. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 06 Oktober 2009

Serunya Makan Mie Aceh di Pesawat Saat Terbang



Menyan- tap Mie Aceh di rumah makan yang tersebar di Banda Aceh maupun di kota lain termasuk Jakarta, itu sudah biasa. Tapi kalau makannya di dalam pesawat saat terbang, itu baru tidak biasa. Kok bisa?

Ceritanya begini. Lantaran padatnya jadual press tour “Menelusuri Jejak Masjid & Peninggalan Bersejarah di Aceh” yang diadakan Direktorat Nilai Sejarah, Dirjen Sejarah & Purbakala (Sepur), Depbudpar beberapa waktu lalu, sampai tidak ada waktu untuk menikmati kuliner khas Tanah Rencong ini, di salah satu rumah makannya dengan santai.

Pas hari terakhir setelah 5 hari berkeliling 4 kabupaten, Kota Banda Aceh, dan Sabang, Pulau Weh, akhirnya baru sempat mampir ke Restoran Mie Razali atas rujukan Drs. Shabri A, Direktur Nilai Sejarah, 1 jam sebelum pesawat tinggal landas menuju Jakarta.

Menurut Shabri, resto yang berada di tepi jalan raya Panglima Polim, dekat dealer Suzuki itu salah satu resto bermenu Mie Aceh yang enak di Banda Aceh. Selain itu, juga ada Mie Goreng Special Kepiting dengan harga Rp 28.000 per porsinya. Sebenarnya aku ingin menyantap mie goreng specialnya itu, tapi karena waktu sudah mepet. Akhirnya Sri Suharni, Kasi Publikasi & Dokumentasi, Direktorat Nilai Sejarah, cuma memesan 10 Mie Aceh yang dibungkus.

Waktu sang koki asyik memasak Mie Aceh, aku dan Sri mengintipnya bahkan Sri membantu mengaduk mie yang sedang merangsang di dalam wajan besar. Sebentar-bentar HP Sri berbunyi di telepon rekan lain yang sudah lebih dulu tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) untuk segera ke bandara. “Mas cepetan masaknya, nanti kami ketinggalan pesawat,” kata Sri kepada sang koki. Untuk mempercepat waktu, kami pun membantu karyawan resto itu memasukkan acar ke dalam kantung plastik agar cepat selesai. Acar timun dan wortel dan cabe itu menjadi teman santap Mie Aceh.

Setengah jam kemudian, 10 bungkus Mie Aceh selesai dibungkus. Sri kemudian membayarnya di kasir. Kami segera bergegas ke mobil lalu menuju bandara. Sepanjang perjalanan ke bandara beberapakali HP Sri berbunyi lagi. Ia terpaksa berbohong, bilang sudah dekat bandara padahal masih jauh.

Kami sempat tegang, karena sebentar lagi pesawat tinggal landas. “Agak cepatan mas bawa mobilnya, tapi hati-hati ya,” kata Sri. Untunglah, setibanya di bandara SIM pesawat belum berangkat. Kami segera menghampirinya sambil lari-lari seperti dikejar-kejar setan.

Setelah pesawat take off dan peringatan membuka sabuk pengaman diperbolehkan bagi penumpang yang hendak ke toilet dan lainnya, saya pun membagikan bungkusan Mie Aceh yang tidak sempat kami santap di bandara. Masing-masing rekan juga kebagian satu minuman kotak. Lengkap sudah.

Saat menyantapnya, beberapa penumpang nampak memperhatikan kami. Maklum mungkin baru ini mereka melihat ada sekelompok penumpang pesawat makan Mie Aceh bungkus di dalam pesawat saat terbang. Meski aroma tidak begitu menyengat lagi karena mie-nya sudah dingin, tetap saja bau khasnya masih tercium oleh beberapa penumpang, terutama yang duduk dekat dengan kami.

Sewaktu turun dari pesawat, salah seorang pramugari sempat bilang. “Duh mas, seru banget makan Mie Acehnya tadi. Baru kali lho ada penumpang yang melakukannya,” katanya. Aku cuma bilang, sebenarnya terpaksa karena mubazir kalau tidak dimakan. “Kalau dimakannya di Jakarta kan dah nggak seru lagi”. Mendengar balasanku, si pramugari cantik itu pun tersenyum manis.

Menyantap Mie Aceh di dalam pesawat yang tengah melintasi sekumpulan awan sore di ketinggian 3.000 kaki di atas Banda Aceh, tentu bukan sekadar pengalaman yang tak biasa tapi juga sulit terlupakan.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)


0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP