncaknya, di sebelah Utara Anda bisa melihat rerimbunan hutan yang menutupi Benteng Tujuh Lapis yang berada di kaki gunung ini atau berada di puncak Bukit Makes.
Di arah lainnya, Anda dapat melihat suguhan menawan Lembah Fulan Fehan dan beberapa lembah berbukit dan berkaktus lainnya serta deretan perbukitan yang berbatasan dengan Timor Leste.
Untuk menjangkau desa terakhir di kaki gunung ini, dari Kupang Ibukota NTT, Anda bisa naik kendaraan umum dua kali ganti ke Atambua. Lalu dilanjutkan dengan bus travel ke kaki gunung ini, kemudian treking atau berjalan kaki. Bisa juga dari Kupang naik pesawat kecil ke Atambua lalu naik mobil travel ke lokasi.
Usai mendaki gunung ini, Anda bisa melanjutkan kunjungan ke Benteng Tujuh Lapis. Lembah Fulan Fehan, Desa Dirun, dan Air Terjun Sihata Mauhale serta situs bersejarah Kikit Gewen.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar