Melongok Potensi Budaya dan Wisata Bahari Miangas
Pulau Miangas yang berbatasan dengan Filipina, memiliki potensi budaya dan wisata bahari yang belum tergarap maksimal. Ini terungkap dari hasil penelitian Badan Pengembangan Sumber Daya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, baik di bidang kebudayaan maupun pariwisata pada 2010. Apa saja hasil dua penelitian di pulau yang berjuluk pulau menangis dan yatim piatu ini?
Penelitan di bidang kebudayaan mencatat kesatuan sosial masyarakat Miangas sangat kuat dilandasi sistem norma sosial dan rasa solidaritas sosial tinggi. “Warganya sangat mentaati norma adat atau eha. Ada Eha berlaku dlm pengelolaan perkebunan kelapa mulai dari memanam sampai memetiknya, penangkapan ikan, dan pelestarian hutan bakau,” jelas Bambang H. Suta Purwana selaku ketua tim penelitian dibidang kebudayaan masyarakat Pulau Miangas, di Jakarta, Selasa (21/12/2010).
Budaya masyarakat Miangas yang mulai dikenal masyarakat luar adalah upacara panen ikan secara kolektif yang disebut Manammi. “Kalau dapat ikan besar selalu ada jatah untuk janda dan anak yatim,” terang Bambang.
Selain itu juga ada upacara syukur tutup tahun dan doa awal tahun yang menjadi wahana ekspresi budaya masyarakat Miangas. “Biasanya ada pentas tarian Cakalele, dan lainnya,” kata Bambang.
Penelitian di bidang kebudayaan menyimpulkan tidak ada kebijakan pelestarian kebudayaan untuk membangun ketahanan sosial budaya masyarakat Miangas kecuali upaya promosi upacara manammi. Rekomendasinya, pendekatan kebudayaan dalam membangun ketahanan sosial budayanya, dilakukan pemerintah dengan merumuskan kebijakan penguatan adat-istiadat, kearifan lokal, dan kesenian lokal.
Penelitian di bidang pariwisata khususnya pengembangan wisata bahari di Miangas, mencatat panjang pantai pulau ini 6 Km. “Ada beberapa pantai yang potensial dijadikan sebagai obyek wisata bahari. Sementara upacara Manammi sudah menjadi event wisata bahari Kabupaten Kepulauan Talaud,” jelas Robby Binarwan selaku ketua tim penelitan di bidang pariwisata Pulau Miangas.
Pengembangan wisata bahari di pulau Miangas, lanjut Roby memerlukan langkah yang arif bijaksana dan kehati-hatian agar tidak menimbulkan masalah, seperti masalah disintegrasi, kerusakan lingkungan dan masalah lain terkait dengan sumberdaya manusia. ”Yang pasti pemgembangan wisata bahari harus memberi peluang bagi masyarakat agar mendatangkan kemakmuran. Misalnya dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal,” jelasnya.
Pulau Miangas terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau ini tercatat sebagai salah satu di antara 92 pulau-pulau terluar, dan termasuk di antara 12 pulau yang kini mendapat perhatian khusus pemerintah Indonesia karena posisinya.
Luas Pulau Miangas 6.227 km2. Sementara penduduknya 763 orang atau 196 KK yang tinggal di 3 desa yakni Desa Karutung Utara, Tengah, dan Karutung Selatan dengan mata pencaharian utama sebagai petani kopra dan nelayan.
Bila ingin ke pulau yang berarti miangasa atau menangis ini sebaiknya di luar bulan Desember – Januari – Pebruari karena tidak ada kapal yang berani datang ke pulau ini mengingat besarnya gelombang ombak dari Samudera Fasifik. Pada bulan-bulan tersebut biasanya masyarakatnya sudah kehabisan beras dan barang kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mereka harus memakan laluga, sejenis talas sebagai pengganti nasi.
Untuk mencapai pulau ini, dari Pelabuhan Bitung, Sulut dengan naik kapal perintis selama 3-4 hari. Sebaiknya membawa perlengkapan masak berikut logistik untuk makan dan ngemil selama di perjalanan laut yang panjang, pergi dan pulang.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok. Puslitbangbudpar, Kemenbudpar
Penelitan di bidang kebudayaan mencatat kesatuan sosial masyarakat Miangas sangat kuat dilandasi sistem norma sosial dan rasa solidaritas sosial tinggi. “Warganya sangat mentaati norma adat atau eha. Ada Eha berlaku dlm pengelolaan perkebunan kelapa mulai dari memanam sampai memetiknya, penangkapan ikan, dan pelestarian hutan bakau,” jelas Bambang H. Suta Purwana selaku ketua tim penelitian dibidang kebudayaan masyarakat Pulau Miangas, di Jakarta, Selasa (21/12/2010).
Budaya masyarakat Miangas yang mulai dikenal masyarakat luar adalah upacara panen ikan secara kolektif yang disebut Manammi. “Kalau dapat ikan besar selalu ada jatah untuk janda dan anak yatim,” terang Bambang.
Selain itu juga ada upacara syukur tutup tahun dan doa awal tahun yang menjadi wahana ekspresi budaya masyarakat Miangas. “Biasanya ada pentas tarian Cakalele, dan lainnya,” kata Bambang.
Penelitian di bidang kebudayaan menyimpulkan tidak ada kebijakan pelestarian kebudayaan untuk membangun ketahanan sosial budaya masyarakat Miangas kecuali upaya promosi upacara manammi. Rekomendasinya, pendekatan kebudayaan dalam membangun ketahanan sosial budayanya, dilakukan pemerintah dengan merumuskan kebijakan penguatan adat-istiadat, kearifan lokal, dan kesenian lokal.
Penelitian di bidang pariwisata khususnya pengembangan wisata bahari di Miangas, mencatat panjang pantai pulau ini 6 Km. “Ada beberapa pantai yang potensial dijadikan sebagai obyek wisata bahari. Sementara upacara Manammi sudah menjadi event wisata bahari Kabupaten Kepulauan Talaud,” jelas Robby Binarwan selaku ketua tim penelitan di bidang pariwisata Pulau Miangas.
Pengembangan wisata bahari di pulau Miangas, lanjut Roby memerlukan langkah yang arif bijaksana dan kehati-hatian agar tidak menimbulkan masalah, seperti masalah disintegrasi, kerusakan lingkungan dan masalah lain terkait dengan sumberdaya manusia. ”Yang pasti pemgembangan wisata bahari harus memberi peluang bagi masyarakat agar mendatangkan kemakmuran. Misalnya dengan memanfaatkan tenaga kerja lokal,” jelasnya.
Pulau Miangas terletak di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Pulau ini tercatat sebagai salah satu di antara 92 pulau-pulau terluar, dan termasuk di antara 12 pulau yang kini mendapat perhatian khusus pemerintah Indonesia karena posisinya.
Luas Pulau Miangas 6.227 km2. Sementara penduduknya 763 orang atau 196 KK yang tinggal di 3 desa yakni Desa Karutung Utara, Tengah, dan Karutung Selatan dengan mata pencaharian utama sebagai petani kopra dan nelayan.
Bila ingin ke pulau yang berarti miangasa atau menangis ini sebaiknya di luar bulan Desember – Januari – Pebruari karena tidak ada kapal yang berani datang ke pulau ini mengingat besarnya gelombang ombak dari Samudera Fasifik. Pada bulan-bulan tersebut biasanya masyarakatnya sudah kehabisan beras dan barang kebutuhan hidup sehari-hari sehingga mereka harus memakan laluga, sejenis talas sebagai pengganti nasi.
Untuk mencapai pulau ini, dari Pelabuhan Bitung, Sulut dengan naik kapal perintis selama 3-4 hari. Sebaiknya membawa perlengkapan masak berikut logistik untuk makan dan ngemil selama di perjalanan laut yang panjang, pergi dan pulang.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Dok. Puslitbangbudpar, Kemenbudpar
0 komentar:
Posting Komentar