. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 26 Maret 2020

Baca Novel Kembara Rindu, Sumpah Jadi Kepingin Jelajahi Lagi Ragam Pesona Lampung Barat

Sebuah karya kreatif yang di dalamnya juga mengupas tentang keunikan budaya, keindahan alam, dan atau kelezatan kuliner tradisional sebuah daerah, bisa membuat penikmatnya ingin mengunjungi daerah tersebut. Lantaran penasaran.  

Sudah banyak contoh karya kreatif yang TravelPlus Indonesia maksud itu, antara lain film, novel, program TV, video klip, foto, dan tentu saja artikel/tulisan feature.

Salah satunya Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang kemudian dilayarlebarkan dengan judul yang sama, dan ternyata berdampak positif luar biasa, melambungkan pariwisata Belitung.

Nah kalau Anda membaca novel terbaru karya novelis nomor satu Indonesia Habiburrahman El Shirazy berjudul Kembara Rindu, lalu kepingin menjelajahi ragam pesona Lampung Barat (Lambar) sebagaimana keinginan saya kembali lagi ke sana, sepertinya tidak bisa sekarang-sekarang ini.

Kabarnya obyek-obyek wisatanya banyak yang ditutup sementara, guna mencegah penyebaran virus Corona. 

Hal itu dibenarkan Tri Umaryani selaku Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kab. Lambar.

Menurut Tri kebijakan sektor pariwisata Lambar ada 4, salah satunya menghimbau agar destinasi pariwisata ditutup sementara sampai dengan kondisi terkait Covid-19 dalam situasi aman.

"Lambar punya sekitar 77 obyek wisata dan yang sudah ditutup sementara antara lain Anjung Wisata Kampung Kopi Rohis sejak 17 Maret dan Kebun Raya Liwa dari tanggal 20 Maret 2020," terang Tri kepada TravelPlus Indonesia, Kamis (26/3/2020).

Tapi tenang saja, nanti kalau sudah dinyatakan aman dan kembali dibuka seperti sediakala, Anda bisa datang dan menjelahinya satu persatu.

Lamban di Pekon Hujung
Setelah membaca novel pertama dari dwilogi pembangun jiwa, setebal 266 halaman ini, jujur saya jadi ingin merasakan tinggal di rumah kayu besar di Pekon (Desa) Hujung, Kecamatan Berlalu, Lambar sebagaimana yang ada di foto yang menjadi cover atau sampul muka novel tersebut.

Sejumlah rumah tradisional khas orang Lambar itu masih berdiri kokok di sana, berderet rapi di kiri kanan jalan raya yang menghubungkan Bandar Lampung, Ibukota Provinsi Lampung ke Liwa, Ibukota Kabupaten Lambar.

"Jadi itu rumah tinggal asli masyarakat Lambar, namanya Lamban. Kalau rumah raja atau istana kerajaan namanya Gedung Dalam," ungkap Tri.

Rencana kedepan, sambung Tri, beberapa dari Lamban itu akan menjadi homestay agar wisatawan yang berkunjung bisa merasakan tinggal di Lamban dan melihat sekaligus mengikuti keseharian kegiatan masyarakatnya.

Tak begitu sulit menjangkau Pekon (Desa) Hujung. "Kalau mau ke Liwa dari Kota Bandar Lampung lewat jalan di dekat Pekon Hujung,' kata Tri.

Bukan cuma tinggal dan merasakan kehidupan masyarakat di Pekon itu, jujur setelah membaca novel Kembara Rindu edisi pertama ini, saya juga kepingin ke Negeri di Atas Awan-nya Lambar yaitu Bukit Batu Bawang Bakung atau orang lebih sering menyebutnya Bukit Geredai, bahkan mendaki Gunung Pesagi, gunung tertinggi di daratan Lampung.

Lokasi Bukit Geredai tepatnya di Desa Negeri Ratu, Kecamatan Batu Brak, Liwa.

Selain udara yang dingin dan segar, disana bisa menyaksikan kabut di langit Kota Liwa dan pucuk-pucuk pepohonan di hutan serta kebun kopi.

Dari puncak bukitnya, katanya juga bisa melihat Gunung Pesagi dan pemandangan memukau Gunung Seminung yang berada di perbatasan antara Lampung dengan Sumatera Selatan.

Di Bukit Geredai, juga bisa menikmati dua momen indah yakni pesona matahari terbit dan tenggelam.

Ketika sunrise yang jadi obyek pemandangannya adalah Gunung Pesagi. Sedangkan saat sunset, panorama utamanya Gunung Seminung.

Masjid Bintang Emas
Setelah itu baru bersantai di Liwa yang berjuluk kota hujan di Selatan Gunung Pesagi, lalu ke Masjid Bintang Emas atau Masjid Islamic Center Baitul Mukhlisin di kawasan Sekunting Terpadu. Lanjut ke Kawasan Pasar Liwa, lapangan depan Satlantas Liwa dan juga ke Kebun Raya Liwa.

Semua tempat itu tercantum di novel yang terdiri atas 13 sub judul atau bab ini yakni mulai bab satu berjudul Kabut di Puncak Pesagi, lalu Senja di Sidiwangi, Tangis Haru, Kembara Rindu, Peristiwa di Atas Kapal, Pertemuan, Perjuangan di Kampung Halaman, Kelebatan Sejarah Keluarga, Menagih Hutang, Tawaran, Menjaga Pusaka, Ketika Fajar Menyingsing, dan terakhir atau bab ke-14 yang berjudul Jiwa yang Gerimis.

Ragam Budaya Lambar
Usai membaca novel yang menceritakan tentang Udo Ridho, santri Pesantren Darul Falah di Desa Sidawangi, di kaki Gunung Ceremai, Jawa Barat yang pulang ke pekon (desa) kelahirannya, Way Meranti di kaki Gunung Pesagi, Lambar, membuat saya juga ingin menyaksikan ragam budaya masyarakat Lambar yang tertuang di berbagai sumber referensi lain seperti di laman resmi milik Kemdikbud dan Pemkab Lambar.

Tradisi budaya Lambar yang ingin saya lihat seperti "Bediom" atau tradisi saat melakukan prosesi pindah Lamban (rumah) dan tradisi Ngita/lamar/minang/cakakpun/nunang yang menjadi awal dari rangkaian proses pernikahan adat Liwa yang kabarnya saat ini sudah semakin jarang dilaksanakan.

Satu lagi Hippun Adat yang digelar setiap tahun secara bergantian di salah satu dari  empat kepaksian yang masuk dalam Kerajaan Adat Paksi Pak Sekala Brak di Lambar yakni Kepaksian Pernong, Bejalan Di Way, Nyerupa, dan Kepaksian Buay Belunguh.

Hippun Adat itu acara penyampaian harapan, keinginan, dan sumbang saran kepada Pemkab Lambar, hasil musyawarah adat dari keempat kepaksian tersebut yang biasanya digelar di gedung dalom milik kepaksian yang menjadi tuan rumah/penyelenggara.

Saat Ramadhan, saya juga jadi ingin melihat tradisi menyambut malam 27 Ramadhan yang disebutan "Malaman Pitu Likukh" khas Lambar, khususnya di Kecamatan Batu Besi, Belalai, dan Balik Bukit yang diyakini sebagai malam turunnya Lailatul Qadar (dari 10 malam terakhir) dengan membakar undom dan membawa obor keliling Lampung atau dipasang di pekarangan rumah.

Jelang Hari Raya Idul Fitri atau setelah Lebaran juga jadi kepingin melihat kemeriahan Pesta Sekura atau Pesta Topeng berbagai karakter dan ekspresi sebagai penutup wajah dari kayu, kacamata, kain, dan atau riasan warna yang dipadukan bermacam pakaian berwarna meriah.

Tradisi Terkait Kuliner
Terkait kuliner, saya juga jadi ingin menyaksikan langsung tradisi Nyekhallai/Nyallai Siwok atau sangrai ketan yang diadakan untuk muda-mudi Lambar yang akan akad nikah sebagai salah satu oleh-oleh sebelum atau setelah nikah.

Tak ketinggalan tradisi 'Ngelemang' (memasak Lemang) yang  mengajarkan nilai-nilai 'Beguai Jejama' atau budaya gotong royong dalam bermasyarakat, lalu mencicipi Lemang itu ditemani segelas kopi robusta dari tanah Lambar.

Bahkan jadi kangen ingin menikmati kuliner khas lainnya seperti Iwa Khanau atau Ikan Nila/Mujair yang diambil dari Danau Ranau lalu dibakar/digoreng dan dicocol dengan Sambol Mattah (sambal mentah), salah satu sambal khas Lambar lalu Gulai Taboh, Gulai Belulang, Sambol Halipu, dan Manuk Panggang.

Menurut Tri, penulis novel Kembara Rindu Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik yang pernah tersohor berkat novel Ayat-Ayat Cinta ini, sekarang tengah menyiapkan penulisan novel Kembara Rindu jilid dua.

"Sebenarnya dijadwalkan tanggal 24 Maret kemarin Kang Abik akan datang ke Lampung untuk acara bedah novel Kembara Rindu jilid pertama sekaligus riset untuk cerita novel yang kedua. Tapi nggak jadi gara-gara wabah Corona ini," terangnya.

Kata Tri, jika ingin ke Liwa lalu menjelajahi Lambar, kalau dari Jakarta paling praktis naik pesawat  dari Bandara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng atau Bandara Halim menuju Bandara Radin Inten II, lalu naik mobil travel yang sudah dipesan sebelumnya ke Liwa lebih kurang 6-7 jam overland atau perjalanan darat.

Liwa berada pada ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) sehingga bersuhu udara dingin, karena itu dianjurkan membawa dan mengenakan sweater ataupun jaket saat berkunjung.

Terkait sektor budaya, pariwisata, dan ekonomi kreatif, Tri berharap lewat novel Kembara Rindu yang diterbitkan oleh Republika Penerbit dan diluncurkan di Kampus Itera, Bandar Lampung beberapa waktu lalu, dapat mengangkat semua ragam potensi wisata yang ada di Lambar.

"Mudah-mudahan novel Kembara Rindu jilid satu dan ditambah lagi nanti jilid dua bisa membuat masyarakat Indonesia bahkan mancanegara lebih mengenal daya tarik wisata di bumi beguai jejama sai betik ini, baik itu wisata alam, ekonomi kreatif maupun budayanya," pungkas Tri Umaryani.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
foto: dok.disporapar lambar

Captions:
1. Gunung Pesagi dan sejumlah desa (Pekon) di bawahnya di Kabupaten Lampung Barat (Lambar), Provinsi Lampung yang menjadi salah satu lokasi setting dalam novel Kembara Rindu karya Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik.
2. Inilah novel Kembara Rindu jilid satu dengan 13 subjudul/bab dan setebal 266 hal.
3. Inilah rumah tinggal asli masyarakat Lambar, namanya Lamban.
4. Masjid Bintang Emas atau Masjid Islamic Center Baitul Mukhlisin di kawasan Sekunting Terpadu, Liwa, Ibukota Lambar.
5. Iwa Khanau atau Ikan Nila/Mujair yang diambil dari Danau Ranau lalu dibakar/digoreng dan dicocol dengan Sambol Mattah jadi salah satu masakan khas Lambar. (foto: adji k.)
6. Kang Abik dan Kepala Disporapar Lambar Tri Umaryani mempromosikan novel Kembara Rindu jilid satu dari dwilogi pembangunan jiwa.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP