. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Senin, 15 Agustus 2016

Dan Bendera Pesona Indonesia pun Terbentang Gagah di Atap Danau Tiga Warna

Menggaungkan Pesona Indonesia yang menjadi branding Pariwisata Indonesia di dalam negeri, bisa dilakukan dengan banyak cara. Lewat tulisan, foto, dan tayangan di beragam media massa termasuk berbagai media advertising, juga melalui lagu, dan pementasan kesenian tradisional. Bisa juga lewat konser musik, bermacam even budaya, dan sport tourism, termasuk membentangkan bendera branding tersebut di atap gunung. Cara terakhir tersebut, baru-baru ini sukses terwujud.

Disela-sela meliput lomba trekking di kawasan Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi bagian dari even tahunan Sepekan Pesta Danau Kelimut 2016, TravelPlusIndonesia bersama rekan-rekan dari Kementerian Pariwisata (Kemenpar), khususnya Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, berhasil membentangkan bendera Pesona Indonesia di atap danau yang bertengger di puncak Gunung Api Kelimutu.

Kebetulan even Sepekan Pesta Danau Kelimutu 2016 yang diselenggarakan Pemkab Ende, mendapat dukungan dari Kemenpar.

Di tepian danau berwarna hijau toska, yang oleh warga setempat/Suku Lio disebut Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (dalam Bahasa Lio) atau danau yang menjadi tempat bersemayamnya jiwa muda-mudi yang meninggal, Bendera Pesona Indonesia berwarna Biru Tua dengan tulisan Pesona Indonesia berwarna putih dan logo sketsa Burung Garuda yang juga berwarna putih, terbentang dengan gagahnya.

Perdo (pihak Event Orgaizer atau EO dari PT Kolbano), Ella, Oji, dan Defi kebagian memegang bendera tersebut. Sementara saya, Iqbal Alamsjah (Kepala Humas Kemenpar), Eksan, Butet, Yanto, dan Vessy berdiri di belakang, tak kebagian memegang bendera, lantaran tempatnya terbatas.

Edo dan Gerry yang kebagian memotret, terlihat kesulitan mencari posisi yang pas untuk mengabadikan momen itu. Alhasil beberapa foto jepretan Edo tidak menampilkan bendera tersebut secara utuh, alias terpotong.

Belum puas foto bersama dengan bendera biru tua itu, saya bergegas ke puncak danau sebelahnya yang dinamakan Tiwu Ata Mbupu atau danau yang menjadi tempat jiwa-jiwa orang tua yang meninggal. Warna airnya hampir mirip dengan air danau di sampingnya tapi hijau kebiru-biruan.

Untuk sampai ke puncak danau tersebut, saya berjalan di luar pagar pembatas, sesuai pesan Bernadus Dei, salah seorang staf bagian umum Balai Taman Nasional Kelimutu (BTNK) saat bertemu di Kota Ende, dua hari sebelumnya.

Pagar terbuat dari besi itu menurut Bernadus yang tak lain Mosa Laki Pu’u atau Ketua Adat dari Kampung Adat Wolotopo di Kecamatan Ndona, Kabupaten Ende, sengaja dipasang pengelola BTNK sejak tahun 2012 untuk mengamankan pengunjung dari kemungkin terjatuh atau terperosok ke danau-danau itu. Maklum saja masing-masing danau berjurang setinggi sekitar 50 - 150 meter dengan sudut kemiringan dindingnya hingga 70 derajat.

Bernadus sempat bercerita beberapa tahun sebelum pemasangan pagar itu, ada tiga orang pengunjung yang kabarnya bunuh diri terjun ke danau tersebut karena stress, pada waktu yang tidak bersamaan.

Ketika melihat banyak pengunjung yang masih nekat walau sudah dipagari, saya memprediksi pengunjung yang menurut Bernadus itu jatuh ke dalam danau itu, bukanlah bunuh diri melainkan terpeleset karena kesembronoan, kenekatan, dan ketidakhati-hatian.

Oleh karena itu kemudian pihak BTNK memberi pagar dan beberapa tanda peringatan berbahasa Inggris berbunyi “Please Stay On Trail” dan “Landslide Hazard Area”.

Setibanya di atap puncak danau kedua, ada seorang turis pria bule asal Perancis yang tengah duduk menyendiri di atap bongkahan batu yang menjorok ke arah danau. “Nekat juga tuh bule,” kataku dalam hati.

Dia terlihat diam dan tenang seperti tengah bersemedi. Dia tak peduli ada dua turis asal Perancis lainya yang tengah mengabadikan pesona danau tersebut. Begitupun dengan kehadarian saya.

Tak lama kemudian, Butet menyusulku sendirian. Perempuan berkulit putih berdarah Batak bernama lengkap Florida Pardosi ini tak kuasa melihat pesona danau ini hingga minta diabadikan beberapa kali.

Butet yang tak lain Kasubbid Promosi Eko Wisata, Kemenpar pun minta diabadikan dekat bule yang ‘bertapa’ itu.

Mungkin karena merasa terusik, bule itupun permisi meninggalkan lokasi ‘pertapaannya’.

Saya kira bule itu turun lalu menuju danau berikutnya, ternyata dia hanya berpindah ke posisi lain. Dia duduk di tepian danau tersebut, lagi-lagi menyendiri, menjauh dari pengunjung lain. Kedua kakinya menjuntai ke bawah.

“Ah nih bule benar-benar aneh dan nekat. Mungkin pengunjung seperti ini yang akhirnya terpeleset lalu jatuh ke danau,” pikirku lagi.

Maklum tidak ada seorang petugas pun yang mengawasi pengunjung yang kadang kurang hati-hati dan kerap melakukan berbagai cara untuk mendapatkan foto narsis yang ‘spektakuler’ tanpa meperhitungkan keselamatannya.

Tak lama berselang, Edo datang. Dia staf PT Kolbano yang menjadi EO untuk kegiatan peliputan even Sepekan Pesta Danau Kelimutu 2016 ini. Kebetulan Edo asli kelahiran Ende yang kini menetap di Jakarta.

Saya pun meminta pria berkepala plontos ini untuk mengabadikan saya sambil memegang bendera Pesona Indonesia berlatar belakang danau tersebut. Butet pun ikut foto bareng dengan saya sambil membentangkan bendera tersebut.

Aksi kami itu sempat mejadi perhatian beberapa turis bule lain, termasuk bule penyendiri itu dari kejauhan.

Selain berhasil membentangkan Bendera Pesona Indonesia, saya juga meminta Edo mengabadikan saya sambil memakai kain tenun berwarna merah miliknya.

“Ini kain tenun pemberian Ibu saya om. Kemanapun pasti saya bawa. Kalau saya memakainya seperti saya dalam pelukan Ibu saya,” kata Edo, so sweet.

Ucapan Edo itu sempat membuat saya kaget sekaligus kagum. Ternyata biar tampangnya angker, hatinya lembut. Butet pun tertarik dan ikut mengenakan kain tenun itu untuk difoto.

Rupanya sang pemilik kain tenun itu ‘iri’. Dia pun meminta saya mengabadikannya sambil mengenakan kain tenun kesayangannya itu. Bukan cuma sekali Edo minta tolong diabadikan tapi beberapa kali, baik tampak muka maupun tampak belakangnya.

Ella kemudian datang, perempuan berhijab yang kerap membacakan saritilawah untuk kegiatan halal bihalal di Kemenpar ini pun minta diabadikan dengan latar belakang danau itu.

Puas bernarsis ria, kami melanjutkan ke danau berikutnya sekaligus menjadi puncak Kelimutu yang ditandainya sebuah triangulasi.

Danau yang berwarna hijau kehitaman tersebut diberi nama Tiwu Ata Polo atau danau yang menjadi tempat jiwa-jiwa orang jahat yang meninggal. Tiwu sendiri dalam bahasa setempat berarti danau.

Dari ketiga danau tersebut, yang paling sering berubah warna adalah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai.

Menurut warga setempat, hal ini dimungkinkan karena jiwa muda-mudi yang menempati danau ini masih labil sehingga mempengaruhi perubahan warna air danau.

Untuk mencapai triangulasi di tepian danau tersebut, pengunjung harus menapaki undakan yang diberi pagar besi.

Sebelum menapaki undakan, Edo mengajak Butet dan Ella ke sebuah batu tempat masyarakat Lio meletakkan sesajen dalam Ritual Pati Ka atau ritual adat memberi sesajen kepada arwah para leluhur dan nenek moyang yang dilakukan setiap tahun, setiap tanggal 14 Agustus.

Saya sendiri masih asyik mengulik informasi dari Mamah Maria (59), salah seroang pedagang makanan dan minuman ringan di kawasan Kelimutu. Kemudian saya menyusul ke batu peletakan sesajen itu. Di atas batu itu ada beberapa batang rokok.

Sewaktu saya menaiki undakan menuju triangulasi, saya melihat ada pengunjung perempuan bule yang berjalan kaki sendirian. Dia berjalan dari atap danau kedua, tempat kami berfoto menuju undakan ke triangulasi.

Rupanya perempuan itu potong kompas, padahal sudah ada larangan bahwa pengunjung harus patuh di jalur trek yang sudah disediakan.

Saat berada di atap danau kedua, saya sempat berniat potong jalan ke triangulasi. Tapi lantaran teringat wanti-wanti Bernadus Dei, jadi urung.

Sebelum tiba di triangulasi, saya bertemu lagi dengan bule penyendiri di atas danau kedua tadi.

Tak disangka tiba-tiba dia bertanya dalam Bahasa Inggris beraksen Perancis yang artinya kurang lebih begini. “Sori, tadi Anda membentangkan bendera apa itu,” tanyanya.

Saya pun menjawabnya dalam Bahasa Inggris ala kadarnya yang berarti begini. “Oh bendera ini milik Kementerian Pariwisata (sambil menunjukkan bendera yang dia maksud tadi). Ini bendera branding Pariwisata Indonesia untuk dalam negeri bertuliskan Pesona Indonesia. Kalau untuk di luar negeri, branding-nya berlabel Wonderful Indonesia,” jelasku.

“Oh begitu, terimaksih infonya,” jawab bule aneh dan penyendiri itu. Setibanya di triangulasi, saya tidak langsung membentangkan bendera Pesona Indonesia. Perut saya minta diisi lebih dulu, maklum belum sarapan.

Untungnya di pelataran triangulasi itu ada lima pedagang dari Suku Lio yang menjajakan panganan dan minuman ringan.

Tak banyak pilih, saya langsung meminta satu mie dalam kemasan yang dijajakan Mamah Anastasia (40), harganya  Rp 10 ribu. Juga segelas minuman coklat susu dalam kemasan dari pedagang lain dengan harga juga Rp 10 ribu.

Begitupun dengan Butet dan Ella memilih memesan mie kemasan tersebut. Kami sengaja tidak membeli di satu pedagang, melainkan di beberapa pedagang, biar semua kecipratan rezeki.

Di puncak Gunung Kelimutu itu, kami menyantap sarapan mie kemasan sambil melihat dua Danau Kelimutu dari kejauhan dan satu Danau Kelimutu lagi di dekat triangulasi.

Menu sarapannya memang amat biasa, tapi lokasi dan suasananya sangat luar biasa. Maklum Danau Kelimutu merupakan objek eko wisata berkelas dunia yang diburu banyak wisatawan mancanegara (wisman), terutama dari Eropa.

Di triangulasi yang menjadi puncak gunung aktif ini, saya membentangkan Bendera Pesona Indonesia lagi. Sayangnya tidak ada yang mengabadikan lantaran Butet, Yanto, Oji, dan Edo sudah turun lebih dulu. Tinggal Ella, Vessy, dan Defi tapi mereka masih sibuk berpose, diabadikan Gerry bak para model.

Saat membentangkan bendera itu, sejumlah turis asing dan wisatawan nusantara (wisnus) pun nampak memperhatikan bendera itu. Rupanya mereka terpikat.

Selain wisman asal Perancis yang mendominasi kunjungan pagi di triangulasi Kelimutu itu, juga ada turis dari Belanda, Jerman, Inggris, dan Spanyol.

Aksi membentangkan bendera Pesona Indonesia di puncak Kelimutu, tepatnya di atap ketiga danaunya yang berbeda warna itu, tak bisa dipungkiri turut mempromosikan dan menggaungkan branding pariwisata Indonesia lebih me-Nasional bahkan mendunia.

Soalnya banyak wisnus dan wisman di kawasan konservasi itu. Terlebih jelang dan saat Ritual Adat Pati Ka yang menjadi acara penutup sekaligus puncak acara Sepekan Pesta Danau Kelimutu tahun ini.

Salam Lestari Budaya, Salam Pesona Indonesia.., Wonderfuuuullll

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
Foto: adji & edo

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP