14 Industri Kreatif dalam Cetak Biru Kemenparekraf
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tengah mempelajari 14 industri kreatif yang masuk cetak biru Kemenparekraf. Apa saja dan bagaimana kementerian ini mengembangkan ekonomi kreatif (ekpar) sebagai mesin ekonomi baru Indonesia masa depan?
Berdasarkan pembahasan Kemenparekraf tentang pengembangan ekpar, ada 14 industri kreatif yang masuk dalam cetak biru Kemenparekraf yang digolongkan atas industri tak benda (intangible based) dan benda (tangible based). Ke-14 industri kreatif ini adalah; 1. film, video dan fotografi, 2. TVI dan radio, 3. Musik, 4. Periklanan, 5. Penerbitan & percetakan, 6. Seni pertujukan, 7. Pasar barang seni, 8. Arstitektur, 9. Desain, 10. Fesyen, 11. Kerajinan, 12. IT dan software, 13. Game interaktif dan, 14. R&D.
“Kami akan melihat potensi dan kendala masing-masing industri kreatif yang masuk dalam cetak biru Kemenparekraf,” kata Menparekraf Mari Elka Pangestu usai menonton peluncuran perdana film Sang Penari di Blist, Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Minggu malam, (6/11/2011).
Dalam mengembangkan ekpar, lanjut Mari, Kemenparekraf tidak bisa bekerja sendiri. “Pemerintah akan melibatkan semua stakeholder terkait dalam pengembangan ke-14 industri kreatif tersebut,” tambahnya.
Tahap pertama yang akan dilakukan, lanjutnya dengan melakukan focus discussion group satu persatu dengan 14 industri kreatif tersebut untuk memahami segala permasalahan dan potensinya.
Dari diskusi tersebut akan ditentukan kebijakan apa yang harus diubah atau stakeholder mana yang harus ditemukan. “Misalnya soal permodalan yang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan ekpar, kita akan ajak kerjasama dengan perbankan dan lainnya. Jadi aspek-aspek itu yang akan menjadi PR buat kementerian ini,” jelasnya.
Menurut Mari, film merupakan salah satu industri kreatif yang dapat memberi banyak dampak postif bagi peningkatan ekonomi.
Pembuatan Film Sang Penari merupakan contoh positif industri kreatif. Pasalnya, dari sebuah novel diangkat menjadi film yang ternyata berdampak multiganda kepada daerah setempat. “Saya dengar dalam pembuatan film ini, masyarakat desa yang menjadi lokasi syuting, diikutsertakan termasuk menjadi pemain. Dan jalan desa dibangun, termasuk beberapa fasiltas umum lain dalam rangka pembuatan film ini,” terangnya.
Lewat film, lanjut Mari, juga dapat berdapak postifif dalam pengembangan pariwisata darah yang dijadikanlokasi syuting film. Contohnya film Laskar Pelangi yang berhasil mengangkat pariwisata dan ekonomi Belitung dan film Eat, Pray and Love (EPL) yang menggarumkan Bali. “Film Sang Pemari yang mengambil lokasi di Banyumas, sepertinya punya kans mengangkat pariwisata Banyumas juga,” jelasnya.
Film juga dapat mengembangkan pelestarian seni budaya dan kearifan lokal. Menurut Mari, kearifan lokal Indonesia sangat banyak dan masih banyak yang dapat diangkat ke film. “Saya pun belajar banyak usai menonton film Sang Penari. Sebelumnya saya tidak pernah tahu kalau Rongeng itu sebetulnya seperti itu, karena tidak memahami latarbelakangnya,” akunya.
Film ini, tambahnya juga mampu mengembalikan suatu tradisi yang tadinya hilang atau semakin terlupakan. “Saya juga diceritakan kalau Batik Banyumas itu sudah tidak digunakan di daerah tersebut. Tapi dalam pembuatan film ini, Citra Subiyakto yang memuat kostum para pemainnya membuat kembali Batik Banyumas. Jadi film ini punya kekuatan melestarikan kembali seni budaya dan tradisi kearifan lokal, termasuk pengenalan musik tradisonal setempat,” paparnya.
Oleh karenanya pemerinatah berharap tahun depan jumlah film Indonesia dapat meningkat dari 100 judul film Indonesia pada 2011. “Saya berharap jumlah film Indonesia yang berkualitas seperi film Sang Penari ini bertambah banyak. Pasarnya sudah jelas yakni dalam negeri, pastinya tetap baik potensinya,” terangnya.
Untuk mewujudkan itu, lanjut Mari, pemerintah akan mendorong dan menciptakan iklim perfilman yang kondusif, termasuk memfasilitasi pembuatannya.
DPR lanjut Mari memang sudah merestui pemerintah untuk ikut membiayai pembuatan film yang mengangkat tema Indonesia. Namun Kemenparekraf harus mempelajari terlebih dahulu berapa dananya, bagaimana kriterianya, dan pengimplementasiannya serta bagaimana bermitra dengan non pemerintah.
“Mengenai berapa jumlah film yang akan dibiayai pemerintah tahun depan, saya belum tahu. Yang pasti sudah ada kotaknya. Tergantung berapa anggaran yang bisa kita dapat tahun depan,” ungkapnya serya menambahkan bahwa pemerintah juga akan bermitra dengan banyak pihak lain untuk dapat membiayai film-film bertema Indonesia yang berkualitas tahun depan.
10 Milyar
Film Sang Penari berkisah tentang percintaan tentara muda bernama Rasus dengan perempuan penari Ronggeng bernama Srintil di Dukuh Paruk pada pertengahan 1960-an. Lokasi syutingnya di tiga tempat yakni Banyumas, Tegal, dan Cilacap, Jawa Tengah.
Film yang terinspirasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini merupakan produksi keroyokan antara KG Production & Tabloid Nova bersama Indika Pictures, Salto Film Company dan Les Pettites Lumieres dengan Rp10 miliar.
Hadir dalam acara nonton bersama film yang disutradarai Ifa Isfansyah ini antara lain Dirjen NBSF Kemenparekraf Ukus Kuswara dan Direktur Film Syamsul Lussa serta sejumlah artis pendukung film tersebut seperti Oka Antara dan Prisia Nasution yang menjadi pemeran utamanya, serta Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Tio Pakusadewo, Dewi Irawan, dan Happy Salma.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Berdasarkan pembahasan Kemenparekraf tentang pengembangan ekpar, ada 14 industri kreatif yang masuk dalam cetak biru Kemenparekraf yang digolongkan atas industri tak benda (intangible based) dan benda (tangible based). Ke-14 industri kreatif ini adalah; 1. film, video dan fotografi, 2. TVI dan radio, 3. Musik, 4. Periklanan, 5. Penerbitan & percetakan, 6. Seni pertujukan, 7. Pasar barang seni, 8. Arstitektur, 9. Desain, 10. Fesyen, 11. Kerajinan, 12. IT dan software, 13. Game interaktif dan, 14. R&D.
“Kami akan melihat potensi dan kendala masing-masing industri kreatif yang masuk dalam cetak biru Kemenparekraf,” kata Menparekraf Mari Elka Pangestu usai menonton peluncuran perdana film Sang Penari di Blist, Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Minggu malam, (6/11/2011).
Dalam mengembangkan ekpar, lanjut Mari, Kemenparekraf tidak bisa bekerja sendiri. “Pemerintah akan melibatkan semua stakeholder terkait dalam pengembangan ke-14 industri kreatif tersebut,” tambahnya.
Tahap pertama yang akan dilakukan, lanjutnya dengan melakukan focus discussion group satu persatu dengan 14 industri kreatif tersebut untuk memahami segala permasalahan dan potensinya.
Dari diskusi tersebut akan ditentukan kebijakan apa yang harus diubah atau stakeholder mana yang harus ditemukan. “Misalnya soal permodalan yang menjadi salah satu kendala dalam pengembangan ekpar, kita akan ajak kerjasama dengan perbankan dan lainnya. Jadi aspek-aspek itu yang akan menjadi PR buat kementerian ini,” jelasnya.
Menurut Mari, film merupakan salah satu industri kreatif yang dapat memberi banyak dampak postif bagi peningkatan ekonomi.
Pembuatan Film Sang Penari merupakan contoh positif industri kreatif. Pasalnya, dari sebuah novel diangkat menjadi film yang ternyata berdampak multiganda kepada daerah setempat. “Saya dengar dalam pembuatan film ini, masyarakat desa yang menjadi lokasi syuting, diikutsertakan termasuk menjadi pemain. Dan jalan desa dibangun, termasuk beberapa fasiltas umum lain dalam rangka pembuatan film ini,” terangnya.
Lewat film, lanjut Mari, juga dapat berdapak postifif dalam pengembangan pariwisata darah yang dijadikanlokasi syuting film. Contohnya film Laskar Pelangi yang berhasil mengangkat pariwisata dan ekonomi Belitung dan film Eat, Pray and Love (EPL) yang menggarumkan Bali. “Film Sang Pemari yang mengambil lokasi di Banyumas, sepertinya punya kans mengangkat pariwisata Banyumas juga,” jelasnya.
Film juga dapat mengembangkan pelestarian seni budaya dan kearifan lokal. Menurut Mari, kearifan lokal Indonesia sangat banyak dan masih banyak yang dapat diangkat ke film. “Saya pun belajar banyak usai menonton film Sang Penari. Sebelumnya saya tidak pernah tahu kalau Rongeng itu sebetulnya seperti itu, karena tidak memahami latarbelakangnya,” akunya.
Film ini, tambahnya juga mampu mengembalikan suatu tradisi yang tadinya hilang atau semakin terlupakan. “Saya juga diceritakan kalau Batik Banyumas itu sudah tidak digunakan di daerah tersebut. Tapi dalam pembuatan film ini, Citra Subiyakto yang memuat kostum para pemainnya membuat kembali Batik Banyumas. Jadi film ini punya kekuatan melestarikan kembali seni budaya dan tradisi kearifan lokal, termasuk pengenalan musik tradisonal setempat,” paparnya.
Oleh karenanya pemerinatah berharap tahun depan jumlah film Indonesia dapat meningkat dari 100 judul film Indonesia pada 2011. “Saya berharap jumlah film Indonesia yang berkualitas seperi film Sang Penari ini bertambah banyak. Pasarnya sudah jelas yakni dalam negeri, pastinya tetap baik potensinya,” terangnya.
Untuk mewujudkan itu, lanjut Mari, pemerintah akan mendorong dan menciptakan iklim perfilman yang kondusif, termasuk memfasilitasi pembuatannya.
DPR lanjut Mari memang sudah merestui pemerintah untuk ikut membiayai pembuatan film yang mengangkat tema Indonesia. Namun Kemenparekraf harus mempelajari terlebih dahulu berapa dananya, bagaimana kriterianya, dan pengimplementasiannya serta bagaimana bermitra dengan non pemerintah.
“Mengenai berapa jumlah film yang akan dibiayai pemerintah tahun depan, saya belum tahu. Yang pasti sudah ada kotaknya. Tergantung berapa anggaran yang bisa kita dapat tahun depan,” ungkapnya serya menambahkan bahwa pemerintah juga akan bermitra dengan banyak pihak lain untuk dapat membiayai film-film bertema Indonesia yang berkualitas tahun depan.
10 Milyar
Film Sang Penari berkisah tentang percintaan tentara muda bernama Rasus dengan perempuan penari Ronggeng bernama Srintil di Dukuh Paruk pada pertengahan 1960-an. Lokasi syutingnya di tiga tempat yakni Banyumas, Tegal, dan Cilacap, Jawa Tengah.
Film yang terinspirasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini merupakan produksi keroyokan antara KG Production & Tabloid Nova bersama Indika Pictures, Salto Film Company dan Les Pettites Lumieres dengan Rp10 miliar.
Hadir dalam acara nonton bersama film yang disutradarai Ifa Isfansyah ini antara lain Dirjen NBSF Kemenparekraf Ukus Kuswara dan Direktur Film Syamsul Lussa serta sejumlah artis pendukung film tersebut seperti Oka Antara dan Prisia Nasution yang menjadi pemeran utamanya, serta Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Tio Pakusadewo, Dewi Irawan, dan Happy Salma.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar