Buat Eri Anugerah, Selamat Jalan Rekan Seprofesi
Kegiatan Orientasi dan Outbound Peningkatan Pemahaman Bidang Parekraf Bagi Jurnalis dan Pers yang digelar Pusat Komunikasi Publik (PKP), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang sedianya berlangsung sampai Minggu siang (4/11/2011) di Pulau Umang, Banten, diputuskan tidak diteruskan lantaran salah satu pesertanya, Eri Anugerah, jurnalis koran Media Indonesia meninggal dunia. Siapa Eri, apa penyebab dan kronologis kematiannya?
“Hai bro, makin gemuk aja. Olahraga dong,” begitu sapaku suatu ketika bertemu Eri dalam sebuah liputan di Jakarta. Eri senyum saja lalu menjawab. “Iya nih badan gw makin melar,” katanya singkat.
Ya begitulah Eri yang ku kenal sejak masih sama-sama kuliah di IISIP atau Kampus Tercinta, Jakarta belasan tahun lalu. Kakak kelasku ini memang tak banyak kelakar, lebih cenderung pendiam. Namun saat kumpul dan ada bahan lelucon, dia pun nimbrung tertawa.
Dan karakternya itu pun masih tak berubah sampai terakhir bertemu di Pulau Umang untuk mengikuti Outbond tahunan yang biasanya diikuti sejumlah awak media baik cetak, online maupun elektronik yang biasa meliput bidang kebudayaan dan pariwisata di Kemenbudpar yang kini berlabel Kemenparekraf.
Bukan cuma sifatnya itu yang tak jauh berbeda. Penampilannnya juga tak lebih sama seperti dulu. bergaya casual dan rambutnya yang ikal bergelombang dibiarkan panjang hampir sebahu. Dulu semasa kuliah, rambutnya lebih gondrong lagi. Entah kenapa Eri begitu setia dengan rambut panjangnya itu sampai imej “gondrong forever” itu melekat padanya.
Kesetiaan pada profesinya sebagai jurnalis bidang hiburan dan budaya yang kini lebih dikenal dengan bidang ekonomi kreatif juga dipegang teguhnya, termasuk kesetiaannya pada Koran Media Indonesia, media tempat dia bekerja.
Loyalitas inilah yang membuatku kerap mengundangnya untuk meliput jumpa pers terkait bidang budaya dan ekonomi kreatif, selain hubungan pertemanan lama. Tahun ini, sekurangnya ada 3 acara jumpa pers yang diikutinya atas undanganku sebagai koordinator wartawan, antara lain jumpa pers Paket Wisata Muslim, Festival Jepen, dan jumpa pers Festival Pesona Borneo, serta event-event sebelumnya. Eri selalu datang dan tentu saja menulis hasi liputannya di medianya.
Sepengetahuanku, sejak terjun di dunia jurnalistik sampai kini, Eri memantapkan diri diliputan bidang hiburan dan budaya. Meski mungkin dia pernah ‘berselingkuh’ di bidang liputan lain, koridornya tetap di hiburan dan budaya. Eri sedikit dari jurnalis yang punya kesetiaan di bidangnya itu, dan saya respek akan loyalitasnya itu, karena saya pun begitu, setia di bidang kebudayaan dan pariwisata sejak masih di bangku kuliah hingga kini.
Sewaktu bertemu Eri di Pulau Umang, aku belum sempat ngobrol banyak dengannya. Termasuk menanyakan kenapa sebelah matanya merah. Eri asyik berkumpul dengan rekan seprofesi lain yang konsen meliput bidang perfilman seperti Imam, Ami, Benny, dan Didang.
Bus yang aku tumpangi juga berbeda dengan Eri. Dari depan Gedung Sapta Pesona, Kemenparekraf, Jalan Merdeka Barat, Jakpus, Ju’mat jelang sore (2/12/2011), pukul 14.30, Eri dengan rekan-rekan dekatnya itu naik di bus lain. Sementara aku di bus ketiga dengan beberapa staff PKP Kemenparekraf dan sejumlah jurnalis lainnya. Ada 3 bus, masing-masing berkapasitas 24 seats serta 1 mobil kantor yang berangkat menuju Pulau Umang secara konvoi.
Di tengah perjalanan, sempat beberapa kali kendaraan yang kami tumpangi berhenti karena sejumlah rekan ingin buang air kecil dan shalat magrib di salah satu musholah di daerah Pandeglang. Ketika di musholah itu, aku dapat informasi dari penduduk setempat bahwa Pulau Umang masih jauh, sekitar pukul 11 malam baru sampai.
Padahal di itenenary tercantum tiba di Pulau Umang jam 8 malam dan langsung santap malam. Mungkin panitia yang survey lokasi dan membuat itenenary tidak membedakan mana survey, mana membawa rombongan besar saat pelaksanaan yang jelas beda.
Usai shalat magrib, kami melanjutkan perjalanan ke Pulau Umang. Di bus yang aku tumpangi, hampir di sepanjang sisa perjalanan yang keluar dari mulut sejumlah rekan melulu seputar makan malam yang telat.
Bukan cuma jurnalis, staff PKP juga tak henti berceloteh mengenai enaknya makan malam dengan menu ini dan itu. “Tuh ada martabak telor,” kata Jimmy dari Trans TV yang berharap ada panita yang turun dan membelinya. Padahal sewaktu rehat shalat Magrib tadi, dia mengaku sempat makan di warung sederhana, tak jauh dari musholah.
Apalagi sewaktu ada warung tenda sop kambing, Jimmy dan rekan-rekan lainnya berharap bus berhenti dam mampir. Ternyata benar bus berhenti tapi bukan untuk makan melainkan beberapa teman membeli sandal dan makanan kecil. “Ga usah Sop Kambing, nasi bungkus dengan tempe oreg juga sudah enak kalu laper-laper begini,” sindir Glory, staff PKP Kemenparekraf.
Perjalanan jauh hampir 8 jam dari Jakarta ke Pulau Umang, terlebih sepanjang jalan hujan mengguyur. Ditambah setelah memasuki Pandeglang hingga mendekati Sumur, sebelum menyeberang ke Pulau Umang, kondisi jalannya berkelok-kelok dan naik turun, jelas membuat sejumlah peserta di bus yang aku tumpangi mengeluh kelaperan. Entah mungkin di bus lain, termasuk di bus yang ditumpangi Eri merasakan hal serupa.
Baru tepat pukul 10, rombongan kami tiba di kantor reservasi Pulau Umang di Kecamatan Sumur. Kemudian rombongan dibagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama berjumlah 25 orang berangkat lebih dulu ke dermaga untuk menaiki perahu kapal, setelah mengenakan raincoat berwarna biru yang disediakan petugas Pulau Umang. Disusul peserta lain secara bergantian, termasuk dengan speedboat kecil berkapasitas 6 orang penumpang.
Setibanya di Pulau Umang hampir pukul 11 malam, seluruh peserta termasuk Eri langsung santap tengah malam, sambil dihibur live music organ tunggal dengan seorang penyanyi perempuan.
Selepas makan, owner Pulau Umang Christian P.B Halim menjelaskan seputar kegiatan yang akan dilakukan seluruh peserta outbond esok hari, Sabtu sampai dengan Minggu siang. “Just more than stay di Pulau Umang. Karena banyak kegiatan yang dapat dilakuakan seperti outbound dan penanaman pohon di Pulau Umang, dan water sport antara lain banana boat, snorkeling, jetski, voli pantai, dan lainnya di pulau kembarannya yakni Pulau Oar, kira-kira 700 meter dari Pulau Umang,” jelasnya.
Kemudian panitia, meminta kepala PKP, Kemenparekraf I Gusti Ngurah Putra untuk memberi sambutan sekaligus pengarahan. Namun Ngurah Putra menolak dengan alasan sudah larut. “Tak usah sambutan lagi, seluruh peserta pasti sudah capek dan ngantuk. Langsung istirahat saja ke kamar masing-masing agar besok bisa ikut outbound dengan badan segar,” jelasnya.
Seluruh peserta pun masuk kamar setelah panita membagikan beberapa cottages yang diisi 4-5 orang peserta per cottages. Cottages perempuan terpisah dengan cottages peserta pria. Di dalam cottages ada 2 kasur berkelambu di bagian atas dan 3 kasur di bagian bawah yang ditempatkan di ruang tamu, dan 2 AC yang ditempatkan di dinding bagian atas, dan 1 kamar mandi serta sebuah TV.
Sesuai buku program, Eri mendapat cottages bernomor 207 bersama Iman, Didang dan lainnya. Sedangkan saya di room nomor 209 bersama Diyak Mulahela, pengamat pariwisata dari LEPITA dan 3 jurnalis lainnya. Tapi akhirnya saya tidur di room sebelah nomor 208 karena lebih kosong cuma ada Nikson dari Bali Post dan Aby dari Harian terbit.
Beberapa peserta ada yang langsung tidur karena lelah. Sementara aku ke room 206 untuk melanjutkan mengirim tulisan dengan meminjam notebook milik Arifin Hutabarat dari Majalah Pariwisata sampai pukul 2 dini hari. Aku tidak tahu apakah Eri di room-nya bersama rekan-rekannya sudah tidur atau belum.
Selepas tuntas meminjam notebook, aku kembali ke room 208. Di sana pun aku tak bisa lelap karena sebelumnya menyeruput kopi. Lepas subuh baru tertidur. Dan Aby membangunkanku sekitar pukul 7 pagi. Kemudian aku mandi dan langsung ke ruang makan untuk sarapan.
Di ruang makan, sejumlah peserta sedang asyik bersantap pagi termasuk Eri. Panitia membagikan tas ransel yang di dalamnya ada kaos dan celana training serta selayer bertuliskan nama kegiatan yang wajib dipakai peserta saat watersport di Pulau Oar dan out bond di Pulau Umang.
Sekitar pukul 9 kami beranjak ke Pulau Oar secara bergantian dengan kapal perahu dan juga speedboat yang kami gunakan semalam. Setibanya di Pulau Oar yang berukuran sekitar 5 Hektar dengan pantai berpasir putih dan ada tiga saung sederhana di pantainya untuk bersantai, penitia langsung membagikan peserta yang ikut snorkeling, banana boat dan lainya.
Aku yang sebenarnya hobi berenang dan snorkeling memilih meredam keinginan semua itu, sekalipun itu gratis karena merasa kurang tidur beberapa hari ini termasuk semalam.
Aku sadar betul, tak selamanya fisik ini sehebat sewaktu muda, semasa SMA atau kuliah dulu. Faktor ‘U’ dan juga kurang persiapan fisik sangat ku perhitungkan. Oleh karenanya, aku lebih memilih hunting foto, mengelilingi Pulau Oar.
Di tengah perjalanan, aku sempat bertemu dengan Ilham, fotogarfer PKP Kemenparekraf yang tengah asyik memotret hutan bakau dan bebatuan karang yang begitu artistik. Aku betah berlama-lama di tempat menawan itu, dan mengabadikannya sambil mengarang lagu yang sudah menjadi kebiasaanku disela-sela perjalanan dan petualangan.
Sebelum beranjak sendiri mengelilingi pulau, aku sempat melihat beberapa peserta langsung ikut banana boat dan snorkeling. Aku lihat tak ada satupun yang melakukan warming up (pemanasan). Padahal itu penting agar tubuh tidak kaget. Tapi semua langsung nyebur, berenang, dan berteriak senang. Begitu pun dengan Eri.
Sekembali saya mengelilingi pulau, beberapa rekan sedang bermain sepak bola pantai. Tim PKP (humas) Kemenparekraf melawan tim jurnalis. Saya tidak melihat Eri ikut main. Kata seorang teman, tadi Eri cuma ikut banana boat dan snorkeling, lalu istirahat untuk minum air kelapa bersama rekan-rekan lain.
Usai berfoto-foto bersama, kami kembali ke Pulau Umang dengan perahu dan speedboat. Eri naik perahu pada kloter pertama bersama 20-an peserta lain yang ingin cepat sampai di Pulau Umang karena mungkin sudah letih, lapar, dan kepanasan. Aku dan sejumlah peserta lain menyusul pada kloter terakhir.
Setibanya di Pulau Umang, beberapa peserta yang tiba lebih dulu, sudah selesai santap siang termasuk Eri. Sewaktu aku, Arifin Hutabarat, dan Aby baru mau mulai menyantap makan siang dengan menu daging cincang, tumis buncis, dan mie capcay. Tiba-tiba Ilham dan Rozzi, staff PKP Kemenparekraf masuk ruang makan dan mengatakan ada teman yang pingsan.
Beberapa rekan yang sudah selesai santap siang, segera membantu. Saya melanjutkan santap siang karena tidak tahu kalau yang pingsan itu Eri. Namun karena penasaran, belum tuntas makan, saya segera ke lokasi. Di bawah tugu yang ditandatangani Gubernur Banten Atut, saya lihat Eri sedang dibantu oleh beberapa rekan termasuk Christian P.B Halim dengan memberikan oksigen lewat tabung oksigen berukuran kecil. Sementara yang lain hanya bisa menonton dan cemas.
Entah kenapa tidak ada dokter yang siaga di pulau Ini. Padahal saat itu bukan cuma rombongan kami yang datang di Pulau Umang. Masih ada beberapa rombongan lagi termasuk satu keluarga Aga, mahasiswa Universitas Al-Azhar dengan seorang adik perempuannya dan kedua orangtuanya yang berlibur dan ikut water sport di Pulau Oar berbarengan dengan kami. Ini tentu jadi catatan tersendiri buat pengelola Pulau Umang.
Setelah beberapa waktu tak ada hasil, diputuskan untuk membawa Eri ke puskemas terdekat di Sumur dengan perahu. Aku sempat mengabadikannya, meskipun sebenarnya tak tega. Tapi ini cuma untuk dokumentasi saja. Eri yang masih pingsan kemudian ditandu hingga ke dermaga lalu dinaikkan ke perahu. I Gusti Ngurah Putra, dan staffnya Kabid Media Masa Yanto serta beberapa rekan wartawan, Imam dan Beni ikut mengantar.
Lepas mengantar Eri ke dermaga, Aku kembali ke room, sambil berharap semoga Eri tidak ada apa-apa. Tak ada 30 menit kemudian. Jimmy memanggil-manggil aku untuk kumpul. Katanya Eri sudah ‘tidak ada’ sebelum sampai Rumah Sakit. "Gw dapat kabar dari Imam," katanya.
Tidak Percaya
Jelas aku sangat terkejut dan tak percaya. Dalam hati, aku berdoa. "Jika benar, Ya Allah, terimalah amal perbuatannya, kuatkan dan tabahkan istri serta ketiga anaknya," itu pintaku sambil berharap berita itu tak benar.
Aku pun berusaha menenangkan Besty, jurnalis dari RRI yang menangis. “Dia teman gw dari SMA dan juga kuliah, dji…,” teriaknya sambil meneteskan airmata. Beberapa jurnalis perempuan lainya juga sama, mata mereka merah sembab dan merah karena menangis. Rupanya mereka juga sudah mendapat kabar itu lebih dulu.
Entahlah, aku dan Diyak Mulahela merasa belum yakin. Diyak sempat bertanya apa sudah ada bukti dari Rumah Sakit yang menyatakan Eri meninggal? Pertanyaan itu tak terjawab. Kata dia, bisa saja cuma mati suri. “Sebelum ada visum dan bukti dari Rumah sakit harusnya jangan disebarkan dulu,” katanya.
Kami akhirnya berkumpul di depan room-ku, lalu Joko staff PKP Kemenparekraf lainnya memimpin doa untuk Eri yang masih membuatku belum percaya 100 % apa benar dia sudah meninggal atau belum. Karena sewaktu digotong, aku merasa yakin Eri kuat dan bisa ditolong. Namun kenyataannya tidak.
Akhirnya kami berembuk untuk tidak melanjutkan kegiatan dan memilih pulang menuju kediaman Eri di Sawangan, Depok. Pukul 2 dini hari kami sampai dikediaman Eri.
Setibanya disana saya baru yakin, Eri benar-benar telah pergi. Tubuhnya kaku, tak bernyawa, tak bergerak dan ditutupi kain. Di sampingnya, istrinya yang berjilbab sedang ditemani jurnalis Hilda Sabri dari Bisnis Indonesia dan Lina Jabir dari RRI dan lainnya. Sementara tiga anaknya, 1 putri dan 2 putra memberi salam kepada teman-teman ayahnya termasuk aku.
Dari beberapa rekan yang datang, terdengar kabar bahwa Eri punya penyakit stroke dan asma. Jadi bukan karena dia ikut banana boat dan snorkeling sebagaimana tersiar kabar simpang siur.
Aku selaku ketua Forum Wartawan Kebudayaan dan Pariwisata (Forbudpar) sempat menerima pesan pendek dari beberapa jurnalis di Jakarta sewaktu masih di Pulau Umang yang menanyakan kebenaran apakah Eri meningggal. Satupun aku tidak balas, karena pada saat itu aku tidak tahu kebenaran kepastiannya.
Ba’da zuhur Minggu (4/12/2011), pria kelahiran 20 Februari 1970 ini dimakamkan di TPU Caringin, dekat kediamannya di Sawangan. Info ini saya dapat dari Yanto, Kabid Media Massa, PKP Kemenparekraf.
Selamat jalan Eri, rekan seperjuangan, rekan seprofesi. Apa yang kau lakukan di dunia jurnalistik serta loyalitasmu, semoga memberi manfaat positif buat bangsa ini dan juga memberi inspirasi buat jurnalis lain.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar