Curhat Sang Maestro Seni Tradisional Dayak
Entah apa jadinya nasib kesenian tradisional Suku Dayak Kalimantan khususnya di Kalimantan Barat, jika tidak ada sosok pria bernama Petrus Lengkoi ini? Mungkin bisa jadi kita tidak akan melihat eksotisnya Tari Sumpit, keunikan aneka pahatan kayu bermotif khas Dayak, pakaian kulit kayu, dan lainnya. Di tengah perjuangannya menghidupkan dan mengembangkan seni budaya tanah leluhurnya itu, pria jelang senja ini mengaku masih dihadang bermacam kendala sebagaimana curhatnya. Apa saja?
Kehadiran Petrus di pembukaan Lomba Sumpit Internasional pertama di Singkawang memberi warna tersendiri sekaligus membetot perhatian pengunjung termasuk para peserta lomba. Bagaimana tidak, lelaki berusia 69 tahun kelahiran Kabupaten Bengkayan, Kalbar ini tampil begitu eksotik.
Dia mengenakan pakaian perang khas dayak. Badannya hanya ditutupi kalung dari belulang hewan. Di pinggangnya tergantung sebilah Mandau, senjata khas Dayak. Kepalanya berhias mahkota dari bulu Burung Enggang yang menjadi maskot Kalbar. Rambutnya yang mulai memutih dibiarkan panjang terurai lurus sebahu. Kedua paha kakinya bertato motif Dayak. Kedua pergelangan tangan dan kakinya dihiasi aneka gelang etnik.
Dengan penampilan dan karakter kuatnya itu, otomatis Petrus begitu mudah menarik perhatian pengunjung, sekalipun banyak peserta lain yang berpakaian khas Dayak lainnya, termasuk etnis Dayak dari Serawak, Malaysia.
Petrus bukan sekadar hadir memeriahkan pembukaan lomba sumpit ini, pun sejak awal dia mendampingi Walikota Singkawang Hasan Karman dan Direktur Promosi Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemnparekraf) M. Faried menunju lokasi acara pembukaan.
Bahkan pada hari kedua, dia menarikan Tari Sumpit hasil ciptaannya sejak tahun 80-an silam. Bagi orang Bengkayan, Petrus adalah seniman besar. Bagaimana tidak lewat kreativitasnya, dia bukan hanya menciptakan Tari Sumpit tapi juga tarian Dayak lainnya seperti Tari Mandai dan Tari Berburu.
Dia juga seorang pemahat kayu belian yang ulung. Hasil pahatannya sudah dijual ke mancangara. Belum lama ini, salah satu pahatan kayunya sepanjang 30 Cm dengan berat 40 Kg dibeli orang Malaysia seharga Rp 50 juta.
Aktivitas kesehariannya tak lepas dari pengembangan seni budaya Dayak. Kalau dia tidak dipanggil untuk mempromosikan seni budaya Dayak ke sejumlah kota di Tanah Air dan mancanegara, dia memahat kayu dan membuat baju kulit kepuak dan bantok. Dia pun kerap menerima pesanan baju kulit khas Dayak seharga Rp 1juta - 1,5 juta per baju.
Bagi Kalbar, dia bukan saja maestro seni tradisional Dayak namun juga duta budaya Dayak. Dia kerap diundang dan diajak keliling kota di Indonesia bahkan mancanegara. Belum lama ini dia mempromosikan seni budaya Dayak di Thailand, kemudian langsung ke Jakarta dan meramaikan acara Lomba Sumpit Internasional di Singkawang yang diselenggarakan Kemenparekraf bekerjasama dengan Pemprov Kalbar dan Pemkot Singkawang.
Bulan Desember 2011, dia bakal terbang ke Korea Selatan untuk tujuan yang sama yakni mempromosikan seni budaya Dayak, termasuk sumpit yang menjadi permainan tradisional asli Dayak.
Kendala
Di tengah perjuangannya mengembangkan dan memperkenalkan seni budaya Dayak, dia mengaku masih mendapat banyak kendala.
Kendala yang dialaminya antara lain minat anak muda Dayak terhadap seni budaya Dayak semakin menipis. Terlebih gempuran budaya global termasuk maraknya game online. Dia pun khawatir nanti tidak ada orang yang menggantikannnya.
Untuk itu dia berjuang keras menghidupkan dan mengembangkan seni budya Dayak ke generasi muda. Bukan saja di tanah kelahirannnya tapi juga diluar Bengkayan.
Sejak tahun 70-an sampai tahun 80-an dia aktif mengembangkan seni budaya dayak di Putusibau. Selepas itu dia ke Sintang sampai tahun 90-an dan kembali ke Bengkayan sampai sekarang.
Kata dia, di Bengkayan kini sudah ada 5 bibit seniman yang sudah kelihatan kreativitasnya, sedangkan yang lainnya baru memulainya.
Dia kerap menyampaikan pesan ke generasi muda Dayak agar tidak meninggalkan seni budaya Dayak kendati pandai bermain game online lewat komputer, handphone maupun internet.
Curhatnya, di Bengkayan banyak anak kecil dan muda-mudi yang justru lebih condong bermain game online. Jadi sebelum terlambat, dia terus mendengungkan seni budaya nenek moyangnya ke generasi muda setempat.
Kendala lainnya, belum adanya bantuan dana untuk pengembangan seni budaya Dayak ini dari pemerintah setempat. Kata dia, selama ini pemerintah kurang peduli untuk urusan pengambangan ini. Untungnya, sejak kepemimpinan Bupati Bengkayan Suryatman Gedot mulai ada perhatian. Nanti mulai tahun 2012, Pemkab Bengkayang akan memberikan subdsidi biaya hidup kepada pekerja-pekerja seni seperti dia.
Hadangan lainnya, ketersediaan sumber daya alam untuk pengembangan seni budaya Dayak kian terbatas. Menurutnya pakaian perang khas Dayak dan aksesorisnya tergantung dari hutan. Begitu juga dengan kerajinan tangan termasuk seni pahatnya. Sementara hutan di Kalimantan termasuk di Kalbar kian menipis akibat peruntukan perkebunan kelapa sawit dan lainnya.
Dia berharap agar pemerintah tegas membatasi lahan perkebunan sawit sebelum terlambat, sebelum hutan Kalimantan tak tersisa lagi. Menurutnya sekarang sulit mendapatkan bahan utama kayu pahat dan pembuatan aksesoris baju khas Dayak karena hutan semakin berkurang.
Kata dia, boleh saja ada perkebunan sawit namun harus seimbang dengan hutan asli. Bagaimanapun hutan belantara bukan hanya menjadi sumber kehidupan bagi orang Dayak, pun sumber inspirasi seni budayanya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar