. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 14 Januari 2015

Elang Resah Awasi Gunung Batu

Namanya memang Gunung Batu. Tapi bukan berarti cuma ada bongkahan batu tegak dan cadas setinggi sekitar 250 meter yang setia menunggu dicumbu lagi oleh para pemanjat tebing alami. Gunung berdiri tegar setinggi 875 Mdpl di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ini senantiasa dijaga elang yang resah mengawasi arena bermainnya itu siang malam. 

Kaki tebing gunung ini pun dihijaukan sedikit hutan, termasuk hutan hasil reboisasi. Pepohonan di dalamnya lumayan tinggi-tinggi, bercampur dengan semak belukar. Tapi tidak serapat hutan asli dataran rendah.

Kendati begitu, hutannya itu berguna menjadi tempat singgah bahkan sarang sejumlah burung. Sayangnya jumlah burung di kawasan ini sepertinya semakin berkurang, akibat perburuan.

Buktinya di beberapa rumah warga setempat, ada yang memelihara burung-burung hias nan cantik, elok dipandang. Ukurannya kecil dan bulunya ada yang berwarna cerah biru, kuning, dan merah. Setiap burung dikurung dalam sangkar kayu yang lumayan bagus.

Ketika ditanya dari mana burung-burung tersebut, seorang warga tanpa sungkan mengatakan beberapa dari hasil menangkap di hutan Gunung Batu dan sekitarnya.

Mendengar jawabannya, saya langsung teringat kisah serupa yang terjadi di hutan Gunung Beuti Canar dan sekitar Talaga Bodas di Garut, masih Jawa Barat. Di sana juga dikabarkan kerap terjadi perburuan burung-burung hias sejak lama.

Setiap kali melihat burung-burung mungil berbulu warna-warni itu dalam sangkar, entah mengapa selalu hadir rasa iba.

Burung yang dikurung itu memang tidak perlu susah payah mencari makan untuk menyambung hidup. Pemiliknya sudah menyediakan makanan dan minuman. Itu jika pemiliknya baik. Tapi bagaimana kalau dia jahat atau seketika waktu lupa memberi makan dan minum burung malang itu? Alangkah menderitanya dia.

Menyandera burung di dalam sangkar semewah apapun lengkap dengan makan dan minum yang lebih dari cukup, tetap saja telah merampas hak asasinya sebagai burung. Bagaimana tidak, keberadaan kedua sayapnya jadi sia-sia. Sebutannya sebagai burung, tak berarti lagi. Sebab dia tidak bisa bebas terbang di langit luas, kemanapun dia suka. Bukankah itu sejatinya mahluk bernama burung?

Dia semestinya tinggal di alam raya, menemukan jodohnya, bercinta, dan memelihara keturunannya sampai anak-anaknya tumbuh besar, memiliki sayap yang kuat, dan bisa terbang mandiri.

Sayangnya banyak orang yang tidak menyadari itu. Dengan berbagai alasan, mereka mencabut kehidupan hakiki burung itu, memenjarakannya. Ada yang mengatasnamakan hobi, kesenangan, keyakinan bisa menjaga sang pemiliknya dari santet, dan lagi-lagi karena nilai ekonomi burung itu yang cukup menggiurkan, membuat orang tega begitu. Kabarnya seekor burung hias apalagi bersuara merdu harganya bisa jutaan rupiah.

Sewaktu menapaki lereng Gunung Batu, saya masih teringat burung-burung hias milik salah satu warga di situ berkicau kesana-kemari, seakan berteriak-teriak minta dilepaskan dari sangkarnya. Tapi apa daya, saya tak bisa melepasnya.

Saat mendekati lokasi base camp, seekor elang (eagle) terlihat terbang melayang-layang di langit sore Gunung Batu yang kelabu karena mendung dan berawan pekat. Kendati tak begitu jelas, keberadaan elang itu membuatku terhibur. 

Sejak dulu saya selalu iri dengan elang. Bahkan berkhayal ingin seperti elang. Entah sudah berapa lirik lagu yang ku tulis berkaitan dengan elang sebagai bentuk kekagumanku.

Buatku, elang identik dengan pria perkasa yang bebas, tak suka di atur, mandiri dan sekaligus tegas. Andai ada reinkarnasi, saya sampai kepikiran ingin menjadi pria gagah bersayap kuat biar bisa melayang-layang tangguh seperti elang. 

Sayang, lantaran terlalu tinggi, kamera poketku tak bisa mengabadikan elang itu dengan jelas.

Untunglah ada Saiful A.Zy yang membawa kamera semi DSLR. Ketua Adat Pemuda Islam Pecinta Alam (PELITA) ini berhasil mengabadikan elang itu kendati kurang memuaskan karena langit semakin gelap. 

Keesokan harinya, sewaktu Saiful dan rekan-rekan PELITA lainnya menanjak ke puncak utama Gunung Batu, dia melihat elang lagi. Kali ini dia beruntung, elang itu hingga di ranting pohon. Dia pun berhasil mengabadikannya dengan jelas. Saya sempat memujinya. “Ini jepretan langka de,” tulisku mengomentari foto elang itu yang diupload di instagram-nya. 

Setelah diperhatikan hasil jepretannya, elang gunung itu nampak tengah mengawasi sesuatu. Seolah-olah dia tengah menjaga Gunung Batu dari manusia-manusia pengganggu. Ketika saya perhatikan lagi, sepertinya hewan berdarah panas itu resah dengan kehadiran para pendaki gunung di hari pertama tahun 2015 itu. 

Mungkin hewan pemangsa mamalia kecil seperti kadal, ayam, tupai, tikus, serangga, dan ular (terutama elang gunung) dan ikan (untuk elang laut) ini menyangka pendaki-pendaki itu akan memburunya seperti para pemburu burung-burung hias selama ini. Padahal kami tidak sama sekali bermaksud untuk itu. Kami datang ke arena mainnya ini untuk menikmati dan mengabadikan pesona alamnya yang menghampar ke segala penjuru arah. Itu saja.

Sebelumnya beberapa rekan PELITA juga menemukan jangkring Gunung Batu. Bentuknya sama seperti jangkring umumnya Cuma nampak lebih bersih dan terang serta berantena panjang. Jangkrik atau cengkerik yang bernama latin Gryllidae ini pun terlihat lebih bersahabat. 

Cuma saja hewat yang berkerabat dengan belalang ini tidak bisa diam saat aku hendak memotretnya. Saya tidak tahu apakah jangkrik itu jantan atau betina.

Kabarnya jangkring jantan kerap dipelihara orang untuk mengusir tikus, selain sebagai aduan dan pakan. Suaranya yang nyaring itu ditakuti tikus.

Tetap saja apapun keistimewaannya itu, saya tidak mau membawanya pulang. Setelah ku potret, ku biarkan serangga omnivora itu melompat kembali ke habitatnya.

Pendaki dari kelompok lainnya juga mengaku bertemu dengan kalajengking, yang termasuk dalam sekelompok hewan beruas dengan delapan kaki (oktopoda), sewaktu turun dari puncak. Ini membuktikan bahwa Gunung Batu dihuni beragam satwa serangga dan unggas. 

Melihat kondisi tanah dan bebatuan serta semak belukarnya, rasanya kemungkinan ular pun ada ada tempat itu. Sayang, saya dan rekan-rekan PELITA lainnya tidak menemukannya. 

Mendaki gunung sambil mengabadikan sejumlah faunanya dari spesies serangga, unggas, reptil, dan lainnya ataupun beberapa flora khasnya seperti jamur, bunga liar, anggrek hutan misalnya memberikan keasyikan tersendiri. 

Semua itu bisa membuat pendakian bernilah lebih. Apalagi bila bahan yang didapat dijadikan data, entah itu untuk keperluan penelitian, artikel tulisan, dan lainnya kemudian dipublikasikan. Dan Gunung Batu, tak disangka menawarkan lebih dari sekadar bongkahan batu. Elangnya pun selalu berjaga-jaga dengan wajah dingin dan sorotan mata tajam.

Naskah: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com) 
Foto: saiful a.zy & adji 

Captions: 
1. Elang mengawasi arena bermainnya di Gunung Batu, Jabar. (foto: saiful a.zy)
2. Pesona Gunung Batu dengan hutan reboisasi di kakinya.
3. Elang melayang-layang di langit atas Gunung Batu. (foto saiful a.zy)
4. Jangkring Gunung Batu yang berwarna lebih terang. 

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP