Pemasangan Sirine Tsunami Berbasis Komunitas di Destinasi Wisata, Itu Penting dan Jadi Solusi
Wilayah Indonesia sebagian besar rawan ragam bencana, termasuk di sejumlah destinasi wisatanya. Gempa disusul tsunami adalah salah satu jenis bencananya. Ketersediaan early warning system” (EWS) berupa sirine peringgatan tsunami di semua destinasi wisata adalah penting dan bisa jadi solusi untuk meminimalisir korban bencana. Sayangnya, harganya sangat mahal.
Hal itu disampaikan Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam acara Diskusi dan Sosialisasi Mitigasi Bencana bertema 'Be Aware, Be Prepare Before Traveling" di A One Hotel Jakarta, Rabu (27/2/2019) siang.
Menurut Sutopo, EWS sesuai standar BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) memang sirine peringatan tsunami sangat mahal karena berbasis satelit atau menggunakan/menyertai dengan teknologi satelit.
"Kalau membangun sirene tsunami seperti punya BMKG hampir Rp 1,5 milyar karena jangkauannya luas," terangnya.
Solusinya dengan membangun sirene tsunami berbasis komunitas. "Kalau semuanya mengandalkan pemerintah itu tidak mungkin, soalnya sangat mahal untuk meng-“cover” seluruh wilayah Indonesia yang sebagian besar rawan bencana," tambahnya.
Sirene tsunami berbasis komunitas, lanjut Sutopo biayanya relatif terjangkau karena jauh lebih murah.
"Biaya pembuatan sirene tsunami berbasis komunitas itu cuma sekitar Rp 50 juta sampai Rp 100 juta dan itu sudah bisa melayani sampai radius 1 Km," ungkapnya.
Komunitas yang dimaksud Sutupo disini, antara lain perhimpunan hotel, resto, tempat hiburan dan lainnya yang ada destinasi wisata.
"Kalau ada hotel, resto atau yang tergabung dalam PHRI kompak membangun sirene tsunami berbasi komunitas, itu sangat bermanfaat karena itu merupakan salah satu bentuk penanggulangan bencana dengan memberi warning kepada wisatawan," terangnya.
Kata Sutopo beberapa wilayah ada yang sudah menerapkan hal tersebut, antara lain di pantai Selatan Pulau Jawa seperti Cilacap, Kebumen, Kulon Progo sampai Bantul.
Selain di hotel dan tempat-tempat strategis, sirene tsunami berbasis komunitas itu juga bisa dipasang di masjid, gereja, dan lainnya.
Contohnya di Bantul, sirine tsunami tersebut dibunyikan pada tanggal 26 setiap bulan, sekaligus sebagai bentuk latihan kepada masyarakat setempat.
Selain kelompok hotel dan lainnya, biaya pembuatan sirine berbasis komunitas juga bisa dibebankan kepada pemerintah daerah.
Hal yang perlu diperhatikan, sirene tsunami berbasis komunitas yang akan dibuat harus disesuaikan dengan karakter tsunami di setiap destinasi wisata atau di seluruh wilayah Indonesia.
Sebab karakternya berbeda-beda. Ada tsunami yang air lautnya surut jauh sebelum tsunami. Ada pula yang langsung tanpa adanya air surut seperti baru-baru ini terjadi di pesisir Banten dan Lampung Selatan.
Mengingat pentingnya keberadaan sirene tsunami, lanjut Sutopo, BNPB mendorong pemerintah dan masyarakat untuk membangun EWS yang berbasis komunitas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang memang rawan bencana, termasuk di destinasi wisata.
Terkait mitigasi bencana, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan pihaknya sudah membuat tim mitigation plan dengan menggunakan standar dunia dari UNWTO.
Kemenpar, lanjutnya juga sudah memiliki SOP yang terbagi dalam tiga tahapan yaitu tanggap darurat, tahap pemulihan/ rehabilitasi, dan tahap normalisasi (recovery).
Tahap tanggap darurat menurut Arief Yahya merupakan masa yang sangat rawan terhadap pemberitaan sesat/informasi keliru (hoax).
Kekeliruan berita tersebut membuat wisatawan trauma dan berpotensi terjadi pembayatan kunjungan.
"Apalagi kalau ditambah dengan adanya travel advisory dari negara-negara sumber wisatawan mancanegara atau wisman. Jika pemberitaan bencana tersebut cepat dan akurat akan mengurangi dampak negatif terhadap pariwisata," terangnya.
Oleh karena itu, Arief Yahya berharap pihak terkait termasuk Pemda untuk tidak seketika menetapkan status bencana di daerahnya, sebab akan berpengaruh besar terhadap kunjungan wisman.
"Begitu Pemda menetapkan status 'darurat', negara-negara sumber wisman itu akan mengeluarkan travel warning atau travel advisor tidak boleh berkunjung ke destinasi wisata itu," terang Arief Yahya.
Diskusi dan sosialisasi mitigasi bencana yang digelar oleh bagian Manajemen Krisis Kepariwisataan, Biro Komunikasi Publik (Komblik) Kemenpar bersama Forum Wartawan Pariwisata (Forwapar), diikuti sekitar 100 peserta dari kalangan wartawan, travel blogger, dan komunitas serta sejumlah nara sumber lainnya.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Data bencana Indonesia 2000-2018 dari BNPB.
2. Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam acara Diskusi dan Sosialisasi Mitigasi Bencana bertema 'Be Aware, Be Prepare Before Traveling" di A One Hotel Jakarta, Rabu (27/2/2019) siang.
3. Menpar Arief Yahya menjelaskan upaya yang telah dilakukan Kemenpar terkait penanggulangan bencana.
4. Para nara sumber berfoto bersama dengan Menpar Arief Yahya.
0 komentar:
Posting Komentar