. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 09 Desember 2017

Inilah Bedanya Solo Traveller Zadul dan Zanow, Tapi Sama-Sama…

Akhir tahun 80-an, zaman dulu alias zadul, ketika masih belasan tahun, saya sudah mulai melakukan apa yang kemudian popular disebut solo travelling. Sewaktu pertama memutuskan sebagai solo traveler, bikin deg-degan lantaran lebih menantang, dan anehnya justru jadi ketagihan sampai zaman now (zanow).

Sebelum berasyik-asyik melakukan solo traveling, saya juga pernah melakukan perjalanan beraroma petualangan dengan beberapa rekan yang sehobi dalam kelompok kecil (small group).

Entah kenapa, lama-lama timbul kejenuhan dan ingin mencoba ber-solo travelling, karena ingin menemukan tantangan baru yang jelas berbeda. Sekali mencoba ber-solo travelling, ternyata saya ketagihan.

Mungkin karena cara itu menyatu dengan jiwa petulangan saya yang cenderung menyukai yang suasana yang lebih hening, asri, apa adanya, dan bernuansa petualangan yang lebih kental.

Sehingga cara berpetualang seperti itu, masih saya lakoni sampai kini, ketika ramai orang menyebut jaman sekarang itu zaman now atau saya singkat zanow, untuk membedakan dengan zaman dulu alias zadul.

Namun intensitas saya ber-solo travelling tepatnya berpetualang sendirian itu memang tak lagi sesering dulu.

Lokasi yang saya tuju untuk berpetualang sendirian dari jadul sampai zanow cukup beragam, dari Jakarta ke beberapa tempat yang semasa itu masih jarang orang tahu dan kunjungi.

Ada sejumlah gunung, pulau terpencil, suku pedalaman/kampung adat, dan lainnya. Namun semua lokasinya masih di dalam negeri, dari Sabang sampai Merauke (bukan dari tanah Abang ke Rawa Bangke yeee…).

Gunung yang pernah saya daki sendiri (solo hiking, benar-benar sendirian dari Jakarta sampai mendaki gunung itu) di akhir 80-an antara lain Gunung Salak (Jawa Barat) lewat jalur Javana Spa (Sukabumi) dan Pasir Reungit (Kabupaten Bogor).

Selanjutnya Gunung Tanggamus (Lampung) lewat jalur Ginsting, Gunung Gede (Jawa Barat) via Cibodas, Gunung Ceremai (Jawa Barat) melalui jalur Linggarjati, Gunung Merapi (Jawa Tengah) lewat Selo, dan Gunung Kelimutu (Flores, NTT) yang puncaknya dikenal dengan nama Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna.

Beberapa gunung lagi, saya daki dengan cara semi solo travelling, maksudnya berangkat dari Jakarta sendirian, kemudian setibanya di kota terdekat atau di desa terakhir gunung tersebut kemudian melakukan pendakian bersama 1 sampai paling banyak 5 pendaki setempat.

Adventuring yang memadukan solo travelling dan together travelling itu saya lakukan saat mendaki Gunung Slamet (Jawa Tengah) untuk kali pertama lewat Jalur Blambangan, bareng 2 pendaki.

Lalu Gunung Semeru (Jawa Timur) via Ranu Pane bersama 3 orang pendaki, lanjut Gunung Bampapuang (Sulawesi Selatan, dekat dengan Toraja) bersama 3 pendaki setempat.

Berikutnya Gunung Seulawah Agam (Aceh) bersama 5 pendaki lokal, Gunung Singgalang (Sumatera Barat) dengan 1 orang pendaki, Gunung Agung (Bali) dengan 3 pendaki, Gunung Rinjani (Lombok, NTB) bersama 3 pendaki, dan Gunung Rajabasa (Lampung) dengan 4 pendaki setempat serta Gunung Krakatau di perairan Selat Sunda (Lampung) bersama 3 pendaki lainnya.

Selanjutnya dua gunung tak popular yaitu Gunung Sanggabuana ( Kabupaten Kerawang, Jawa Barat) dengan 1 pendaki lokal dan Gunung Beuti Canar di perbatasan Garut dan Tasikmalaya (Jawa Barat) bersama 3 pendaki setempat.

Kemudian Gunung Gunung Prau (Dieng, Jawa Tengah lewat jalur Petak Benteng bersama 3 pendaki lokal dan Gunung Marapi (Sumatera Barat) melalui jalur Pasar Koto bersama 2 pendaki setempat pada tahun lalu.

Sementara pulau yang saya sambangi benar-benar sendirian alias solo adventuring adalah Pulau Komodo, Taman Nasional Komodo di Flores, NTT pada tahun 1992 dan beberapa pulau di Kepulauan Seribu (perairan teluk Jakarta) pada tahun 1993.

Sedangkan Kampung Adat Suku Baduy di Banten lewat Ciboleger saya sambangi pertama kali tahun 1994.

Ketika itu saya masih berstatus mahasiswa dan sudah bekerja sebagai penulis lepas atau freelance journalist di beberapa surat kabar dan majalah khusus mengisi rubrik perjalanan wisata dan petualangan.

Persiapan apa yang saya lakukan ketika hendak ber-solo traveling/adventuring mulai akhir 80-an, tentu berbeda dengan masa ketika media sosial (medsos) hadir mewarnai kehidupan zanow.

Namun kedua masa berbeda itu, sama-sama membutuhkan persiapan, baik itu persiapan fisik, mental maupun perencanaan pra perjalanan.

Di zadul, sewaktu belum belum ada HP, email, internet apalagi medsos, saya mempersiapkan para perjalanan dengan cara mencari informasi lokasi yang saya tuju lewat surat kabar dan pihak terkait yang ada di lokasi bersangkutan dengan berkirim surat kertas via kantor pos.

Misalnya sewaktu saya hendak ke Taman Nasional Kelimutu dan Taman Nasional Komodo di Flores tahun 1993, beberapa bulan sebelum berangkat, saya mengumpulkan data terkait kedua taman nasional tersebut lewat koran dan majalah serta buku, karena ketika itu belum ada media online apalagi sosmed.

Akhirnya saya mendapatkan alamat kedua kantor taman nasional tersebut yang dulu masih berlabel balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA).

Setelah itu saya mengirimkan surat berstempel pos untuk mengabarkan soal rencana saya mengunjungi ke dua Taman Nasional tersebut.

Setelah mendapat balasan surat, saya segera berangkat sendirian dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Pelabuhan Ende di Ende, Flores, dan sempat transit di Pelabuhan Tanjuk Perak, Surabaya. Pokoknya benar-benar backpacker-an bingits.

Beda lagi saat mendaki Gunung Seulawah Agam, Bampapuang, Rajabasa, Agung, Singgalang, dan Marapi. Sebelum berangkat saya menghubungi pendaki setempat lewat pertemanan di Facebook (FB). Baru kemudian mendaki bersama dengan satu sampai paling banyak 5 orang pendaki saja.

Jujur saja, sejak dulu saya memang bukan tipe pendaki rombongan, dan tidak terlalu suka melakukan pendakian massal (penmas) sebagaimana yang nge-trend beberapa tahun belakangan ini semenjak era sosmed hadir.

Seingat saya, cuma sekali saya pernah membuat penmas ke Gunung Gede yang diikuti sebanyak 40 orang pada akhir tahun 80-an dan pernah mengikut penmas rancangan orang lain ke Merbabu tahun 2000-an.

Ada juga solo travelling yang saya lakukan tanpa menghubungi pendaki lokal setempat untuk mendaki bersama. Seperti misalnya sewaktu melakukan pendakian ke Gunung Merapi dan Ceremai.

Saya datang sendirian dan di sana tak punya teman pendakian bareng dari desa terakhir. Saat melakukan pendakian di kedua gunung tersebut, saya bertemu 2-3 pendaki lain lalu kenalan dan akhir mendaki bareng sampai puncak. Tapi turunnya tetap sendirian lagi.

Cara itu memang terasa jauh lebih menantang namun saya sarankan sebaiknya tidak dilakukan oleh pendaki pemula, dan jangan murni solo traveller.

Kalau mau mencoba, cobalah dulu semi solo traveller, yakni boleh saja berangkat sendirian dari kota asal, kemudian mengontak teman untuk melakukan perjalanan/pendakian bersama, minimal dengan satu orang tapi sebaiknya small group.

Lalu bagaimana dengan sara travel blogger zanow yang pernah melakukan solo travelling maupun semi solo travelling?

Kadek Arini, travel blogger perempuan kekinian yang pernah solo travelling ke China mengungkapkan ada dua hal yang harus diperhatikan jika ingin ber-solo travelling.

“Pertama cari tahu dulu lokasi yang ingin didatangi lewat sosmed, blog, youtube, media online dan lainnya sebelum jalan. Kedua persiapin soal keamaan, terutama buat cewek seperti membawa semprotan serbuk cabe dan lainnya,” ungkap Kadek di acara Millennials Talks (M-Talks) bertajuk “Travelling Ala Kids Zaman Now” yang digelar Rumah Millennials di Galersi Smartfren Sabang, Jakarta Pusat, Sabtu (9/12/2017).

Era millineals ini, lanjut perempuan berambut panjang lurus dan hitam ini diuntungkan karena sudah ada medsos.

“Aku kalau mau solo travelling sudah asti persiapan lebih matang daripada pergi bareng temen, misalnya googling, cari tahu di blog orang mengenai lokasi yang akan saya ingin kunjungi, biar sesampainya di lokasi nggak plangak-plonggok kayak orang bego,” ungkap Kadek yang pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan saat ber-solo travelling di China beberapa waktu tahun lalu dan mengaku kapok.

M-Talks yang dibuka oleh Asisten Deputi (Asdep) Strategi Pemasaran Pariwisata Nusantara, Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) sekaligus memberi kata sambutan ini, juga menghadirkan travel blogger Asoka Remadja.

Menurut travel blogger pria yang kerap berpakaian nyentrik ini kalau ingin ber-solo travelling sebaiknya harus dilihat dulu mau ke lokasi kepulauan atau kepegunungan.

“Kalau ke kepulauan tidak direkomendasikan solo travelling karena biaya untuk nyebrang dan kemana-mana itu lebih tinggi, kecuali kita punya banyak waktu bisa naik kapal ferry yang biayanya cukup murah. Konsekuensinya memakan waktu yang lebih Panjang,” terangnya.

Kalau ke gunung, boleh saja ber solo-traveling. “Saya termasuk tipe yang senang ber-solo travelling dari Jakarta sendiri. Tapi tidak menutup kemungkinan ketika datang ke suatu tempat, lalu saya bergabung dengan beberapa orang untuk melakukan perjalanan bersama agar biaya perjalanan tidak terlalu tinggi, karena bias sharing cost,” ujarnya.

Jadi kalau yang ingin menekan budget perjalanan, sebaiknya melakukan perjalanan bersama, meskipun dari kota asal berangkat sendirian.

“Selain budget, keamanannya jadi lebih terjaga. Karena semakin banyak orang semakin aman dan perjalananan jadi semakin seru,” terangnya.

Tapi kalau punya dana cukup, dan benar-benar enjoy ber-solo travelling murni, ya silahkan lakukan.

“Asalkan sebelumnya sudah mendapatkan informasi tentang daerah yang dituju lewat internet supaya tidak ‘buta’ sama sekali dan juga mempersiapkan dari sisi keamanannya,” tambah Asoka.

Dari uraian pengalaman saya yang mewakili jurnalis/travel blogger sekaligus traveller zadul dan Kadek serta Asoka yang mewakili travel blogger sekaligus traveller zanow, bisa ditarik kesimpulan keduanya sama-sama membutuhkan persiapan pra perjalanan, baik itu solo travelling maupun semi solo travelling.

Hanya saja media yang digunakan untuk mengumpulkan informasi, itu berbeda. Kalau zadul informasi didapat terbatas dari media cetak dan atau orang yang pernah melakukan perjalanan tersebut maupun pihak terkait yang berada di lokasi lewat komunikasi surat konvensional.

Sementara zanow bisa lewat beragam medsos (FB, Twitter, Instagram), youtube, blog, media online serta bisa berkomunikasi cepat lewat email, WA, video call, dan lainnya.

Jadi solo traveller zanow lebih dipermudah dan diuntungkan dengan adanya keberagaman dan kecepatan akses informasi sebagai salah satu ciri dari era generasi millennials dibanding solo traveller zadul.

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto: adji & sobatkembara

Captions:
1. Saya saat di Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo, Flores, NTT.
2. Saya berselimut kabut di Telaga Dewi, Gunung Singgalang, Sumbar.
3. Saya di salah satu puncak Gunung Marapi, Sumbar.
4. Saya saat pendakian Gunung Singgalang.
5. Di atap Gunung Prau di dataran tinggi Dieng, Wonosobo bersama 3 pemuda lokal.
6. Di puncak Gunung Beuti Canar di perbatasan Garut-Tasikmalaya, Jabar bersama 3 pendaki setempat.
7. Pendakian ke Gunung Rajabasa, Lampung dengan 4 pendaki muda lokal.
8.  Usai saya menuruni atap lerang Gunung Krakatau, Lampung.
9. Saat ikut pendakian rombongan ke Gunung Merbabu, Jateng.
10. Para travel blogger saat sharing soal ber-solo travelling zaman now.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP