. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 10 Januari 2015

Menembus Kabut Gunung Batu, Bertemu “Puncak Penampakan”

Wrrrrr..., begitu suara angin menerpa raincoat-ku. Badanku sempat goyah diterpa deru kerasnya. Ransel ku lepas, termasuk sepatu. Medan semakin licin dan menanjak. Terpeleset sedikit, tubuh dijamin bakal jatuh ke jurang ratusan meter yang dasarnya tak nampak sama sekali, tertutup kabut tebal. 

Berada dalam kondisi seperti itu, bukan lagi fisik yang bicara tapi lebih dominan mental. Pengalaman mendaki beberapa gunung saat diserang badai kabut, membuatku pantang menyerah. Dan akhirnya aku berhasil menggapai puncak awal Gunung Batu dalam balutan kabut yang tak kunjung redup. 

Saat berada di puncak awal, kabut tebal benar-benar tak memberi sedikitpun celah cahaya agar ku bisa melihat panorama senja terakhir 2014. “Kenapa ya?” tanya hati kecilku.

Upayaku hanya berdoa. Tapi doaku tak terkabulkan. Sambil berdiri dan mengangkat tangan, ku penjamkan mata. Mulutku berzikir dan bershalawat. Berharap seberkas cahaya datang setelah ku buka mata ke arah depan.

Ternyata tidak. Kabut justru semakin pekat dan angin bercampur semburan rintik hujan semakin menjadi. Keduanya benar-benar menjadi penguasa puncak itu.

Sewaktu ku menoleh ke belakang, berharap tak sama, justru aku dikejutkan oleh kehadiran sebuah puncak berukuran besar tinggi menjulang yang samar-samar terhalang hamparan kabut kehitaman. “Apa iya ada puncak lagi, setinggi dan sebesar ini?” tanya hatiku lagi.

Jelas saja aku tak menemukan jawaban keherananku itu. Malah tamparan badai yang ku terima.

Sewaktu aku melihat puncak samar-samar itu lagi, entah mengapa aku merasa dia tak suka dengan keberadaannku. Seolah dia berkata: “Turun sana! Waktunya tak tepat”.

Sontak, aku melihat jam tanganku. Ternyata waktu Maghrib sudah masuk. Aku teringat beberapa kejadian janggal yang pernah ku alami saat beberapa kali beraktivitas kala Maghrib.

Aku juga teringat kata-kata orangtua dulu, berhentilah kalau sudah masuk Maghrib. Tak baik terus bergiatan, dan segeralah tunaikan shalat.

Mungkin kemunculan puncak samar-samar yang mengejutkanku itu, sebuah bentuk peringatan agar aku segera turun? Bisa jadi. Tak banyak pikir lagi, aku langsung turun melewati rute curam dan licin itu kembali. 

Kecewa? Jelas. Karena aku tak berhasil mengabadikan pemandangan dari puncak. Termasuk paras puncak awal itu sendiri. Tapi disisi lain, aku merasa beruntung dapat menembus sekaligus menikmati badai kabutnya. Koq beruntung? Ya, karena dapat merasakan sensasi dihantam badai kabut yang belum tentu semua orang berani melakoninya. 

Buatku setiap kali mendaki gunung saat berbadai kabut, ada atmosfir tak biasa yang disuguhkan. Lebih misterius dan lebih menantang ketimbang saat bercuaca cerah. Terlebih bila dijalani seorang diri.

Tapi untuk menembus kabut badai gunung itu perlu kemantapan hati, kewaspadaan tinggi, dan perhitungan matang. Kalau setengah hati, ragu-ragu, sebaiknya jangan. Tunggu saja sampai kabut mereda. 

Selepas menuruni turunan tercuramnya, aku bertemu Saiful A.Zy, ketua dewan pemangku adat Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) dan Ramde, salah satu anggotanya yang berasal dari Sumatera Selatan. Rupanya keduanya mencariku. “De, badai kabutnya makin menjadi di atas. Kita turun aja,” kataku. “Iya bang, teman-teman juga sudah saya suruh pasang tenda, nge-camp di bawah,” balas Saiful yang akrab disapa Ode. 

Sewaktu turun aku ceritakan kejadian yang ku alami tadi di puncak awal. “Sebaiknya besok bawa teman-teman ke puncak kalau cuaca cerah. Jangan lupa bawa tali karmantel karena terjal tanjakannya dengan kiri-kanan jurang,” saranku kepada Saiful. 

Tiba di camp 4 tenda domme dan 2 bivak dari fly sheet sudah berdiri. Di lereng ini kabut masih bersemayam, namun anginnya tak sekencang di trek menunju puncak awal. Keberadaan kabut di lokasi camp menghadirkan pesona tersendiri, nuansa romantis dan dramatis terasa berpadu. 

Sebagai pembuka kegiatan malam pergantian tahun, kami pun Shalat Maghrib berjama’ah. Dani, anggota PELITA termuda asal Cianjur, mendapat tugas mengumandangkan Adzan disambung Igomat. Sedangkan Hasbi Mauldahaq, ketua umum PELITA yang juga asal Cianjur dan berdomisili di Karawang, kebagian tugas menjadi Imam.

Aku, Gyan (mahasiswa asal Jogja), Givan (anggota PELITA terjauh dari Manokwari, Papua), Elan (asal Sumsel yang menetap di Jakarta Timur), Nando (sahabat Elan yang juga tinggal di Jakarta Timur), Bicky (script writer di Jakarta), Saiful, Ramde, dan Dhani serta di deretan belakang pria, ada makmun perempuan Alin (guru SMA di Karawang) dan Oci (mahasiswi sekaligus istri Bicky) pun sujud serempak mengikuti Hasbi dalam balutan kabut Gunung Batu. Sedangkan Maya dan Pani (dua mahasiswi kehutanan di Bogor), Shalat Maghrib termin kedua. 

Di akhir shalat, aku berdoa. Mudah-mudahan esok, hari pertama 2015, langit Gunung Batu cerah agar rekan-rekan PELITA bisa menggapai puncak tanpa hambatan. Doa serupa juga ku panjatkan usai Shalat Isya berjama’ah. Alhamdullillah, doaku terkabul. 

Kendati dini hari hujan turun, namun jelang siang cuaca lumayan terang. Alhamdulliah lagi, esoknya pendakian ke puncak utama Gunung Batu yang dipimpin Saiful berjalan lancar. Semua berhasil menggapai puncak utamanya. Di atas puncak, rekan-rekan PELITA membentangkan Sang Saka Merah Putih. 

Namun yang mengejutkan aku, Saiful bilang tidak ada puncak menjulang setelah puncak awal. Hanya ada 2 puncak lagi dan yang terujung sebagai puncak Utama Gunung Batu, tapi tinggi dan besarnya tak seperti yang ku ceritakan.

Benarkah puncak yang ku lihat jelang Maghrib kemarin itu “Puncak Penampakan”? Entahlah.

Bertebing Tegak Cadas 
Gunung Batu yang berketinggian tak sampai 1000 meter di atas permukaan laut (Mdpl) tepatnya 875 Mdpl merupakan salah satu di antara segelincir gunung yang bertebing alam di Kabupaten Bogor selain Gunung Munara. Tinggi tebingnya sekitar 250 meter.

Gunung yang terletak di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor ini termasuk gunung yang tidak popular dan amat miskin publikasinya.

Tak percaya? Coba saja cari informasi pendakian ke gunung ini di laman google. Tak ada sama sekali. Hanya ada perjalanan gowes (bersepeda) dan touring (tur dengan sepeda motor) ke lokasinya, bukan pendakian. 

Medan jalan menuju Gunung Batu beberapa tahun belakangan menjadi jalur favorit para pecandu gowes dan touring.

Umumnya mereka tidak mendaki, hanya di kakinya saja. Seperti rombongan touring dari Depok yang ku temui di kaki gunung ini, mengaku sudah delapan ke Gunung Batu tapi sekalipun belum pernah mendakinya sampai puncak. Waktu tempuh dari Depok ke Gunung Batu sekitar 3 jam. 

Kondisi jalan aspal mulai dari Jonggol ke gunung ini berkelok-kelok, menanjak, menurun, datar, dan beberapa bagian berbatu serta badan jalannya tak begitu lebar. 

Sukamakmur merupakan kecamatan pemekaran dari Kecamatan Jonggol. Namanya kalah tenar dengan Jonggol. Tak heran orang masih beranggapan letak Gunung Batu masih berada di Jonggol.

Akses jalan di Kecamatan Sukamakmur ini sejak lama digadang-gadang menjadi jalur Alternatif puncak II yang tembus ke Kebun Bunga Nusantara, Cipanas. Namun sampai sekarang pembangunannya belum tuntas. 

Rute jalur alternatif puncak II Sukamakmur ini mulai dari Hanjawar-Coloto-Kota Bunga-Desa Batu Layang Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur-Arca-Catang Malang-Cikuray-Pasir Halang-Gunung Batu-Gunung Siem-Waru-Cikupa-Limusnunggal Kecamatan Sukamakmur- Jatinunggal-Jalur Transyogi Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. 

Andai saja pembangunan jalur baru tersebut rampung, jelas akan mempermudah dan memperpendek jarak dari dan ke kawasan wisata puncak (Kota Bunga Cipanas) dengan Kawasan Kota Wisata Cibubur Jakarta dan Kawasan Lipo Cikarang Bekasi. Sekaligus mengurangi beban kemacetan di kawasan puncak yang kian parah. Jarak antara Transyogi Cibubur ke Kota Bunga itu lewat jalur alternatif puncak II Sukamakmur ini hanya sekitar 40 Km. 

Begitupun tulisan terkait pemanjatan tebing-tebing alam di gunung ini, boleh dibilang tak ada. Padahal, kabarnya kegiatan pemanjatan tebing alam di gunung ini sudah dimulai sejak 2009 silam oleh FPTI Kabupaten Bogor. Terbukti beberapa anchor atau alat pengait penahan beban terpasang di puncaknya.

Berdasarkan informasi singkat dari Mamat, Ketua RT setempat, Gunung Batu memang jarang didaki orang. Baru pertengahan 2014, beberapa kelompok pendaki mulai menapakinya. 

Kendati jarang pendakinya, bukan berarti bebas dari tangan-tangan usil. Buktinya di beberapa batu besar sebelum puncak awalnya, terdapat aksi vadalisme berupa coretan bertuliskan nama-nama orang, entah itu ulah pendaki atau penduduk lokal yang tak ramah lingkungan. Soal kebersihan treknya, Alhamdulillah cukup terjaga. 

Ada beberapa objek wisata di sekitar gunung yang kerap diselimuti kabut terutama saat musim penghujan seperti sekarang ini. Objek terdekatnya Wana Wisata Cipamingkis dan Prasasti Pasir Awi (Batu Tapak) atau Prasasti Ciampea di lereng Selatan Bukit Pasir Awi di kawasan hutan perbukitan Cipamingkis, serta Curug Ciherang, Gunung Sabeulah, Hutan Pinus Catang Malang, dan Pemandian Air Panas di Desa Sukawangi, masih Kecamatan Sukamakmur.

Pilihan lainnya di luar kecamatan ini, ada Curug Country di Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, sekitar 3 Km dari Jalan Raya Jonggol Cariu, Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR) di Desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjung Sari, Kebun Wisata Pasirmukti di Citeurep, dan Jungle Land serta Sentul City di Sentul. 

Untuk menuju ke Gunung Batu, kendaraan umum belum sampai ke lokasi. Kalau mau naik kendaraan umum, bisa naik angkot warna biru dari Terminal Jonggol ke pemberhentian terakhir dengan ongkos Rp 15.000 per orang. Dilanjutkan dengan naik ojek sepeda motor. Umumnya pengunjung dan pendaki yang datang membawa sepeda motor. Bagi yang ingin mendaki hingga puncaknya, sepeda motor dititipkan ke rumah Ketua RT setempat. 

Waktu terbaik mendaki dan memanjat tebing-tebing gunung yang sepintas mirip Gunung Parang di Kabupaten Purwakarta ini, pas musim panas. Kalau memaksakan diri saat musim penghujan, siap-siap diterjang badai berkabut. Siapkan tali, karena medannya amat licin dan terjal.

Waktu tempuh pendakian dari kaki gunung, tepatnya dari warung sederhana Bu Onah hingga puncaknya tak sampai 2 jam.

Kendati tak terlalu tinggi, pemandangan dari lereng dan puncak Gunung Batu amat memesona. Ada yang membandingkannya dengan pesona panorama dari Puncak Gunung Prau di Wonosobo, Jawa Tengah. 

Dari lereng dan puncak Gunung Batu terhampar perbukitan kawasan Jonggol, Citeurep, dan Sentul di sebelah Barat. Di sebelah Timur, dari kejauhan ada Gunung Rungking dan beberapa perbukitan di Kabupaten Karawang. di sebelah Selatan nampak kawasan Cianjur bahkan Gunung Gede dan Pangrango. Sedangkan di Utara hamparan dataran dan perbukitan sampai kawasan Bekasi terlihat jika cuaca cerah.

Satu yang perlu diingat, usai pendakian ataupun pemanjatan, bawa kembali turun semua sampah logistik, termasuk tali rafia pengikat pasak tenda dan tidak melakukan aksi vandalisme. Dengan cari itulah, alam Gunung Batu akan terjaga. Salam Nanjak Lestari (Santri). 

Naskah & foto: adji kembara tropis (adji_travelplus@yahoo.com) 

Captions: 
1. Menapaki lereng Gunung Batu dalam balutan kabut.
2. Awal pendakian, berlatar gunung batu yang tertutup kabut. 
3. Salam Tauhid, Salam Satu Jari dari Penulis dan Saiful A.Zy di lereng Gunung Batu. Foto Ramde. 
4. Basecamp berselimut kabut. 
5. Bentangkan bendera Merah Putih di puncak utama Gunung Batu. (dok. PELITA)
6. Sang Saka Merah Putih di Puncak Gunung Batu. 
7. Paras Gunung Batu tampak depan. 
8. Gunung Gede dan Pangrango nampak dari lereng dan puncak Gunung Batu.

NB.: Hatur nuhun, terimakasih buat organisasi Pemuda Islam Pecinta ALAM (PELITA) termasuk simpatisannya (Saiful, Hasbi, Elan, Nando, Givan, Ramde, Dani, Gyan, Bicky, Ropianto, Oci, Alin, Pani, dan Maya) telah menjadi rekan-rekan pendakian Gunung Batu yang hangat.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP