Lebih Dekat dengan Wahyu, Pencipta Batik Batak Melayu
Lomba Cipta Seni Batik Nusantara 2014 baru saja usai. Pemenangnya pun telah diumumkan setelah memalui proses penjurian dan penilaian oleh tiga dewan juri yang terdiri atas Djadjang Purwo Sedjati dosen kriya dari Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja, Tjokorda Ratna Cora (dosen seni rupa ISI Denpasar, Bali), dan Wahyu Tri Atmojo dosen seni rupa dari Universitas Negeri Medan (Unimed). Nah, salah satu dari tiga juri tersebut, yakni Wahyu merupakan pencipta BBM alias batik Batak Melayu.
“Batik Batak Melayu atau BBM itu adalah batik yang mengeksplore budaya lokal dalam hal ini mengangkat motif atau ragam hias khas Batak dan Melayu Deli,” jelas Wahyu kepada Travelplusindonesia saat menjadi juri Lomba Cipta Seni Batik Nusantara 2014 yang digelar Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman, Ditjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, Kamis (2/10).
Proses pembuatan BBM ini, lanjut Wahyu sama seperti batik yang ada di Jawa, ada batik cap dan tulis. Hanya motif atau ragam hiasnya saja yang beda. Sesuai namanya, BBM ini mengangkat motif-motif dari subsuku Batak yakni Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Satu lagi suku Melayu Deli. “Motif Batak misalnya Simeol-meol, Gorga, Boraspati, Tapak Raja Sulaiman, Pahu-Pahu Patundal, Siulepat, dan Desa Siwaluh. Sedangkan motif khas Melayu antara lain motif Pucuk Rebung,” terangnya.
Menurut dosen seni rupa Universitas Negeri Medan (Unimed) sejak 1993 ini, untuk mencapai BBM sampai diterima dan diminati seperti sekarang ini, itu tidak semudah membalik tangan. Butuh proses, waktu, pemikiran, dan tentu saja tenaga serta biaya.
Sebelum berhasil menciptakan BBM, Wahyu harus melakukan riset terlebih dulu kemudian mensosialisasikannya kepada masyarakat dengan melibatkan sejumlah guru mata pelajaran budaya di kota Medan, Sumut. Akhirnya pada tahun 2009, BBM itu berhasil diciptakannya. Dan berkat riset BBM tersebut, dia dinobatkan sebagai peneliti terbaik 2010 dari rektor Unimed.
Namun ciptaan terbarunya itu bukan berarti berjalan mulus. Ada pro dan kontra ketika BBM muncul pertama kali tahun 2009. Saat pengujian riset, lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Jogja jurusan kriya tahun 1992 ini ditanya asli orang mana dan kenapa mau bikin batik Batak dan Melayu.
“Saya jawab orang Jawa. Ketika ditanya mengapa mau bikin batik Batak dan Melayu, saya tidak jawab. Justru yang menjawab penguji saya dari Bandung. Dia bilang orang Belanda dulu ke Jawa kemudian mengembangkan batik di Belanda, itu tidak masalah. Itu kan bagus mereka turut mengembangkan. Nah, kenapa Anda sendiri orang Batak tidak mengembangkannya. Kata penguji itu mendukung saya ketika itu,” jelas Wahyu.
“Penguji asal Bandung itu kemudian bilang kenapa tidak ada batik di Batak? Mungkin knowledge membatik tidak sampai. Nah, kebetulan sekarang ada orang Jawa yang sedang bertugas di Medan, lalu dia punya pengetahuan membatik dan mengaplikasikan ragam hias atau motif Batak dan Melayu dalam karya batiknya. Itu tidak ada salahnya. Kata penguji itu,” papar Wahyu.
Menurut Wahyu ketika pertama kali BBM muncul, banyak orang Batak dan Melayu di Medan heran, tidak percaya dan sekaligus bertanya apa itu BBM. “Mana ada batik Batak dan Melayu? Setelah dijelaskan, akhirnya mereka percaya dan menerima,” ungkap Wahyu.
Namun penjelasan saja tidak cukup. Untuk mengenalkan BBM, ayah 2 putra ini pun melakukan sosialisasi sekaligus workshop di tiga mall besar di Medan. “Tak disangka banyak warga Medan yang antusias dari anak-anak sampai orang tua. Maklum selama ini mereka tidak pernah pegang canting. Alat membatik itu cuma mereka lihat di buku. Mereka pun belajar membatik di bahan katun 10 meter secara gratis,” jelas Wahyu.
Tak cuma itu, pria kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah, 8 Juli 1968 ini pernah membina 20 orang pemula untuk menjadi pembatik BBM yang terdiri dari istrinya sendiri, beberapa mahasiswa, dan ibu-ibu rumah tangga di sekitar tempat tinggalnya. “Tapi yang bertahan hanya 4, karena susah. Saya sudah latih mereka terus bahkan saya kasih kompor dan canting untuk dibawah pulang dan dikerjaan di rumah. Setelah selesai, baru diserahkan kembali untuk proses pewarnaan berulang kali,” jelasnya.
Kini, ada perempuan Batak yang bergabung dengan Wahyu menjadi pembatik BBM. Namanya Boru Harahap, seorang ibu rumah tangga. Ada juga beberapa mahasiswa. “Mereka bekerja secara profesional dan saya hargai hasil kerja mereka dengan uang transport dan makan bersama. Jadi saya tidak mengeksploitasi mereka seperti tudingan beberapa orang yang bilang mereka itu mau membatik lantaran takut sama saya sebagai dosennya,” akunya.
Wahyu berharap dengan pelatihan tersebut, para mahasiswa yang belajar membatik dengannya kelak setelah lulus dan menjadi guru bisa menularkan ilmu dan mengembangkan BBM kepada murid-murid di sekolah tempat mereka mengajar.
Menurut mantan kepala pusat penelitian Unimed yang kini juga menjabat sebagai sekretaris jurusan seni rupa Unimed ini, tidak ada kesulitan mentransfer knowledge membatiknya ke warga lokal, termasuk kepada mahasiswanya.
“Kalau soal keuletan dan kesabaran mereka dibanding orang Jawa, jujur saja beda. Tapi kita kasih tahu secara persuasif mereka bisa,” terangnya.
Kata Wahyu kendala pengembangan BBM hanya bahan baku dan alatnya karena masih didatangkan dari Jawa. “Selebihnya lancar-lancar saja, tidak ada kendala,” akunya.
Dalam membuat BBM, prinsip yang diterapkan Wahyu adalah dengan ‘ATM’ alias amati, tiru, dan modifikasi.
“Modifikasi itu kuncinya, dan kita yang melakukannya seusai kreativitas dan daya inovasi. Kalau cuma amati dan tiru, itu namanya plagiat. Seni ini meniru alam tapi harus ada modifikasi. Itulah yang membedakannya dengan yang asli. Tapi modifikasi yang kita lakukan itu tidak boleh meninggalkan roh atau karakter asli motif atau ragam hias tersebut,” jelasnya.
Menurut Wahyu, sampai sekarang dia tetap memakai nama sesuai nama motif tersebut, baik motif asli Batak maupun Melayu. “Saya tidak mau merubahnya. hanya visualnya. Tinggal diberi penjelasan atau deskripsinya di motif itu,” akunya.
Modifikasi motif Batak dan Melayu yang dilakukan Wahyu selama ini tidak menimbulkan kontra mengingat roh asli motifnya tetap ada atau tidak hilang. “Andaikan ada yang kontra, itu saya anggap sebagai sharing. Saya terbuka bila ada kritik. Memang ada juga yang bilang, penempatan motif-motifnya itu tidak sembarangan alias ada tempatnya. Misalnya motif A di depan rumah untuk penolak bala dan sebagainya. Masing-masing ada simbol dan magisnya. Untuk soal itu saya memang masih harus belajar banyak,” akunya lagi.
Begitu pun soal pewarnaan, Wahyu tetap memilih warna-warna khas budaya Batak maupun Melayu. Warna khas Batak menurutnya merah, hitam, dan putih. Sedangkan warna khas budaya Melayu adalah kuning dan hijau.
Kata Wahyu, selain dirinya masih ada beberapa orang Jawa yang tinggal di Sumut yang mengembangkan BBM. “Ada sekitar 6 orang termasuk saya, tapi jalan sendiri-sendiri seperti di Langkat dan di Tebing. Ada yang mencampur antara batik dengan ulos dalam karyanya dalam bentuk syal, jadi semacam diversifikasi produk. Belakangan juga ada orang Medan yang didukung dekranas setempat, ikut mengembangkan Batik Medan yang mengeksplore budaya lokal,” ungkapnya.
Pemilik Sanggar Seni Pendopo 3 di Medan ini mengaku produksi BBM dari sanggarnya masih sangat terbatas. Ciri khas BBM-nya satu kain tidak motif semua. Ada bidang-bidang yang dikosongkan untuk membedakan dengan batik lain di Sumut yang belakangan bermunculan. “BBM buatan saya biasanya digunakan untuk fashion dan interior. Tapi kebanyakan untuk fashion seperti seragam, baju, dan kain,” jelasnya.
Harga selembar kain BBM dari sanggarnya dibanderol mulai dari Rp 200.000 sampai dengan Rp 300.000 itu yang batik cap. Kalau BBM tulis selembar Rp 900.000 dengan pewarnaan sintesis. Produk BBM interior-nya antara lain sarung batal Rp 100.000, syal Rp 80.000 ribu, dan taplak meja mulai dari Rp 100.000 per lembar. Selain batik sanggar ini pun memproduksi aneka keramik yang juga menyerap ornamen Batak dan Melayu.
Menurut Wahyu peluang bisnis ekonomi kreatif dari BBM ini di masa depan sangat bagus. Promosi yang dilakukannya selama ini hanya dari mulut ke mulut dan lewat media sosial seperti facebook dan webblog. “Ke depan saya berencana akan pasarkan juga ke butik-butik,” ujarnya.
Wahyu juga berencana membuat workshop membatik BBM dan keramik sekaligus toko sendiri di dekat rumahnya, di Bandar Setia, sekitar 5 Km dari Unimed. Dia mengaku terinspirasi dari sejumlah perajin batik di Solo yang melakukan hal itu. “Selama ini saya buat BBM seni, artinya lebih mengutamakan art-nya. Ke depan mudah-mudahan bisa juga memproduksi BBM untuk kalangan umum secara massal, jadi bisa memperkerjakan banyak orang,” pungkasnya.
Jika awal kemunculan BBM diremehkan dan dipertanyakan, kini BBM Wahyu mulai banyak peminatnya. Awalnya masih terbatas untuk seragam di kalangan kampus dan komunitas, belakangan banyak juga yang tertarik membeli antara lain direksi bank, teman, dan koleganya baik di dalam maupun luar negeri serta orang Batak dan Melayu sendiri.
Satu lagi yang membuat Wahyu senang, apa yang dilakukannya selama ini, kini banyak ditiru oleh pembatik-pembatik muda berbakat di Jawa. Buktinya sejumlah pemenang Lomba Cipta Seni Batik Nusantara 2014 yang merupakan kolaborasi antara perajin/seniman batik dengan pelajar, membuat karya batik dengan motif dari luar Jawa sesuai tema “Mozaik Nusantara”. Ada yang menampilkan motif keindahan alam Bali, fauna Komodo khas Flores, Nusa Tenggara Barat, dan ada yang mengangkat ragam hias dari Papua.
Menurut Wahyu, dengan kehadiran motif-motif baru hasil modifikasi ragam hias daerah lain yang dilakukan pembatik-pembatik muda potensial, menjadikan motif batik Indonesia semakin kaya, semarak, dan kekinian.
Naskah: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: adji k & dok. wahyu
Captions:
1. Batik Batak Melayu (BBM) BBM motif Boraspati.
2. Wahyu Tri Atmojo (berbatik hijau), sang pencipta BBM alias Batik Batak Melayu, saat menjadi juri di Lomba Cipta Seni Batik Nusantara ketiga di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo (2/10/2014).
3. BBM motif Gorga dan Siulepat.
4. BBM motif Pucuk Rebung.
0 komentar:
Posting Komentar