Catatan Petualangan Agatra Sraya: Menyusuri Pantai dan Hutan Ujung Kulon
Berbekal beberapa kali menjelajahi Ujung Kulon, saya beranikan diri membawa adik-adik kelas saya ke sana. Bukan semata untuk mempelajari teknik susur pantai dan hutan pesisir yang benar, pun berharap bertemu sang primadonanya, Badak Jawa.
Adik-adik kelas saya itu, ketika itu Desember 1994, masih kelas 1 dan 2 SMA. Ada Pengky, Army, Alban, Anisul, Bramasta, Nunun, dan Abdul.
Sementara saya pun masih berstatus mahasiswa perguruan tinggi swasta di bilangan Selatan Jakarta.
Satu lagi Rizal, satu tahun di atas saya dan juga kuliah di kampus yang sama dengan saya, cuma beda jurusan.
Kendati beda usia, saya dan Rizal cukup dekat dengan ketujuh adik itu berkat ikatan batin yang kuat lantaran sesama satu organisasi pecinta alam Agatra Sraya yang berbasis di Jakarta.
Perjalanan kami 9 orang ke Ujung Kulon yang berstatus Taman Nasional, bukan sekadar untuk mendapatkan atmosfir petualangan baru (maklum selama ini ketujuh adik saya itu baru mengenal mendaki gunung, turun tebing, dan survival saja), melainkan sekaligus menggelar acara pelantikan 2 anggota baru Agatra Sraya (Nunun dan Abdul).
Perjalanan kami awali dari Jakarta dengan bus menuju Labuan, Pandeglang sekitar 4 jam, lalu dilanjutkan naik mobil Elf 300 menuju Sumur sekitar 2 jam.
Sumur itu sebuah Kecamatan di Kabupaten Pandeglang, Banten yang merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK).
Di Sumur, kini terdapat beberapa pulau yang dijadikan objek wisata seperti Pulau Umang dan Oar.
Saat ini, pengunjung pun bisa menyewa kapal motor nelayan setempat, dari Sumur untuk menuju Tanjung Lame, lokasi awal petualangan ke kawasan TNUK maupun langsung ke Pulau Peucang.
Tapi saat kami ke sana, jumlah kapalnya masih amat terbatas.
Saya pun memutuskan untuk tidak naik kapal ke Taman Jaya ataupun Legon Pakis melainkan memilih via darat karena sesuai isi kantong kami.
Alasan lainnya kalau lewat darat petualangannya jauh lebih kental, dan itulah yang saya cari.
Dari pertigaan Sumur saya putuskan naik ojek motor sampai Taman Jaya yang merupakan salah satu pintu gerbang utama ke TNUK.
Di sana terdapat pos dan beberapa fasilitas pengunjung seperti wisma tamu dan lainnya.
Kenapa naik ojek motor? Karena saat itu mobil belum bisa ke Taman Jaya lantaran banyak jembatan yang masih terbuat dari batang-batang pohon kelapa dan jalannya pun belum beraspal.
Bahkan waktu pertama kali saya ke Ujung Kulon tahun 1991, bersama teman-teman pecinta alam Tapal-IISIP Jakarta dengan pimpinan rombongan Prosper, ketika itu kami jalan kaki dari Sumur ke Taman Jaya, berangkat malam hari tiba di Taman Jaya jelang pagi.
Setibanya di Taman Jaya, saya melapor ke petugas setempat. Sementara adik-adik saya istirahat.
Esok pagi selepas sarapan dan pembukaan acara pelantikan di pos 1 Taman Jaya, kami memulai perjalanan menuju habitat asli Badak Jawa itu.
Medan yang kami tempuh melewati beberapa kampung nelayan yang rumahnya rata-rata amat sederhana beratap berarak daun kelapa kering.
Suasana perkampungan itu pun masih sangat sepi, terkesan desa yang tertinggal tapi alamnya rindang dengan pepohonan terutama pohon kelapa.
Akhirnya kami sampai di Pos Tanjung Lame, Desa Ujung Jaya yang merupakan batas terakhir kawasan penyangga menuju kawasan TNUK.
Trek yang kami lalui masih banyak perkebunan kelapa, namun rumah penduduk sudah sangat jarang.
Selepas pos itu, petualangan sebenarnya dimulai. Semak belukar dan hutan sudah menemami kami namun setapak terlihat jelas hingga akhirnya kami menuju pantai.
"Horeee.., akhirnya ketemu pantai," teriak Army dengan mimik senang.
Sepertinya dia ingin menyemangati rekan-rekannya, terutama dua adik kelasnya yang tengah dilantik itu.
Selanjutnya kami menyusuri pantai hingga bertemu muara pertama, Sungai Cilintang.
Kalau pas di muaranya memang tidak ada jembatan. Tapi saya penasaran, setelah saya periksa agak ke dalam, alhamdulillah ternyata sudah ada jembatan kayu yang melintang di atas sungai itu.
Kalau tidak ada, terpaksa kami menyeberangi muara itu berbasah-basah seperti waktu pertama kali saya ke Ujung Kulon dengan Tapal, karena ketika itu memang belum ada jembatan kayunya.
Melihat kondisi jembatan itu yang apa adanya, saya sarankan adik-adik saya jalan satu per satu dengan super hati-hati.
Sebab kalau patah dan jatuh ke sungai berbahaya, soalnya beberapa sungai di Ujung Kulon masih dihuni buaya.
Saya takut jembatan rapuh itu patah, terutama ketika Alban melewatinya. Maklum postur adik saya satu ini paling berat (gendut) dibanding yang lain. Tapi syukurlah semua aman-aman saja.
Seusai meniti jembatan itu, medan hutan bakau dan rawa menyambut kami. Ini tantangan kami berikutnya.
Melewati hutan bakau berawa-rawa memberikan sensasi petualangan tersendiri. Walaupun trek-nya datar tapi seru, beda sekali dengan medan hutan di gunung.
Akhirnya kami berhasil melewati hutan bakau itu dan selanjutnya memasuki kelebatan hutan Semenanjung Ujung Kulon sampai bertemu pertigaan setapak.
Kalau ke kiri itu ke Pos Kalajetan sedangkan ke kanan ke Pos Karang Ranjang. Kami pilih ke kanan sesuai tujuan.
Aroma khas hutan hujan tropis dengan keteduhannya terasa sekali saat melintasinya trek hutan itu sampai ke pos Karang Ranjang.
Deburan ombak sudah mulai terdengar di sepanjang setapak yang kami lewati, dan semakin keras terdengar saat tiba di Karang Ranjang yang merupakan daerah pantai Selatan.
Pos itu dinamakan demikian karena banyak terdapat hamparan batu karang berukuran lebar berbentuk seperti ranjang atau tempat tidur.
Potensi wisata alam Karang Ranjang tak hanya aneka karang dan formasi gelombang besar, pun bentangan pasir putih keemasan sebagai arena penelusuran penyu.
Tepian pantai Karang Ranjang dipagari beragam vegetasi hutan pantai, terutama jenis pandan laut. Di lokasi ini sering dijumpai biawak dan berbagai jenis burung laut seperti Elang Bido dan burung Raja Udang.
Ada semacam peraturan tak tertulis yang harus diketahui penelusur bila ingin memasuki hutan di kawasan semenanjung Ujung Kulon ini, yakni jangan berpakaian warna hijau dan jangan makan sambil jalan.
Setibanya di Karang Ranjang, kami disuguhi senja fantastik. Kami luruskan kaki di pasir putihnya.
Malam harinya, teliga kami pun dimanjakan dengan nyanyian alam berupa deburan ombak yang terdengar jelas sampai ke peraduan. Heemmm.., sebuah simponi sabda alam nan megah yang sampai kini masih terekam dalam ingatan.
Sayangnya Pengky (ketua Agatra Sraya ketika itu) yang kakinya ke siram air panas sewaktu di Taman Jaya, ternyata luka bakarnya infeksi karena terkena pasir pantai dan air asin laut. Badannya pun meriang.
Akhirnya setelah saya pertimbangkan masak-masak dan juga melihat kondisi Pengky, saya putuskan melarang Pengky melanjutkan perjalanan dan menitipkannya di rumah Tohran, salah satu penduduk di depan Pos Taman Jaya.
Sebagai ketua rombongan saya harus tegas mengambil keputusan itu meskipun dalam hati tak tega. Namun karena ini bukan sekadar petualangan tapi pelantikan, acara harus terus berjalan.
Selepas menitipkan Pengky, kami lanjutkan perjalanan.
Esok paginya kami bergerak menuju Cibandawoh yang berjarak enam kilometer dari pos Karang Ranjang. Cibandawoh memilki portensi wisata berupa bentangan pantai landai berpasir putih lengkap dengan kicauan berbagai burung laut.
Ada dua pilihan mencapai Cibandawoh yakni melalui jalan setapak hutan atau menyelusuri pantai sepanjang 1,5 Km hingga Pamancatan.
Lokasi Pamancatan ditandai batu karang besar sebagai tanda memasuki hutan. Akhirnya rute ini bertemu dengan jalur hutan, kemudian jadi searah menembus Tanjung Telereng.
Sepanjang jalan menuju tanjung ini, kadang terlihat burung merak, babi hutan, dan kancil.
Batas akhir Tanjung Telereng ditandai dengan sebuah legon, yaitu Legon Pengukusan.
Menurut legenda, pada zaman dulu legon ini merupakan pintu gerbang Kerajaan Harimau. Dari sini perjalanan ke shelter Cibandawoh tinggal 2,5 Km.
Perjalanan berikutnya ke Cikeusik Luhur. Satu-satunya jalan mencapai lokasi tersebut adalah menelusuri medan pantai ke arah Barat sepanjang sekitar 12 Km dari Cibandawoh.
Cikeusik Luhur sendiri mempunyai obyek alam yang unik, berupa kuala yang membentang lebar akibat aliran sungai terhalang hamparan pasir lunak.
Di sini, kami mendirikan dua tenda domme, merasakan nge-camp di pantai yang jelas berbeda sekali suasananya dibanding di gunung apalagi bumi perkemahan. Ini di alam liar, kawasan taman nasional.
Di sini kami sesekali berteduh sejenak di bawah kerindangan hutan pantai yang melatarbelakangi pantainya sambil menyaksikan burung-burung pemakan ikan yang kerap mendatangi kuala.
Tahap berikutnya masih harus kami tempuh dengan cara yang sama, yakni menyusuri pantai pasir putih ke arah Barat melewati Cikeusik Barat dan Citadahan menuju Cibunar.
Lokasi yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Cikeusik Luhur ini merupakan pos persimpangan menuju Pulau Peucang dan Sanghyang Sirah.
Medan pantai dari Cibandawoh sampai Cibunar inilah yang dijuluki pantai 'penyiksaan' yang sesungguhnya oleh para penelusur, karena tak ada alternatif jalan lain.
Sebelum memasuki kawasan Cibunar, kami disuguhi sebuah gejala alam yang unik berupa endapan batu karang berhias hempasan riak.
Formasi batunya berundak seperti tangga sepanjang 500 meter. Sedangkan di atasnya menghampar padang rumput pengembalaan alami, tempat sejumlah benteng liar merumput.
Kami memilih tetap melewati pantai bukan mengambil arah lewat padang pengembalaan tersebut.
Pos Cibunar berada di seberang sungai berkolam alami yang asyik digunakan untuk mandi dan berenang. Di sini pesona matahari terbenam terlihat eksotik.
Pos ini merupakan titik terakhir penelusuran pantai wilayah Selatan Semenanjung Ujung Kulon, sekaligus tempat untuk melampiaskan jerih payah usai menempuh perjalanan panjang. Biasanya pengunjung bermalam di sini.
Di pos ini, dilema kembali menyapa saya. Andai saja Pengky tak sakit dan ikut serta, kemungkinan saya akan lanjutkan membawa adik-adik saya dari Cibunar ke Gunung Payung, Sanghyang Sirah lalu ke Tanjung Layar baru berakhir ke Pulau Peucang. Tapi butuh minimal dua hari lagi untuk sampai ke Pulau Peucang.
Pilihan terdekat langsung ke Cidaon lalu menyeberang selat ke Pulau Peucang. Dan acara pelantikannya di Pulau Peucang.
Tapi karena teringat Pengky yang ditinggal sendirian dan tak tahu pula kabarnya saat itu, akhirnya saya putuskan untuk kembali ke Pos Karang Ranjang dan Taman Jaya lewat rute semula.
Sama seperti perjalanan berangkat, di perjalanan pulang pun kami tak beruntung menemukan Sang Primadona Ujung Kulon, Badak Jawa.
Namun saya bersyukur sudah berhasil membawa adik-adik saya merasakan petualangan menyusuri pantai dan hutan pesisir Ujung Kulon serta melantik 2 angggota baru dengan upacara resmi di pantai saat air laut masih pasang. Ah itu pun sudah amat berkesan.
TravelTips
Kalau Anda ingin berpetualang seperti kami di Ujung Kulon setelah membaca artikel ini, sebaiknya dicek kembali apakah taman nasional ini sudah dibuka kembali untuk pengunjung atau belum.
Soalnya, pascatsunami Selat Sunda 22 Desember 2018, TNUK ditutup lantaran terdampak bencana tersebut.
Jika sudah dibuka, lewat pintu masuk mana yang boleh dimasuki, apakah Taman Jaya, Tanjung Lame, Pulau Peucang, atau Pulau Handeuleum.
Keempat pintu masuk tersebut dapat dicapai langsung dari Sumur, yang merupakan titik awal memulai kunjungan ke seluruh penjuru taman nasional ini, termasuk dua kawasan yang jarang dikunjungi yakni Pulau Panaitan dan Gunung Honje.
Tiket masuk bisa dibeli di kantor Balai TNUK di Jl. Raya Labuan, Pandeglang.
Kalau memilih masuk via laut dengan menyewa kapal motor nelayan berkapasitas maksimal 30 orang atau 20 orang plus barang p/p dari Sumur bisa ke Tanjung Lame, Pulau Peucang ataupun Pulau Handeuleum.
Kalau lewat darat, dari Labuan ke Sumur naik mobil angkot Elf 300. Atau carter bus bila rombongan. Dari pertigaan Sumur ke Taman Jaya naik ojek sepeda motor kemudian trekking berjalan kaki ke sejumlah objeknya.
Setiap kunjungan dan kegiatan di negeri Badak Jawa ini harus didampingi oleh pemandu wisata atau polisi hutan (jagawana).
Untuk perjalanan panjang dengan tujuan melacak Badak, dan lainnya perlu juga porter. Pemandu tersedia di Taman Jaya, Peucang, dan Pulau Handeuleum sedangkan porter bersertifikat di Taman Jaya dan Labuan, biayanya sesuai kesepakatan.
Pengunjung harus membawa bekal makan, minum, obat-obatan pribadi, dan perlengkapan perjalanan lain yang cukup selama kegiatan, termasuk untuk pemandu dan porter. (Baca juga: Susur Pantai Itu Beda Teknik dan Atmosfir dengan Daki Gunung)
Kalau cuma sekadar rekreasi, cukup bawa duit langsung menyewa kapal motor nelayan ke Pulau Peucang dari Sumur sekitar 1 jam-an atau bisa juga dari Labuan 4 jam-an. Di sana sudah tersedia penginapan dan kafetaria.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Susur pantai Karang Ranjang - Cibunar di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), Banten.
2. Acara pembukaan pelantikan 2 anggota Agatra Sraya di TNUK, pos Taman Jaya.
3. Istirahat di Pos Taman Jaya, TNUK.
Meniti jembatan kayu di atas salah satu sungai di Ujung Kulon.
4. Pesona Karang Ranjang dengan deburan ombak keras dan formasi baruan karang seperti ranjang.
5. Tohran (kaos putih) paling depan warga lokal Taman Jaya, TNUK yang baik hati, tempat Pengky dititipkan saat sakit di rumahnya. Mudah-mudan dia panjang umur dan sehat wal afiat.
6. Nge-camp di tepi pantai Semenanjung Ujung Kulon.
7. Santai di pos di tengah hutan.
NB.: terimakasih buat Rizal dan ketujuh adik saya (Pengky, Army, Alban (alm), Anisul, Bramasta, Nunun, dan Abdul) di Agatra Sraya atas petualangan di Ujung Kulon hampir 25 tahun silam.
Tak mudah mengumpulkan ingatan termasuk foto-foto petualangan jadul itu.
Untungnya dokumentasinya saya temukan, dan Pengky, Army serta lainnya masih ingat beberapa momen penting dan menyimpan beberapa foto dalam petualangan itu. Alhasil jadilah artikel ini.
Semoga saja bisa menjadi pengingat dan penguat kembali ikatan batin yang sudah sekian lama tercerai-berai itu, dan tentunya tulisan ini menjadi sepenggal sejarah Agatra Sraya yang bermakna.
*******
0 komentar:
Posting Komentar