Menanamkan Budi Pekerti Berbasis Jawa
Banyak cara menanamkan nilai budi pekerti yang baik kepada anak. Salah satunya dengan menggunakan cara-cara sesuai adat dan budaya setempat. Misalnya, kalau orangtuanya berasal dari Jawa dan dibesarkan dengan cara Jawa, sebaiknya anak-anaknya pun ditanamkan budi pekerti berbasis Jawa sejak dini.
Itulah yang diterapkan mantan model dan peragawati top era 80-an Ratih Sanggarwati kepada ketiga anaknya. “Karena saya orang Jawa, dilahirkan dan dibesarkan di Jawa, saya menerapkan budi pekerti kepada anak-anak saya dengan budi pekerti berbasiskan adat Jawa”, akunya usai menjadi moderator dalam seminar pendidikan budi pekerti bertema “Pendidikan Budi Pekerti Akar Jati Diri Bagi Pertahanan & Persatuan Bangsa di Era Globalisasi” di Jakarta, Rabu (1/6/2011).
Dia memberi contoh nilai budi pekerti berbasis Jawa kepada anak-anaknya dari hal-hal kecil seperti menghormati orangtua, termasuk memanggil sebutan kepada yang yang lebih tua. “Contohnya ketika anak melewati orang yang lebih tua, harus nunsewu atau permisi dulu. Bagaimana cium tangan yang benar kepada orang tua, tante dan lainnya,” jelasnya.
Kata dia, menanamkan pendidikan budi pekerti dapat diseuaikan dengan adat atau budaya orangtua anak atau dimana mereka menetap. Misalnya kalau orang Aceh, bisa menanamkan budi pekerti kepada anak-anaknya dengan tata cara Aceh. “Umpamanya kalau di Aceh saat makan dengan berkecap itu boleh, kalau disaya tidak boleh,” terangnya.
Begitu juga di Batak, tentu nilai budi pekertinya berbeda dengan budi nilai pekerti Jawa dan daerah lainnya. Mengajarkan cara memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan yang baik sebagai tanda menghormati itu juga nilai budi pekerti. “Misalnya di Batak, memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan tulang, kakak, dan sebagainya. Di Jawa lain lagi, misalnya panggilan mbak, mas, pakde, bude, sedangkan di Minang ada panggilan uni dan uda, dan lainnya,” jelasnya.
Ratih Sang menyarankan pendidikan budi pekerti sebaiknya ditanamkan kepada anak-anak sejak kecil karena lebih mudah diluruskan jika ada yang melenceng saat anak beranjak remaja. Dan harus tega, dalam artian memberi teguran atau sanksi bila dilanggar anak.
“Contohnya kalau mereka harus melipat selimutnya setiap bangun tidur, ternyata suatu hari tidak dikerjakan, harus ditegur atau diberi sanksi,” tegas ibu dari Anya (13thn), Sanya (12 thn), dan Danya (9 thn) yang selalu memberi sanksi kepada ketiga anaknya dengan cara mencabut kebebasan berlibur pas weekand kalau ada aturannya yang dilanggar.
Dalam kontek lebih luas, menurutnya, budi pekerti juga harus diterapkan dalam berbangsa dan bernegara. “Kalau pemerintah tidak mau dikritik kasar oleh masyarakat ya harus menjalankan roda pemerintahan dengan benar. Kritikan kasar itu muncul karena pemerintah dikritik secara halus tidak mempan. Rakyat juga harus mengkritik pemimpinnya dengan cara-cara yang baik,” imbuhnya.
Kata dia lagi, menanamkan pendidikan budi pekerti kepada anak di rumah itu menjadi tugas oragtuanya terutama ibu. Sementara di sekolah menjadi tugas para guru. Sedangkan pada masyarakat umum adalah tugas pemerintah. “Kalau ketiganya itu berjalan dengan baik, rasanya budi pekerti masyarakat kita tidak semerosot seperti sekarang ini,” ungkapnya.
Seminar yang diselenggarkan perkumpulan Alumni Perguruan Cikini (Alpercik) bekerjasama dengan Direktorat Karakter dan Pekerti Bangsa, Ditjen Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF), Kemenbudpar ini dibuka Menko Kesra Agung Laksono sebagai key note speaker dan Plt. Dirjen NBSF Ukus Kuswara yang mewakili Menbudpar Jero Wacik.
Agung Laksono mengatakan program pendidikan budi pekerti diharapkan tumbuh dari bawah, dari masyarakat (bottom up). Bila kesadaran itu tumbuh dari masyarakat akan memudahkan program pendidikan ini menjadi sebuah gerakan nasional. “Jadi tidak satu pihak saja dari pemerintah tapi juga atas inisiatif masyarakat sendiri,” imbuhnya.
Ukus mengatakan Kemenbudpar mendukung gerakan kesadaran menanamkan pendidikan budi pekerti yang tumbuh dari masyarakat. Program nyata dari dukungan itu antara lain dengan mendukung kegiatan di bidang perfilman untuk mendorong pembuatan film yang berkonten lebih. “Di bidang kesenian misalnya, Ditjen NBSF membuat kegiatan Gita Bahana, lomba lukis anak, dan lainnya untuk menumbuhkan budi pekerti guna membangun karakter bangsa pada anak,” terangnya.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Tri Akbar Handoko, Pusformas, Kemenbudpar
0 komentar:
Posting Komentar