Sepakati 5 Cabang Ilmu Pariwisata
Pengakuan pariwisata sebagai ilmu mandiri sudah sejak 3 tahun lalu tepatnya 2008 dengan dikeluarkannya surat ijin pembukaan program studi (prodi) S-1 pada Ilmu Pariwisata di STP Bandung dan STP Bali. Sejak itu prodi pariwisata tumbuh sendiri-sendiri di sejumlah perguruan tinggi. Alhasil mutu dan label lulusannya tidak seragam, sementara kebutuhan di lapangan makin beragam dan mendesak. Salah satu solusinya dengan penyeragaman dan penyederhanaan, antara lain menyepakati lima (5) cabang ilmu pariwisata. Apa saja?
Pertumbuhan prodi pariwisata selama 2 tahun terakhir mencapai 12 %. Kondisi ini membuktikan masyarakat merespon positif perkembangan ilmu pariwisata di Tanah Air. Sayangnya sejak 3 tahun kelahiran Ilmu Pariwisata sebagai ilmu mandiri, tidak ada roadmap pengembangan ilmu, bidang-bidang kajian termasuk pengakuan formal institusional yang mensejajarkan ilmu ini dengan ilmu-limu mandiri lainnya.
Tahun ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber Daya-nya berkerja sama dengan sejumlah cendikia pariwisata dari berbagai perguruan tinggi berusaha mensejajarkan ilmu pariwisata dengan ilmu lainnya sekaligus mengembangkan prodi-nya.
Usaha yang dilakukan antara lain dengan menyusun tatanama (nomenklatur), peletakan ilmu pariwisata pada klasifikasi subyek/bidang ilmu yang tepat, menamakan masing-masing prodi-nya, deskripsi, dan hasil pembelajarannya (learning outcomes) serta kompensasianya.
“Semua itu perlu ditetapkan agar memenuhi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Indonesia Qualification Framework (IGF)”, jelas Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kemenbudpar Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, MSc di ruang kerjanya di Jakarta usai menggelar Diskusi Pengembangan Ilmu Pariwisata bertema “Memantapkan Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri” di Jakarta, Senin (9/5/2011).
Diskusi kali ini merupakan pemantapan dari hasil pertemuan yang diselenggarakan DPW Hildiktipari Yogyakarta dan Jawa Tengah 3-4 September 2010 tentang tatanama bidang ilmu pariwisata.
Untuk menghidupkan pariwisata sebagai ilmu yang mandiri dengan melakukan penyederhanaan prodi agar ada keseragaman, lanjut Pitana memang perlu mengaktifkan workshop atau diskusi berseri semacam ini. “Termasuk membentuk Ikatan Cendikia Pariwisata Indonesia untuk memberi masukan dan hal-hal terkait pengembangan dan penyempurnaan pariwisata sebagai ilmu mandiri,” ungkapnya.
Dalam membuat prodi pariwisata, lanjut Pitana harus jelas antara prodi A, B, dan lainnya. ”Kalau kedua-duanya sama, buat apa dibuat banyak. Jadi harus ada perbedaan (learning of comes) atau hasil pembelajarannya. Misalnya S-2 Pariwisata jurusan hospitaliti harus beda dengan S-1 Pariwisata jurusan jasa perjalanan atau travel dan lainnya,” jelasnya.
Wakil Direktur Pascasarjana STP Trisakti Jakarta Prof. Azril Azahari, Ph.D mengatakan dalam diskusi ini membicarakan bagaimana kelanjutan bahwa ada ilmu ada cabang ilmu, ranting ilmu, akar ilmu dan sebagainya.
Dalam diskusi ini, lanjutnya, disepekati bahwa dalam disiplin ilmu pariwisata ada 5 cabang ilmu atau program major atau kelompok besar yakni Ilmu Pariwisata, Hospitaliti, Jasa Perjalanan, Destinasi, dan Pariwisata Event. Di tiap program majornya, dapat dikembangkan sebanyak-banyaknya dua digit prodi.
“Jadi kita sepakati itu dulu. Tadinya hampir di seluruh perguruan tinggi membuat prodi sendiri-sendiri sehingga tidak seragam hasil lulusan yang menyebabkan terjadi benturan dengan dunia industri saat memasuki dunia kerja. Selain itu kita sepakati juga bawa semua cabang ilmu pariwisata yang sudah disepakati itu berikut prodi-nya terkait dengan IQF yang sebentar lagi sahkan lewat Kepres atau mungkin Peraturan Pemerintah,” terangnya.
Sejumlah cendikia dari perguruan tinggi pariwisata ternama juga hadir dalam diskusi ini, antara lain Ketua STP Sahid Jakarta Kusmayadi, Ketua Umum DPP-Hildiktipari Djoko Sudibyo, Ph.D, Ketua DPW Hildiktipari sekaligus Ketua STIPRAM Yogyakarta Suhendroyono, Koordinator Bidang Pariwisata Program Vokasi D-3 Universitas Dr. Jajang Gunawijaya, dan Ketua STP Bandung Dr. Upiek H Sadkar.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Pertumbuhan prodi pariwisata selama 2 tahun terakhir mencapai 12 %. Kondisi ini membuktikan masyarakat merespon positif perkembangan ilmu pariwisata di Tanah Air. Sayangnya sejak 3 tahun kelahiran Ilmu Pariwisata sebagai ilmu mandiri, tidak ada roadmap pengembangan ilmu, bidang-bidang kajian termasuk pengakuan formal institusional yang mensejajarkan ilmu ini dengan ilmu-limu mandiri lainnya.
Tahun ini Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber Daya-nya berkerja sama dengan sejumlah cendikia pariwisata dari berbagai perguruan tinggi berusaha mensejajarkan ilmu pariwisata dengan ilmu lainnya sekaligus mengembangkan prodi-nya.
Usaha yang dilakukan antara lain dengan menyusun tatanama (nomenklatur), peletakan ilmu pariwisata pada klasifikasi subyek/bidang ilmu yang tepat, menamakan masing-masing prodi-nya, deskripsi, dan hasil pembelajarannya (learning outcomes) serta kompensasianya.
“Semua itu perlu ditetapkan agar memenuhi Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) atau Indonesia Qualification Framework (IGF)”, jelas Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kemenbudpar Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, MSc di ruang kerjanya di Jakarta usai menggelar Diskusi Pengembangan Ilmu Pariwisata bertema “Memantapkan Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri” di Jakarta, Senin (9/5/2011).
Diskusi kali ini merupakan pemantapan dari hasil pertemuan yang diselenggarakan DPW Hildiktipari Yogyakarta dan Jawa Tengah 3-4 September 2010 tentang tatanama bidang ilmu pariwisata.
Untuk menghidupkan pariwisata sebagai ilmu yang mandiri dengan melakukan penyederhanaan prodi agar ada keseragaman, lanjut Pitana memang perlu mengaktifkan workshop atau diskusi berseri semacam ini. “Termasuk membentuk Ikatan Cendikia Pariwisata Indonesia untuk memberi masukan dan hal-hal terkait pengembangan dan penyempurnaan pariwisata sebagai ilmu mandiri,” ungkapnya.
Dalam membuat prodi pariwisata, lanjut Pitana harus jelas antara prodi A, B, dan lainnya. ”Kalau kedua-duanya sama, buat apa dibuat banyak. Jadi harus ada perbedaan (learning of comes) atau hasil pembelajarannya. Misalnya S-2 Pariwisata jurusan hospitaliti harus beda dengan S-1 Pariwisata jurusan jasa perjalanan atau travel dan lainnya,” jelasnya.
Wakil Direktur Pascasarjana STP Trisakti Jakarta Prof. Azril Azahari, Ph.D mengatakan dalam diskusi ini membicarakan bagaimana kelanjutan bahwa ada ilmu ada cabang ilmu, ranting ilmu, akar ilmu dan sebagainya.
Dalam diskusi ini, lanjutnya, disepekati bahwa dalam disiplin ilmu pariwisata ada 5 cabang ilmu atau program major atau kelompok besar yakni Ilmu Pariwisata, Hospitaliti, Jasa Perjalanan, Destinasi, dan Pariwisata Event. Di tiap program majornya, dapat dikembangkan sebanyak-banyaknya dua digit prodi.
“Jadi kita sepakati itu dulu. Tadinya hampir di seluruh perguruan tinggi membuat prodi sendiri-sendiri sehingga tidak seragam hasil lulusan yang menyebabkan terjadi benturan dengan dunia industri saat memasuki dunia kerja. Selain itu kita sepakati juga bawa semua cabang ilmu pariwisata yang sudah disepakati itu berikut prodi-nya terkait dengan IQF yang sebentar lagi sahkan lewat Kepres atau mungkin Peraturan Pemerintah,” terangnya.
Sejumlah cendikia dari perguruan tinggi pariwisata ternama juga hadir dalam diskusi ini, antara lain Ketua STP Sahid Jakarta Kusmayadi, Ketua Umum DPP-Hildiktipari Djoko Sudibyo, Ph.D, Ketua DPW Hildiktipari sekaligus Ketua STIPRAM Yogyakarta Suhendroyono, Koordinator Bidang Pariwisata Program Vokasi D-3 Universitas Dr. Jajang Gunawijaya, dan Ketua STP Bandung Dr. Upiek H Sadkar.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar