Kisah Mistis Dua ‘Harimau’ Penjaga Gerbang Makam Raja Panjalu
Kalau Anda bertandang ke pulau kecil berstatus Cagar Alam Nusa Gede di tengah danau cantik bernama Situ Lengkong Panjalu di Ciamis, pasti akan bertemu dengan dua patung harimau besar di pintu masuk. Dua harimau yang menjadi penjaga gerbang makam Prabu Hariang Kencana atau Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar yang tak lain Raja Panjalu sang penyebar Islam di Ciamis itu, konon bercerita mistis yang dikenal dengan kisah Maung Panjalu.
Sewaktu Travelplusindonesia berkunjung ke Situ Lengkong usai meliput Festival Wisata Budaya Religi Manaqib di Pondok Pesantren (Ponpes) Sirnarasa, Sabtu (19/3), terus terang lebih tertarik mengulik data tentang kisah Maung Panjalu itu, dibanding wisata ziarahnya.
Berbagai data penulis kumpulkan termasuk dari buku Sejarah Panjalu yang dijual di dekat makam seharga Rp10 ribu per buku.
Ternyata kisah Maung Panjalu ini berlatarbelakang hubungan cinta antara dua anak manusia berbeda kerajaan yakni Pajajaran (Sunda) dan Majapahit (Jawa), dua kerajaan besar di tanah Jawa. Maung artinya harimau dalam bahasa Sunda.
Menurut Babad Panjalu kisah Maung Panjalu berawal dari Dewi Sucilarang puteri Prabu Siliwangi (Pajajaran) yang dinikahi Pangeran Gajah Wulung putera mahkota Raja Majaphit Prabu Brawijaya yang diboyong ke Istana Kerajaan Majapahit.
Saat usia kandungan Dewi semakin mendekati persalinan, ia meminta agar dapat melahirkan di tanah kelahirannya di Pajajaran. Suaminya pun menindahkan dan mengantarkan rombongan istrinya mudik dikawal tentara kerajaan.
Ketika sampai di hutan belantara Panumbangan, Kerajaan Panjalu, rombongan bermaalam dengan mendirikan beberapa tenda. Di tengah malam, Dewi Sucilarang melahirkan dua orang putera-puteri kembar, yang lelaki diberi nama Bongbang Larang dan yang perempuan Bongbang Kancana.
Ari-ari kedua bayi itu disimpan dalam sebuah pendil atau wadah terbuat dari tanah liat, dan diletakkan di atas sebuah batu besar. Kedua cucu kembar dari Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran itu kemudian tumbuh di lingkungan Keraton Pakwan Pajajaran.
Keduanya sama-sama ingin bertemu ayahnya di Majapahit. Karena tak mendapat izin, keduanya diam-diam minggat untuk menjumpai sang ayah.
Si kembar ini menempuh perjalanan panjang. Saat beristirahat di belantara kaki Gunung Sawal, masih di Kabupaten Ciamis, keduanya kehausan lalu mencari sumber air.
Mereka mendapati sebuah pendil berisi air di atas sebuah batu besar yang sebenarnya adalah bekas wadah ari-ari mereka sendiri.
Keduanya kemudian berguru dengan orang sakti bernama Aki Garahang di padepokannya, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Namun keduanya melanggar aturan guru dengan mandi di kolam berisi aneka ikan warna-warni. Si kembar Bombang ini seketika berubah jadi harimau.
Kedua harimau kembar jadi-jadian itu pun kemudian meneruskan pengembaraannya hingga berhasil menemui ayah mereka yang sudah menjadi Raja Majapahit. Ayah Maung Panjalu itu terharu mendengar kisah perjalanan putera-puteri kembarnya itu.
Sang Prabu kemudian memerintahkan Bongbang Larang untuk menetap dan menjadi penjaga di Keraton Pajajaran, sedangkan Bongbang Kancana diberi tugas untuk menjaga Keraton Majapahit.
Namun banyak orang percaya keduanya tinggal di hutan Panjalu di pulau yang berada di tengah Situ Lengkong tersebut. Kabarnya sampai sekarang, beberapa warga di sekitar Panjalu masih melihat harimau di hutan. Warga menganggap kucing loreng besar itu adalah harimau jadi-jadian Bombang Larang dan Bombang Kencana yang sedang berjaga-jaga.
Berkat kedua harimau ‘siluman' itu orang pun takut menebang pohon apalagi merusak hutan. Hmmm.. sebuah kearifan lokal (local wisdom) di balik kisah mistis bermuatan ramah lingkungan yang berhasil menjaga kelestarian hutan dan keberadaan sumber mata air setempat.
Usai berkunjung ke pulau itu, beberapa pengunjung yang tertarik dengan kisah Maung Panjalu, biasanya membeli kaos bertuliskan Maung Panjalu atau Prabu Hariang Kencana di deretan toko suvenir yang berhadapan dengan tempat parkir kendaraan.
Tidak jauh dari tempat parkir ada monumen perjuangan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I tahun 1947 yang bertempur di Panjalu.
Di dekat tempat parkir, juga ada rumah makan dan penginapan sederhana. Penginapan tersebut bisa menampung hingga 60 orang dengan tarif Rp 300 ribu per malam per rombongan.
Situ Lengkong Panjalu berada di Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Lokasinya di jalan alternatif dari Kawali, Ciamis yang tembus ke Gentong, Tasikmalaya. Bisa juga dari arah Gentong, belok di pertigaan yang menuju Ponpes Suryalaya lalu teruskan sampai di danau seluas 57,95 hektar itu.
Tiket masuk ke situ ini Rp 15.000 per mobil. Anehnya di tiketnya tertulis Rp12.500. Mungkin Rp 2.500-nya itu untuk parkir tapi tiket parkirnya tidak ada.
Pengunjung yang ingin mengelilingi danau kemudian ke pulau itu bisa menyewa perahu bermotor sekitar Rp 200 ribu yang mampu menampung hingga 30 orang. Pilihan lain perahu dayung Rp 150 ribu. Bisa juga bersepeda bebek dengan sewa per satu jam Rp 50 ribu untuk dua orang.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar