. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 01 Juli 2009

Berwisata Spritual ke Masjid-Masjid Kuno Aceh



Masjid bagi rakyat Aceh bukan sekadar tempat ibadah tapi juga pusat budaya, sosial bahkan perjuangan sejak dulu. Kini esensi masjid itu bertambah, diminati masyarakat dan wisatawan sebagai obyek wisata spritual untuk mempertebal iman, mengetahui sejarah, dan arsitektur antiknya. Dan tak sedikit yang datang untuk berobat. Masjid apa saja ya?

Jelang akhir Juni lalu, TravelPlusIndonesia bersama beberapa media lainnya mengikuti press tour ke Aceh yang digelar Direktorat Nilai Sejarah, Dirjend Sejarah dan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

“Tujuan press tour kali ini mengunjungi masjid-masjid tua dan bersejarah serta sejumlah situs purbakala yang ada di Aceh. Kemudian informasinya disebarluaskan lewat bermacam media agar keberadaan dan nilai-nilai sejarahnya diketahui masyarakat luas,” kata Direktur Nilai Sejarah, Drs. Shabri A kepada TravelPlusIndonesia.

Press tour ini disambut baik Guburnur Prov.NAD, Irwandi Yusuf. Menurut beliau Aceh memiliki banyak obyek wisata spritual baik yang sudah terkenal maupun situs-situs yang belum diketahui keberadaannya. Bila dikembangkan pasti akan mendatangkan wisatawan baik dari dalam maupun luar Aceh. Sebab masjid bukan cuma sebagai tempat ibadah, bila arsitekturnya antik, unik atau bahkan megah, masjid bisa menarik sebagai obyek wisata. “Kami akan serius mengembangkan wisata spritual di Aceh dan sekaligus menyadarkan masyarakat bahwa pariwisata itu bukan cuma bule-bule berjemur di pantai,” jelasnya.

Sementara Kadisbudpar Prov. NAD, Mirzan Fuadi mengatakan obyek wisata di Aceh sangat beragam, baik alam, budaya, sejarah, religi, dan lainnya. “Peminatnya hampir merata, cukup tinggi termasuk peminat ke obyek wisata sejarah dan religi,” terangnya.

Di Atas Bekas Benteng
Masjid kuno pertama yang kami kunjungi adlah Masjid Indrapuri yang terletak di Desa Pekuan Indrapuri, Kecamatan Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar. Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Aceh, Dahlia, masjid berkonstruksi kayu ini didirikan di atas reruntuhan bangunan benteng yang diperkirakan bekas peninggalan Hindu yang pernah dimanfaatkan sebagai benteng pertahanan di masa pendudukan Portugis dan Belanda. “Setelah Islam masuk dan berkembang pesat di Aceh, benteng yang semua tempat peribadatan Hindu, dindingnya dihancurkan dan digantikan dengan masjid. Begitu juga dengan ornamen asli penghias bangunan dalam, ditutup plester mengingat ajaran Islam melarang adanya penggambaran makhluk bernyawa,” terang perempuana berbusana muslimah ini.

Secara arsitektur, masjid ini yang dibangun tahun 1270 Hijriah atau akhir tahun 1853 ini biasa-biasa saja. Bentuk atapnya limas tumpang tiga seperti masjid-masjid tradisional di Jawa. Kekuatansekaligus yang membedakan masjid ini dengan masjid lainnya justru karena dibangun di atas benteng yang kokoh. Sayangnya kondisi masjid ini kurang terawat. Kolam persegi empat yang berada di depan bangunan utama masjid, kering dan terisi bermacam sampah.

Menurut Bupati Aceh Besar, H. Bukhari Daud, bentuk bangunan Masjid Indrapuri merupakan asli dari masjid-masjid tradisional yang di Indonesia. Bahkan Masjid Demak di Jawa mengambil contoh arsitektur masjid ini. “Sayangnya banyak masyarakat Aceh yang belum tahu bahwa inilah bentuk asli tradisional masjid kita yang seharusnya dipertahankan. Mereka justru lebih tertarik dengan arsitektur masjid gaya Turki yang akhirnya mendominasi arsitektur masjid di Aceh sekarang ini,” jelasnya.

Seanjutnya kami ke Masjid Guci Rumpong yang berada di Desa Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Bari, Kabupaten Pidie. Masjid ini dibangun oleh Syech Abdussalam yang berjuluk Tengku Chik Di Pasi pada abad 17 Hijriah. Karenanya dikenal juga dengan nama Masjid Tengku Chik Di Pasi.

Selain arsitekturnya unik, yang menarik di masjid ini terdapat dua guci besar berwarna hitam yang ditempatkan di tempat khusus semacam kandang di sisi kanan masjid. “Menurut sejarah, kedua guci itu dulu pernah berkelahi hingga salah satunya giging rumpong atau ompong,” terang Ismail Iskak, Pengurus masjid Guci Rumpong. Di dalam kedua guci itu, lanjut Iskak, berisi air yang dipercaya masyarakat berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. “Banyak masyarakat termasuk orang poenting yang datang mengambil air dari guci rumpong lalu membasuh mukanya atau meminum airnya. Ada juga yang membawa airnya,” Iskak.

Di dalam masjid ini terdapat sebilah bambu kuno yang berdiri tegak menuju atap masjid. “Bambu ini berumur 4,5 abad tujuannya dulu untuk memperbaiki atap dan membantu petugas azan naik ke atas untuk mengumandangkan azan, karena waktu itu belum ada alat pengeras suara,” ungkap Iskak lagi.

Masjid kuno lain yang juga kerap didatangi warga untuk berobat adalah Masjid Madinah yang berada Jalan Poros Sigli-Medan tepatnya di Desa Dayah Krut Kuta Baro, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya. Masjid ini punya kaitan dengan Masjid Guci Rumpon. Dulunya Guci Rumpong berasal dari masjid ini namun kini bukan guci asli. Kendati begitu air di dalam guci yang berada di masjid ini juga dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. “Bahkan ada wisatwan asal Malaysia yang mengambil asir di masjid ini untuk penyembuhan,” jelas Ismail B selaku juru pelihara Masjid Madinah.

Masjid Madinah dibangun oleh Muhammad Jalaluddin yang berjuluk Tengku Japakeh pada tahun 1623 Masehi, sehingga sering disebut juga Masjid Japakeh. Arsitektur masjid ini pun beratap tumpa bersusun dua dari genteng dengan puncak mustaka berbentuk bulat lonjong dari bahan seng.

Di Kabupaten Aceh Barat, kami mengunjungi Masjid Gunung Kleng yang berada di Desa Gunung Kleng, Kecamatan Meureubho dan Masjid Tuha Manjing di Desa Manjing, Kecamatan Pantai Cermin.

Masjid Gunung Kleng yang dibangun tahun 1927, berarsitektur unik dengan lima kubah. Menara masjidnya, dulu berfungsi sebagai alat untuk menyuarakan azan hingga menjangkau radius yang cukup jauh.

Masjid Tuha Manjing tak kalah antik. Masjid yang dibangun tahun 1918 atas swadaya masyarakat setempat ini dikeliling deretan pohon pinang yang tinggi dan berbatang lurus ramping.

Yang unik, masjid berbentuk segiempat dengan tiang soko guru 4 buah dan 12 tiang lainnya, beratap tumpang dua dari rumbia dan dinding dari bambu yang dibelah dua ini, pembuatannya mengikuti pola masjid kuno yakni tanpa menggunakan paku. Hanya menggunakan pasak dan tali ijuk sebagai penguat.

Di Masjid Tuha Manjing, kami disambut hangat warga setempat dengan suguhan kelapa muda yang diambil tak jauh dari masjid ini.

Ikon Pariwisata
Masjid Baiturrahman di Banda Aceh menjadi penutup kunjungan press tour ke masjid-masjid kuno dan bersejarah di Aceh. Kendati bermunculan obyek wisata baru pascatsunami, masjid raya ini tetap menjadi ikon pariwisata Banda Aceh bahkan Prov. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Hingga ada anggapan, kalau belum ke masjid yang dibangun tahun 1292 atau abad ke 13 ini saat ke Aceh, belumlah sempurna.

Kondisi masjid raya ini kini semakin baik pasca diterjang tsunami. Pengunjungnya pun tetap ramai, baik jamaah yang ingin shalat maupun wisatawan lokal yang berwisata atau melakukan pengambilan foto prewedding. Wisatawan dari luar Aceh dan beberapa pasang turis asing juga terlihat. Umumnya wisatawan yang datang ingin menikmati perpaduan arsitektur Eropa, Turki dengan sentuhan Islam dan tradisional masjid ini. Dan tak lupa foto diri berlatarbelakang masjid indah ini.

Menurut Ketua Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) Aceh, Prof. Misri A. Muchsin, meski penampilan fisik Masjid Baiturrahman pascatusnami sudah kembali bagus, namun untuk kembali menjaring wisatawan, masjid ini perlu melakukan peningkatkan pelayanan. “Pengurus ataupun penjaga masjid harus bersikap lebih ramah agar pengunjung merasa betah dan nyaman. Di samping itu pemandu wisata yang mahir berbahasa Inggris dan asing lainnya harus ditambah,” jelasnya.

Kendati bermunculan obyek wisata baru pascatsunami, bagi masyarakat Aceh keberadaan Masjid Raya Baiturrahman tetaplah penting. Bukan sebagai simbol kebanggaan semata melainkan pula menjadi sandaran hidup bagi sebagian kecil warganya. Salah satunya buat Zulkisar, salah seorang khadam (petugas kebersihan) di Masjid Baiturrahman yang jumlahnya 22 orang.

Menurut Zulkisar yang menjadi khadam sejak tahun 1969, penghasilannya membantu menopang hidup keluarga barunya. “Saya bekerja setengah hari dari pukul 8 pagi sampai 12 siang atau mulai pukul 1 siang hingga 4 sore, sebelum atau setelah itu melaut di Pantai Ulee Lheue,” kata Zulkisar sambil membersihkan ornamen tembaga di salah satu pilar dalam masjid dengan cairan kimia racikan sendiri.

Gelap malam berangsur menyelimuti langit di atas Masjid Raya Baiturrahman. Namun pesona keindahan masjid raya ini tak lantas memudar. Lampu-lampu masjid dan bayangan bangunan yang terpantul di air kolam di depan masjid, justru menghadirkan pesona tersendiri. Tak berlebihan di kala malam merayap, masih banyak pengunjung yang datang untuk menikmati dan mengabadikan keindahannya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP