Mengemas Pantai-Pantai Aceh dalam Balutan Syariat Islam
Aceh, salah satu provinsi Indonesia yang dianugerahi pantai-pantai amat menawan. Saya bisa menilai begitu karena sudah beberapa kali ke sana dan melihat langsung. Setelah diterjang tsunami, sejumlah pantai di daerah istimewa ini berubah wajahnya. Banyak yang bilang rautnya rusak, tak sedikit yang mengatakan justru lebih indah. Saya sendiri beranggapan beberapa pantainya bukan hanya indah pun jadi lebih eksotis.
Coba saja Anda bertandang ke Kecamatan Pulau Banyak di Kabupaten Aceh Singkil, di sana ada sejumlah pulau dengan pantai-pantai luar biasa indah dan eksotis seperti Pulau Palembak, Tailana, Ujung Lolok, dan Pulau Bengkaru. Belum lagi beberapa air terjunnya yang fantastis antara lain Laye Paris, Laye Gecih, dan Air Terjun Laye Petal serta Danau Bungara di Kecamatan Kota Baharu sekitar 55 Km dari Singkil, ibukota Kabupaten Aceh Singkil.
Pantai yang ada di sekitar Banda Aceh dan sepanjang pesisir Barat Aceh juga tak kalah menawan. Bahkan beberapa di antaranya mengalami perubahan bentuk setelah dihantam tsunami, seolah tercipta pantai-pantai baru.
Sayangnya wajah baru pantai-pantainya belum serius dikelola dan dikemas dengan baik, tentunya dalam balutan yang sesuai dengan Syariat Islam yang sudah menjadi acuan hukum di Aceh sejak berpuluh tahun.
Alhasil banyak pantai-pantai baru pascatsunami di provinsi paling ujung Sumatera ini mubazir. Kenapa begitu? Karena banyak pantai yang sebenarnya berpanorama menawan dan eksotis itu sepi pengunjung. Jangankan turis bule, wisatawan dalam negeri saja jarang sekali, termasuk wisatawan lokalnya.
Sementara beberapa pantai yang sejak dulu eksis disambangi wisatawan lokal pun ada yang citranya tercoreng karena diam-diam katanya disalahgunakan menjadi lokasi memadu kasih muda-mudi. Tak heran selalu diawasi warga yang resah, terutama Wilayatil Hisbah (WH) atau polisi syariah karena ditemukan banyak pelanggaran Syariat Islam, salah satunya khalwat atau perbuatan mesum.
Namun ketika saya menyambangi pantai-pantai yang dinilai “tercemar” itu, saya tak melihat hal-hal menyimpang seperti kabar yang berhembus. Hanya ada beberapa pasang muda-mudi yang menikmati pantai, itupun mereka tidak berdua-duaan dan terlihat wajar-wajar saja.
Lalu mengapa mengemas pantai-pantai di Aceh harus dalam balutan Syariat Islam? Apa bisa dan menarik di mata wisatawan? Siapa pasarnya? Bukankah orang datang ke pantai buat senang-senang, terlebih orang bule, pasti mereka mau berjemur hanya dengan kancut atau bikini? Mungkin banyak yang bertanya-tanya dan berpendapat seperti itu, termasuk Anda dalam hati.
Saya jawab tegas, YA HARUS. Pertama, suka tidak suka Aceh sudah bersumpah menerapkan hukumnya sesuai Syariat Islam, artinya norma-norma dalam berkehidupan dan bermasyarakatnya didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, baik itu hubungan antara muslim satu dengan yang lain, muslim dengan non muslim, dan muslim dengan lingkungan/alamnya.
Kedua, kalau ada bank, hotel, pakaian bahkan pegadaian berlabel syariah, mengapa ragu-ragu menegaskan pantai-pantai di Aceh itu PANTAI SYARIAH. Sebenarnya tanpa label itu, pantai, gunung dan obyek alam lain yang ada di Aceh termasuk obyek wisata buatan, sejatinya dengan sendirinya sudah syariah karena berada di ranah yang menetapkan penghuninya harus menerapkan dan mengindahkan aturan itu.
Penegasan Pantai Syariah itu tetap saja penting dan banyak keuntungan terutama dalam pencitraan dan pemasaran (marketing)-nya. Dengan label tersebut (Pantai Syariah), memicu rasa keingintahuan masyarakat dari dalam dan luar Aceh untuk berkunjung. Label tersebut pun kian memperkuat misi pariwisata Aceh yang ingin menjadikan daerahnya sebagai destinasi tujuan wisata Islami di Indonesia bahkan dunia.
Dengan label itu menandakan Aceh tidak setengah-setangah dan tak abu-abu menegaskan bahwa pantai-pantainya BEDA dengan Bali dan pantai-pantai lain yang wisatawannya bisa bebas berbuka-bukaan ria mengumbar syahwat.
Di pantai-pantai Aceh pun orang bisa menikmati pesonanya dan melakukan kegiatan olah raga bahari apapun, termasuk kegiatan bernuansa budaya, religi dan lainnya dengan santun dalam aturan sesuai Syariat Islam.
Selama ini, wisata religi Islami Aceh hanya terpaku pada masjid, utamanya Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dan beberapa masjid lain seperti Masjid Baiturrahim Ulee Lheue dan Masjid Rahmatullah Lampuuk yang namanya tersohor setelah diterjang tsunami. Kemudian muncul wisata tsunami, seperti Kapal PLTD Apung, Kapal di Atap Rumah Lampulo, Kuburan Massal Ulee Lheue, dan Museum Tsunami.
Padahal wisata Islami tak melulu masjid. Pantai pun BISA, sebagaimana dilakukan produk lain seperti bank, hotel, pegadaian, tour, restoran dan Spa yang berlabel syariah. (Baca: Aceh Masuk Daftar 12 Daerah Pengembangan Wisata Syariah).
Kreativitas Tanpa Bablas
Kreativitas tanpa bablas bukan tanpa batas semestinya diterapkan untuk menghidupkan pantai-pantai di Aceh. Bisa lewat event olahraga, religi, budaya, fotografi, dan lainnya.
Khusus event olah raga di pantai sebenarnya sudah dilakukan namun baru sedikit, contohnya lomba menerbangkan layang-layang berskala lokal Festival Geulanya Tunang di Blang Pango, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh.
Event serupa namun berskala internasional Aceh International Kite Festival juga pernah digelar di kawasan Pantai Lampuuk, Aceh Besar.
Sedangkan di Pantai Lhoknga tahun lalu digelar kejuaraan kompetisi surfing Internasional Aceh Surfing Competition Series III yang diikuti 45 peselancar lokal dan mancanegara. Sementara di Sabang ada Internasional Diving Festival yang disemarakkan dengan pameran pariwisata dan budaya serta atraksi kesenian Aceh.
Di Pulau Simeulue selain ada kejuaraan surfing bertaraf internasional setiap tahun, juga ada Simuelue ate Fulawan Internasional Dragaon Boat Festival. Yang menarik dalam festival ini juga ditampilkan atraksi budaya Aceh seperti debus, rapai geleng, dan nandong seni budaya khas dari Simueleu.
Sebenarnya masih banyak event lain yang dapat digelar seperti lomba voli pantai, bola pantai, lari marathon pantai, dan triathlon yang memadukan 3 olahraga yakni renang, balap sepeda, dan marathon. Selain itu bisa juga digelar canoeing, perahu tradisional, kejuaraan memancing, ski air, jetski, sailing, motorboat, renang
antarpulau dan lainnya baik yang berskala Nasional maupun internasional.
Namun pesertanya baik laki-laki dan perempuan tetap mengenakan pakaian olahraga yang sesuai dengan Syariat Islam. (Baca: 18 Tips Menggelar Event di Pantai-Pantai Syariah Aceh).
Kegiatan berkaitan dengan hari-hari besar Nasional seperti perayaan Hari Kemerdekaan RI juga bisa digelar di pantai, seperti lomba panjat pinang pantai, balap karung pantai dan lainnya.
Bayangkan kalau ada 100 pinang yang berjejer di Pantai Lampuuk untuk lomba panjat pinang, pastinya bakal menawarkan pemandangan menarik. Regu peserta yang berhasil memanjat puncak pinang tercepat akan mendapat hadiah selain sejumlah hadiah yang terpasang di puncak pinang.
Event bersifat budaya dan religi juga memungkinkan dilakukan di pantai. Tak melulu harus di dalam ruangan gedung kesenian yang ada di dalam kota. Di pantai juga bisa digelar lomba rapai, alue tunjong, poh kipah, dan biola Aceh serta aneka tari tradisional Aceh baik yang sudah mendunia seperti tari saman maupun yang belum terkenal.
Tak ada masalah juga mengadakan lomba fesyen baju Kerawang Gayo, pemilihan duta wisata syariah Aceh, dan lainnya di salah satu pantai.
Justru kalau digelar di pantai akan memberi suguhan yang tak biasa.
Bayangkan ada penari-penari saman yang energik dan dinamis yang biasa kita lihat di atas panggung, kini beraksi di atas pasir pantai yang halus dan bersih. Tentu jadi pemandangan menarik dan unik.
Begitu juga kalau ada lomba peragaan busana Kerawang Gayo yang pesertanya bergaya di atas pasir pantai. Termasuk lomba masak kuliner Aceh mulai dari mie Aceh, kue thimpan dan lainnya yang kemudian diikuti makan bersama di pantai.
Kegiatan keagamaan dan perayaan hari-hari besar Islam juga bisa digelar di pantai, seperti lomba membaca Alqur’an (Tilawatil Qur’an), bazaar Ramadhan, Maulid Nabi, Gebyar Idul Fitri untuk memanfaatkan liburan lebaran, potong Qurban Idul Adha sekaligus masak dan makan bersama, Zikir Nasional dengan mengundang penceramah tersohor, dan lainnya.
Bayangkan jika12 kegiatan berbeda digelar di 12 pantai yang berbeda pula dalam setahun mulai dari Januari hingga Desember, berarti menambah event wisata yang sudah ada di Aceh, sekaligus membuka peluang untuk lebih banyak lagi menjaring turis baik Nusantara maupaun mancanegara.
Dengan catatan setiap event itu dikemas dengan baik lalu dipromosikan dengan gencar dan digelar rutin minimal setahun sekali. (Baca: Jumlah Wisnus dan Wisman ke Aceh Meningkat dan Target Wisman ke Aceh 2014 Naik 15 Persen).
Naskah & Foto: adji kurniawan, penulis & pemerhati pariwisata (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Mengabadikan salah satu pantai di Aceh yang berubah wajahnya karena dihantam tsunami.
2. Kerbau di Pantai Meulaboh, Aceh pun jadi obyek menarik bagi wisatawan.
0 komentar:
Posting Komentar