Ketika Pelukis Jawa dan Sumatera Melukis tentang Betawi dan Jakarta Tempoe Doele
Kalau pelukis Betawi melukis tema kebetawian itu biasa. Tapi kalau ada sejumlah pelukis lain yang berasal dari Bukit Tinggi, Jogja, dan Surabaya yang mencoba menggoreskan kreativitasnya mengenai kehidupan orang Betawi dan problema yang terjadi di Jakarta, itu baru beda. Mau tahu seperti apa hasilnya? Datang saja ke Pameran Lukisan Seni Lukis Betawi dan Jakarta Tempo Doeloe.
Tujuh (7) pelukis yang berkolaborasi memamerkan hasil perekaman imajinasi, pemahaman, dan unek-unek-nya seputar kehidupan masyarakat Betawi di Jakarta dan segala pemasalahannya, yakni Alex Lutfhi R asal Surabaya, Gusti Alit Cakra (Bali), Ibrahim (Bukit Tinggi), Nasirun (Cilacap), Ridi Winiarso (Jogja), Sarnadi Adam (Betawi), dan Totok Buchori asal Probolinggo dengan kurator Agus Dermawan T.
Ada 100 lukisan yang mereka pamerkan dengan bermacam aliran, ide dan tentu saja harga yang berkisaran antara Rp 25 juta sampai dengan Rp 180 juta per lukisan.
"Ini pameran pertama yang diselanggarakan Sudinbud Jaksel dengan menampilkan pelukis dari berbagai daerah dan bermacam aliran seperti Toto dengan raliran realisme-nya, Ridi dengan lukisan ceria, dan Ibrahim dengan aliran pure abstrak-nya," jelas Sarnadi Adam yang menjadi koordinator para pelukis.
Lukisan Alex penuh simbol yang mengandung banyak makna kritikan. Contoh lukisannya yang berjudul "Opera Jakarta" berukuran 120 x 120 Cm dengan cat minyak di atas kanvas menegaskan bahwa orang-orang yang berada di Senayan itu bak badut. Gambaran itu jelas terlihat sekali dalam lukisannya yang menggambarkan Gedung DPR/MPR RI dengan tiga badut di bawahnya. “Bukan rahasia lagi toh banyak badut di sana,” tandas pelukis yang juga Dekan Fakultas Seni Media Rekam, ISI Jogja yang lukisannya berjudul "Kado Reformasi" dibeli antropolog Amerika Serikat seharga Rp 30 juta pada 1999.
Alex yang memang kerap mengkritik lewat lukisannya tidak takut kehabisan daya kritisnya. Menurutnya selama dunia masih ada, masih banyak persoalan sosial, politik, budaya di dalamnya. “Tinggal bagimana kita membaca permasalahan yang ada lalu kita tuangkan ke kanvas, termasuk permasalahan yang ada di Jakarta ini,” jelasnya.
Lain lagi dengan Ibrahim, pelukis termuda di antara 6 pelukis yang ikut pemeran kali ini. Pemuda asal Bukit Tinggi, Sumatera Barat ini menuangkan kreativitasnya lewat goresan akrilik dan pensil di atas kanvas dalam aliran abstrak murni. Salah satu lukisannya bertajuk "Penari Betawi" berukuran 200 x 200 Cm terlihat begitu artistik, menggambarkan seorang penari perempuan Betawi yang sedang menari.
Ada lagi beberapa lukisan abstak Ibrahim lainnya yang tentu perlu “kaca mata” lebih untuk memahaminya seperti lukisan berjudul "Ambang Batas" dan "Di Bawah Menara".
Sementara Sarmadi Adam yang asli Betawi terlihat begitu kuat kebetawiannya dalam setiap lukisannya. Pemilik Betawi Studio Seni Rupa di Kawasan Kebayoran Lama, Jaksel ini terlihat amat memahami Betawi dengan pengaruh bermacam budaya.
Sekurangnya ada tiga lukisannya yang amat menonjolkan budaya Betawi seperti lukisan berjudul "Sepasang Ondel-Ondel" berukuran 200 x 280 Cm dengan akrilik di atas kanvas, "9 Penari Betawi" dengan cat minyak di atas kanvas, dan lukisan "Barisan Penari Cokek".
Pameran lukisan yang diselenggarakan Sudinbud Jaksel ini dibuka oleh Gubernur DKI Fauzi Bowo dengan dimeriahkan penampilan musik Keroncong Tugu. Dalam sambutannnya, Bang Foke berharap pameran ini dapat memberikan kontribusi terhadap pariwisata Jakarta.
“Jakarta tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Betawi. Keduanya menjadi elemen sejarah kota ini. Jakarta dan masyarakat betawi adalah bagian dari identitas Negara Indonesia,” jelasnya usai membuka pameran di Gandaria City Mall, Kebayoran Lama, Jaksel, Jumat (25/11/2011).
Kasudinbud Jaksel Ahmad Syaropi mengatakan tujuan pameran ini bukan semata sebagai bentuk pembinaan terhadap seni lukis di Jakarta Selatan khususnya, melainkan bernilai tambah dengan turut mengentaskan wilayah kumuh di Jaksel.
“Hasil penjualan lukisan ini akan disumbangkan untuk perbaikan sanitasi kawasan kumuh di Jaksel dan juga pengentasan kemiskinan,” terangnya.
Dalam pameran ini, Fauzi Bowo membeli tiga lukisan. Sedangkan Walikota Jaksel Anas Efendi membeli 1 lukisan karya Sarnadi Adam berjudul "Abang Kite" seharga Rp 30 juta. Pameran lukisan ini berlangsung lima hari sejak 25-29 November 2011.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar