. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 03 Desember 2015

Menghitung Keistimewaan Candi Cangkuang Garut

Di Garut memang ada candi ya? Tanya seorang rekan media ketika tengah meliput obyek-obyek wisata di wilayah Garut. Pertanyaan itu membuktikan masih banyak orang, bahkan jurnalis yang tidak tahu bahwa di wilayah Garut memang benar ada candi, namanya Candi Cangkuang. Maklum selama ini kalau bicara soal candi, orang pasti lebih mengingat Jogja dan Jawa Tengah lantaran di kedua wilayah itu berdiri candi berukuran besar dan gagah yakni Borobudur, Prambanan, dan candi-candi lainnya yang sudah mendunia namanya. 

Candi Cangkuang di Garut merupakan candi peninggalan Agama Hindu yang diperkirakan didirikan pada abad ke-8 M namun baru ditemukan pada tahun 1966. Kendati berukuran kecil, candi mungil ini punya banyak keistimewaan. 

Keistimewaan Candi Cangkuang di Kampung Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat ini terletak pada lokasinya. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan (pandanus furcatus), yang banyak terdapat di desa tersebut. Daun Cangkuang biasa dimanfaatkan warga setempat untuk membuat tudung, tikar, dan pembungkus.

Desa Cangkuang berada di lembah subur di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi pegunungan dengan empat gunung berukuran lumayan besar yakni Gunung Haruman, Kaledong, Mandalawangi, dan Gunung Guntur.

Yang lebih istimewa lagi Candi Cangkuang yang kini berstatus cagar budaya berada di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari Barat ke Timur dengan luas 16,5 hektar di tengah danau kecil atau situ dalam Bahasa Sunda. Jadi untuk mencapainya tak ada pilihan, pengunjung harus menyeberang dengan menggunakan rakit bambu khas Cangkuang yang cukup panjang dan memiliki atap untuk melindungi pengunjung dari panas dan hujan. 

Semua daratan Candi Cangkuang dikelilingi seluruhnya oleh situ yang luasnya 25 hektar, akan tetapi kini hanya bagian Utara yang masih berupa danau, bagian Selatannya telah berubah menjadi lahan persawahan. Keberadaan gunung-gunung, situ, pulau mungil, serta rakit menawarkan pemandangan khas dan menawan.

Keistmewaan lain, selain candi, di pulau itu juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari kawasan cagar budaya. Di dekat Candi Cangkuang, sekitar tiga meter terdapat makam Embah Dalem Arief Muhammad, leluhur Kampung Adat Pulo. 

Kampung adat ini memiliki keunikan tersendiri karena sejak abad ke-17M, jumlah kepala keluarga (KK) yang menghuninya tidak berubah, tetap enam KK dan semuanya merupakan keturunan Embah Dalem Arif Muhammad. 

Dulunya Embah Arief Muhammad ini merupakan utusan dari Kerajaan Mataram yang ditugaskan untuk menyerang VOC di Batavia, namun penyerangannya gagal. Karena malu dan takut untuk kembali ke Kerajaan Mataram, dia beserta pengikutnya memutuskan untuk tinggal di Kampung Pulo dan kemudian menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang dan sekitarnya. .

Arif Muhammad dianugerahi tujuh anak terdiri atas satu laki-laki dan enam perempuan. Sesuai bangunan di Kampung Adat Pulo yang terdiri atas satu masjid dan enam rumah. Enam rumah menggambarkan anak perempuan sedangkan masjid menggambarkan seorang anak laki-laki.

Ketika ada keturunan di Kampung Adat Pulo yang sudah menikah, maka maksimal dua minggu dari pernikahan itu harus ke luar dari Kampung Pulo. Kalau ada yang meninggal, salah satu keturunan yang perempuan boleh kembali lagi ke Kampung Pulo. Harus anak perempuan karena Kampung Pulo menganut sistem matrilineal sebagaimana Suku Minangkabau. 

Keistimewaan berikutnya, Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sejatinya hasil rekayasa rekonstruksi. Bangunan aslinya hanya 40%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui. 

Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita berdasarkan laporan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genotschap terbitan tahun 1893. 

Para peneliti melakukan penggalian dan berhasil menemukan fondasi candi berkuran 4,5 x 4,5 meter dan batu-batu candi lainnya yang berserakan. 

Proses pemugaran Candi dimulai pada tahun 1974-1975 dan pelaksanaan rekonstruksi dilaksanakan pada tahun 1976 yang meliputi kerangka badan, atap, dan patung Syiwa serta dilengkapi dengan sebuah joglo museum dengan maksud untuk dipergunakan menyimpan dan menginventarisir benda-benda bersejarah bekas peninggalan kebudayaan dari seluruh Kabupaten Garut. 

Hasil pemugaran tahun 1974 ditemukan kembali batu candi yang merupakan bagian-bagian dari kaki candi. Kendala utama rekonstruksi candi ini, batuan candi yang ditemukan hanya sekitar 40% dari aslinya, sehingga batu asli yang digunakan merekonstruksi bangunan candi tersebut hanya sekitar 40%. Selebihnya dibuat dari adukan semen, batu koral, pasir, dan besi. 

Keistimewaan lagi asal-usul Candi Cangkuang masih menjadi tanda tanya sampai kini. Berdasarkan penelitian, para ahli hanya menduga bahwa Candi Cangkuang didirikan pada abad ke-8 M, didasarkan pada tingkat kelapukan batuannya, serta kesederhanaan bentuknya yang tidak berelief. 

Di dalam candi setinggi 8,5 meter ini terdapat arca Siwa setinggi 40 sentimeter dengan kedua lengan yang patah.

Saat berkunjung ke Candi Cangkuang, wisatawan bisa melihat naskah-naskah kuno seperti Alquran dan naskah khutbah Idul Fitri yang berada di Situs Museum Cangkuang. 

Naskah-naskah kuno tersebut bahannya menggunakan daluang atau dluwang dalam Bahasa Jawa yakni kertas tradisional dari bahan kulit Pohon Saeh. Tak cuma itu, wisatawan juga juga bisa belajar bagaimana cara membuat daluang. 

Koordinator Juru Pelihara Situ Cangkuang, Zaki Munawar menjelaskan daluang terbuat dari Pohon Saeh berumur satu sampai dua tahun dan tak bercabang dengan diameter tak lebih dari 20 sentimeter lalu diambil bagian kulitnya untuk dijadikan kertas. Cara pembuatan daluang secara tradisional. Sebelum kulit Pohon Saeh direndam selama tiga hari. Seteleh itu dipukul-pukul hingga melebar menjadi kertas. Kulit yang sudah dipukul-pukul ini harus direndam lagi dengan dibungkus daun pisang selama empat sampi enam hari untuk menutup bagian kertas yang bolong. 

Sepulang dari Candi Cangkuang, pengunjung dapat membeli aneka kerajinan tangan di deretan kios sebelum memasuki Kampung Adat Pulo dan Candi Cangkuang. Ada replika Candi Cangkuang dan rakit dari kayu, gantungan kunci, tas, kaos, topi, layang-layang,dan masih banyak lainnya. Tak ketinggalan warung kopi dan makanan kecil.

Satu keistimewaan lainnya, pengunjung dapat membeli Burayot, kue khas Cangkuang sebagai oleh-oleh. Burayot terbuat dari tepung beras, gula aren merah, dan santan kelapa. Rasanya manis dan agak renyah. Bentuk kuenya bulat lonjong dengan warna kecoklatan, sepintas mitrip getuk goreng. 

Dinamakan Burayot. karena ketika adonan tepung beras ini digoreng, lalu diangkat dengan batang bambu kecil sehingga kulit kuenya tertarik ke atas dengan tepung gulanya menggantung di bagian bawah kue. Oleh orang Sunda menyebutnya 'ngaburayot'. 

Di sekitar pintu loket Obyek Wisata Candi Cangkuang, banyak warga yang menjual kue ini di kios-kios. Burayot aneka rasa biasanya dijual dalam wadah plastik besar dan kecil. Harganya Rp 7.500 untuk wadah kecil dan Rp 15.000 per wadah besar yang berisi 20 kue Burayot. 

Candi Cankuang juga mudah dijangkau. Lokasinya hanya berjarak berjarak sekitar 17 Km dari Kota Garut atau sekitar 46 Km dari Kota Bandung. Obyek ini buka setiap hari sejak, mulai pukul tujuh pagi sampai pukul lima sore. Tiket masuknya pun cuma Rp 3 ribu untuk wisnus dan Rp 5 ribu untuk wisman. Pengunjung yang ingin mendengar kisah lengkap Kampung Pulo serta Candi Cangkuang sambil keliling kampung, bisa menggunakan jasa pemandu namun dikenakan biaya tambahan. 

Pengunjung yang ingin bermalam, tak perlu khawatir di sekitar obyek ini sudah ada beberapa penginapan antara lain Penginapan Keluarga Situ Cangkuang dengan harga terjangkau. 

Jika ingin menikmati makanan khas Sunda, juga sudah ada Rumah Makan Sari Cobek yang cukup besar, dilengkapi ruang pertemuan, arena bermain anak, pemancingan, tempat parikir yang luas, toilet, dan musola serta penginapan terdiri atas bungalow dan beberapa kamar standar. Di samping rumah makan tersebut berdiri sebuah masjid berarsitektur simpel modern. 

Melihat sejumlah keistimewaan Obyek Wisata Cagar Budaya Candi Cangkuang, tak heran kalau pengunjungnya selalu ramai pada akhir pekan, terlebih pada musim liburan. Bukan hanya pelajar, mahasiswa, para peneliti, dan awak media, pun wisatawan dari dalam dan luar negeri. 

Naskah &foto: Adji Kurniawan (kembaratropis@yahoo.com) 

Captions: 
1. Candi Cangkuang Garut 
2. Naik rakit bambu khas Cangkuang 
3. Kampung Adat Kampung Pulo 
4. Wisatawan tengah berfoto di Candi Cangkuang 
5. Plang keterangan sejarah penemuan Canding Cangkuang
6. Membuat kertas dari kulit kayu Pohon Saeh di Situs Museum Cangkuang 
7. Replika Candi Cangkuang dari kayu buat oleh-oleh
8. Penginapan di dekat obyek Wisata Candi Cangkuang.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP