Curhat Komodo: “Kami Tak Butuh Label Keajaiban Dunia Versi N7W”
Kalau saja ribuan komodo yang menghuni Pulau Komodo, Rinca dan beberapa pulau lain di kawasan Taman Nasional Komodo, bisa bicara lantang seperti manusia. Mereka pasti akan berteriak keras. “Kami tidak butuh label keajaiban dunia dari New7Wonders! Biarkan kami hidup tenang di alam konservasi tanpa banyak gangguan pengunjung”.
Andai saja ribuan biawak purba raksasa ini bisa mengungkapkan isi hatinya seperti manusia, mereka pasti mendukung Menbudpar Jero Wacik yang akhirnya memutuskan membatalkan minat menjadi tuan rumah pengumuman final tujuh keajaiban alam dunia pada 11 November 2011 nanti dengan bermacam pertimbangan matang sebagaimana disampaikan Jero Wacik kepada sejumlah media di Jakarta, Senin (07/02/2011).
“Biaya untuk menyelenggarakan acara pengumuman final 7 keajaiban alam dunia itu bisa lebih dari Rp400 miliar. Setelah dihitung, rasanya keuntungannya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Karena itu pemerintah putuskan menolak jadi tuan rumah. Anehnya penyelenggara mengancam akan mengeleminasi TN Komodo. Jelas ini pemilihan yang tidak fair!”, kata Jero Wacik dengan nada tinggi.
Ribuan reptil berdarah dingin ini pun pasti mendukung langkah Kementerian Kebudayaan dan Pariwista (Kemenbudpar) menuntut yayasan New7Wonders (N7W) bila TN Komodo ternyata didelete dari ajang pemilihan ini. Bukan perkara tidak masuk dalam 7 keajaiban dunia melainkan untuk mengangkat harga diri bangsa dan negara yang dipermainkan oleh kearoganan LSM tersebut.
"Kalau TN Komodo ternyata benar-benar didelete, kita akan tuntut apalagi sudah menyinggung harga diri bangsa. Kita akan ajak menteri pariwisata dari 27 negara finalis untuk mempertanyakan kredibilitas lembaga ini,” tegas Jero Wacik yang mengaku sudah menunjuk Todung Mulya Lubis sebagai lawyer internasional yang akan menuntut N7W selaku penyelenggara jika ancamannya mengeliminasi TN Komodo jadi dilakukan hari ini pada 7 Febuari 2011.
”Mengapa menuntut karena banyak voter di seluruh dunia yang sudah memilih Komodo untuk acara ini. “Kalau sampai TN Komodo didelete kepesertaannya dari voting N7W, jelas hak voter yang telah memilih Komodo dilanggar,” tambahnya.
Bagi ribuan hewan pemakan bangkai ini, label keajaiban dunia, bisa jadi bumerang buat ketentraman hidup mereka bila tidak diantisipasi sejak dini. Bagaimana tidak. Andai saja predikat itu berhasil digondol TN Komodo, otomatis warga dunia akan tahu dan tertarik datang berbondong-bondong. Padahal belum tentu semua yang datang itu memahami etika berwisata di kawasan konservasi.
Nah, kalau saja pengelola TN Komodo belum siap menerima kunjungan wisman dalam jumlah besar pascapemberian predikat tersebut, alangkah bahayanya. Yang jelas-jelas paling dirugikan adalah komodo yang menetap di sana. Bukan saja terusik, kehidupan mereka pun semakin terancam di habitatnya sendiri.
Belum menyandang predikat itu saja, jumlah pengunjung yang datang ke TN Komodo 3 tahun belakangan ini saja meningkat 400 persen dari 16.000-an menjadi lebih dari 50.000 wistawan, berkat promosi yang dilakukan Kemenbudpar di dalam dan luar negeri dengan dana Rp10,5 miliar. Apalagi kalau nanti sudah menyandang predikat tersebut.
Jadi sebenarnya tanpa memenangkan predikat tersebut, nama komodo sudah mendunia dan tetap diminati wisatawan. Yang menjadi soal disini, bagaimana mengelola kunjungan wisatawan dalam jumlah besar itu kelak agar tidak menganggu kehidupan dan ketenangan penghuni aslinya yakni komodo berikut ekosistemnya.
Ecotourism Bukan Masstourism
Harus dipahami benar, TN Komodo yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah konservasi. Dimana wisata yang boleh dilakukan disana adalah wisata yang berbasis dan beretika lingkungan atau wisata ekologi (ecotourism). Bukan obyek wisata yang menarik pengunjung sebanyak-banyaknya atau wisata masal (masstourism) yang rentan merusak lingkungan sekitar termasuk kelangsungan mahluk hidup di dalamnya bila tidak dikelola dengan baik.
Biarkan TN Komodo tetap menjadi wahana ecotourism yang tetap mengindahkan konservasi dan kelangsungan hidup serta perkembangbiakan penghuninya, terutama komodo serta hewan-hewan yang menjadi makanannya.
Dan dengarlah sekali lagi curahan hati para satwa predator ini. “Jangan usik kami dengan predikat atau label apapun. Biarkan kami hidup tenang dan berkembangbiak hingga mati di habitat kami secara alami, di TN Komodo”.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Andai saja ribuan biawak purba raksasa ini bisa mengungkapkan isi hatinya seperti manusia, mereka pasti mendukung Menbudpar Jero Wacik yang akhirnya memutuskan membatalkan minat menjadi tuan rumah pengumuman final tujuh keajaiban alam dunia pada 11 November 2011 nanti dengan bermacam pertimbangan matang sebagaimana disampaikan Jero Wacik kepada sejumlah media di Jakarta, Senin (07/02/2011).
“Biaya untuk menyelenggarakan acara pengumuman final 7 keajaiban alam dunia itu bisa lebih dari Rp400 miliar. Setelah dihitung, rasanya keuntungannya tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Karena itu pemerintah putuskan menolak jadi tuan rumah. Anehnya penyelenggara mengancam akan mengeleminasi TN Komodo. Jelas ini pemilihan yang tidak fair!”, kata Jero Wacik dengan nada tinggi.
Ribuan reptil berdarah dingin ini pun pasti mendukung langkah Kementerian Kebudayaan dan Pariwista (Kemenbudpar) menuntut yayasan New7Wonders (N7W) bila TN Komodo ternyata didelete dari ajang pemilihan ini. Bukan perkara tidak masuk dalam 7 keajaiban dunia melainkan untuk mengangkat harga diri bangsa dan negara yang dipermainkan oleh kearoganan LSM tersebut.
"Kalau TN Komodo ternyata benar-benar didelete, kita akan tuntut apalagi sudah menyinggung harga diri bangsa. Kita akan ajak menteri pariwisata dari 27 negara finalis untuk mempertanyakan kredibilitas lembaga ini,” tegas Jero Wacik yang mengaku sudah menunjuk Todung Mulya Lubis sebagai lawyer internasional yang akan menuntut N7W selaku penyelenggara jika ancamannya mengeliminasi TN Komodo jadi dilakukan hari ini pada 7 Febuari 2011.
”Mengapa menuntut karena banyak voter di seluruh dunia yang sudah memilih Komodo untuk acara ini. “Kalau sampai TN Komodo didelete kepesertaannya dari voting N7W, jelas hak voter yang telah memilih Komodo dilanggar,” tambahnya.
Bagi ribuan hewan pemakan bangkai ini, label keajaiban dunia, bisa jadi bumerang buat ketentraman hidup mereka bila tidak diantisipasi sejak dini. Bagaimana tidak. Andai saja predikat itu berhasil digondol TN Komodo, otomatis warga dunia akan tahu dan tertarik datang berbondong-bondong. Padahal belum tentu semua yang datang itu memahami etika berwisata di kawasan konservasi.
Nah, kalau saja pengelola TN Komodo belum siap menerima kunjungan wisman dalam jumlah besar pascapemberian predikat tersebut, alangkah bahayanya. Yang jelas-jelas paling dirugikan adalah komodo yang menetap di sana. Bukan saja terusik, kehidupan mereka pun semakin terancam di habitatnya sendiri.
Belum menyandang predikat itu saja, jumlah pengunjung yang datang ke TN Komodo 3 tahun belakangan ini saja meningkat 400 persen dari 16.000-an menjadi lebih dari 50.000 wistawan, berkat promosi yang dilakukan Kemenbudpar di dalam dan luar negeri dengan dana Rp10,5 miliar. Apalagi kalau nanti sudah menyandang predikat tersebut.
Jadi sebenarnya tanpa memenangkan predikat tersebut, nama komodo sudah mendunia dan tetap diminati wisatawan. Yang menjadi soal disini, bagaimana mengelola kunjungan wisatawan dalam jumlah besar itu kelak agar tidak menganggu kehidupan dan ketenangan penghuni aslinya yakni komodo berikut ekosistemnya.
Ecotourism Bukan Masstourism
Harus dipahami benar, TN Komodo yang berada di Flores, Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah konservasi. Dimana wisata yang boleh dilakukan disana adalah wisata yang berbasis dan beretika lingkungan atau wisata ekologi (ecotourism). Bukan obyek wisata yang menarik pengunjung sebanyak-banyaknya atau wisata masal (masstourism) yang rentan merusak lingkungan sekitar termasuk kelangsungan mahluk hidup di dalamnya bila tidak dikelola dengan baik.
Biarkan TN Komodo tetap menjadi wahana ecotourism yang tetap mengindahkan konservasi dan kelangsungan hidup serta perkembangbiakan penghuninya, terutama komodo serta hewan-hewan yang menjadi makanannya.
Dan dengarlah sekali lagi curahan hati para satwa predator ini. “Jangan usik kami dengan predikat atau label apapun. Biarkan kami hidup tenang dan berkembangbiak hingga mati di habitat kami secara alami, di TN Komodo”.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar