. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 09 September 2010

Tradisi Unik Lebaran, Menjaring Wisman


Mudik, ziarah ke kubur, silaturahmi saling mema’afkan, mengenakan baju terbaik, menyantap ketupat dan penganan khas lebaran seolah menyatu dalam perayaan lebaran, di hampir semua daerah di Tanah Air. Ternyata selain itu di beberapa tempat, masyarakatnya menyambut dan merayakan lebaran dengan tradisi khusus turun-temurun. Beberapa di antaranya berhasil menjadi obyek wisata budaya yang diminati turis asing. Tradisi khas lebaran apa saja?

Masyarakat Lampung Barat antara lain di Pekon (Desa) Canggu, Kecamatan Batu Brak, Lampung Barat, sekitar 269 Km dari Bandar Lampung misalnya memasang obor dan bakaran dari batok kelapa di sepanjang jalur lintas barat daerah itu dan juga di depan rumah untuk menyambut Idul Fitri sekaligus menjalankan tradisi malam pitu likur atau malam 27 Ramadhan. Alhasil jalur lintas barat dan permukiman warga terang oleh cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut.

Pitu likur berasal dari bahasa Jawa artinya angka ke-27. Kendati begitu, tradisi warisan nenek moyang tersebut dianggap asli Lampung.

Masyarakat di Lampung Barat meyakini budaya malam pitu likur ini dapat menghormati arwah leluhur yang biasanya menjelang Idul Fitri akan bertandang ke rumahnya. Sementara obor yang dinyalakan di jalan dan depan rumah setinggi 1 meter lebih, menjadi rambu pentunjuk sinar jalan agar leluhurnya mudah menemukan tempat tinggalnya dulu.

Tempurung kelapa mulai dibakar pada malam setelapas buka puasa sambil melantunkan doa-doa yang ditujukan ke arwah leluhur tercinta.

Budaya masyarakat Lampung Barat dalam menyambut lebaran ini diperkirakan bakal terus menyala setiap tahun. Kebiasaan yang unik ini bila dikemas menarik bisa menjadi menjadi daya tarik wisata budaya tersendiri, bagi wisatawan dari luar Lampung termasuk mancanegara.

Warga Yogyakarta lain lagi. Sudah ratusan silam masyarakatnya mengadakan upacara grebeg syawal atau pasa sebagai ucapan syukur berkenaan dengan berakhirnya Ramadhan sekaligus terbitnya fajar fitri. Perayaannya berpusat di alun-alun Keraton Jogja.

Acaranya berlangsung pada pukul 08.00 Wib. Tapi sejak pagi buta, masyarakat sudah tumpah ruah di sekitar keraton termasuk beberapa wisatawan lokal dan mancanegara yang sengaja atau cuma kebetulan berada di Kota Gudeg ini untuk mengabadikan jalannya upacara.

Upacara grebeg syawal diawali dengan iring-iringan prajurit keraton yang terdiri atas Prawitotomo, Jogokaryo, Ketangung, Daeng, dan Wirobrojo. Mereka berjalan berbaris rapi memasuki alun-alun utara kota. Saat itulah masyarakat Jogja dan pengunjung lain berdesakan ingin melihat dari dekat barisan prajurit yang mengenakan pakaian lengkap dengan atribut khas keraton, seolah berada di kerajaan tempo doeloe.

Puncak upacara setahun sekali ini terjadi saat pembagian gunungan nasi atau tumpengan. Peristiwa ini hampir serupa dengan upacara grebeg maulud yang digelar dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tumpengan berukuran besar berupa nasi kuning dan lauk pauk serta bermacam sayuran jadi rebutan warga dan pengunjung yang hadir. Mereka yakin tumpengan yang sudah dipanjatkan doa oleh para kyai, mendatangkan berkah dan rezeki.

Upacara serupa juga digelar di Solo, tepatnya di Masjid Agung Solo, Jawa Tengah. Dua gunungan yakni gunungan isteri dan jaler dikirab dari Keraton Kasunanan Surakarta menuju halaman masjid. Setelah didoakan, kedua gunungan itu menjadi rebutan warga dan pengunjung.

Di Kudus lain lagi. Warganya punya kegiatan khusus merayakan lebaran yang dinamakan bulusan. Seusai silaturahmi mereka mengunjungi sebuah kolam yang berisi penyu bernama Kyai Udo. Konon penyu ini diyakini membawa keberkahan dan keberuntungan bagi siapapun yang mengunjunginya. Kolam penyu tersebut berada di Desa Bareng Kadipolo, Kudus, Jawa Tengah.

Kebiasan lain masyarakat kudus seminggu pasca Idul Fitri melakukan bada kupat, yakni berkunjung ke lokasi wisata setempat seperti Colo Muria, Sendang Jodoh, Sendang Bulusan, dan Gondoarum. Di obyek wisata tersebut biasanya dimeriahkan dengan pesta seni dan musik dangdut.

Meriam Karbit
Di Kalimantan, tepatnya di Pontianak, Kalimantan Barat, warganya punya tradisi tersendiri dalam menyambut dan merayakan lebaran. Di sepanjang Sungai Kapuas yang membelah Kota Pontianak, warga setempat menyalakan meriam dari bambu berukuran besar dengan bahan bakar karbit hingga mendentumkan suara keras.

Tradisi menyembunyikan meriam karbit seolah menjadi ciri khas kota ini, bahkan pernah diperlombakan hingga menjadi tontonan warga dan pendatang termasuk wisatawan.

Tradisi menyulut meriam karbit di Pontianak konon sudah ada sejak ratusan silam. Tepatnya, saat Sultan Syarif Abdulrachman mendirikan Kota Pontianak. Tujuan awalnya untuk mengusir hantu kuntilanak. Tapi seiring waktu berubah maknanya sebagai petanda buka puasa dan juga untuk membangunkan orang sahur. Beberapa tahun belakangan ini, tujuannya bergeser untuk menyambut datangnya lebaran dan sekaligus meramaikannya. Saat itulah, dentuman meriam karbit yang di Jawa disebut bleguran ini terdengar saling bersahutan seperti sedang adu kekuatan.

Tradisi serupa juga kerap dilakukan orang Melayu Riau yang tinggal di pesisir Sumatera atau pulau-pulau sekitar Selat Malaka. Selain menyembunyikan meriam dari bambu kuning mereka juga membuat coluk, yakni sejenis lampu pelita atau di sini dikenal dengan lampu teplok atau obor.

Coluk terbuat dari bambu dan ada juga yang dari kaleng bekas susu yang diisi minyak tanah lalu diberi sumbu. Coluk dinyalakan pada malam-malam terakhir Ramadhan hingga usai Idul Fitri. Coluk biasanya ditempatkan di teras rumah, halaman depan, dan belakang rumah. Banyak juga yang meletakkan di tepi jalan dalam berbagai bentuk, terutama simbol-simbol keislaman seperti kubah masjid dan bintang.

Tradisi Orang Melayu dalam memeriahkan lebaran yang kian memudar padahal dulunya semarak adalah permainan pacu jalur atau perahu di Kuantan, Kabupaten Inderagiri Hulu. Begitupun dengan atraksi silat yang biasanya digelar pada malam-malam menjelang dan setelah lebaran, keesokan harinya dilanjutkan berziarah ke makam para pendekar silat ternama.

Nasib serupa juga dialami pagelaran bolaria, yakni sebuah tradisi budaya memeriahkan lebaran dalam bentuk opera ala Melayu. Pengelaran opera ini biasanya dilakukan warga Penyengat Inderasakti yang dikenal sebagai pulaunya para pujangga penyair Melayu Kuno.

Perang Topat
Lain lagi dengan Suku Sasak yang mendiami Lombok dan sekitarnya di Nusa Tenggara Barat (NTB). Masyarakat muslimnya punya tradisi lebaran yang disebut lebaran topat yang digelar seminggu setelah Idul Fitri.

Tradisi budaya ini diisi dengan serangkaian acara seperi ajang silaturahmi, syukuran (kendurian) di masing-masing rumah, mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid di masjid maupun surau dengan iringan beduk. Dilanjutkan berziarah ke makam alim ulama ataupun tokoh-tokoh agama yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Lombok seperti ke makam Loang Baloq dan makam Batu Layar di Senggigi, Lombok Barat. Ada juga yang ke makam keramat di Lembar dan makam Ketak di Lombok Tengah seraya melaksanakan bermacam kaul seperti memotong rambut atau ngurisan.

Di Pura Lingsar, Lombok Barat kerap diadakan perang topat yakni acara saling lempar ketupat yang dilakukan oleh para petani dan masyarakat yang tinggal di sekitar Pura pada sore hari. Mereka berkeyakinan dengan mengadakan acara tersebut, segala doa akan dikabulkan Tuhan YME.

Usai melakukan syukuran dan ziarah, masyarakat Lombok berduyun-duyun menuju pantai yang membentang sepanjang lebih kurang 95 Km, mulai dari Pelabuhan Lembar sampai ke Lombok Utara. Mereka berjalan beriringan sambil membawa aneka masakan ketupat berserta penganan.

Tradisi lebaran topat ini kerap dimeriahkan dengan bermacam kegiatan seni bernafaskan Islam seperti ceramah keagamaan, lomba kasidahan, zikir, dan lomba beduk sampai atraksi dayung dan berselancar.

Tak jarang pemerintah setempat atau tokoh agama memanfaatkan acara ini untuk memberi penyuluhan tentang masalah sosial, kelestarian alam, dan lainnya yang disisipkan dalam ceramah.

Selain diikuti oleh warga Pulau Lombok dan pengunjung, ritual budaya ini juga diminati wisman. Mereka ikut berbaur bersama warga, bahkan ikut saling lempar ketupat. Mereka tampak antusias dengan tradisi budaya warga Lombok yang mencerminkan kerukunan meski berbeda suku dan agama.

Naskah & foto: Adji Kurniawan
(adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP