. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Minggu, 06 November 2016

Tiga Malam di Rumah Gadang Sambilan Ruang Koto Baru, Amat Berkesan (#1)

Akhirnya kesampaian juga bermalam di rumah tradisional orang Minang, Sumatera Barat (Sumbar) yang disebut Rumah Gadang. Maklum berkali-kali bertugas, berwisata, dan berpetualang di provinsi yang sudah ditetapkan sebagai salah satu destinasi halal di Indonesia ini, belum sekali pun menginap di rumah beratap khas seperti tanduk kerbau atau gonjong itu.

Keinginan itu baru kesampaian baru-baru ini, sewaktu saya berniat mendaki Gunung Marapi selepas menyaksikan acara Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2016 di Kota Pariaman dan ber-city tour di Kota Padang.

Rekan sependakian saya Erwandi Saputra, kebetulan bertempat tinggal di Nagari (desa) Koto Baru, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumbar. Nagari Koto Baru menjadi titik awal pendakian ke Gunung Marapi maupun Gunung Singgalang.

Erwandi yang biasa disapa Bojex mengajak saya dan Ikha Patriana, mahasiswi semester 7 Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Padang yang berasal dari Pulau Sikakap, Kepulauan Mentawai, mampir ke rumahnya untuk mengemas barang (packing), setelah membeli bermacam logistik (bekal makanan dan minuman) selama pendakian di salah satu toko sembako di Pasar Koto Baru.

Rumah Bojex berada di belakang pasar yang ramai setiap Senin dan Selasa (hari pasar) hingga membuat jalan lintas wisata dan niaga antara Kota Padang Panjang dengan Kota Bukittinggi itu kerap macet.

Kami pun berjalan kaki ke rumahnya yang berjarak sekitar 200 meter dari pasar tersebut. Alangkah kagetnya saya, ketika melihat rumah yang ditinggali Bojex, yang tak lain, tak bukan Rumah Gadang.

“Ini rumahmu?” tanyaku yang terkagum-kagum dalam hati melihat rumah itu untuk kali pertama.

“Iya Bang. Ini Rumah Gadang tua tipe Sambilan Ruang,” jawab pria asli Koto Baru lulusan Institut Teknologi Padang (ITP) jurusan Teknik Elektro.

Bojex pun mempersilahkan saya dan Ikha masuk. “Ayo bang masuk ke dalam. Saya di sini tinggal sama ibu namanya Animar, bibi biasa dipanggil Upik, dan abang saya Erwin Saputra biasa dipanggil Uda Win. Ayah sudah meninggal dunia, kalau adik perempuan saya Ervina Eka Putri bekerja dan nge-kos di Kota Padang,” terangnya.

“Iya sebentar ya, saya mau motret rumahmu dulu dari luar,” balasku. Sebelum memotret, saya pun melihat-lihat rumah berukuran besar dan panjang itu dari luar dengan penuh seksama.

Saya yakin Bojex tidak tahu, bahwa saya selain senang berpetulang dan mendaki gunung serta interest dengan hal-hal berbau seni-budaya sejak lama, juga meminati bangunan tua, unik, dan atau bersejarah termasuk bangunan tradisional yang masih orsinil maupun yang sudah direnovasi namun masih mengedepankan arsitektur aslinya. Apalagi kalau bisa merasakan tinggal di dalam bangunan itu dengan penghuni/pemiliknya ataupun keturunan/saudara pemiliknya serta mengikuti aktivitas kesehariannya.

Atap Rumah Gadang ini sama seperti yang lainnya, meliuk terbuat dari seng (dulunya dari ijuk) dengan tiga liukan dan 4 puncak liukan berbentuk ujung seperti tombak. Liukan utama berada paling atas, utuh liukannya sedangkan dua liukan lagi berada di kiri dan kanan liukan utama dan hanya setengah liukan bentuknya.

Dinding rumahnya dari kayu dengan 9 jendela di bagian samping dinding rumah. Sementara di bagian belakang ada satu jendela dan bagian depan juga satu jendela yang terbuat juga dari kayu. Sedangkan pondasinya dari batu setinggi sekitar 1 meter.

Warna atap sengnya sebagian besar sudah kecoklatan karena berkarat. Sedangkan dindingnya bercat putih dengan pinggiran diberi warna coklat. Terkesan sederhana namun anggun. Jujur saya tak jenuh memandangnya. Seolah rumah itu punya magnet, daya pikat tersendiri.

Puas melihat bagian luar, kemudian saya memasuki rumah yang pintunya berada di bagian samping. Unik juga, rumah se-gadang (se-besar) ini pintu masuknya cuma satu.

Sebelum sampai di pintu masuk, saya melewati sepetak kebun yang ditanami tanaman strawberry dalam kemasan plastik hitam. Beberapa tanamannya terlihat ada buahnya berwarna merah marun. Ikha tergoda lalu memetiknya.

Di samping kebun strawberry ada rumah kecil berbentuk pondok juga beratap seng dan berdinding bilahan bambu. “Ini dapur buat masak bang,” ujar Bojex.

Setiba di dalam Rumah Gadang ini, saya sempat kaget. Ruangannya besar berbentuk empat persegi panjang dengan 9 tiang kayu utama dan alas yang terbuat dari papan kayu bercampur bilahan bambu.

Melihat besar ruangannya, saya jadi teringat sewaktu melongok  Lamin, rumah tradisional orang Dayak di pedalaman Kalimantan beberapa tahun lalu.

Kesan lapang di dalam Rumah Gadang ini semakin kuat, lantaran pemiliknya sengaja tidak menempatkan banyak perabotan.

Sama sekali tidak ada bangku dan kursi. Jadi tuan rumah dan tamu duduk lesehan. Hemmm.. menyenangkan, terasa lebih akrab. Perabot yang terlihat hanya TV di atas rak, kulkas, lemari kecil, dan beberapa kasur, bantal, guling, dan beberapa lapis selimut serta sajadah di atas lapisan karpet.

Empat jendela dibiarkan terbuka. Bias-bias sinar matahari leluasa menyusup masuk ke ruangan lewat jendela yang terbuka itu, sehingga menghadirkan pencahayaan alami yang artistik. Tangan ini pun 'gatal' lalu memotretnya berkali-kali.

Dari jendela itu, terlihat anak-anak sedang bermain sepak bola plastik di samping rumah. Sebenarnya di samping rumah ini bukan lapangan bola melainkan lahan tanah yang digunakan sebagai jalan oleh warga dari dan ke ladang, mushola (surau), dan kamar mandi (pincuran).

Bagian dalamnya sudah tak ber-eternit, tak berlangit-langit, sehingga kerangka kayu atapnya terlihat jelas sampai dengan atap dengan bagian dalamnya. Berkas cahaya pun masuk dari sela-sela dan beberapa lobang atap yang bocor.

Jelang sore itu, Rumah Bagonjong (sebutan lain Rumah Gadang) ini tidak ada satu pun penghuninya. Ibu, bibi, dan abangnya Bojex masih di ladang dan sawah. Kami pun berkemas, memasukkan dan menata perlengkapan pendakian dan logistik ke ransel masing-masing.

Tak lama kemudian Animar (60), ibunya Bojex datang. Kami bersalaman dan memperkenalkan diri. Animar kurang fasih berbahasa Indonesia. “Ibu pandainya Bahasa Minang karena setiap hari berbahasa Minang,” jelas Bojex.

Meskipun sudah jelang uzur, Animar nampak masih bugar dan gagah seperti kebanyakan ibu-ibu yang tinggal di dusun pegunungan.

Kondisinya itu bisa jadi karena setiap hari dia aktif bekerja ke sawah, menghirup udara segar yang tak berpolusi sehingga staminanya terlatih menjadi lebih kuat dibanding kaum ibu sebayanya yang tinggal di kota-kota besar.

Usai selesai packing kami pun bergegas meninggalkan Rumah Gadang Sambilan Ruang. “Nanti pulang dari Marapi, istirahat dan tidur di sini saja,” kata Animar dengan dialek Minang yang kental.

Mendengar itu, jelas saya gembira karena jujur saya ingin merasakan sendiri seperti apa tinggal di Rumah Gadang asli ini. 

Ba'da Ashar, kami pun mendaki Marapi dan bermalam di gunung paling populer dikalangan pendaki se-Sumbar bahkan Riau (terutama Pekan Baru), dan juga Jambi itu selama 3 hari 2 malam dengan mendirikan Tenda Dome di 2 pos berbeda.

Sepulang turun dari Marapi kami kembali ke rumah Bojex, jelang Maghrib. Di sana sudah ada Animar dan Upik, bibinya-Bojex. Keduanya kemudian memasak di dapur untuk santap malam kami.

Saya dan Ikha minta diantar Bojex ke pincuran. Ternyata pincuran di dusun ini berada di luar rumah dan digunakan untuk ramai-ramai atau dengan kata lain milik bersama warga dusun.

Pincuran yang berada sekitar 50 meter dari Rumah Gadang ini berbentuk dua kamar cukup besar dan beratap semen. Bagian perempuan dan laki-laki terpisah tentunya.

Dalam ruang kamar mandi laki-laki ada satu kolam atau bak air besar dengan 2 gayung plastik, beberapa paku di dinding sebagai gantungan baju dan celana serta sebuah lampu bohlam listrik sebagai penerang.

Rencana awal saya mau mandi, tapi sewaktu menyentuh air kolamnya amat dingin, jadi urung. Jadi cukup cuci muka, gosok gigi, dan bersih-bersih bagian tertentu alias mandi koboy lalu ber-wudhu untuk Shalat Maghrib.

Di depan pincuran  ini terdapat kolam ikan (tabek- dalam Bahasa Minang). Kalau orang Betawi bilangnya empang sedangkan orang Sunda menyebutnya balong.

Tabek-nya bukan cuma satu tapi banyak hingga ke bagian bawah dekat ladang. Isinya bermacam ikan tawar antara lain ikan mas, mujair, dan nila.

Di seberang tabek ada mushola, namanya Surau Darek. Semula saya berniat Shalat Maghrib berjamaah di surau itu tapi karena sudah ketinggalan, saya memutuskan maghriban di Rumah Gadang saja.

Sebelang Isya kami makan bersama. Menunya dadar telur, mie goreng, ikan asin sambalado dicampur kentang, dan tumis kol (lobak) yang dicampur wortel dan buncis serta nasi putih hangat. Alamaaaak lamaaaak bana (enaaaak bingits, kata anak gaol sekarang).

Sambil makan, Animar menjelaskan kalau Rumah Baanjuang (sebutan lain Rumah Gadang) ini berdiri sejak tahun 1950. Di sekitar rumah ini terdapat beberapa rumah juga berarsitektur tua dan cukup unik, sepintas seperti rumah orang Belanda tempo doeloe.

Menurut Bojex, warga yang menempati sekitar Rumah Gadang ini dari Suku Pisang. “Sebenarnya di Koto Baru ada 3 Rumah Gadang, cuma yang dua sudah hancur termakan usia. Jadi tinggal Rumah Gadang ini, satu-satunya yang tersisa di Koto Baru,” terangnya.

Sejam selepas makan dan Shalat Isya, kantuk mulai menyerang. Tak lama kemudian beberapa rekan pertualang Bojex datang. Kami berkenalan dan sempat ngobrol.

Bojex dan rekan-rekannya mengajak saya dan Ikha nonton film sosialisasi di Pos Marapi. Lantaran lelah dan ngantuk saya dan Ikha lebih memilih tidur.

Ikha tidur beralas kasur di samping Animar. Sementara tempat saya tidur agak berjauhan beralas kasur tipis. Mungkin karena letih usai mendaki, saya langsung tertidur pulas, begitupun Ikha.

Jelang tengah malam saya terbangun karena kedatangan Bojex dan teman-temannya. Bojex langsung tidur, mungkin sudah kantuk berat.

Tak lama kemudian Uda Win, abangnya Bojex datang. Dia juga tidak tidur di kamar. Padahal ada 9 kamar atau ruang di rumah itu. Hanya Upik, bibinya Bojex yang tidur di salah satu kamar.

Biasanya Upik juga tidur di ruang dalam rumah ini bersama Animar jika sedang tak ada tamu. Sebelum tidur, keduanya sama-sama menyukai nonton sinetron Indonesia dan India.

Tidur di rumah gadang untuk kali pertama, menawarkan sensasi sendiri. Angin dingin dari Gunung Singgalang dan Gunung Marapi bertiup cukup kencang menerpa rumah ini. Maklum karena rumah ini berada di lembah di antara dua gunung yang masih aktif tersebut.

Bulan-bulan seperti ini angin memang lebih kencang dari biasanya sampai atap rumah ini berderik-derik seperti ingin lepas dan terbang dibawa angin. Untungnya tidak apa-apa dan aman-aman saja.

Paginya selepas Shalat Subuh, gerimis turun. Dari dalam Rumah Gadang pengeras suara dari Surau Darek terdengar orang-orang sedang menggelar semacam majelis taklim. Uniknya pesertanya bukan orang dewasa melainkan anak-anak.

Ternayata di surau tersebut saban Ahad, ba’da Shalat Subuh berjamaah, digelar acara agama bertajuk Didikan Subuh khusus anak-anak kecil baik laki-laki maupun perempuan yang dikemas seperti majelis taklim orang dewasa.

Ada MC-nya yang berbahasa Indonesia sebagai pengantar, lalu ada beberapa jamaah yang masing-masing kebagian tugas membaca doa buat ibu bapak, shalawat, melantunkan zikir, membaca rukun iman, rukun Islam, dan lainnya, kemudian ditutup dengan ceramah oleh ustad dalam Bahasa Minang. Biasanya selesai sekitar pukul 7 pagi.

Mendengar suara anak-anak di surau itu melantunkan rangkaian doa, entah kenapa suasana prinsip adat Minangkabau yang tertuang dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam, terasa hadir di kalbu saya.

Apalagi saya mendengarkannya dari dalam Rumah Gadang yang berjarak sekitar 75 meter dari surau tersebut, atmosfir prinsip adat itu terasa masih begitu kuat.

Hujan masih rintik-rintik, saya kebelet ingin ke toilet untuk buang air besar (BAB). Setelah dikasih tahu Bojex, ternyata toiletnya juga berada di luar rumah, tepatnya di atas sejumlah tabek. Orang sana menyebut toilet cemplung itu dengan sebutan tandai.

Bentuk tandai berupa bilik dari tembok semen yang terbuka atau tak beratap. Jadi kalau hujan ya kehujanan. Untungnya saya bawa payung. Di dalam bilik terdapat aliran air dan lubang WC yang langsung jatuh ke dalam tabek.

Sepintas, tandai mirip dengan jamban cemplung di atas balong ataupun kali (sungai) di daerah Jawa Barat. Cuma ini lebih tertata dan rapih.

Menariknya lagi, pemandangannya pun luar biasa menawan.

Sambil BAB dan berpayung di tengah rintik-rintik hujan, saya bisa melihat ladang milik penduduk yang ditanami aneka sayuran seperti lobak, wortel, bawang, cabe (lado), terong, dan lainnya serta petak-petak sawah yang menghijau bak hamparan permadani.

Apalagi berlatar belakang Gunung Marapi yang puncaknya  diselimuti awan putih di sebelah kiri. Sementara di kanan nampak Gunung Singgalang yang atapnya juga tertutup kabut.

Alhasil pagi itu BAB-ku jadi sensasional.., so romantic berteman pemandangan alam pegunungan yang rancaaaak banaaa… (indaaah sekaliii…)

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP