Kelenteng-Kelenteng Tua Berpotensi Menjaring Wisman
Kelenteng-kelenteng tua yang bertebaran di sejumlah daerah di Indonesia berpotensi menjadi obyek wisata religi yang diminati turis nusantara maupun mancanegara. Dengan catatan pengembangan dan pengemasannya harus baik dan menarik. Salah satu promosinya bisa lewat buku.
Demikian disampaikan Dirjen Pemasaran Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Sapta Nirwandar dalam peluncuruan buku bertajuk “Kelenteng-Kelenteng Kuno di Indonesia” di Balairung Soesilo Sudarman, Jakarta, Kamis (27/01/2011).
“Dengan dibukukan lalu dipromosikan, masyarakat akan tahu dan tertarik ingin melihat kelenteng aslinya. Untuk itu peran travel agent di sini dibutuhkan untuk mengorganisir keinginan wisatawan mengunjungi kelenteng-kelenteng tersebut dengan membuat paket turnya,” jelas Sapta.
Demikian disampaikan Dirjen Pemasaran Pariwisata, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Sapta Nirwandar dalam peluncuruan buku bertajuk “Kelenteng-Kelenteng Kuno di Indonesia” di Balairung Soesilo Sudarman, Jakarta, Kamis (27/01/2011).
“Dengan dibukukan lalu dipromosikan, masyarakat akan tahu dan tertarik ingin melihat kelenteng aslinya. Untuk itu peran travel agent di sini dibutuhkan untuk mengorganisir keinginan wisatawan mengunjungi kelenteng-kelenteng tersebut dengan membuat paket turnya,” jelas Sapta.
Buku ini memberikan sumbangsih bukan saja dari aspek budaya tapi juga pengetahuan serta pariwisata. Apalagi buku ini ditulis dalam tiga bahasa, Indonesia, China dan Inggris. Ini berarti penyebarannya global bukan hanya di sini atau ke China tapi juga ke negara-negera lain. “Diharapkan paling tidak dengan buku ini, minimal mereka (pembacanya) menghetahui. Tapi tidak menutup kemungkinan mereka pun tertarik untuk datang langsung melihat kelenteng-kelenteng tersebut,” jelasnya.
Sapta menyebutkan bahwa sudah banyak kelenteng tua di Indonesia yang berhasil menjadi daya tarik wisata yang diminati wisatawan, seperti Kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang menjadi bagian dari paket tur utama di kota tersebut dan juga Kelenteng Petak Sembilan di kawasan Kota Tua Jakarta. “Wisata spritual atau religi sudah lama berkembang di dunia seperti Turki, China, termasuk Indonesia. Dan peminatnya banyak, ini merupakan peluang,” kata Sapta lagi.
Ketua Umum Perhimpunan Indonesia- Tionghoa Indonesia (INTI) Rahman Hakim mengatakan buku ini bukan semata menjadi arsip dokumen peninggalan nenek moyang khususnya suku Tionghoa yang sudah menetap beratus-ratus tahun di Indonesia tapi sekaligus menjadi sarana promosi kekayaan budaya Indonesia sebagai daya tarik wisata untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan mancanegara, khususnya yang memiliki keterikatan dengan budaya Tionghoa. “Tapi buku ini tidak akan berarti secara optimal tanpa dikomunikasikan kepada masyarakat luas,” jelasnya.
Lewat buku ini, lanjut Rahman Hakim budaya Tionghoa bisa menjadi pelengkap kebudayaan suku-suku lainnya di Indonesia. “Diharapkan timbul lebih rasa pengertian dan saling hargai serta mempererat tali persaudaraan sesama suku bangsa di Indonesia yang akhirnya bermuara pada pencitraan Indonesia yang baik sebagai bangsa yang toleran dengan wonderfull cultur dan wonderfull people,” harapnya.
Lancang
Penulis buku Kelenteng-Kelenteng Kuno di Indonesia Asti Kleinsteuber mengatakan proses pembuatan buku ini terbilang singkat. Namun kendalanya cukup besar, antara lain bahan referensi mengenai kelenteng-kelentang sangat sedikit, belum lagi hambatan di lapangan. “Kadang kami harus mengikuti tradisi sebelum mengambil gambar seperti sembahyang, dan bahkan sempat mengambil foto diam-diam atau mencuri gambar karena dilarang memotret. Pada kesempatan ini kami minta maaf kepada pengurus kelenteng-kelenteng karena sudah lancang tidak meminta izin datang dan mengambil gambar diam-diam,” terangnya.
Butuh trik tersendiri untuk mendapatkan gambar-gambar menarik seperti tersaji dalam buku ini. “Harus berpakaian yang santun, tidak membawa peralatan yang banyak agar tidak menarik perhatian pengunjung yang tengah beribadah dan ikut lebur dalam peribadatan tersebut,” begitu tipsnya.
Buku setebal 420 halaman ini memuat lebih dari 500 foto eksklusif antara lain karya fotografer Safri Munardi Maharadjo. Seluruhnya berwarna (full color) dengan kertas art papper 120 gram. “Edisi perdananya dicetak sebanyak 2.000 ekslempar,” jelas Asti yang tengah membuat buku Masjid-Masjid Tua di Indonesia bersama timnya.
Sapta menyebutkan bahwa sudah banyak kelenteng tua di Indonesia yang berhasil menjadi daya tarik wisata yang diminati wisatawan, seperti Kelenteng Sam Po Kong di Semarang yang menjadi bagian dari paket tur utama di kota tersebut dan juga Kelenteng Petak Sembilan di kawasan Kota Tua Jakarta. “Wisata spritual atau religi sudah lama berkembang di dunia seperti Turki, China, termasuk Indonesia. Dan peminatnya banyak, ini merupakan peluang,” kata Sapta lagi.
Ketua Umum Perhimpunan Indonesia- Tionghoa Indonesia (INTI) Rahman Hakim mengatakan buku ini bukan semata menjadi arsip dokumen peninggalan nenek moyang khususnya suku Tionghoa yang sudah menetap beratus-ratus tahun di Indonesia tapi sekaligus menjadi sarana promosi kekayaan budaya Indonesia sebagai daya tarik wisata untuk menarik lebih banyak lagi wisatawan mancanegara, khususnya yang memiliki keterikatan dengan budaya Tionghoa. “Tapi buku ini tidak akan berarti secara optimal tanpa dikomunikasikan kepada masyarakat luas,” jelasnya.
Lewat buku ini, lanjut Rahman Hakim budaya Tionghoa bisa menjadi pelengkap kebudayaan suku-suku lainnya di Indonesia. “Diharapkan timbul lebih rasa pengertian dan saling hargai serta mempererat tali persaudaraan sesama suku bangsa di Indonesia yang akhirnya bermuara pada pencitraan Indonesia yang baik sebagai bangsa yang toleran dengan wonderfull cultur dan wonderfull people,” harapnya.
Lancang
Penulis buku Kelenteng-Kelenteng Kuno di Indonesia Asti Kleinsteuber mengatakan proses pembuatan buku ini terbilang singkat. Namun kendalanya cukup besar, antara lain bahan referensi mengenai kelenteng-kelentang sangat sedikit, belum lagi hambatan di lapangan. “Kadang kami harus mengikuti tradisi sebelum mengambil gambar seperti sembahyang, dan bahkan sempat mengambil foto diam-diam atau mencuri gambar karena dilarang memotret. Pada kesempatan ini kami minta maaf kepada pengurus kelenteng-kelenteng karena sudah lancang tidak meminta izin datang dan mengambil gambar diam-diam,” terangnya.
Butuh trik tersendiri untuk mendapatkan gambar-gambar menarik seperti tersaji dalam buku ini. “Harus berpakaian yang santun, tidak membawa peralatan yang banyak agar tidak menarik perhatian pengunjung yang tengah beribadah dan ikut lebur dalam peribadatan tersebut,” begitu tipsnya.
Buku setebal 420 halaman ini memuat lebih dari 500 foto eksklusif antara lain karya fotografer Safri Munardi Maharadjo. Seluruhnya berwarna (full color) dengan kertas art papper 120 gram. “Edisi perdananya dicetak sebanyak 2.000 ekslempar,” jelas Asti yang tengah membuat buku Masjid-Masjid Tua di Indonesia bersama timnya.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Adji K & Tri Akbar Handoko, Pusformas, Kemenbudpar
0 komentar:
Posting Komentar