Ilmu Pariwisata Harus Dapat Slot Nomenklatur Dikti
Sebagai sebuah ilmu mandiri, pariwisata harus dapat slot dalam kotaknya nomenklatur Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (Dikti), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Tetapi Dikti akan mau memasukkan dalam slot itu kalau memang sudah jelas apa itu ilmu pariwisata dengan cabang ilmu atau program studinya.
Begitu kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kemenbudpar Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, MSc di ruang kerjanya di Jakarta usai memimpin Diskusi Pengembangan Ilmu Pariwisata bertema “Memantapkan Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri” di Jakarta, Senin (9/5/2011) yang dihadiri para ketua sejumlah perguruan tinggi dan para cendikiawan di bidang pariwisata.
”Kalau di tempat parkir itu sudah jelas itu tempat truk, ini sedan dan apa itu ilmu pariwisata itu baru kita ajukan ke Dikti,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan itu, lanjut Pitana ditugaskan Tim Kecil untuk merampungkan position paper-nya yang targetnya akan diajukan ke Dikti pada tanggal 1 Juni 2011.
”Dulu sudah pernah diajukan tapi tidak kuat, karena kurang ini dan itu. Kesalahan kita saat itu, kita tidak bisa menjelaskan secara detil apa itu ilmu pariwisata. Dan inilah yang sekarang sedang dipertajam lagi, walaupun sebenarnya semua ilmu itu tidak jelas,” akunya
Pitana menjelaskan tujuan dari pengembangan dari ilmu pariwisata itu untuk menyiapkan SDM atau tenaga kerja pariwisata bermautu yang bisa bersaing di tataran global paling tidak di Asia Pasifik terkait isu-isu globalisasi dengan berlakunya AFTA termasuk ASEAN Community.
”Kalau Asean Community berlaku dan tenaga kerja kita tidak bisa bersaing, kita hanya bisa jadi pasar, tidak bisa menjadi penjual,” terangnya.
Selain itu, tujuan pengembangan ilmu pariwisata juga untuk mencipatakan tenaga kerja yang andal di bidang pengembangan destinasi. Dengan pengembangan ini diharapkan tenaga kerja pariwisata kita bukan hanya bisa bekerja di negara manapun tapi juga bisa memperbaiki, mengemas, dan menjual produk destinasi.
”Contohnya Candi Ankor Wat di Kamboja bisa terkenal sekali dan menjaring wisman 2 juta per tahun. Padahal dari segi fisik Candi Borobudur dan Prambanan jauh lebih bagus dari Ankor Wat tapi mengapa baru mampu menjaring 200 ribu wisman per tahun,” paparnya.
Dengan penciptaan tenaga kerja berkualitas dan penciptaan destinasi yang baik, tambah Pitana, kita baru bisa menerapkan atau mengimplementasikan strategi kerja yang diperintahkan Presiden SBY bahwa pembangunan bidang pariwisata juga harus pro growth, for job, pro poor, and pro environment.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Begitu kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Kemenbudpar Prof. Dr. Ir. I Gde Pitana, MSc di ruang kerjanya di Jakarta usai memimpin Diskusi Pengembangan Ilmu Pariwisata bertema “Memantapkan Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri” di Jakarta, Senin (9/5/2011) yang dihadiri para ketua sejumlah perguruan tinggi dan para cendikiawan di bidang pariwisata.
”Kalau di tempat parkir itu sudah jelas itu tempat truk, ini sedan dan apa itu ilmu pariwisata itu baru kita ajukan ke Dikti,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan itu, lanjut Pitana ditugaskan Tim Kecil untuk merampungkan position paper-nya yang targetnya akan diajukan ke Dikti pada tanggal 1 Juni 2011.
”Dulu sudah pernah diajukan tapi tidak kuat, karena kurang ini dan itu. Kesalahan kita saat itu, kita tidak bisa menjelaskan secara detil apa itu ilmu pariwisata. Dan inilah yang sekarang sedang dipertajam lagi, walaupun sebenarnya semua ilmu itu tidak jelas,” akunya
Pitana menjelaskan tujuan dari pengembangan dari ilmu pariwisata itu untuk menyiapkan SDM atau tenaga kerja pariwisata bermautu yang bisa bersaing di tataran global paling tidak di Asia Pasifik terkait isu-isu globalisasi dengan berlakunya AFTA termasuk ASEAN Community.
”Kalau Asean Community berlaku dan tenaga kerja kita tidak bisa bersaing, kita hanya bisa jadi pasar, tidak bisa menjadi penjual,” terangnya.
Selain itu, tujuan pengembangan ilmu pariwisata juga untuk mencipatakan tenaga kerja yang andal di bidang pengembangan destinasi. Dengan pengembangan ini diharapkan tenaga kerja pariwisata kita bukan hanya bisa bekerja di negara manapun tapi juga bisa memperbaiki, mengemas, dan menjual produk destinasi.
”Contohnya Candi Ankor Wat di Kamboja bisa terkenal sekali dan menjaring wisman 2 juta per tahun. Padahal dari segi fisik Candi Borobudur dan Prambanan jauh lebih bagus dari Ankor Wat tapi mengapa baru mampu menjaring 200 ribu wisman per tahun,” paparnya.
Dengan penciptaan tenaga kerja berkualitas dan penciptaan destinasi yang baik, tambah Pitana, kita baru bisa menerapkan atau mengimplementasikan strategi kerja yang diperintahkan Presiden SBY bahwa pembangunan bidang pariwisata juga harus pro growth, for job, pro poor, and pro environment.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar