Ngejes dan Ngetan Kontras, Sama Berkesan
Demi nonton idola karena suka musikalitasnya atau cuma ikutan-ikutan biar dibilang berkelas? Entahlah. Yang jelas selama 3 hari, Java Jazz 2011 yang digelar untuk kali keduanya di JI- Expo Kemayoran dipadati penonton. Di sudut lain masih di Kemayoran, warung kecil yang menjajakan ketan susu, juga tak kalah ramainya. Dua wahana pergaulan sosial dengan suasana dan citra yang sangat berbeda tapi sama mengesankan.
Di gedung D2 JI EXPO, Anita (23) terlihat begitu menikmati aksi George Benson yang mungkin seusia ayah atau bahkan kakeknya. Tapi satu-demi satu lagu penyanyi Amerika berkulit hitam itu dia hafal. Bukan hanya Anita saja yang bernyanyi, masih ada puluhan penonton lain seusianya yang kompak koor menyanyikan tembang-tembang hits penyanyi jazz lawas itu seperti The Greatest Love of All dan Nothing Gonna Change My Love for You.
Di gedung D2 JI EXPO, Anita (23) terlihat begitu menikmati aksi George Benson yang mungkin seusia ayah atau bahkan kakeknya. Tapi satu-demi satu lagu penyanyi Amerika berkulit hitam itu dia hafal. Bukan hanya Anita saja yang bernyanyi, masih ada puluhan penonton lain seusianya yang kompak koor menyanyikan tembang-tembang hits penyanyi jazz lawas itu seperti The Greatest Love of All dan Nothing Gonna Change My Love for You.
Agak aneh memang. Penonton Java Jazz bukan milik kalangan orangtua, tapi justru kaula muda bahkan remaja belasan yang datang dengan aneka gaya dan pola ke-abegean-nya. Hingga timbul kecurigan, apakah mereka benar-benar penikmat jazz sejati atau hanya sekadar gaya-gayaan doang biar dibilang bergengsi lalu tebar pesona kenarsisan di jejaring sosial sebagaimana tengah menjangkiti masyarakat kita bak virus penyakit.
Tapi berdasarkan penuturan Anita, dia mengaku memang senang musik jazz, termasuk lagu-lagu jazzy-nya George Benson. “Aku nggak gaya-gayaan koq. Sejak kecil ayahku suka mendengarkan musik jazz termasuk lagu-lagunya om Goerge Benson. Jadi lama-lama aku terbiasa dan suka,” akunya.
Beberapa pengunjung lain punya alasan beragam, Edwin (25), misalnya mengaku sedang jatuh cinta dengan musik jazz. Sebelumnya dia asyik memainkan genre rock bersama teman se-SMU dulu. Tapi setelah kuliah dia mengaku tertarik dengan jazz dan ingin mendalaminya. “Karena itu saya ke sini, buat belajar dari para musisi jazz yang tampil, termasuk musisi lain yang menonton sekalian sharing dan nambah wawasan bermusik jazz saya,” jelasnya.
Lain halnya dengan Rendy (27), dia mengaku baru kali ini nonton Java Jazz karena tidak begitu suka dan mengerti musik jazz. Dia heran kenapa setiap ada Java Jazz penontonnya selalu ramai. “Aku penasaran pingin nonton musik ini sekalius ingin melihat sendiri benarkah penonton yang datang benar-benar suka musik ini,” akunya.
Ternyata setelah dia nikmati, musik jazz itu beragam. Ada yang berat ada juga yang ringan dan bisa dikolaborasikan dengan genre pop, blues bahkan rock dan musik lainnya. Tapi dia tidak menampik kalau ternyata penonton yang datang disini sebenarnya tidak semua mengerti apalagi memahami dan menyukai benar jazz. “Saya perhatikan banyak yang datang buat fun-fun aja, biar dibilang gaul dan terkesan berkelas,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Rendy bukan angin lalu. Banyak anak remaja yang datang bukan benar-benar menikmati musik jazz melainkan karena ingin membeli beragam produk terkait dengan musik dan aksesoris jazz yang diperjualkan di perhelatan tahunan ini. Apalagi venue-nya kali ini luas, stand pedagangnya lebih banyak dan beragam seperti aneka peralatan musik, bermacam makanan, minuman, fashion dan peralatan olahraga dijual di sini.
Rupanya daya tarik Java jazz bukan semata penyanyi kelas dunia maupun dalam negeri yang sudah tersohor, pun beragam produk yang diperdagangkan. Buktinya kendati harga tiketnya hariannya Rp 529.000 total untuk 3 hari Rp 1.449.000 per orang, tetap saja yang orang datang berbondong-bondong. Tiket pertunjukan khusus Santana senilai Rp 1 juta dan Rp 1. 150.000 pada tanggal 4 Maret juga ludes. Begitupun tiket Goerge Benson Tribute to Nat King Cole pada 5 Maret seharga Rp 402.000 dan Rp 450.000 diserbu pembeli jauh-jauh hari. Begitu juga penampilan kedua Geroge Benson Greatest Hits Show pada Tanggal 6 Maret, Rp 350.ooo per tiket habis terjual.
Ketan Susu
Lain di Java Jazz, lain di ujung Jalan Garuda, Kemayoran tak jauh dari JI-Expo dekat dengan lampu merah. Di sana warung kecil apa adanya yang menjual Ketan Kobok atau Ketan Susu tak kalah ramainya. Deretan sepeda motor parkir di tepi bahu jalan dekat warung tersebut. Puluhan orang nampak asyik menyantap sepiring ketan putih yang di atasnya ditaburi parutan kelapa dan ditambah susu kental cair putih oleh karenanya disebut Ketan Susu. Teman makannya pun sederhana, berupa gorengan tempe yang digoreng tanpa tepung dan pemedasnya cukup cabe rawit hijau.
Meski harganya hanya Rp 2.500 per porsi ketan susu dan Rp 500 per gorengan, peminatnya banyak dan sudah tersohor sejak lama. Karena ketenarannya, warung ini kerap diliput media TV, majalah maupun media online. Karena ketan, seporsi ukuran kecil saja sudah bikin kenyang. Tapi banyak pembeli yang nambah dan membawa pulang dengan dibungkus untuk keluarga di rumah. Makan ketan susu ini, minumnya lebih nikmat dengan teh poci dalam cangkir tanah liat. Selain aromanya khas, yang pasti rasa teh-nya dijamin mantap.
Dion (27) dan Reni (24), sejoli muda-mudi mengaku sudah sering ke warung Ketan Susu, Kemayoran. Usai nonton Java Jazz di JI-Expo, mereka langsung mampir ke kedai tersebut sebelum pulang ke rumah. “Kebetulan Java Jazz di dekat sini, ya sekalian aja mampir. Habis ketannya enak dan murah,” aku Dion yang diamini Reni tanpa malu-malu. Menurut Reni suasana disini sangat kontras dibanding suasana di dalam Java Jazz. “Di sini terasa lebih merakyat dan jujur. Tapi ngejes dan ngetan sama-sama berkesan koq,” katanya.
Entahklah apa yang dimaksud Reni. Mungkin saja dia juga melihat perbandingan sosial dalam kemasan dan citra yang berbeda antara penonton Java Jazz dengan pembeli dan suasana warung Ketan Susu. Mungkin saja dia menilai ada keberpura-puraan sejumlah penonton Java Jazz sebagaimana penilaian Rendy di atas. Mungkin juga dia melihat pengunjung yang datang ke warung kecil di ujung jalan itu justru lebih apa adanya dan tidak gengsian.
Entahlah yang pasti ngejes dan ngetan sebagaimana Reni bilang memang sama-sama berkesan. Tahun depan Anda patut mencobanya. Tapi kalau mau coba ketan-nya, kapan saja bisa. Tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Anda bisa bersantai sambil ngetan duduk di bangku kayu, di atas sepeda motor atau duduk di trotoar tengah pembatas jalan juga tak apa. Bebas-bebas saja, suka-suka saja.
Tapi berdasarkan penuturan Anita, dia mengaku memang senang musik jazz, termasuk lagu-lagu jazzy-nya George Benson. “Aku nggak gaya-gayaan koq. Sejak kecil ayahku suka mendengarkan musik jazz termasuk lagu-lagunya om Goerge Benson. Jadi lama-lama aku terbiasa dan suka,” akunya.
Beberapa pengunjung lain punya alasan beragam, Edwin (25), misalnya mengaku sedang jatuh cinta dengan musik jazz. Sebelumnya dia asyik memainkan genre rock bersama teman se-SMU dulu. Tapi setelah kuliah dia mengaku tertarik dengan jazz dan ingin mendalaminya. “Karena itu saya ke sini, buat belajar dari para musisi jazz yang tampil, termasuk musisi lain yang menonton sekalian sharing dan nambah wawasan bermusik jazz saya,” jelasnya.
Lain halnya dengan Rendy (27), dia mengaku baru kali ini nonton Java Jazz karena tidak begitu suka dan mengerti musik jazz. Dia heran kenapa setiap ada Java Jazz penontonnya selalu ramai. “Aku penasaran pingin nonton musik ini sekalius ingin melihat sendiri benarkah penonton yang datang benar-benar suka musik ini,” akunya.
Ternyata setelah dia nikmati, musik jazz itu beragam. Ada yang berat ada juga yang ringan dan bisa dikolaborasikan dengan genre pop, blues bahkan rock dan musik lainnya. Tapi dia tidak menampik kalau ternyata penonton yang datang disini sebenarnya tidak semua mengerti apalagi memahami dan menyukai benar jazz. “Saya perhatikan banyak yang datang buat fun-fun aja, biar dibilang gaul dan terkesan berkelas,” ujarnya.
Apa yang dikatakan Rendy bukan angin lalu. Banyak anak remaja yang datang bukan benar-benar menikmati musik jazz melainkan karena ingin membeli beragam produk terkait dengan musik dan aksesoris jazz yang diperjualkan di perhelatan tahunan ini. Apalagi venue-nya kali ini luas, stand pedagangnya lebih banyak dan beragam seperti aneka peralatan musik, bermacam makanan, minuman, fashion dan peralatan olahraga dijual di sini.
Rupanya daya tarik Java jazz bukan semata penyanyi kelas dunia maupun dalam negeri yang sudah tersohor, pun beragam produk yang diperdagangkan. Buktinya kendati harga tiketnya hariannya Rp 529.000 total untuk 3 hari Rp 1.449.000 per orang, tetap saja yang orang datang berbondong-bondong. Tiket pertunjukan khusus Santana senilai Rp 1 juta dan Rp 1. 150.000 pada tanggal 4 Maret juga ludes. Begitupun tiket Goerge Benson Tribute to Nat King Cole pada 5 Maret seharga Rp 402.000 dan Rp 450.000 diserbu pembeli jauh-jauh hari. Begitu juga penampilan kedua Geroge Benson Greatest Hits Show pada Tanggal 6 Maret, Rp 350.ooo per tiket habis terjual.
Ketan Susu
Lain di Java Jazz, lain di ujung Jalan Garuda, Kemayoran tak jauh dari JI-Expo dekat dengan lampu merah. Di sana warung kecil apa adanya yang menjual Ketan Kobok atau Ketan Susu tak kalah ramainya. Deretan sepeda motor parkir di tepi bahu jalan dekat warung tersebut. Puluhan orang nampak asyik menyantap sepiring ketan putih yang di atasnya ditaburi parutan kelapa dan ditambah susu kental cair putih oleh karenanya disebut Ketan Susu. Teman makannya pun sederhana, berupa gorengan tempe yang digoreng tanpa tepung dan pemedasnya cukup cabe rawit hijau.
Meski harganya hanya Rp 2.500 per porsi ketan susu dan Rp 500 per gorengan, peminatnya banyak dan sudah tersohor sejak lama. Karena ketenarannya, warung ini kerap diliput media TV, majalah maupun media online. Karena ketan, seporsi ukuran kecil saja sudah bikin kenyang. Tapi banyak pembeli yang nambah dan membawa pulang dengan dibungkus untuk keluarga di rumah. Makan ketan susu ini, minumnya lebih nikmat dengan teh poci dalam cangkir tanah liat. Selain aromanya khas, yang pasti rasa teh-nya dijamin mantap.
Dion (27) dan Reni (24), sejoli muda-mudi mengaku sudah sering ke warung Ketan Susu, Kemayoran. Usai nonton Java Jazz di JI-Expo, mereka langsung mampir ke kedai tersebut sebelum pulang ke rumah. “Kebetulan Java Jazz di dekat sini, ya sekalian aja mampir. Habis ketannya enak dan murah,” aku Dion yang diamini Reni tanpa malu-malu. Menurut Reni suasana disini sangat kontras dibanding suasana di dalam Java Jazz. “Di sini terasa lebih merakyat dan jujur. Tapi ngejes dan ngetan sama-sama berkesan koq,” katanya.
Entahklah apa yang dimaksud Reni. Mungkin saja dia juga melihat perbandingan sosial dalam kemasan dan citra yang berbeda antara penonton Java Jazz dengan pembeli dan suasana warung Ketan Susu. Mungkin saja dia menilai ada keberpura-puraan sejumlah penonton Java Jazz sebagaimana penilaian Rendy di atas. Mungkin juga dia melihat pengunjung yang datang ke warung kecil di ujung jalan itu justru lebih apa adanya dan tidak gengsian.
Entahlah yang pasti ngejes dan ngetan sebagaimana Reni bilang memang sama-sama berkesan. Tahun depan Anda patut mencobanya. Tapi kalau mau coba ketan-nya, kapan saja bisa. Tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Anda bisa bersantai sambil ngetan duduk di bangku kayu, di atas sepeda motor atau duduk di trotoar tengah pembatas jalan juga tak apa. Bebas-bebas saja, suka-suka saja.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar