Solo Hiking Gunung Penanggungan Bonusnya Sunrise, Alhamdulillah
Punya julukan jelmaannya Semeru ditambah bentuknya seperti tumpeng kerucut lancip, membuat saya terpikat dengan Gunung Penanggungan sejak lama. Alhamdulillah tahun ini, kesampaian juga menggapai puncaknya dengan cara solo hiking, bahkan dapat bonus sunrise nan menawan.
Perjalanan darat menuju basecamp (BC) Gunung Penanggungan via Tamiajeng yang berada di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, saya mulai dari Terminal Pondok Pinang (Ponpin), Jakarta Selatan pada Rabu (14/8), usai sehari sebelumnya meninggalkan Lampung.
"Mawar" begitu nama bus yang saya pilih dari salah satu aplikasi dengan tujuan Terminal Bungurasih, Surabaya lantaran harganya paling murah sekitar 300K, dibanding bus lain dan waktu keberangkatannya sesuai dengan rencana perjalanan saya.
Pukul 6 sore "Mawar" bertolak dari Ponpin dan tiba di Kota Buaya pada Kamis (15/8) pukul 7.30 pagi. Di perjalanan, setiap penumpang bus tersebut mendapat sebungkus roti dan sebotol air mineral ukuran sedang, lumayan buat ganjal perut sementara. Setelah itu, dapat pula satu kali makan malam di salah satu rumah makan, sekitar pukul 9 malam.
Tiba di Terminal Bungurasih, saya langsung menuju lokasi bus dengan rute menuju Malang, turun di Terminal Pandaan. Ongkosnya cuma 10K. Penumpangnya cukup padat, kebanyakan mereka yang hendak bekerja karena memang hari itu weekday atau hari kerja.
Dari Terminal Pandaan, lanjut naik elf. Penumpangnya cuma saya sendiri, lalu turun di dekat pertigaan menuju Pasar Kesiman dengan ongkos 10K, kemudian ganti naik ojek pangkalan ke BC Tamiajeng 25K.
Berdasarkan ragam moda transportasi yang saya gunakan, artinya saya melakukan perjalanan darat dengan cara backpacker-an sendirian.
Tiba di BC Tamiajeng pukul 9 pagi. Saya langsung mendaftarkan diri di Pos 1 sekaligus Pos Registrasi dengan menulis nama, alamat, dan waktu kedatangan di buku tamu serta membayar tiket pendakian 15K.
Setelah itu bersih-bersih di toilet, sarapan mie rebus pakai telur, kerupuk, peyek, dan air putih hangat di warung Abah yang berada tepat di seberang pos registrasi. Saya juga sewa satu kompor gas di rental outdoor yang ada di samping warung tersebut, harga sewanya 10K.
Setelah itu packing ulang dan menitip pakaian ganti untuk pulang di rental outdoor tersebut. Selanjutnya istirahat sejenak menunggu waktu zuhur tiba.
Usai salat zuhur dan asar dijamak di musala setempat, saya siap-siap melakukan pendakian solo hiking.
Sebelum berangkat, sempat membeli sebotol air mineral besar di warung Abah dan nasi pecel dengan menu sepotong ayam goreng, tempe, tahu serta bumbu kacangnya yang dibungkus terpisah seharga 15K untuk bekal makan malam di warung makan lainnya yang masih berada di dekat Pos Registrasi.
Tak lupa melapor kembali ke petugas setempat di Pos Registrasi. Di sana ada Ambon (pria lokal berambut gondrong), salah satu petugas yang memberi pengarahan kepada setiap pendaki.
Melihat saya sendirian, dia langsung bertanya. "Ini bapak mau solo hiking? Sebelumnya sudah pernah mendaki Gunung Penanggungan lewat sini? Saya jawab: "Iya sendirian, belum pernah dan ini baru kali pertama lewat sini".
Selanjutnya dia memberi saya selembar kertas putih yang memuat peta jalur pendakian (japen) Gunung Penanggungan via Tamiajeng. Secara rinci dia menjelaskan nama-nama pos-nya berikut kondisi trek dan durasi pendakiannya.
Dia juga memberi saya satu trash bag (kantong plastik) berwarna merah. "Nanti pas turun sampah logistiknya dibawa serta dan ditaruh di samping dekat Pos Registrasi ya Pak," pesannya. "Siyaaap mas," balas saya.
"Oiya, bapak rencana nge-camp?," tanyanya. "Iya, saya sudah bawa tenda," jawab saya. "Nanti lokasi berkemahnya di Puncak Bayangan yang berada setelah Pos 4 ya Pak," terangnya seraya mewanti-wanti agar saya tidak membuat api unggun karena saat ini tengah kemarau untuk mencegah kebakaran.
"Bapak bawa bekal minum berapa botol," tanya Ambon lagi. "Dua botol air mineral ukuran sedang dan satu ukuran besar," jawab saya. "Mengingat di sepanjang japen ini tidak ada sumber air, sebaiknya bapak tambah satu botol lagi, buat jaga-jaga apalagi sekarang lagi kemarau," imbaunya. "Baik mas, terimakasih informasinya," balas saya.
Selepas mendapat arahan, saya minta tolong diabadikan dengan berlatar Pos Registrasi dan Plang Selamat Datang. Tak lupa berfoto bersamanya untuk dokumentasi.
Pukul 1 siang lebih saya bertolak meninggalkan Pos Registrasi alias Pos 1 menuju Pos 2. Cuacanya agak mendung namun berhawa panas seperti mau turun hujan. Treknya berupa jalan paving sampai di tempat wisata Gunung Bale Resort (GBR) yang berada di sebelah kanan dari Pos Registrasi.
Setelah itu treknya berganti dengan jalan berbatu, cukup panjang sampai di Pos 2. Meski berbatu, kondisi jalannya datar dan menurun serta masih bisa dilewati truk pengangkut kayu dan motor penduduk yang hendak ke kebun ataupun mencari rumput. Di perjalanan saya sempatkan mengabadikan plang-plang petunjuk arah sebelum Pos 2.
Tiba di Pos 2 pukul 13.20. Di sana terdapat beberapa warung yang menjual bermacam air minum, makanan, dan gorengan serta buah semangka potongan.
Saya berhenti sejenak untuk minum, lalu membuka kaos lengan panjang yang sudah basah oleh keringat dan ganti dengan kaos singlet abu-abu.
Usai mengabadikan Pos 2, lanjut bergerak menuju Pos 3 dengan kondisi trek tanah dan sesekali diselingi setapak berbatu. Kondisi alamnya sudah berupa hutan alami, bukan lagi perkebunan, dan treknya mulai agak menanjak terutama menjelang Pos 3.
Tiba di Pos 3 pukul 13.50 atau sekitar 30 menit perjalanan dari Pos 2. Di sana hanya ada sebuah pondok sederhana dengan bangku kayu panjang untuk istirahat sejenak.
Perjalanan dari Pos 3 ke Pos 4 lebih menanjak lagi dari sebelumnya. Kondisi treknya berupa tanah dan diselingi undakan berbatu. Cuaca yang semula agak mendung justru menjelang sore agak terik. Untungnya di sekitar trek banyak pepohonan besar berdaun rimbun, jadi terik sinar matahari tidak langsung menerpa badan.
Menjelang Pos 4 treknya semakin menanjak. Sampai di Pos 4 pukul 14.30. Di sana juga ada sebuah pondok sederhana untuk beristirahat sejenak.
Saya memilih duduk di sebatang pohon yang tumbuh setelah pondok tersebut. Lantaran gerah dan berkeringat, saya buka kaos singlet. Hemmm..., terasa lebih sejuk.
Setelah sekitar 10 menit istirahat, lalu lanjut menuju Puncak Bayangan atau Pos 5. Treknya semakin menanjak terlebih menjelang Puncak Bayangan. Saya sempat istirahat sejenak saat azan asar berkumandang dari masjid yang berada jauh di perkampungan kaki Gunung Penanggungan.
Akhirnya sampai di Puncak Bayangan pukul 16.30. Dari camp area tersebut terlihat jelas badan puncak Gunung Penanggungan.
Sepintas, Puncak Bayangan mirip dengan Pelataran yang menjadi camp area pendaki Gunung Dempo di Pagar Alam, Sumsel. Dari Pelataran juga terlihat jelas badan puncak Gunung Dempo.
Bedanya, badan puncak Gunung Penanggungan lebih runcing dibanding badan puncak Gunung Dempo. Perbedaan lainnya hampir seluruh badan puncak Gunung Penanggungan diselimuti padang rumput atau sabana yang berwarna hijau kecoklatan saat kemarau seperti sekarang ini.
Sore itu, di Puncak Bayangan sudah ada tiga tenda yang berdiri saling berjauhan. Salah satunya tenda yang dihuni beberapa santri dari Ponpes Tahfiz Quran Al-Karomah, Mojokerto.
Tak mau buang waktu, saya langsung memotret plang Puncak Bayangan lalu mendirikan tenda jenis trap tent di tempat yang agak teduh, di bawah pohon kecil bercabang-cabang.
Waktu magrib sudah masuk. Fandi salah satu santri, mengumandangkan azan magrib sambil berdiri di sebongkah batu besar atas perintah Dante, seniornya. Lalu para santri tersebut menunaikan salat magrib berjemaah dengan ber-tayamum terlebih dahulu karena sama sekali tidak ada sumber air.
Saking senangnya melihat aksi religius mereka, saya pun mengabadikannya. Lalu saya menunaikan salat magrib dijamak dengan isya di dalam tenda. Setelah itu makan malam dengan nasi bungkus yang saya beli di warung dekat Pos Registrasi tadi. Alhamdulillah masih enak.
Usai packing untuk summit attack, pukul 9 malam saya memilih tidur dan terbangun pukul 12 malam. Lalu ganti baju dan celana serta memakai sweater dan sleeping bag karena udara terasa semakin dingin, kemudian lanjut tidur.
Alhamdulillah, malam itu cuaca cukup bersahabat, tidak hujan, tidak pula berangin kencang, cuma dingin saja. Bahkan bulan bersinar terang meskipun belum purnama. Sinarnya sampai ke atap tenda saya.
Summit Attack
Pukul 2.30 saya bangun buat siap-siap dan 30 menit kemudian atau tepat pukul 3 dini hari, saya beranjak untuk summit attack dengan mengenakan kaos, jaket rain coat, headlamp, topi dan memegang sebatang tongkat kayu sebagai trekking pole alami yang saya gunakan sejak awal pendakian. Selain itu membawa ransel kecil berisi sebotol minuman, beberapa makanan kecil, tiga bendera, sarung, sweater, dan balaklava (atau penutup kepala) untuk mengantisipasi dingin.
Trek summit attack dari Puncak Bayangan boleh dibilang menanjak total, tak ada datar sedikitpun. Beberapa kali saya istirahat sambil menikmati hamparan kelap-kelip lampu dari deretan rumah di Mojokerto dan sekitarnya serta kegagahan Gunung Arjuno yang berdiri persis di depan Gunung Penanggungan.
Saat azan subuh terdengar berkumandang, saya pun memilih istirahat sejenak sambil duduk di sebongkah batu.
Alhamdulillah pukul 5 atau setelah 2 jam summit attack dari Puncak Bayangan, akhirnya saya tiba di Puncak Pawitra, puncaknya Gunung Penanggungan yang berketinggian 1.653 Mdpl. Puncaknya ditandai tiang besi yang bagian ujungnya terpasang bendera Merah Putih berukuran sedang yang pagi itu berkibar tiada henti karena terus tertiup angin.
Berada sejenak di Puncak Pawitra sendirian, jelas ada atmosfer berbeda. Saya merasa begitu kecil tapi sekaligus merasa lebih dekat dengan sang Maha Pencipta, Allah SWT.
Tak lama berselang, ada Yusuf pendaki asal Bangkalan, Madura yang tiba di Puncak Pawitra. Kemudian 2 pendaki muda lainnya juga tiba dan disusul seorang pendaki lainnya. Total ada lima pendaki laki-laki yang berhasil menggapai Puncak Pawitra dengan bonus matahari terbit, satu hari jelang Hari Kemerdekaan RI.
Sebelum matahari keluar dari peraduannya, saya memilih salat subuh terlebih dahulu di sebuah ceruk batu (seperti goa kecil). Lalu memasang bendera Merah Putih juga berukuran sedang di ujung trekking pole alami saya.
Sesi berikutnya menjadi sesi paling saya damba yaitu mengabadikan sunrise berlatar depan rerumputan sabana, juga pemandangan deretan Gunung Arjuno yang terlihat begitu jelas serta Gunung Semeru yang mengeluarkan asap vulkanik di kejauhan.
Selanjutnya foto diri di tiang bendera Merah Putih sambil memegang plang kayu bertuliskan "Summit MT. Penanggulangan1653 Mdpl" dengan cat berwarna putih, foto sambil mengibarkan bendera Merah Putih, foto sambil membentangkan bendera Kembara Tropis (nama komunitas pegiat alam yang saya buat di akhir tahun 1999), mengucapkan salam kompak dan semangat buat para penghuni WAG Memori Ujung Kulon (MUK) 92 yang tak lain beberapa anggota pecinta alam TAPAL-Jakarta, serta tak ketinggalan mengibarkan bendera Palestina sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina.
Puas mengabadikan suasana Puncak Pawitra selama 30 menit lebih, kemudian saya turun, juga sendirian menuju camp area Puncak Bayangan. Saat turun memang terasa lebih ringan dibanding ketika summit attack tapi kewaspadaan justru lebih tinggi lantaran curam dan kondisi trek bertabur kerikil batu.
Saya lebih memilih turun lewat trek berbatu ketimbang tanah lantaran lebih aman asalkan pijakannya kuat. Kalau trek tanah lebih licin dan mudah terpeleset. Keberadaan trekking pole alami sangat membantu saya saat turun di trek seperti itu.
Sebelum tiba di Puncak Bayangan ada warung non permanen yang menjual buah semangka potongan, aneka minuman, dan gorengan (sewaktu summit attack, warung dadakan itu belum buka). Penjualnya seorang ibu dengan logat Madura. Saya sempat beli 3 potong semangka 10K.
Di Puncak Bayangan, saya istirahat sejenak lalu bongkar tenda, packing, mengumpulkan sampah logistik ke dalam trash bag, baru kemudian turun sendirian. Ternyata saat turun, langkah terasa gontai karena berat beban tak banyak berkurang, apalagi sambil membawa sampah logistik sendiri.
Jika sewaktu memulai solo hiking, trek paling ringan itu antara Pos 1 (registrasi) sampai Pos 2. Justru ketika balik atau pas turun, jalur dari Pos 2 ke Pos 1 terasa paling berat, lantaran fisik sudah lelah ditambah panasnya begitu terik karena sudah pukul 11.30.
Tiba di Pos 1 pukul 12 lebih, Jumat (16/8) siang. Rencana mau salat Jumat di masjid terdekat dengan Pos 1, gagal karena waktunya tidak terkejar.
Di Pos 1 nampak sejumlah pendaki tengah bersiap-siap hendak nanjak. Mereka berencana mengikuti perayaan Hari Kemerdekaan di Puncak Pawitra keesokan harinya.
Melihat saya turun sendirian, beberapa di antaranya bertanya. "Bapak, sendirian, gimana caranya biar berani solo hiking? "Iya saya sendirian berangkat dari Jakarta, nanti saya kasih tips ber-solo hiking lewat lagu, konten video, dan tulisan ya," balas saya.
Mendengar balasan saya, para mendaki itu nampak kaget. "Waduh jauh banget dari Jakarta, jarang juga pendaki Jakarta yang nanjak Gunung Penanggungan mungkin karena kejauhan apalagi solo hiking. Saluuut.., banget sama Bapak," balas salah satu pendaki tersebut.
Di warung dekat Pos 1, saya memesan seporsi nasi rawon ditambah air putih hangat untuk santap siang. Selanjutnya bersih-bersih di toilet. Kemudian pamit dengan pemilik warung, Ambon, dan beberapa petugas setempat.
Saya naik ojek menuju tempat elf mangkal, lantaran sudah tidak ada, langsung naik ojek yang sama ke Terminal Pandaan 50K. Setelah lebih kurang 30 menit lebih menunggu di Terminal Pandaan, bus tujuan Terminal Bungurasih akhirnya muncul.
Tiba di Bungurasih pukul 3 sore. Saya langsung pesan tiket bus via aplikasi. Alhamdulillah dapat bus "Mawar" kembali sesuai tujuan yang saya cari dengan potongan 10 persen sehingga ongkosnya tak sampai 300K.
Di dalam terminal, saya duduk-duduk santai dan sesekali mencari buah segar serta tak lupa tunaikan salat zuhur serta asar dijamak di musala setempat.
Bus Mawar berangkat pukul 18.30 dari Bungurasih dan tiba di lampu merah perempatan Ponpin (tidak masuk terminal) pukul 7.30, Sabtu (17/8) pagi.
Secara keseluruhan, perjalanan solo backpacker-an sekaligus solo hiking ke Gunung Penanggungan berjalan lancar dan saya merasa beruntung karena mendapatkan bonus sunrise yang begitu menawan dari sang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Alhamdulillah.
Naskah & foto: Adji TravelPlus, IG @adjitropis, TikTok @FaktaWisata.id
Captions:
1. Saya di Puncak Pawitra, Puncak Gunung Penanggungan berlatar sunrise sambil membentangkan bendera Kembara Tropis.
2. Sunrise berlatar depan rerumputan Sabana puncak Gunung Penanggungan.
3. Foto bareng Mas Ambon, petugas lokal di Pos Registrasi atau Pos 1 BC Gunung Penanggungan via Tamiajeng, Mojokerto, Jatim. (Foto: petugas registrasi)
4. Trek jalan berbatu setelah paving dari Pos 1 ke Pos 2.
5. Pondok sederhana di Pos 3 untuk istirahat sejenak.
6. Buka kaos karena gerah di dekat Pos 4.
7. Puncak Bayangan atau Pos 5 berlatar badan puncak Gunung Penanggungan yang berbentuk seperti tumpeng kerucut lancip.
8. Pegang bendera Merah Putih berlatar sunrise di Puncak Gunung Penanggungan.
9. Berfoto di tiang Puncak Gunung Penanggungan.
10. Di depan trap tent sebelum dibongkar untuk kembali turun. (Foto: fandi)
11. Tiba kembali di Pos 1 alias Pos Registrasi.. (foto:: ambon)
0 komentar:
Posting Komentar