Akankah Sulteng Bangun Objek Wisata Tsunami dan Likuifaksi?
Sejumlah provinsi yang pernah tertimpa bencana alam hebat antara lain Aceh (gempa & tsunami), Sumatera Barat (gempa), dan Yogyakarta (gempa & erupsi Merapi) setelah recovery, ketiganya membangun objek wisata gempa dan tsunami. Ada yang berbentuk museum, monumen, bermacam bangunan sisa kedasyatan bencana, dan lainnya.
Bagaimana dengan Sulawesi Tengah (Sulteng), akankah nanti ada objek wisata tsunami dan likuifaksi akibat gempa dengan magnitude 7,4 SR yang berpusat di Timur Laut Donggala pada Jumat (28/9/2018)?
Bangunan apa saja yang bisa dijadikan sebagai objek wisata tersebut? Dan apa manfaatnya dari sisi pariwisata dan ilmu pengetahuan?
Berdasarkan foto-foto yang tersebar di medsos, ada beberapa bangunan yang sepertinya pantas dijadikan objek wisata tsunami dan likuifaksi di Sulteng.
Pertama, bangunan masjid. Sekurangnya ada 3 masjid yakni Masjid Al Amin, Masjid Apung, dan Masjid Perumnas Balaroa.
Ketiga masjid itu menyita perhatian warganet lantaran berkisah menakjubkan.
Masjid Al Amin yang berada di Kampung Malambora, Kabupaten Donggala misalnya tetap perkasa, berdiri kokoh meskipun diguncang gempa lalu dihantam tsunami, sementara bangunan di sekitarnya hancur.
Padahal masjid tua yang sekilas bercorak Arab-Melayu-Tionghoa itu berada di pesisir Pantai Malambora, hanya berjarak 20 langkah dari bibir pantai, tidak jauh dari Pelabuhan Wani.
Kabarnya masjid tersebut dibangun tahun 1906 dan merupakan salah satu cagar budaya yang berada di kompleks perumahan Kampung Arab.
Begitupun dengan Masjid Apung yang berada di Teluk Palu, tepatnya di Jalan Rono, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu yang tak kalah hebatnya.
Masjid yang bernama asli Masjid Arqam Bab Al Rahman itu masih terlihat keberadaannya kendati sebagian badannya kini tenggelam air laut.
Kendati bukan masjid apung pertama di Tanah Air, Masjid Apung Palu telah menjadi salah satu ikon landmark Palu.
Masjid Arqam yang diresmikan pada Desember 2011 itu mampu menampung 200 jamaah.
Setelah diguncang gempa dan diterjang tsunami, masjid yang tertancap oleh pilar-pilar sampai kedalaman 10 meter ini tinggal atapnya saja.
Lain lagi dengan Masjid Perumnas Balaroa, di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Masjid satu ini bisa menjadi objek wisata likuifaksi.
Kepala Pusdatin dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di kantornya, Jl Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu (6/10/2018) menjelaskan kompleks rumah Balaroa mengalami amblesan seluas 47,8 hektare.
Jumlah korban yang ditemukan baru 82 orang meninggal dan ada rumah 1.405 unit yang rusak karena amblas 3 meter dan terangkat sampai 2 meter.
Termasuk seluruh badan Masjid Perumnas Balaroa tersebut yang ambles. Namun kubah-kubah berwarna emas dan menaranya masih utuh.
Likuifaksi atau pencairan tanah padat sampai berubah menjadi lumpur itu juga terjadi di Kelurahan Petobo, masih termasuk wilayah Kota Palu dan Jono Oge, Kabupaten Sigi.
Di Petobo, luas amblesan 180 hektare. Rumah terdampak 2.050 unit dan jumlah korban yang tewas 104 orang.
Sementara di Jono Oge yang ambles sekitar 202 hektare dengan 366 unit bangunan yang rusak dan sampai sekarang korban belum ditemukan.
Total luas daerah yang dilanda likuifaksi di Palu dan Sigi menurut BNPB seluas 429,8 hektare dengan bangunan yang rusak diperkirakan berjumlah 3.461 unit.
Objek kedua yang bisa dijadikan sebagai objek wisata tsunami adalah kapal dan perahu.
Kapal KM Sabuk Nusantara (Sanus) 39 salah satunya. Sebab kapal berkapasitas 400 penumpang dengan panjang 62 meter, ukuran GT 1200, dan lebar 12 meter ini terseret ombak tsunami sejauh 70 meter sampai menghantam daratan, kemudian menabrak pemukiman di dermaga, dan akhirnya terdampar di Wani, tepatnya di Kampung Wani 2, Kabupaten Donggala.
Ada lagi Kapal TNI AL yang terdampar di jalanan Watusampu, Ulujadi, Palu juga akibat tersapu tsunami.
Termasuk beberapa perahu kayu di Pantai Taipa, Palu Utara, Kota Palu yang terdampar ke daratan sisi jalan raya. Ada juga bangkai perahu yang terseret sampai posisinya terbalik.
Ketiga, Tugu Peringatan Gerhana Matahari Total, 9 Maret 2016 di Anjungan Nusantara, pantai Teluk Palu yang tetap tegar berdiri di antara reruntuhan puing-puing.
Tak ketinggalan Tugu Patung Kuda (Horse Statue) yang tetap berdiri gagah di pesisir Pantai Talise, Jalan Rajamoili, Palu.
Keempat, mobil bercat ijo yang tersangkut di atap rumah di kawasan Pantai Talise, tepatnya di halaman TVRI Palu.
Kelima, Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele atau Jembatan Kuning yang hancur akibat gempa dan tsunami itu.
Jembatan lengkung pertama di Indonesia itu membentang di atas Teluk Talise yang menghubungkan Kecamatan Palu Timur dan Palu Barat.
Dengan menjadikan sejumlah bangunan masjid, kapal, perahu, mobil, tugu, dan jembatan itu sebagai objek wisata tsunami dan likuifaksi jelas bukan hanya sekadar menjadi saksi-saksi bisu untuk mengenang bencana hebat itu, pun kelak sebagai daya tarik wisata baru bagi Sulteng.
TravelPlus Indonesia pun memandang perlu Sulteng membuat Museum Likuifaksi, bukan semata sebagai objek wisata, pun sarana ilmu pengetahuan agar masyarakat Indonesia dan dunia semakin melek dengan likuifaksi.
Soalnya jenis bencana yang satu itu menurut Ahli Geologi dari Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion berbeda dengan tsunami sebagaimana dikutip Antara.
Kata John, tsunami terjadi karena permukaan laut terganggu baik oleh gerakan patahan atau longsor di bawah laut. Sedangkan likuifaksi terbentuk lantaran sedimen yang kaya akan air terguncang hebat oleh gempa.
Fenomena likuifaksi di Sulteng yang menggemparkan itu bukan pertama kali terjadi di Indonesia.
Sebelumnya tercatat terjadi pascagempa berskala 5,9 SR di Yogyakarta, 27 Mei 2006 dan di Lombok tepatnya setelah gempa 7,0 SR di Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, 10 Agustus 2018.
Namun yang paling menyeramkan sekaligus mengagetkan khalayak, ya likuifaksi yang terjadi di Sulteng itu.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. TravelPlus Indonesia saat berkunjung ke Monumen Tsunami di Kota Sigli, Aceh. (foto: ajeer osama)
2. Sisa Masjid Terapung Palu. (dok. @anto.scout)
3. Masjid Al Amiin di Kampung Malambora, Kabupaten Donggala, Sulteng yang perkasa walau dihempas tsunami. (dok. kumparan)
4. Kapal KM Sabuk Nusantara 39 yang terdampar di Wani. (dok. @drixsetiawan)
5. Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele atau Jembatan Kuning yang roboh. (dok. @like_palu)
6. Masjid Perumnas Balaroa 'tertelan' likuifaksi namun masih tersisa kubah dan menaranya. (dok. @anto.scout)
Bagaimana dengan Sulawesi Tengah (Sulteng), akankah nanti ada objek wisata tsunami dan likuifaksi akibat gempa dengan magnitude 7,4 SR yang berpusat di Timur Laut Donggala pada Jumat (28/9/2018)?
Bangunan apa saja yang bisa dijadikan sebagai objek wisata tersebut? Dan apa manfaatnya dari sisi pariwisata dan ilmu pengetahuan?
Berdasarkan foto-foto yang tersebar di medsos, ada beberapa bangunan yang sepertinya pantas dijadikan objek wisata tsunami dan likuifaksi di Sulteng.
Pertama, bangunan masjid. Sekurangnya ada 3 masjid yakni Masjid Al Amin, Masjid Apung, dan Masjid Perumnas Balaroa.
Ketiga masjid itu menyita perhatian warganet lantaran berkisah menakjubkan.
Masjid Al Amin yang berada di Kampung Malambora, Kabupaten Donggala misalnya tetap perkasa, berdiri kokoh meskipun diguncang gempa lalu dihantam tsunami, sementara bangunan di sekitarnya hancur.
Padahal masjid tua yang sekilas bercorak Arab-Melayu-Tionghoa itu berada di pesisir Pantai Malambora, hanya berjarak 20 langkah dari bibir pantai, tidak jauh dari Pelabuhan Wani.
Kabarnya masjid tersebut dibangun tahun 1906 dan merupakan salah satu cagar budaya yang berada di kompleks perumahan Kampung Arab.
Begitupun dengan Masjid Apung yang berada di Teluk Palu, tepatnya di Jalan Rono, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu yang tak kalah hebatnya.
Masjid yang bernama asli Masjid Arqam Bab Al Rahman itu masih terlihat keberadaannya kendati sebagian badannya kini tenggelam air laut.
Kendati bukan masjid apung pertama di Tanah Air, Masjid Apung Palu telah menjadi salah satu ikon landmark Palu.
Masjid Arqam yang diresmikan pada Desember 2011 itu mampu menampung 200 jamaah.
Setelah diguncang gempa dan diterjang tsunami, masjid yang tertancap oleh pilar-pilar sampai kedalaman 10 meter ini tinggal atapnya saja.
Lain lagi dengan Masjid Perumnas Balaroa, di Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Masjid satu ini bisa menjadi objek wisata likuifaksi.
Kepala Pusdatin dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam jumpa pers di kantornya, Jl Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu (6/10/2018) menjelaskan kompleks rumah Balaroa mengalami amblesan seluas 47,8 hektare.
Jumlah korban yang ditemukan baru 82 orang meninggal dan ada rumah 1.405 unit yang rusak karena amblas 3 meter dan terangkat sampai 2 meter.
Termasuk seluruh badan Masjid Perumnas Balaroa tersebut yang ambles. Namun kubah-kubah berwarna emas dan menaranya masih utuh.
Likuifaksi atau pencairan tanah padat sampai berubah menjadi lumpur itu juga terjadi di Kelurahan Petobo, masih termasuk wilayah Kota Palu dan Jono Oge, Kabupaten Sigi.
Di Petobo, luas amblesan 180 hektare. Rumah terdampak 2.050 unit dan jumlah korban yang tewas 104 orang.
Sementara di Jono Oge yang ambles sekitar 202 hektare dengan 366 unit bangunan yang rusak dan sampai sekarang korban belum ditemukan.
Total luas daerah yang dilanda likuifaksi di Palu dan Sigi menurut BNPB seluas 429,8 hektare dengan bangunan yang rusak diperkirakan berjumlah 3.461 unit.
Objek kedua yang bisa dijadikan sebagai objek wisata tsunami adalah kapal dan perahu.
Kapal KM Sabuk Nusantara (Sanus) 39 salah satunya. Sebab kapal berkapasitas 400 penumpang dengan panjang 62 meter, ukuran GT 1200, dan lebar 12 meter ini terseret ombak tsunami sejauh 70 meter sampai menghantam daratan, kemudian menabrak pemukiman di dermaga, dan akhirnya terdampar di Wani, tepatnya di Kampung Wani 2, Kabupaten Donggala.
Ada lagi Kapal TNI AL yang terdampar di jalanan Watusampu, Ulujadi, Palu juga akibat tersapu tsunami.
Termasuk beberapa perahu kayu di Pantai Taipa, Palu Utara, Kota Palu yang terdampar ke daratan sisi jalan raya. Ada juga bangkai perahu yang terseret sampai posisinya terbalik.
Ketiga, Tugu Peringatan Gerhana Matahari Total, 9 Maret 2016 di Anjungan Nusantara, pantai Teluk Palu yang tetap tegar berdiri di antara reruntuhan puing-puing.
Tak ketinggalan Tugu Patung Kuda (Horse Statue) yang tetap berdiri gagah di pesisir Pantai Talise, Jalan Rajamoili, Palu.
Keempat, mobil bercat ijo yang tersangkut di atap rumah di kawasan Pantai Talise, tepatnya di halaman TVRI Palu.
Kelima, Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele atau Jembatan Kuning yang hancur akibat gempa dan tsunami itu.
Jembatan lengkung pertama di Indonesia itu membentang di atas Teluk Talise yang menghubungkan Kecamatan Palu Timur dan Palu Barat.
Dengan menjadikan sejumlah bangunan masjid, kapal, perahu, mobil, tugu, dan jembatan itu sebagai objek wisata tsunami dan likuifaksi jelas bukan hanya sekadar menjadi saksi-saksi bisu untuk mengenang bencana hebat itu, pun kelak sebagai daya tarik wisata baru bagi Sulteng.
TravelPlus Indonesia pun memandang perlu Sulteng membuat Museum Likuifaksi, bukan semata sebagai objek wisata, pun sarana ilmu pengetahuan agar masyarakat Indonesia dan dunia semakin melek dengan likuifaksi.
Soalnya jenis bencana yang satu itu menurut Ahli Geologi dari Universitas Saint Louis AS, John Encarnacion berbeda dengan tsunami sebagaimana dikutip Antara.
Kata John, tsunami terjadi karena permukaan laut terganggu baik oleh gerakan patahan atau longsor di bawah laut. Sedangkan likuifaksi terbentuk lantaran sedimen yang kaya akan air terguncang hebat oleh gempa.
Fenomena likuifaksi di Sulteng yang menggemparkan itu bukan pertama kali terjadi di Indonesia.
Sebelumnya tercatat terjadi pascagempa berskala 5,9 SR di Yogyakarta, 27 Mei 2006 dan di Lombok tepatnya setelah gempa 7,0 SR di Desa Selengen, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, 10 Agustus 2018.
Namun yang paling menyeramkan sekaligus mengagetkan khalayak, ya likuifaksi yang terjadi di Sulteng itu.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. TravelPlus Indonesia saat berkunjung ke Monumen Tsunami di Kota Sigli, Aceh. (foto: ajeer osama)
2. Sisa Masjid Terapung Palu. (dok. @anto.scout)
3. Masjid Al Amiin di Kampung Malambora, Kabupaten Donggala, Sulteng yang perkasa walau dihempas tsunami. (dok. kumparan)
4. Kapal KM Sabuk Nusantara 39 yang terdampar di Wani. (dok. @drixsetiawan)
5. Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele atau Jembatan Kuning yang roboh. (dok. @like_palu)
6. Masjid Perumnas Balaroa 'tertelan' likuifaksi namun masih tersisa kubah dan menaranya. (dok. @anto.scout)
0 komentar:
Posting Komentar