. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 27 Juni 2013

Upaya Mengubah Status Buton Lewat Sektor Pariwisata

Kendati dikenal sebagai daerah penghasil aspal terbesar di Indonesia dan termasuk dengan kualitas terbaik di dunia, Kabupaten Buton sampai sekarang masih berstatus daerah tertinggal. Kini Buton bertekad ingin mengubah status itu dengan terus berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD)-nya dari tiga sektor unggulan yakni pertambangan, perikanan, dan pariwisata. 

“Konsep pembangunan Buton dengan menempatkan 3 sektor andalan pertambangan, perikanan, dan pariwisata itu dalam rangka agar bisa lepas dari daerah tertinggal,” kata wakil Bupati Buton La Bakri di Kota Baubau, beberapa hari lalu.

Potensi ketiga sektor itu menurutnya sangat menjanjikan untuk mengubah status Buton. “Sektor pertambangan terutama aspal paling diandalkan karena selain defosit-nya masih melimpah juga pendapatannya cepat diraih dalam jangka pendek.

“Sejak dilantik pada Agustus 2012, bupati Buton sekarang memang menekanan bahwa pendapatan dari aspal harus digenjot, apalagi sudah ditemukan teknologi pengeksplorasian aspal alam baru,” jelasnya.

Dari sejumlah kegiatan eksplorasi, kedalamam sabuk aspal di Buton yang terindentifikasi mencapai 1.000 meter dengan bentangan mencapai 23 Km dari Utara ke Selatan. “Jadi sepanjang jalan dari Baubau hingga Wabula itu yang kemarin Anda lewati itu, bawahnya aspal,” jelasnya.

Penyebab mengapa pembangunan Buton tersendat termasuk kondisi jalan di Buton masih banyak yang rusak karena PAD Buton dari aspal selama ini entah kemana. “Baru sekarang, sejak Buton dipimpin bupati baru yang tegas menarik retsribusi dan pajak atas aspal, akhirnya kita punya PAD dari aspal diakhir tahun 2012 hampir Rp30 miliar dari target Rp18 miliar,” akunya.

Diharapkan dengan terus meningkatnya PAD dari aspal dan lainnya, lanjut La bakri pembangunan jalan di Buton akan semakin baik dan predikat daerah tertinggal yang disandangnya bisa lepas.

Sektor perikanan, lanjut La Bakri juga menyimpan potensi yang luar biasa. Hampir 80 % penduduk Buton berdiam di pesisir sebagai nelayan dan juga petani tergantung musim. “Mata pencariannya ampibi, laut iya, darat juga iya. Pada musim dimana laut bergejolak mereka tidak bisa ke laut, mereka bercocok tanam di darat. Dan sebaliknya, masuk ke laut,” jelasnya. Ketiga, sektor pariwisata.

Selain memiliki sumber daya alam yang indah baik di laut dan di darat, Buton juga menyimpan potensi warisan budaya Kesultanan Buton yang luar biasa dan masih terpelihara. “Pemda menilai warisan budaya itu sebagai salah satu obyek wisata yang patut dikembangkan menjadi semacam salah satu pendorong ekonomi daerah,” terangnya.

Alasan lain, selain pasar wisatawan Nusantara dan mancanegara cenderung meningkat dan tak pernah habis, pariwisata juga bermanfaat memelihara nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang karena akan menjadi obyek yang dapat dilihat oleh mereka yang berminat.

PAD Pariwisata Buton Belum Signifikan
PAD Buton dari pariwisata sampai saat ini masih amat kecil, boleh dibilang belum siqnifikan memberi sumbangan ke PAD. “Selama ini sumbangan PAD utama masih dari pertambangan, retribusi pasar, dan izin-izin niaga,” akunya.

PAD dari pariwisata baru masih didapat dari pemkot Baubau berupa pajak hotel. “Tapi bukan berarti sektor pariwisata tidak ada peluang memberi kontribusi PAD yang besar dikemudian hari bagi Buton,” tegasnya.

Menurut La Bakri, potensi alam bawah laut perairan Buton yang berterumbu karang indah dengan aneka ikan endemik seperti Mandarin Fish dan lainnya dari Teluk Pasarwajo hingga Wabula itu luar biasa. “Selama ini belum terekspose sama sekali. Kalau ini digarap bisa mendatangkan wisatawan hingga meningkatkan PAD,” jelasnya.

Selama ini potensi diving yang terekspose justru di Wakotobi. “Padahal beberapa spot diving yang dijual oleh Wakatobi ada di wilayah Buton yakni di Teluk Pasarwajo dan Wabula. Jadi Wakatobi yang diuntungkan dan tersohor namanya dibanding Buton,” jelasnya.

Strategi untuk meningkakan PAD pariwisata, tambah La Bakri, Pemkab Buton akan terus menyiapkan dan membenahi infrastruktur serta sarana dan prasarana pendukungnya. Pemkab juga akan membangun link dengan kementerian terkait dan seluruh stakeholder pariwisata termasuk investor yang dapat men-support kita untuk membangun jasa perhotelan dan lainnya, menyiapkan paket-paket wisata serta terus mempromosikan obyek-obyeknya termasuk kuliner dari ikan yang selama ini belum disentuh sekali.

“Belum lama ini kita mengundang konsultan pariwisata dari Australia, Cavin untuk meninjau potensi wisata di Buton. Setelah itu kita akan mendesain pariwisata Buton berdasarkan salah satunya masukan dari beliau,” paparnya.

Pemkab Buton juga tengah mengusulkan kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif agar menjadikan warisan Kesultanan Buton seperti benteng dan lainnya sebagai obyek wisata nasional. “Dengan harapan Kemenparekraf dapat membantu membangun sarana dan prasarananya serta menjadikan kegiatan di obyek tersebut masuk kalender kegiatan wisata nasional, “ tutupnya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Ke Wabula, Jangan Lupa Borong Tenun

Usai berkunjung ke daerah atau kota, tak lengkap kalau tak membawa pulang oleh-oleh, entah itu panganan ataupun kerajinan tangannya. Nah, kalau Anda ke Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara untuk menyaksikan pesta adat Pidoano Kuri, jangan lupa sekalian borong aneka kain dan sarung tenunnya sebagai buah tangan. 

Kenapa harus tenun? Ya karena inilah satu-satunya kerajinan tangan warga Wabula, tepatnya kaum perempuan Wabula. Karena hanya perempuanlah yang menenun, sementara kaum lelakinya tak seorang pun yang bisa. Kaum adam-nya lebih memilih melaut, bercocok tanam atau merantau menjadi pedagang dan lainnya.

Di Desa Wabula ada ratusan perempuan, baik ibu-ibu maupun anak gadis yang menjadi penenun. “Kalau Anda datang pagi hingga sore di desa ini, akan terdengar bunyi tek-tek riuh para perempuan tengah asyik menenun,” kata Ahmad Emi (43), tokoh masyarakat setempat yang kerap membantu mengumpulkan hasil tenunan para penenun setempat untuk dijual.

Biasanya para penenun di Wabula bekerja di kolong ka’ana atau rumah panggung. Tak sedikit di dalam rumah, jika rumahnya tak berbentuk panggung. “Hampir semua perempuan Wabula bisa menenun karena sejak belasan tahun atau jelang SMP sudah diajarkan,” jelas Wakidi (52), satu di antara perempuan Waluba yang pandai menenun.

Biasanya satu lembar kain dapat diselesaikan seorang penenun selama 4 hari. “Modal membuat sehelai kain tenun Rp 150 ribu. Kalau sudah jadi dijual Rp 200 ribu. Untungnya cuma Rp 50ribu,” aku perempuan berperawakan kurus yang wajahnya nampak lebih tua dari umurnya.


Ada dua macam pola dalam tenun Wabula. “Motif garis-garis untuk perempuan. Sedangkan yang kotak-kotak untuk laki-laki,” jelasnya. 


Kendati secara motif terlihat sederhana, tapi dari segi warna amat bervariasi.  Umumnya berwarna berani seperti hijau, merah, kuning, ungu, dan biru cerah. 

Ahmad Emi menambahkan, bahan Tenun Wabula yakni benang dibeli dari Surabaya. “Sementara alatnya ada dua macam, pertama Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dari kayu yang harganya sekitar 5 juta dan satu lagi alat tenun lokal tradisional yang harganya sekitar Rp 300 ribu,” terangnya.

Kalau sudah ada 5-10 kain tenun, biasanya dijual ke pasar lokal di Wabula dan Pasarwajo. “Ada juga pedagang yang sesekali datang untuk beli atau pesan,” tambah Ahmad yang juga menjabat sebagai sekretaris camat Wabula.

Tenun Wabula, kata Ahmad, beda dengan tenun Bugis yang bahannya sutra dan pakai benang emas. 

Sementara tenun wabula benangnya katun. “Enak dipakai buat tidur, bahannya bikin hangat. Atau juga buat shalat setelah dijahit menjadi sarung,” terangnya.

Menjelang pesta adat, permintaan kain tenun Wabula, lanjut Ahmad meningkat. Biasanya banyak orang yang membelinya untuk keperluan membuat jubah atau baju, jas, dan sarung.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Buton dalam Semangkuk Sop Parende

Menyebut sop, pastinya yang terlintas dibenak adalah makanan berkuah bening berisi iga sapi atau daging kambing ataupun ayam dengan aneka sayur seperti wortel, kubis, buncis, dan potongan kentang. Tapi di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, sopnya berbahan utama ikan laut segar. Namanya Sop Parende. Rasanya, alaaaaaamaaaaak…

Sewaktu Zaharaini (50), pemilik Warung Wangi-Wangi di Jalan Protokol, Kelurahan Saragi, Kecamatan Pasarwajo, Ibukota Kabupaten Buton menyuguhkan semangkuk sop parende di depanku, mataku langsung terbelalak. 

Indra penglihatanku langsung tergoda dengan warna kuahnya yang kekuningan, ditambah taburan irisan daun bawang dan bawang goreng yang mengambang di permukaan kuahnya, menutupi 3 potong ikan di dalamnya.

Sebelumnya, hidungku sudah tergoda lebih dulu dengan aroma khas yang membuat usus dan lambungku kontan meratap-ratap ingin segera diisi.

“Warna kuning itu berasal dari kunyit. Tapi yang saya pakai kunyit bubuk kering yang dipesan dari Kota Kendari, bukan kunyit asli. Soalnya kalau kunyit asli, baunya terlalu menyengat dan banyak pelanggan yang kurang suka,” jelas ibu beranak 4 mencoba membongkar rahasia dapurnya.

Tak sabar mencicipi rasanya, aku segera mengambil irisan jeruk nipis yang ditempatkan di piring kotak kecil berikut dengan beberapa cabai rawit merah yang warnanya tak kalah menggoda. Perasan air jeruk nipis ke kuah sop itu kian mencuatkan aroma khas. Dan ketika aku hirup kuahnya, alamak sensasi segar begitu terasa dengan gurih yang ringan.

“Selain kunyit bubuk kering, bumbunya cuma bawang merah, sereh, dan belimbing. Tidak pakai bumbu penyedap sama sekali,” aku Zaharaini yang sejak 2003 berdagang sop ikan ini.

Kini tinggal ikannya yang membuatku penasaran. Sewaktu aku santap, ternyata empuk dagingnya, mirip dengan ikan patin tapi tidak terlalu lembek. Apalagi saat menyantap bagian kepalanya, rasanya pingin nambah, nambah, dan nambah lagi.

“Ikan yang dipakai untuk Sop Parende itu Ikan Bubara. Saya beli langsung di tempat pelelangan ikan di Teluk Pasarwajo. Harganya bisa mencapai Rp 300ribu per ekor dengan ukuran panjang hampir 1 meter. Ada juga yang memakai ikan Kakap Merah,” jelas perempuan yang setiap hari menjual minimal 50 porsi Sop Parende dengan harga Rp 25ribu per porsi ditambah sepiring nasi putih ini.

Menurut Zaharaini, tak sulit membuat Sop Parende. Prosesnya ikan dicuci dan dibersihkan sisiknya. Lalu ditiriskan hingga air cuciannya tak tersisa. Siapkan panci untuk memasak air. Setelah air mendidih, masukkan semua bumbunya yakni bawang merah, kunyit bubuk yang kering, jeruk nipis, belimbing, dan garam secukupnya.

“Kalau Sop Parende buatan saya, bumbunya tidak ditumis sesuai resep masakan orang Buton dulu. Tapi sekarang banyak orang yang menumis terlebih dulu bumbunya. Saya tetap mempertahankan resep asli warisan leluhur,” akunya.

Setelah itu potongan ikan dimasukkan. Masak sekitar 15 menit. Kalau aromanya sudah tercium, itu tandanya sudah siap disajikan. “Paling enak disantap selagi hangat,” jelas Zaharaini yang juga menjual masakan khas Buton lain seperti Ayam Parende.

Tak ada 20 semenit, semangkuk Sop Parende habis ku santap. Aku jadi teringat sop ikan khas Batam, Kepuluan Riau. Sekalipun sama-sama sop ikan tapi citra rasanya beda. Entah kenapa Sop Parende terasa lebih orisinil, kuat muatan lokalnya.

Semangkuk Sop Parende yang baru selesai ku nikmati, seolah memberi gambaran kongkrit bahwa potensi perairan Buton kaya aneka jenis ikan konsumsi. Sampai hampir 80 persen warganya tinggal di pesisir dan bermatapencaharian sebagai nelayan sekaligus petani. Bahkan sektor perikanan menjadi andalan kedua PAD Buton, dibawah pertambangan terutama aspal.

Tak heran kalau makanan tradisional masyarakatnya juga berbahan dasar ikan. Dan tak heran juga jika sampai ada anggapan, belum lengkap kunjungan ke Buton kalau belum menyantap Sop Parende-nya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 26 Juni 2013

Mengenal Lebih Dekat Pidoano Kuri, Pesta Adat Khas Wabula

Di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara ada bermacam tradisi berusia ratusan tahun yang masih diindahkan warganya hingga kini. Salah satunya Pidoano Kuri, yakni pesta adat masyarakat Wabula di Kecamatan Wabula yang digelar sekali dalam setahun sebagai tanda ucap syukur atas hasil bumi terutama kuri atau ubi. 

Bunyi tetabuhan dari ganda atau gendang berukuran sedang menyerupai beduk, namun kedua sisinya dilapisi kulit domba, terdengar bertalu-talu, tak jauh dari tepian pantai Desa Wabula, Kecamatan Wabula, Minggu sore itu, (23/6/2013).

Alat pukul tradisional Wabula itu ditabuh secara kompak oleh dua pria Wabula yang mengenakan peci hitam, selepas Ashar. Keduanya memukul-mukul ganda itu sambil duduk di teras kayu di sudut kanan galampa atau balai pertemuan adat berbentuk rumah panggung seperti pendopo kalau di Jawa.

Di sebelah mereka, ada seorang pria lagi yang kebagian tugas memukul gong. Namun suara ganda terdengar paling dominan. Kedua alat musik tradisional itu digantung di salah satu tiang atap galampa.

Ketukan pukulan kedua penabuh ganda itu dari awal hingga akhir itu-itu saja. Tidak variatif, jadi terkesan monoton. Temponya tidak lambat, tidak juga terlalu cepat. Disitulah letak ciri khasnya sehingga mudah diingat. 

Suara tetabuhan ganda itu perlahan-lahan terbawa oleh sapuan angin laut yang berhembus ke pantai sampai ke ka’ana atau rumah panggung khas warga Wabula terjauh dari perkampungan itu.

Bunyinya juga berperan sebagai sinyal pemberitahuan agar warga Wabula yang belum datang ke lokasi acara segera hadir karena acara akan dimulai sebentar lagi. 

Benar saja, tak berapa lama warga Wabula mulai dari orang tua, muda-mudi, dan anak-anak berdatangan. Ada yang mengendarai sepeda motor dan tak sedikit yang berjalan kaki. Bahkan ada beberapa pengunjung luar dari kecamatan lain yang letaknya cukup jauh dari Wabula.

Kehadiran mereka menambah ramai jumlah pengunjung yang sudah ada sebelumnya. Ratusan warga mengitari lapangan berpasir pantai berbentuk persegi empat yang terletak di antara galampa dan Masjid Nur Muhammad, masjid utama Desa Wabula.

Sejumlah orangtua duduk di kursi plastik di bagian terdepan lapangan. Ada juga yang duduk di undakan dan teras kayu galampa. Tak sedikit yang berdiri bagian dalam galampa yang berlantai kayu. Sebagian lagi berdiri di bagian belakang lapangan, di teras, dan di lantai masjid bagian luar. Bahkan sejumlah anak muda yang berada di barisan belakang lapangan, berdiri di atas meja-meja kayu agar dapat melihat atraksi yang akan segera dimulai.

Tak lama kemudian, parabela atau kepala adat masyarakat Wabula yang bernama La Dij (57) memerintahkan para tokoh masyarakat untuk memulai acara.

La Dij dan sejumlah tokoh masyarakat yang tampil mengisi acara itu mengenakan baju kebesaran berupa jubah atau baju panjang dari tenun khas Wabula berwarna cerah dan celana panjang yang kemudian ditutupi dengan balutan pidongko atau sarung tenun wabula buat laki-laki yang bercorak kotak-kotak. Mereka juga mengenakan kampurui atau ikat kepala laki-laki khas Wabula.

Satu per satu para pria Wabula mempertontonkan atraksi cara memegang dan memainkan kapiso atau pisau seperti keris dengan bermacam gerakan sambil diiringi tetabuhan ganda dan gong. Penonton bersorak dan tertawa setiap kali melihat ada yang tampil dengan gerakan aneh dan lucu.

Selanjutnya disuguhkan Tari Mangaru dan atraksi pencak silat. Menurut Rachmat, Tari Mangaru merupakan tarian perang yang ditampilkan oleh tiga orang lelaki. Dua orang sebagai petarung, satu orang lagi sebagi pelerai atau wasit yang menggunakan kinia atau alat berbentuk perisai kayu dan tongkat berbulu untuk melerai.

Tari perang tersebut menggambarkan masyarakat Wabula pada saat itu dalam mempertahankan diri dari serangan musuh dan juga menjaga kedaulatan daerahnya. “Pada prinsipnya untuk pembelaan diri dan mempertahankan negeri dari serangan lawan,” jelas Rachmat, pengamat Pidoano Kuri yang juga seorang pegawai Pemkab Buton.

Saat tari perang, dua orang saling berkelahi memakai kapiso yang diawasi seorang wasit. Mereka saling mengarahkan senjatanya ke tubuh. Kendati tidak sunguh-sungguh namun cukup mengerikan. Penonton pun bersorak meriah mendukung jagoannya masing-masing beraksi. Kemudian keahlihan pencak silat diperagakan bukan hanya para lelaki yang berusia uzur, pun beberapa pemuda setempat.

Kata Rachmat lagi, sebenarnya acara ini diperuntukan buat siapa saja, pria dan perempuan, orang tua dan muda-mudi. “Tapi belakangan ini karena terkontaminasi dengan budaya luar. Minat anak muda terhadap latihan pegang kapiso dan pencak silat mulai merosot, sehingga peran orangtua terlihat lebih menonjol,” akunya.


Atraksi kesenian yang berakhir jelang Magrib itu merupakan acara penutupan dari serangkaian pesta adat Pidoano Kuri yang berlangsung dua hari, 22-23 Juni 2013 lalu. 

Menurut La Dij yang pernah menjabat sebagai kepala desa setempat selama 8 tahun, sehari sebelumnya (22/6), pesta adat yang terdiri dari 3 acara pokok ini dimulai dengan dupa'ayano ganda atau pembukaan dengan memukul gendang yang dilanjutkan dengan pembacaan doa di galampa.

 “Doanya berisi ucap syukur dan permohonan supaya usaha pertanian dan perikanan tahun depan lancar, rakyat senantiasa sehat, dan hidup sejahtera,” jelasnya.

Selepas doa, kemudian makan malam bersama dengan aneka makanan dan panganan yang ditempatkan di atas wadah khusus yang disebut talam atau nampan.

Isi talam yang ditutup dengan dulang berlapis kain berwarna cerah, ada nasi yang dibentuk kerucut seperti nasi tumpeng yang dikelilingi aneka lauk-pauk seperti telur, ikan, dan bermacam buah antara lain pisang. Namun yang menjadi primadonanya, tentu saja kuri atau ubi kayu. “Kuri adalah hasil utama pertanian desa ini,” ujar La Dij.

Selain itu di dalam talam juga ada aneka kue olahan dari ubi seperti epu-epu dan onde-onde serta jenis panganan lain seperti wajik, cucur, dan kue bolu. Setiap orang kebagian satu talam, tak heran dalam pesta adat ini, jumlah talam yang disiapkan bisa mencapai ratusan.

Selepas makan malam berasma, Pidoano Kuri ini juga diisi dengan sejumlah tarian, seperti Tari Linda yang menggambarkan asal usul kehidupan orang Wabula. 

Acara hari pertama ini berlangsung sehabis Shalat Magrib sampai menjelang Subuh. Keesokan sorenya diisi dengan pertunjukan kesenian berupa Tari Mangaru, latihan pegang kapiso, dan atraksi pencak silat sebagai acara hiburan sekaligus penutup.

Rachmat menambahkan, keterlibatan perempuan dalam pesta adat ini cukup besar. Selain mereka membuat dan menyiapkan nasi, lauk-pauk dan aneka panganan untuk makan bersama, mereka juga menari Tari Lakasina pada pukul 4 subuh di hari kedua.

La Dij menegaskan, setelah pesta adat Pidoano Kuri, ganda pantang dibunyikan atau ditabuh. “Gendang itu kembali dibuka kembali pada saat pembukaan Pidoa Anokuri tahun berikutnya sampai pesta adat itu berakhir,” terangnya.

Selain pesta adat Pidoano Kuri yang biasa dilaksanakan dua hari di bulan ke-enam setiap tahun, masih ada satu pesta adat lagi yang dikerap digelar masyarakat Wabula yaitu Mata’ano Galampa selama tiga hari di bulan kedua atau Februari setiap tahun. 

Kata La Dij, baik pesta adat Pidoano Kuri maupun Mata’ano Galampa sudah berlangsung turun-temurun dilaksanakan masyarakat Wabula, dan kini masuk ke generasi ketiga. 

Dulu kedua pesta adat itu berlangsung di Koncu yakni kota tua masyarakat Wabula yang pertama. Lokasinya berada di bukit-bukit yang sulit dijangkau. “Di sana masih ada Kuburan Wokaka atau masyarakat Wabula yang pertama yang ketika itu masih beragama Hindu,” akunya.

Karena aksesnya masih susah dijangkau, lanjut La Dij, pemda setempat berencana membuat jalan menuju kota tua itu. 

Pesta adat ini diperuntukkan bukan semata buat masyarakat Desa Wabula namun juga orang Wabula dimanapun berada. Pidoano Kuri sekaligus menjadi ajang silaturahmi bagi masyarakat Wabula yang merantau.

Masyarakat Wabula, kata La Dij jumlahnya ribuan. Selain menetap di Kecamatan Wabula, juga tersebar di sejumlah daerah dan kota lain. Kendati begitu, parabela-nya cuma satu dan berada di Desa Wabula.

“Parabela dipilih berdasarkan musyawarah masyarakat. Masa jabatannya tidak menentu. Apabila hasil laut tidak memuaskan atau pertanian sering diserang hama, dan wabah penyakit menimpa masyarakatnya, berarti parabela dinilai tidak berhasil memimpin dan dapat digantikan,” paparnya.

Alhamdullilah, lanjut La Dij tahun ini hasil pertanian dan laut bagus. “Buktinya ikan utamanya rumpong dan ikan layang berhasil ditangkap sampai berton-ton. Begitupun hasil buminya melimpah,” terang La Dij lagi.

La Dij menambahkan bahwa galampa dan masjid menjadi pusat adat Desa Wabula yang harus berada dalam satu lokasi atau berdekatan. “Galampa itu diumpamakan ayah yang menentukan masa depan. Sedangkan masjid sebagai ibu, tempat berdoa kepada sang Khalik,” terangnya. 

Melihat dua fungsi pusat adat itulah, pesta adat Pidoano Kuri ini diselenggarakan di galampa dan masjid serta di antara keduanya.

Naik Pete-Pete atau Sewa Mobil
Desa Wabula terletak sekitar 28 Km dari Pasarwajo, ibu kota Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara. Sebelumnya ibukota Kabupaten Buton adalah Baubau yang kini berubah status menjadi kotamadya. Jarak Desa Wabula dari Kota Baubau sekitar 60 Km melewati Pasarwajo.

Untuk mencapai desa yang sudah dialiri listrik namun untuk sinyal handphone masih putus-nyambung ini bisa melalui darat maupun laut. Lewat darat, dari Kota Baubau jalannya sudah beraspal mulus sampai dengan Pasarwajo.

Setelah itu jalannya menyempit, berlubang-lubang, berkelok-kelok, naik turun terjal dan curam. Di beberapa ruas jalan, kanan-kirinya ditumbuhi perkebunan Jambu Mete yang kacangnya menjadi camilan oleh-oleh khas daerah ini.

Kendati sebagian aksesnya masik jelek, namun ada angkutan pedesaan yang disebut  pete-pete dari Pasarwajo hingga ke Desa Wabula dengan waktu tempuh sekitar 2 jam.

Pilihan lain menyewa mobil travel dari Bandara Betoambari, Kota Baubau. Menurut Iyan (25), salah seorang sopir mobil travel yang biasa mangkal di Bandara Betoambari, tarif sewa mobil travel dalam kota Rp 400 ribu per hari, sedangkan ke luar kota Rp 500 ribu per hari di luar bahan bakar. 

Bandara Betoambari, Baubau dapat dijangkau dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan dengan pesawat Wings dan Merpati, masing-masing sekali dalam sehari.

Pilihan menginap, ada sejumlah hotel dan losmen di Kota Baubau. Di Pasarwajo baru ada losmen dan juga Rumah Makan Wangi-Wangi yang menyajikan makanan khas Buton seperti parende atau sop ikan dan juga ayam bakar dengan racikan berbeda. Sementara di Wabula belum ada penginapan, pengunjung yang ingin menyaksikan pesta adat Pidoano Kuri dari awal hingga penutupan, bisa bermalam di rumah penduduk.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 19 Juni 2013

Duabelas Tips Nyaman Nanjak Gunung Bareng Anak

Liburan anak sudah tiba. Ini saatnya mengajak buah hati Anda, adik atau keponakan keluar rumah, bermain, berwisata atau bahkan berpetualang mendaki gunung. Bahayakah mengajak balita atau bocah nanjak  gunung? 

Ah, anak bermain di pekarangan rumah atau di jalan pun bisa bahaya kalau tidak diawasi. apalagi mengajak anak mendaki gunung, jelas ada bahayanya. Tapi semua itu bisa diatasi atau diminimalisir hingga menjadi sebuah liburan yang berbeda dan berkesan.

Mendaki gunung bersama si kecil bukan hal baru. Sejak dulu, para pendaki senior pernah melakukannya. Contohnya Norman Edwin, senior MAPALA UI, dulu dia pernah membawa buah hatinya mendaki Gunung Gede di Jawa Barat. 

Sepak terjang pendaki kelahiran tahun 1955 yang tewas saat mendaki Gunung Aconcagua di perbatasan Argentina-Cile pertengahan April 1992 dan pernah membukukan sejumlah pendakian dan petualangannya itu pun menginspirasi sejumlah pendaki lain yang bertekad ingin melakukan hal serupa.

Salah satunya Bunda Azzam yang sukses membawa jagoan mungilnya bernama  Azzam yang masih berusia 2,5 tahun bersama suaminya menanjak Gunung Gede pada 17-19 Desember 2010.

Dalam blognya, Bunda Azzam yang berbusana muslimah ini mengaku terinspirasi dari Norman Edwin. Ketika masih gadis, dia bertekad jika menikah dan punya anak kelak, ingin mengajak anaknya berpetualang dan menjelajah alam, menikmati geliat udara pagi di ketinggian. Dan mimpinya itupun menjadi kenyataan.

Lain lagi dengan Agus Sugianto, seorang ayah dari Pamekasan Madura yang juga seorang pendaki. Dia justru biasa mengendong Arya mendaki gunung sejak buah hatinya itu masih berusia 8 bulan. Dan sejak berumur 3 tahun, bocah balitanya itu menolak digendoknya, mulai mendaki sendiri bersamanya dan terkadang bareng sang ibu, Tri Yuli Mulyati.

Kini, bocah bernama lengkap Arya Cahya Mulyana Sugianto ini tercatat sebagai pendaki cilik Indonesa yang fenomenal. Pasalnya selama tahun 2011 lalu, bocah ajaib ini berhasil mencapai 10 puncak gunung di Indonesia seperti Slamet, Ceremai, Agung, Sindoro, Semeru, dan Rinjani. Saat itu, Arya masih duduk di TK Nurul Hikmah di Pamekasan.

Pada tahun 2012 Agus bukan cuma mengajak Arya kembali mendaki Gunung Semeru, pun membawa adiknya Arya yang bernama Sherin. Kedua buah hatinya itu pun berhasil menginjakkan kaki di atap Jawa, Mahameru, berketinggian 3.676 mdpl itu pada 12 Juli 2012. Kini Agus bersama sejumlah pihak tengah membidik gunung es di mancanegara untuk didaki jagoan kesayangnya itu.

Sebenarnya masih banyak lagi orangtua lain yang pernah mengajak anaknya mendaki gunung. Dan jumlahnya makin lama cenderung bertambah.

Umumnya mereka yang melakukan itu karena sejak masih lajang sudah senang mendaki. Paling tidak salah satu dari orangtua itu memang menyukai kegiatan ini.

Pilih Trek Mudah dan Aman 
Lalu apa yang harus diindahkan orangtua yang berniat mengajak mutiara hatinya nanjak gunung untuk mengisi liburan atau memperkenalkannya dengan gunung untuk pertama kali?

Pertama, orangtuanya minimal menyukai kegiatan mendaki gunung atau paling tidak pernah mendaki gunung sewaktu muda sehingga memahami betul kegiatan ini. 

Andaipun belum pernah, setidaknya punya bekal pengetahuan persiapan mendaki gunung lewat berbagai informasi yang didapat entah itu dari orang lain, media massa dan lainnya.

Kedua, niat mengajak anak mendaki gunung, sebaiknya bukan semata karena ambisi sang orangtua yang ingin mewujudkan impian terpendamnya sejak lama. Melainkan pula karena ingin memperkenalkan sang buah hati dengan kondisi suhu dan alam gunung yang beda dengan kondisi lingkungan tempat tinggalnya, sekaligus ingin mendapatkan atmaosfir dan wawasan baru. 

Ketiga, mempersiapkan dan membawa perlengkapan yang dibutuhkan anak seperti jaket, sweater, kaos kaki, sepatu, topi, pakaian pengganti, pakaian tidur, dan lainnya.

Keempat, kalau anaknya masih Balita, bawa juga baby carrier untuk menggendongnya sewaktu-waktu, terutama di trek yang sulit atau saat anak lelah, tidur dan ngambek

Kelima, bawa mainan yang disukainya, misalnya layang-layang, bola plastik kecil, balon tiup, dan lainnya. Mainan itu bisa dimainkan saat beristirahat di base camp seperti di alun-alun atau di tempat yang memungkinkan.

Keenam, bawa minuman dan makanan serta snack yang praktis dan juga yang disukai anak. Kalau anak masih minum susu, bawalah susu favoritnya. 

Ketujuh, gunakan jasa porter jika barang yang dibawa cukup banyak untuk meringankan beban.

Kedelapan, selagi di alam, tanamkan pengetahuan kepada adak sedikit demi sediikit mengenai alam, cuaca gunung, dan atau tanaman khasnya. Sekaligus memperkenalkan perlengkapan mendaki yang harus dibawa termasuk makanan dan minuman sebagai bekal. 

Kesembilan, untuk langkah awal, mendakilah gunung-gunung yang tidak terlalu tinggi dan pilih jalur pendakian yang paling mudah dan aman.

Kesepuluh, sebelum mendaki sebaiknya ajak buah hati ke lokasi pegunungan untuk beradaptasi dengan suhu gunung.

Kesebelas, jika anak ternyata suka dan kerajingan mendaki gunung sebagaimana Arya, sebaiknya tetap diawasi dan didampingi, termasuk oleh pendamping pendaki gunung lain yang berpengalaman.

Keduabelas, jika ternyata buah hati Anda tidak menyukai gunung dan kapok diajak nanjak kembali, sebaiknya pahami apa sebabnya lalu cari solusinya. Jika memang tetap tidak suka, jangan memaksa. Ganti lokasi alam dan kegiatan lain yang benar-benar dia sukai dan nikmati. 

Nah, dengan tips di atas, rasanya Anda tak perlu bingung dan khawatir lagi mengajak buah hati, keponakan atau sepupu Anda yang masih kecil untuk mendaki gunung bareng Anda. Selamat menanjak bareng sang anak.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com) 
Foto: bundanouf.blogspot dan dok. arya

Read more...

Dua Gunung Aktif di Sumatera Meradang

Dua gunung aktif di Pulau Sumatera kondisinya masih meradang. Pertama Gunung Sinabung yang status waspada-nya bertahan cukup lama. Satunya lagi Gunung Kerinci yang kini juga berstatus serupa bahkan untuk sementara ini tertutup untuk pendakian. 

Pasca erupsi Agustus 2010 lalu dan kemudian ditetapkan berstatus waspada level II tanggal 7 Oktober 2010, aktivitas Gunung Sinabung yang berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara masih fluktuatif. 

Kendati grafik aktivitasnya cenderung menurun sejak Mei 2013 lalu dengan semakin menurunnya gempa vulkanik dalam (VA), namun statusnya belum diturunkan alias masih waspada level II.

Ketua Pos Pengamatan Gunung Sinabung Armen Putra menjelaskan status gunung berketinggian 2.415 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini akan diturunkan apabila kegiatan kegempaannya semakin menurun dan normal kembali.

Data kegempaan gunung ini pada bulan April 2013 lalu tercatat sebanyak 210 kali, dan menurun menjadi 145 kali di bulan Mei 2013. Gunung Sinabung merupakan anak gunung raksasa Toba purba yang pernah meletus dasyat pada 70.000 tahun silam.

Berdasarkan pengamatan peta citra satelit, disimpulkan gunung ini merupakan anak gunung terbesar dan aktif di kompleks Gunung Toba yang juga mewarisi kaldera terbesar di muka bumi yaitu kaldera Danau Toba.

Sementara Gunung Kerinci yang berketinggian 3.805 mdpl sekaligus menjadi gunung aktif tertinggi Pulau Sumatera ini, sampai kini juga tetap berstatus waspada sejak ditetapkan tanggal 4 Juni 2013.

Menurut kepala Pos Jaga TNKS Agusman, penetapan status tersebut berdasarkan surat resmi dari Pos Pengamatan Gunung Merapi nomor 08/04/BGV.P-KRC/2013 tanggal 4 Juni 2013.

Akibatnya aktivitas pendakian masih ditutup oleh pihak pos jaga TNKS. Penutupan pendakian tersebut, berdasarkan pengumuman dari Kepala Balai Besar TNKS tentang PENUTUPAN Jalur Pendakian Gunung Kerinci terhitung tanggal 11 Juni 2013 sampai ada pemberitahuan dari Badan Vulkanologi.

Luas keseluruhan TNKS 1.386.000 hektar dan yang masuk wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi mencapai 215.000 hektar. Dan gunung Kerinci berada di kabupaten penghasil penganan dodol kentang, sirup kayu manis, kopi dan teh ini, disamping Danau Gunung Tujuh yakni danau vulkanik tertinggi di Asia Tenggara, Danau Belibis, Danau Kerinci, dan Goa Kasah.

Pendaki luar Sumatera yang datang ke Kabupaten Kerinci sampai kini lebih banyak lewat Padang, Sumatera Barat. Pasalnya jarak dari Padang ke Sungai Penuh, kota terdekat dengan Kabupaten Kerinci ini hanya 249 Km dengan waktu tempuh selama 6 jam melewati Muara Labuh. Rute lainnya Padang-Painan-Tapan-Sungai Penuh sekitar 277 Km.

Sedangkan dari Jambi berjarak 465 Km ke Kerinci selama lebih dari 12 jam dengan rute Jambi-Bangko-Sungai Penuh. Bayangkan dua kali lipat beda jarak dan waktu tempuhnya dibanding lewat Padang. Bahkan kalah cepat dibanding dari Bukit Tinggi, kota lain di Sumbar yang hanya berjarak 350 Km dengan rute Bukit Tinggi-Solok-Muara Labuh-Sungai Penuh. 

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Pesta Kesenian Bali, Waktu Tepat Menyelami Budaya Pulau Dewata

Buat penyuka budaya, kapan saja berlibur ke Bali tetap saja asyik. Tapi lebih asyik lagi kalau bertandang pas berlangsungnya Pesta Kesenian Bali (PKB). Pasalnya gelaran tahunan ini menyuguhkan aneka kesenian dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali serta kesenian dari daeran lain bahkan mancanegara selama sebulan

Tahun ini PKB ke-35 kembali digelar sejak 16 Juni 2013. Lokasinya dipusatkan di Taman Budaya Denpasar. Pesta ini akan berlangsung hingga 13 Juli mendatang. 

Pada hari pertama PKB, dipentaskan lima kegiatan seni budaya, baik dari Bali maupun dari daerah lain yakni pementasan kesenian dari Lampung Barat di Kalangan Ratna Kanda, pementasan partisipasi kesenian dari Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Sumenep, Provinsi Jawa Timur yang digelar di Kalangan Ayodya. Menyusul kemudian, kesenian tradisional Bali, yaitu parade "Ngelawang" dari Kabupaten Karangasem, Tabanan, dan Klungkung.

Malam harinya, kesenian dari Provinsi Papua berkasi di panggung terbuka Ardha Candra dan pementasan kesenian dari negara tetangga, Timor Leste bertempat di Wantilan atau pendopo.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, PKB 2013 juga memamerkan berbagai kerajinan tangan, seni lukis, serta seni patung. Tak ketinggalan anjungan kuliner tradisional khas Pulau Dewata.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuka PKB ke-35 ini di Taman Budaya, Denpasar, Bali, Sabtu (15/6) malam yang juga dihadiri pula oleh delegasi peserta "World Hindu Summit".

SBY membuka PKB dengan memukul beduk khas Bali kulkul didampingi Mendikbud M Nuh dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Hadir pula beberapa menteri KIB II, seperti Menko Polhukam Djoko Suyanto, Mendikbud Mohammad Nuh, Menparekraf Mari Elka Pangestu, dan Seskab Dipo Alam.

Presiden dan Ibu Negara Hj. Ani Yudhoyono kemudian menyaksikan Pagelaran Tari Oratorium ”Garuda Didjaya Mahambhara” oleh Sanggar Tari ISI Denpasar.

Sebelumnya, siang hari di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandhi, Denpasar, Presiden dan Ibu Negara menyaksikan pawai peserta PKB yang berlangsung sekitar 2,5 jam melibatkan sekitar 15 ribu seniman.

Peserta pawai meliputi delapan Kabupaten di Bali yakni Karangasem, Jembrana, Buleleng, Gianyar, Bangli, Klungkung, Badung, dan Kabupaten Tabanan serta Kota Denpasar dan partisipasi dari Kabupaten Sumenep, Kabupaten Lampung Barat, Republik Demokratik Timor Leste, Stikom Bali, Universitas Udayana. Pada

Minggu kedua PKB 2013 diisi dengan sejumlah pementasan dan kegiatan budaya lain. Pada Senin, 24 Juni 2013 ada Parade pesantian Sekaa Nadak Sara Marga Tabanan di RATNA KANDA pukul 14.00 wita, Partisipasi Sanggar Tari Apau Punyaat (STAP) Samarinda Kalimantan Timur di AYODYA pukul 11.00 wita, Semara Pagulingan Rekontruksi Kabupaten Bangli di AYODYA pukul 17.00 wita, Lomba Wayang Kulit Kabupaten GIanyar 20.00 wita, dan Parade Gong kebyar Dewasa Kabupaten Gianyar dengan Kabupaten Klungkung di ARDHA CANDRA 20.00 wita.

Kemasan Menarik 
Pembukaan PKB beda dengan pesta atau festival kesenian lain. Pawai budaya yang ditampilkan oleh setiap kontingen hampir semuanya memikat. 

Mereka tidak asal tampil. Tarian, pakaian, atribut, dan atraksi yang disuguhkan benar-benar dipersiapkan dengan matang dan menarik sehingga membuat penonton berdecak kagum. Kelebihan lain, kendati sudah berkelas dunia, PKB justru mengedepankan budaya lokal terutama Bali.

PKB juga diminati kontingen dari berbagai daerah yang menampilkan demontrasi kesenian memukau, andalan daerah setempat. Kontingen dari luar Bali ini juga tak mau kalah dengan tuan rumah. Tak heran peserta PKB pun diminati sejumlah negara asing.

Kemasan menarik lain dari PKB adalah dengan hadirnya pengatur pawai yang mengenakan kostum daag seperti yang lazim dijumpai pada kesenian janger. Bedanya daag PKB ini tidak mengatur ritme penampilan pragina janger dan kecak, melainkan mengatur kelancaran jalannya pawai pembukaan PKB.

Cara para daag mengatur jalannya pawai tidak seperti petugas keamanan umumnya yang kerap menjengkelkan dan kasar. Para daag itu, justru lebih sopan, unik, menghibur, dan tidak merusak performa kontingen, karena mereka melakukannya sambil menari dengan pakaian yang berbeda, berikut topeng khas dan lucu. 

Gaya Bali mengemas pesta kesenian yang bermuatan lokal dengan apik dan profesional, rasanya patut ditiru oleh festival budaya lainnya agar dapat menarik kunjungan wisatawan.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 18 Juni 2013

Berebut Diskon di 74 Mall Selama FJGS 2013

Festival Jakarta Great Sale (FJGS) 2013 yang berlangsung sejak Sabtu, 1 Juni 2013 bukan hanya menjadi ajang berbelanja para penggila shopping dari Jakarta dan sekitarnya. Ternyata juga wisatawan dari berbagai kota di luar Jawa bahkan mancanegara terutama pasar dari Timur Tengah.

Alasannya karena FJGS tahun ini kembali menawarkan konsep belanja dengan diskon harga menjulang hingga hadiah menarik dan lebih heboh. 

Bagaimana tidak heboh. FJGS kali ini diikuti 74 mall atau pusat belanja dengan potongan harga besar-besaran untuk semua produk, terutama busana.

Handoko Santosa selaku ketua panitia FJGS  2013 juga mengatakan jumlah retailer yang ikut serta pun bertambah. Ada tujuh ribu retailer yang berpartisipasi. “Tahun lalu cuma enam ribu retailer. Ada kenaikan 15 persen," akunya di Jakarta beberapa waktu lalu.

Target pengunjungnya bukan hanya Jakarta dan Nasional, pun internasional terutama turis asal Timur Tengah mengingat banyak orang Timur Tengah yang datang ke Jakarta untuk berbelanja. “Kita ada business meeting ke Timur Tengah dan kita buat brosur dalam bahasa Arab,” tambah Handoko.

Karena itu target omset FJGS tahun ini sebesar Rp 11, 8 triliun optimis tercapai karena bertepatan juga dengan musim libur sekolah. “Tahun lalu omsetnya mencapai Rp 10 trliun rupiah,” akunya.

74 pusat perbelanjaan yang berpartisipasi terbagi dalam lima wilayah. Di Jakarta Pusat ada 20 pusat perbelanjaan yakni FX Lifestyle x’nter, Gajah Mada Plaza, Gedung Blok B Pusat Grosir Tanah Abang, Golden Truly, Grand Indonesia Shopping Town, Harco Pasar Baru, Istana Pasar Baru, ITC Cempaka Mas, Mega Grosir, ITC Mangga Dua, ITC Roxy Mas, Mal Mangga Dua, Mangga Dua Square, Plaza Atrium, Plaza Glodok, Plaza Indonesia, Plaza Kenari Mas, Plaza Senayan, Senayan City, Thamrin City, dan Jakarta Design Center.

Di Jakarta Selatan sebanyak 26, yakni Blok M Square, Cilandak Town Square, Darmawangsa Square, The City Wal Epiwalk, Exion / Lippo Mall Kemang, Gandaria City, Grand ITC Permata Hijau, ITC Fatmawati, ITC Kuningan, Kalibata City Square, Kota Kasablanka Kuningan City, Lippo Mall Kemang, Mal Ambasador, Mal Blok M, Pacific Place, Pejaten Village, Plaza Blok M, Plaza Festival, Plaza Kalibata, Plaza Mebel, Poins Square, Pondok Indah Mall, Tebet Green, The Arcade Oakwood, dan The Plaza Semanggi.

Di Jakarta Barat sebanyak 9 mall yakni Central Park, Lindeteves Trade Center, Mal Ciputra, Mal Matahari Puri Daan Mogot, Mal Taman Anggrek, Mal Taman Palem, Puri X’ tertaiment Pavilion, Puri Indah Mall, dan Seasons City. Di Jakarta Utara sebanyak 10 mall yakni Emporium Pluit Mall, La Piazza, Mahaka Square, Mal Artha Gading, Mal Kelapa Gading, Mall of Indonesia, Pluit Junction, Pluit Village, Sunter Mall, dan WTC Mangga Dua.

Dan Jakarta Timur sebanyak 9 pusat perbelanjaan yakni Arion Mall, Cibubur Junction, Grand Cakung, Kramat Jati Indah Plaza, Mal Cijantung, Plaza Buaran, Pulogadung Trade Center, Pusat Grosir Cililitan, dan Tamini Square.

Kesempatan berburu diskon di 74 mall tersebut masih cukup panjang, karena festival tahunan ini berlangsung selama satu bulan lebih, penutupannya 14 Juli 2013.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Yuk ke Festival Kuliner Tradisional Aceh 2013

Apa yang terbayang kalau menyebut kuniler khas Tanah Rencong? Pasti kebanyakan orang langsung menyebut Mie Aceh dan Kopi Gayo. Itu memang benar. Dua jenis makanan dan minuman itulah yang paling tersohor. 

Padahal masih banyak jenis makanan tradisional Aceh lainnya. Kalau mau tahu apa saja?

Datang saja ke Banda Aceh. Soalnya di ibukota provinsi paling Barat Indonesia ini tengah menggelar Festival Kuliner Tradisional Aceh yang berakhir pada 20 Juni 2013.

Menurut Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Adami Umar, festival ini bertujuan memperkenalkan dan melestarikan bermacam makanan tradisional Aceh. “Setalah tahu, diharapkan masyarakat dari luar tertarik datang ke Aceh dan menikmati aneka kulinernya,” jelasnya usai pembukaan festival tersebut, Selasa, 18 Juni 2013.

Selain Mie Aceh yang sudah menasional, ada bermacam kuliner khas bumi Sultan Iskandar Muda yang disuguhkan di festival ini seperti ayam tangkap, gule pliek, kuah sie kameng, keumamah, nasi gurih, sate matang, dan aneka panganan atau kue tradisional antara lain kue thimpan.

Festival yang bertempat di Taman Ratu Safiatuddin, Lamprit, Banda Aceh dan berlangsung mulai pukul 10 pagi sampai pukul 6 sore ini juga diramaikan dengan lomba lomba memasak makanan tradisional dan seminar gaya hidup sehat untuk mengolah makanan khas Aceh yang bergizi tinggi dengan mengundang pakar makanan sehat.

Para pesertanya dari seluruh kabupaten atau kota di Aceh, tim penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) kabupaten atau kota, tim dari desa wisata di Aceh, universitas, dan koperasi-koperasi usaha makanan daerah.

Masing-masing peserta memperkenalkan masakan khas wilayahnya yang resepnya sudah warisan turun-temurun. Beberapa jenis makanannya ada yang belum begitu familiar, tak kalah unik dan nikmatnya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Ayo Rebut Uang Puluhan Juta di Tiga Lomba Foto Tahun Ini

Kabar gembira buat para fotografer. Tahun ini  ada ada tiga lomba foto yang bakal digelar. Dua lomba dilaksanakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), satu lagi panitia Jakarta Fair Kemayoran 2013. Hadiahnya puluhan juta, perlengkapan fotografi, dan bersilaturahmi dengan Presiden SBY. 

Lomba foto yang digelar Kemnparekraf pertama adalah Lomba Foto Sadar Wisata yang tahun ini memasuki penyelenggaraan yang ke-lima. Lomba foto yang bertujuan memperkenalkan daerah tujuan wisata berhadiah total Rp77,5 juta.

Ketua dewan Juri Sigit Pramono mengatakan lomba foto ini terbuka untuk umum. “Batas akhir penyerahan karya foto ke pihak panitia lomba hingga 15 Juli 2013,” katanya. Dewan juri akan melakukan penilaian foto pada 22 Juli 2013 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, kantor Kementerian Parekraf.

Pengumuman para pemenang dan penyerahan hadiah akan dilaksanakan di Fountain Atrium, West Mall Grand Indonesia Shopping Town Lt 3 A Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 20 September 2013. “Seratus karya foto terbaik akan dipamerkan pada 20 hingga 22 September 2013 di tempat yang sama,” tambah Sigit.

Para pemenang Lomba Foto Sadar Wisata 2013 akan mendapat hadiah berupa uang dan piagam. Juara pertama berhak atas hadiah uang sebesar Rp20 juta, juara dua Rp17 juta, juara tiga Rp15 juta, juara harapan satu Rp10 juta, juara harapan dua Rp7,5 juta, juara harapan tiga Rp5 juta, dan hadiah favorit Rp3 juta serta masing-masing mendapat piagam dari Menparekraf.

Setiap peserta maksimal mengirimkan 5 foto. Dialamatkan ke Sekretariat Panitia Lomba Foto Sadar Wisata 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jalan Medan Merdeka Barat No. 17, Jakarta 10110, Gedung Sapta Pesona. Lt.4.

Atau diemailkan ke: fotosadarwisata@parekraf.go.id. “Ukuran foto yang dikirim minimal 1600 x 3000 pixels,” kata Bambang Wijanarko, salah satu juri lomba foto ini.

Lomba foto kedua yang selenggarakan Kemenparekraf adalah Lomba dan Pameran Foto Indonesia memperebutkan Piala Presiden 2013 berhadiah total hadiah Rp. 282,5 juta.

“Selain mendapat Piala Presiden, para pemenangnya juga dapat bertemu dan bersalaman dengan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara,” kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, di Jakarta, Selasa (18/6/2013). 

Kata Marie, lomba foto bertema 'Indonesia di Hatiku' itu digelar sebagai bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari Ulang Tahun Indonesia. 

Penyerahan karya foto peserta terakhir pada 18 Juli 2013 dengan pelaksanaan penjurian pada 25 Juli 2013 dan pengumuman pemenang pada 17 Agustus 2013. “Pada tanggal 18 Agustus 2013 para pemenang berkesempatan bersilaturahmi dengan Presiden SBY sekaligus penyerahan piala dan hadiah,” terang Marie.

Lomba foto ini dibagi menjadi 3 kategori dengan hadiah total Rp 282,5 juta. Rinciannya Rp 30 juta untuk kategori pelajar, Rp 40 juta untuk kategori mahasiswa, dan Rp 50 juta untuk kategori umum. “Tambahan lainnya hadiah berupa kamera Cannon dan tas kamera,” tambah Marie. 

Untuk menjaring lebih banyak peserta sekaligus meningkatkan kualitas lomba, Kemenparekraf melakukan sejumlah terobosan di antaranya mengoptimalkan microsite khusus www.fotografiindonesia.net untuk memudahkan peserta mengirimkan karya foto. 

Kemenparekraf juga mempromosikan ajang tersebut melalui jejaring sosial melalui akun facebook.com/INDONESIAFOTOGRAFI dan twitter @fotografi_Ind#LFI2013.

Lomba foto ketiga digelar panitia Jakarta Fair atau Pekan Raya Jakarta 2013 dengan tema “Warna-Warni Jakarta Fair Kemayoran 2013” dengan total hadiah puluhan juta rupiah. 

Lomba foto ini terbuka untuk umum dan gratis. Setiap foto wajib menampilkan sisi Jakarta Fair Kemayoran 2013 yang enerjik, dinamis, dan menarik. Karya foto dikirim dalam bentuk JPEG (soft copy) dengan ukuran sisi terpanjang 1500 pixels, lebar file maksimal 500KB. 

Batas waktu pengiriman foto, Jum’at 28 Juni 2013 pukul 00.00 ke email: lombafotoumumjakartafair@yahoo.com.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com

Read more...

Sabtu, 15 Juni 2013

Meresapi Kumandang Cinta di Tanah Rencong

…Berkali-kali sudah ku mendengarnya. Penanda lima waktu tlah tiba. Entah mengapa tak ada jenuhnya. Selalu merasuk sukma. #Kumandang cinta begitu indah, memanggil semua ‘tuk menyembah-Nya. Kumandang cinta sebagai tanda lenyapkan manis dunia, lepaskan jerat dunia… 

Itulah lirik lagu bergenre pop religi  berjudul Kumandang Cinta, yang kubuat usai menunaikan shalat wajib di salah satu masjid besar di pesisir Barat Aceh, beberapa hari lalu. Untaian nada itu, buah dari resapan keterpesonaanku dengan muadzin yang mengumandangkan adzan sore itu dan juga kemegahan masjidnya. 

Selain warung kopi dan mie Aceh, tentu keberadaan masjid menjadi salah satu bangunan yang mencolok di Aceh. Boleh dibilang di setiap kota kabupaten dipastikan memiliki minimal sebuah masjid besar. Begitu juga di tiap kecamatan bahkan mungkin di tiap gampong (kampung)-nya juga memiliki masjid, paling tidak mushola.

Coba saja susuri pesisir Barat Aceh dari Banda Aceh hingga Meulaboh, Anda pasti bakal menemukan puluhan masjid besar. Mulai dari Banda Aceh, Anda akan bertemu dengan Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi landmark kota ini sekaligus ikon wisata Aceh.

Masih di Banda Aceh, Anda juga bakal bertemu dengan Masjid Baiturrahim di Uleelheue, Kecamatan Meuraxa yang namanya kian tersohor karena menjadi salah satu masjid yang tetap kokoh berdiri dari hantaman tsunami sekalipun letaknya sangat dekat dengan pantai.

Masjid ini merupakan satu-satunya bangunan yang tetap berdiri kokoh meski diterjang gelombang dasyat tsunami 26 Desember 2004 tahun silam. Padahal bangunan rumah dan lain di sekitarnya rata dengan tanah.

Berkat keperkasaan masjid yang berdiri tahun 1342 Hijriah ini, kini banyak wisatawan yang berdatangan untuk sekadar mengetahui kisah keperkasaannya atau keajaibannya itu. Ada juga yang sengaja datang untuk melihat dan memotret arsitekturnya maupun melakukan ibadah shalat dan lainnya.

Di depan gapura masjid ini, ada plang persegi empat berwarna putih dengan tulisan hitam berbahasa Indonesia, Arab, dan Inggris yang berbunyi “Perhatian: Anda memasuki kawasan wajib mengenakan busana muslim/muslimah”.

Ke luar kota Banda Aceh, Anda bisa mengunjungi Masjid Rahmatullah Lhampuuk tak jauh dari Pantai Lhampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Masjid berkubah hitam yang diresmikan untuk pertama kalinya pada 12 September 1997 oleh Gubernur Aceh saat itu Prof. Syamsudin Mahmud ini juga menjadi salah satu masjid perkasa dari terjangan tsunami kala itu.

Sekalipun sudah direnovasi, ada satu sudut di dalam ruangngan masjid ini yang djadikan tempat menyimpan puing-puing bekas hantaman tsunami berikut beberapa bingkai foto yang menunjukkan keperkasaan masjid ini, sekalipun berjarak hanya sekitar 500 meter dari bibir pantai.

Di Krueng Sabee ada Masjid Baitul Makmur yang letaknya di tepi sungai (krueng) Sabee, Calang, Kabupaten Aceh Jaya. Masjid berkubah merah ini tergolang besar dan terlihat begitu gagah.

Masih di Calang, juga ada Masjid Jabal Rahmah yang pembangunannya dari sumbangan pemirsa SCTV. Persis di samping masjid ini ada pesantren merangkap pantia asuhan bernama Yayasan Al-Anshar yang sederhana.

Masjid Termegah
Bahkan di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat ada Masjid Agung Baitul Makmur yang disebut-sebut sebagai masjid terbesar dan termegah di kawasan pantai Barat Aceh. 

Masjid yang terletak di Desa Seuneubok, Kecamatan Johan Pahlawan ini berarsitektur perpaduan antara Timur Tengah, Asia, dan Aceh. 

Ciri khasnya warna cokelat cerah yang dikombinasikan dengan warna merah bata di kubah masjid. Ada tiga kubah utama yang diapit dua kubah menara air berukuran lebih kecil. 

Bentuk kepala semua kubahnya sama, yakni bulat berujung lancip, khas paduan arsitektur Timur Tengah dan Asia.

Berdasarkan kemegahan arsitekturnya dan juga ukurannya, membuat masjid ini masuk ke dalam 100 Masjid Terindah di Indonesia, sebuah buku yang disusun oleh Teddy Tjokrosaputro & Aryananda yang diterbitkan oleh PT Andalan Media, Agustus 2011 setebal 209 halaman.

Pintu gerbang masjid ini pun mempunyai keistimewaan tersendiri. Gerbangnya begitu anggun, berdiri sendiri dengan jarak beberapa meter dari bangunan utama masjid.

Sementara bagian dalam masjidnya terdapat banyak tiang penyangga lantai dua sebagai mezzanine. Di bagian tengah terdapat ruang lapang yang terasa sangat lega dengan ornamen lampu hias tepat di tengahnya.

Kehadiran masjid-masjid besar dan gagah itu kian memperkuat nuansa religi Tanah Rencong ini. Kendati jumlah penduduknya sedikit bahkan berkurang setelah tsunami, tetap saja masjid-masjid besar tumbuh bukan hanya di pesisir Barat Aceh, pun di jalur tengah dan pesisir Timur Aceh.

Selagi Anda menjelajahi bumi Sultan Iskandar Muda ini, tak ada salahnya bertandang ke masjid-masjid ini sekaligus menunaikan ibadah wajib. Berada di masjid-masjid yang perkasa dari guncangan gempa dan hantaman tsunami itu, Anda pasti akan menemukan atmosfir yang berbeda.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Jumat, 14 Juni 2013

Menikmati Wajah Baru Pesisir Barat Aceh 8 Tahun Pascatsunami

Tak ada seorangpun di pantai berbatu koral itu. Cuma seekor biawak berukuran besar sekitar 1 meter yang tengah asyik menyantap ikan segar berwarna merah. Dua rekannya lagi tengah mondar-mandir berenang di telaga rawa baru yang letaknya berdekatan dengan pantai. Biar ombak datang berulang-ulang dan menambrak karang dengan kerasnya seakan berteriak-teriak. Tetap saja sepi dan hening. 

Itulah suasana yang kudapati ketika tiba di Pantai Saney, di Kecamatan Lhoong, Aceh Besar, beberapa hari lalu. Pantai yang berada agak jauh dari jalan utama di pesisir Barat Aceh ini merupakan salah satu pantai yang kondisinya berubah pasca dihantam tsunami hebat 8 tahun lalu, tepatnya tahun 2004 silam. 

Ini kali kedua aku datangi pantai berombak keras ini. Suasananya hampir sama seperti pertamakali aku ke sini, dua tahun lalu. Sunyi, tak berpenghuni dan tak berpengunjung.

Entah mengapa aku merasa pesona pantai ini seakan mubazir lantaran tidak ada seorangpun yang menikmatinya. Jangankan berharap ada wisatawan asing dan Nusantara, wisatawan lokal pun tak nampak batang hidungnya seorang pun.

Seperti pantai lain di pesisir Barat Aceh, pantai ini pun mengalami degradasi (perubahan) cukup besar. Hampir semua vegetasinya hancur. Maklum, pantai ini dan pantai-pantai lain disepanjang pesisir Barat Aceh berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan pusat terjadinya gempa hebat hingga menimbulkan gelombang tsunami dasyat itu. 

Kawasan pantai Barat Aceh mencakup Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar, dan Kota Banda Aceh.

Pesisir Barat ini diterjang gelombang tsunami setinggi hampir 34 meter. Terjangannya jauh lebih tinggi dan lebih kuat dibanding kawasan pantai Timur Aceh yang berbatasan dengan Selat Malaka yaitu sebagian Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, dan Kabupaten Aceh Utara. Tinggi gelombang tsunami yang menghantam kawasan pantai Timur ini hanya sampai 10 meter.

Tak heran kalau kondisi vegetasi dan fisik pantai terjadi kerusakan lebih berat di kawasan pantai Barat dibandingkan dengan kawasan pesisir Timur. Lantaran gelombang menerjang kawasan pantai Barat tidak terhalang oleh paparan daratan, sedangkan gelombang yang menghantam kawasan pantai Timur tertahan terlebih dahulu oleh daratan sekitar kawasan pantai Barat.

Akibat lain dari terjangan tsunami itu, terjadi kehilangan badan pantai sekaligus terjadi pembentukan badan pantai baru. Banyak pantai yang tererosi dan membentuk garis pantai baru pada bagian mangrove yang mati atau teluk bagian dalam. Pantai Saney adalah salah satu pantai yang berubah fisik dan vegetasinya. Kini, pantai ini tampil dengan wajah barunya.

Berdasarkan pantauanku, kawasan pesisir Barat yang mengalami kerusakan akibat tsunami di Aceh Barat meliputi vegetasi pantai, mangrove, tambak, badan air, perkebunan, dan tentu saja rumah-rumah penduduk yang berada di dakat pantai, termasuk jalan dan jembatan lama sepanjang pesisir itu.

Sampai sekarang sisa-sisa kerusakan itu masih nampak, berupa puing-puing rumah yang rata dengan pantai baru, bonggol dan batang-batang pohon kelapa tanpa daunnya serta pondasi jembatan yang berdiri di antara genangan perairan baru.

Vegetasi kawasan pesisir yang rusak tersebut, lambat-laut secara alami mengalami perubahan dengan hadirnya tanaman jenis-jenis baru seperti herba (rumput-rumputan, teki-tekian dan tumbuhan bawah lainnya), semak, dan anakan pohon.

Kawasan pesisir Aceh Barat yang rusak akibat tsunami meliputi Kecamatan Meurebo, Johan Pahlawan, Sama Tiga, dan Kecamatan Arongan Lambalek. Sementara kawasan pesisir Kabupaten Aceh Jaya yang rusak antara lain Kecamatan Tenom, Panga, Krueng Sabe, Setia Bakti, Samponit, dan Kecamatan Jaya.

Sedangkan kawasan pesisir Kabupaten Aceh Besar yang rusak, selain Kecamatan Lhoong, tempat dimana Pantai Saney berada, juga Kecamatan Leupung, Lhoknga Leupung, Peukan Bada, Jaya Baru, Baitussalam, Darussalam, dan Kecamatan Mesjid Raya.

Pantai-Pantai Bermuka Baru 
Perubahan lain. Pantai-pantai yang dulu menjadi obyek wisata, setelah dihantam tsunami kini sepi tak berpengunjung. Pantai-pantai itu hanya meninggalkan fasilitas umum seperti MCK yang rusak dan terbengkalai. 

Gantinya, muncul tempat-tempat baru yang dikunjungi wisatawan lokal untuk menikmati pantai-pantai dengan wajah baru, entah itu pantai ataupun rawa-rawa yang mirip telaga yang kerap didatangai warga untuk memancing ikan atau sekadar santai menikmati pesonanya. 

Tak sulit menyaksikan wajah baru pantai-pantai pesisir Barat Aceh. Akses jalan baru dari Banda Aceh hingga Meulaboh sudah beraspal mulus dengan jembatan-jembatan kokoh yang di antara sumbangan dari sejumlah negara asing. 

Anda bisa naik kendaraan roda empat baik pribadi maupun mobil travel dari Banda Aceh. Pilihan lain dengan menyewa becak motor atau mengendari sepeda motor. Buat yang senang berpetualang, bisa juga dengan naik sepeda dengan membawa bekal dan peralatan pendukungnya seperti helm dan lainnya.

Kalau Anda naik kendaraan mobil atau motor, sebaiknya isi penuh BBM karena sepanjang jalan pesisir ini masih jarang SPBU. Dan jangan lupa membawa makanan dan minuman kecil untuk bekal. Soalnya masih jarang sekali minimarket dan rumah makan besar. Andaipun ada hanya di tempat-tempat tertentu seperti warung-warung sederhana di kawasan Puncak Geurute, Aceh Jaya dan di kota-kota kecil seperti Lamno, Calang, dan Meulaboh. 

Waktu terbaik untuk menikmati pantai-pantai sepanjang peisisir Barat Aceh mulai dari Banda Aceh sampai Meulaboh sebaiknya mulai pagi hari, lalu istirahat siang di Puncak Geurute sambil melepas dahaga dengan air kelapa ijo. Setelah itu ke pantai-pantai berikut dan akhirnya bermalam di Meulaboh.

Keesokan paginya mengunjungi Tugu Topi Teuku Umar dan Pantai Ujung Karang di Meulabaoh serta menikati suasana kotanya, lalu kembali melalui rute yang sama. 

Sewaktu kembali, Anda dapat kembali meng-eksplore obyek-obyek yang kemarin didatangi jika kurang puas lantaran cuaca yang kurang mendukung dan lainnya. Atau ke obyek-obyek lain yang terlewatkan seperti air terjun, pantai dengan gumuk atau gunungan pasir, dan muara sungai-sungainya yang tenang.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Sanger, Secangkir Kopi Sama-Sama Ngerti

…Bukan cuma kali ini kau bikin ku nagih. Tapi sudah berkali-kali. Akhirnya ku bersaksi. #Kalau mau asyik dan semakin asyik, ya Sangerlah. Kalau mau enak dan semakin enak ya Sangerlah.. ##Kalau ingin nikmat dan semakin nikmat, ya Sangerlah. Kalau ingin puas dan semakin puas, ya Sangerlah. *Sama-sama ngerti, ya saling ngerti, ya Sangerlah…

Itulah lirik lagu terbaruku bergenre dangdut fungky nge-beat yang langsung ku buat setelah mendengar cerita asal-muasal kata Sanger dari Yuzar, rekanku di Banda Aceh sewaktu ngupi bareng di Black Jack Coffee dekat Taman Sari, seberang Museum Tsunami, beberapa hari lalu. 

Sanger adalah nama salah satu minuman kopi khas Aceh dah hanya ada di Aceh. Warnanya kecoklatan. Kata Yuzar, dulu banyak mahasiswa yang ngekos di Banda Aceh kerap nongkrong berlama-lama di kedai kopi favorit sambil menyeruput kopi hitam atau murni yang harganya lumayan mahal buat ukuran kantong mahasiswa ketika itu. Biasanya mereka kerap datang awal bulan sampai pertengahan bulan.

Tapi saat musim paceklik, akhir bulan, mereka kesulitan minum kopi itu karena belum mendapat kiriman uang dari orangtua. Mereka yang gemar ngupi, bagaimanapun caranya harus tetap bisa ngupi. Akhirnya mereka pesan kopi susu lantaran kupi hitam tak terjangkau isi dompetnya yang tengah menipis.

 “Bang, kopi tambah susu sedikit. Sama-sama ngertilah bang. Tanggal tua nih,” cerita Yuzar menirukan gaya mahasiswa sewaktu memesan kopi tersebut.

Dari situlah, lahir istilah Kopi Sanger sampai sekarang. Dan anehnya kopi ini kemudian menjadi salah satu kopi favorit bukan cuma di kalangan mahasiswa dan mahasiswi, pun pengunjung dari berbagai kalangan dan profesi.

Sepintas, Sanger seperti kopi susu biasa ataupun yang sedikit lebih keren mirip Capucino. Tapi, setelah aku seruput, tak bisa dibantah, jauh lebih nikmat kopi Sanger ini. Rasanya sangat khas, beda dengan rasa kopi lainnya. Kendati sudah bercampur dengan susu, aroma kopinya tetap juara.

Kenapa bisa begitu? Menurut salah seorang pembuat kopi di Black Jack Coffee yang kerap dikunjungi berbagai komunitas antara lain komunitas fotografer di Banda Aceh ini, untuk membuat Sanger takarannya harus serba pas, baik takaran kopinya, susu kentalnya maupun gulanya.

Setelah kopi diseduh dengan saringan dari kain berbentuk seperti kaos kaki, lalu ditambah dengan susu kental dan sedikit gula kemudian dikocok sampai berbuih. Untuk mendapatakan sangat yang mantap, campuran susu dan gulanya jangan terlalu banyak.

Selain di kedai ini, sejumlah kedai besar dan kecilpun banyak yang menyajikan Kopi Sanger, antara lain Kedai Kopi Solong di kawasan Ulee Kareng, Chek Yuke di Jalan Pinggir Kali Aceh, dekat Masjid Raya Baiturahman, dan Dhapu Kupi di Simpang Surabaya yang begitu strategis hingga buka 24 jam, dan lainnya.

Kopi ini dapat dinikmati panas maupun dingin. Secangkir Kopi Sanger panas sekitar Rp 5ribu sampai Rp 6ribu. Sedangkan yang dingin Rp 7ribu sampai Rp 8ribu per cangkirnya. Biasanya ditemani dengan aneka panganan kecil seperti kue timphan, otak-otak, dadar gulung, risol, pastel, dan lainnya.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Kamis, 13 Juni 2013

Di Dieng, Delapan Band Bakal Suguhkan Jazz di Atas Awan

Jazz di atas awan? Ah ada-ada saja. Ungkapan spontan itu bisa jadi muncul mendengar bakal digelarnya konser jazz bertajuk begitu di Dieng akhir Juni ini. Mau lihat jazz aja koq repot! Toh di Youtube juga bisa. Mungkin itu juga ungkapan lain yang muncul berikutnya. 

Eiiith.., tunggu dulu. Konser jazz memang bisa dilihat dimanapun, di tepi pantai seperti Asean Jazz Festival yang digelar sejak 2008 dan tahun ini kembali diadakan di Terminal Feri Harbour Bay Kota Batam, Kepulauan Riau 22-23 Juni ini. Atau Sabang Jazz Festival yang digelar di Sabang, Pulau Weh, Aceh sejak tahun 2012.

Bisa juga dinikmati di dalam ruangan ber-AC seperti JAVA Jazz yang digelar 3 hari berturut-turut di Jakarta Convention Centre sejak 2005 lalu berpindah ke Jakarta International Expo, atau di kampus Universitas Indonesia (UI) sebagaimana Jazz Goes to Campus yang digelar Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi UI sejak tahun 1978.

Bisa juga di desa, pasar seni, dan padepokan seperti yang kerap dipilih Ngayogjazz di Yogyakarta. Sejak awal konser jazz merakyat ini digelar berpindah-pindah dan tanpa dipungut bayaran alias gratis. Pertama kali di Padepokan Bagong Kusudihardjo (2007), Desa Tembi (2008). Pasar Seni Gabusan (2009), Djoko Pekik (2010), Kota Gedhe (2011), dan Desa Brayut (2012).

Bahkan bisa juga dilihat di gunung seperti Jazz Gunung yang saban tahun di Bromo, Jawa Timur sejak tahun 2009. Yang jelas setiap tempat, punya atmosfir tersendiri. Dan itulah point jualannya.

Musik import ini juga dapat disaksikan di berbagai media seperti yang disebut di atas youtube, TV, DVD, dan didengarkan di radio ataupun CD. Tapi sekali lagi, nonton jazz secara live, hmmm.., jelas BEDA! Itu tak terbantahkan. Dan Dieng jeli melihat point itu.

Dengan segala kelebihan yang dimilikinya, alam pegunungan yang menawan, suhu udara yang dingin dan berkabut, pesona matahari terbit dan tenggelam yang memukau serta tinggalan sejarah berupa beberapa candi Hindu kuno Kompleks Candi Arjuna, jelas menjadi modal daya tarik kuat yang akan menyedot perhatian banyak orang untuk datang dan menikmatinya.

Tak heran kalau Wakil Bupati Banjarnegara, Hadi Supeno dan Bupati Wonosobo, Kholiq Arief sangat optimis kalau dataran tinggi yang terkenal dengan kentang, kubis, dan carica atau pepaya gunungnya ini sangat layak menjadi tempat festival jazz tingkat nasional bahkan internasional.

Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, Alief Faozi bahwa Jazz di Atas Awan akan menghadirkan sesuatu yang berbeda daripada suguhan jazz yang pernah ada di tempat lain.

Kata Alief lagi, pergelaran jazz yang akan digelar 30 Juni 2013 ini merupakan satu rangkaian dengan Festival Budaya Dieng atau Dieng Culture Festival (DCF) yang tahun ini memasuki penyelenggaraan ke-empat. “Tahun ini konser jazz ini untuk kali pertama. Jualan utama DCF, masih tetap ritual ruwatan potong rambut gimbal anak-anak Dieng,” jelasnya.

Mengapa akhir Juni? Ternyata Alief punya alasan tersendiri. Menurutnya akhir Juni merupakan musim kemarau. Saat itulah pemandangan Dieng sedang indah-indahnya. Ada sunset dan sunrise spektakuler yang perlahan-lahan menyibak halimun. Dan ketika itulah muncul fragmen pucuk-pucuk Candi Arjuna di atas awan kabut yang sangat fantastik.

Supervisor DCF 2013, Budhi Hermanto menjelaskan ada delapan grup musik yang akan unjuk gigi di pergelaran Jazz di Atas Awan 30 Juni ini. Ada Dawai The Ethnic dari Bandung, Sekawan Band (Salatiga), JFU Band (Semarang), Harmony Bles (Purwokerto), Chikenjiezz (Banjarnegara), Nalaswara (Purwokerto), dan Teles Klebues dari Banjarnegara serta satu grup jazz dadakan dari pemuda Dieng.

Berdasarkan pengalaman sebelumnya, puluhan ribu wisatawan datang ke DCF. Akibatnya seluruh homestay di Dieng kebanjiran pengunjung. Dan tahun ini pun begitu, belum apa-apa semua penginapan murah itu sudah ludes dibooking.

Tapi tak usah cemas, ada alternatif lain seperti mendirikan tenda di pucak-puncak gunung dan bukit di sekitar Dieng seperti di Bukit Sikunir dan puncak Gunung Prau.

Pilihan lain menginap di hotel-hotel yang ada di dalam atau di dekat Kota Wonosobo seperti di Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant yang berada di Jalan Raya Wonosobo-Parakan, Km 17 Wonosobo, Jawa Tengah. 

Booking saja jika ingin bermalam di hotel yang menawarkan pemandangan dua Gunung Sindoro dan Sumbing ini lewat telepon di nomor (0286) 3322023, 081328119888 atau fax. (0286) 321433, (0286) 896540, atau juga email: diengkledungpas@yahoo.com.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Festival Budaya Dieng Digelar Akhir Juni Ini

Bingung mau kemana akhir bulan ini? Datang saja ke dataran tinggi Dieng atau (Dieng Plateu) di Wonosobo, Jawa Tengah. Pasalnya, di kawasan berudara dingin yang dikelilingi perbukitan dan gunung-gunung ini akan digelar Festival Budaya Dieng atau Dieng Culture Festival (DCF) 2013 selama tiga hari mulai tanggal 28-30 Juni. 

DCF sudah tiga kali digelar dan tahun ini masuk pagelaran ke-empat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sejumlah atraksi budaya yang ada di Dieng akan disuguhkan dalam festival ini.

Salah satu atraksi budaya yang menjadi unggulan festival ini adalah ritual Ruwatan Potong Rambut Gembel, yakni pemotongan rambut bocah Dieng yang berambut gembel untuk menghindarkan dirinya dari segala penyakit dan bala.

Anak tersebut akan dinaikan ke kereta dan diiringi oleh manggolo yudho dan diiringi oleh berbagai macam kesenian yang ada di dataran tinggi Dieng. Lalu anak berambut gimbal tersebut dijamasi dan dipotong rambutnya. Setelah itu rambutnya dilarung ke sungai atau ke telaga yang airnya mengalir menuju ke Selatan sebagai wujud pengembalian rambut.

DFC tahun ini terasa lebih spesial dibanding tahun-tahun sebelumnya lantaran ada pagelaran Jazz Di Atas Awan.

Pada hari pertama, (28/6) DFC diisi dengan Pembukaan, Pelepasan Napak Tilas Budaya oleh Pemangku Adat, Kunjungan Stan Pameran, Gelar Seni Tradisional, dan Festival Lampion.

Pada hari kedua (29/6), ada acara Minum Purwaceng Bareng, Pelepasan Balon-Balon Tradisinal, Pagelaran Seni Tari Tradisional, Pagelaran Wayang Kulit, dan Pesta Kembang Api.

Sedangkan hari ketiga (30/60) diisi dengan Kirab Cukur Rambut Anak Gembel, Jamasan Rambut Anak Gembel, Prosesi Pencukuran Rambut Anak Gembel, Sambutan-sambutan, Penutupan Prosesi, Nominasi Fest Film Dieng, dan Gelaran Jazz Di Atas Awan.

Selama ini Dieng tersohor dengan alamnya. Karena itu, usai menikmati DFC jangan pergi dulu, nikmati golden sunrise di Bukit Sikunir dan Gunung Prau. Lalu bersantai di Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Lanjutkan melihat Candi-candi Kuno dan ke Kawah Sikidang.

Jangan lupa cicipi kuliner khasnya seperi Mie Ongklok, Carica atau manisan papaya gunung khas Dieng, Kripik Jamur, dan Kopi Purwaceng.

Sejak tiga tahun belakngan ini, DCF telah menjadi magnet baru wisata di Jawa Tengah.

 Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 04 Juni 2013

Jamur-Jamur Cantik Penghuni Hutan Rajabasa

Ratusan jamur berwarna putih susu berbentuk bulatan kecil yang tumbuh di batang pohon lapuk yang akarnya masih menancap kuat di lereng Gunung Rajabasa ini, amat memikat mata. Warna dan bentuknya begitu kontras dengan hutan di sekitarnya yang ijo royo-royo. Ternyata mereka tidak sendirian. Masih ada beberapa jenis jamur lain yang betah tinggal di ujung belantara Sumatera ini. 

“Om itu pohon jamur,” kata Iyan, ketua tim Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) seraya telunjuknya menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang hampir seluruh badannya diselimuti jamur-jamur putih berpentol-pentol, sewaktu menuruni lereng Gunung Rajabasa dari Pos 5 menuju Pos 4 yang berhutan lebat. 

Aku langsung mendekati mereka dan memotretnya berkali-kali. Lokasi jamur-jamur itu tak jauh dari jalur trek. Mungkin kalau warnanya bukan putih dan jumlahnya tidak banyak, agak samar terlihat. 

Keberhasilan bertemu dengan jamur pentol putih itu menambah jumlah koleksi jamur yang kutemui di hutan gunung yang atap utamanya berketinggian 1.281 meter di atas per mukaan laut ini.

Sebelumnya, sewaktu menuruni lembah curam berhutan rapat dan berudara lembab dari Pos 5 menuju danau kawah yang sedang tak berair dan daratannya ditumbuhi ilalang serta semak belukar, aku sempat melihat jamur kuping berwarna hitam pekat dengan daging yang cukup tebal.

Amin, anggota tim CICAK lainnya juga melihat jamur itu dan sempat mengatakannya. “Tadi di bawah situ ada jamur hitam,” katanya. Sebenarnya aku sudah melihatnya, cuma lantaran saat itu tengah fokus menuruni medan curam dan licin, aku jadi tak sempat mengabadikan jamur keling itu.

Sehari sebelumnya, ketika mendaki lereng gunung ini dari pos 3 menuju pos 4, aku juga bertemu dengan jamur dengan bentuk dan corak warna cerah coklat kemerahan.

“Mirip terumbu karang yah,” kata Belo ketika melihat fisik jamur lebih dekat itu. Apa yang dibilang angota tim CICAK berkulit gelap ini ada benarnya. Sepintas, jamur yang tumbuh di sebatang ranting di dasar hutan ini memang menyerupai terumbu arang di dasar laut. Pinggiran kelopaknya seperti kelopak bunga, ditambah dengan warnanya yang cerah menggoda.

Di tempat lainnya juga ada beberapa jenis jamur yang berukuran lebih kecil. Namun bentuk dan warnanya kurang menarik, membuatku enggan mengabadikannya.

Sekurangnya ada enam jenis jamur yang berhasil ku temukan selama mendaki dan menuruni lereng-lereng gunung berpuncak-puncak di Kalianda, Lampung Selatan lewat jalur Way Belerang ini.

Bisa jadi ketersediaan nutrisi yang melimpah ditambah udara lembab dan diteduhi kerimbunan hutan, membuat jamur-jamur itu tumbuh subur dan betah tinggal di hutan Rajabasa.



Kaya Flora Asli dan Pendatang 
Selain jamur, masih banyak flora lain di hutan Rajabasa ini. Mulai dari pohon-pohon besar seperti rasamala, beringin dan lainnya hingga tanaman kecil seperti kantung semar, bunga liar, alang-alang sampai lumut.

Pohon pendatang yang sengaja ditanam penduduk sejak berpuluh-puluh tahun juga tersebar dari lahan di atas kampung terakhir sampai melewati Pos Satu seperti pohon coklat, kopi, durian, petai, cabai, cengkeh, dan kelapa.

Pohon-pohon produktif itu sudah lama menempati areal lereng awal pendakian gunung ini. Luasnya hektaran dan dimiliki sejumlah penduduk Way Belerang yang umumnya orang Sunda, transmigran asal Serang, Banten.

Salah satunya Wahid, ayah beranak 2 yang memiliki perkebunan di sekitar Pos Satu seluas seperempat hektar. “Perkebunan ini warisan orangtua saya yang sudah menetap di Way Belerang sejak tahun 1960-an,” ujar Wahid saat aku temui sedang memanen kopinya di dekat Pos satu.

Berkebun di lereng yang dulunya belantara ini bukan perkara muda. Apalagi berbatasan langsung hutan yang masih dihuni sejumlah primata yang menjadi hama tanaman tertentu.

 “Monyet paling suka makan duren. Makanya setiap musim duren, pohonnya harus dijaga agar monyet takut dan tidak jadi nyolong,” jelas Wahid yang menjual durennya seharga Rp 5.000 hingga Rp 7.000 per butir sesuai ukuran ke penadah setiak kali panen.



Duren di Rajabasa berbuah setiap musim kemarau. Saat panen, ada tenaga pemanjat khusus untuk mengambil buahnya. Upahnya Rp 1.000 per buah yang berhasil diambilnya. “Saya tidak sanggup petik sendiri. Lihat saja pohon durennya besar dan tinggi-tinggi,” terang Wahid sambil menunjuk ke salah satu pohon durennya yang menjulang tinggi mencapai puluhan meter.

Lain lagi dengan kopi, panennya setahun sekali. Harganya Rp 17.000 perkilogramnya. “Kopi di sini selain dijual ke luar Lampung juga menjadi oleh-oleh khas Kalianda,” jelas Wahid.

Keberadaan pohon-pohon produktif itu, disatu sisi jelas memberi pendapatan bagi masyarakat setempat. Di sisi lain, kalau tidak dibatasi dikhawatirkan akan merusak hutan asli gunung ini.

Perlu aturan jelas sampai dimana penduduk boleh memanfaatkan lereng gunung ini. Kalau tidak, nasibnya bakal serupa dengan gunung-gunung yang ada di Jawa seperti Gunung Sumbing, Sindoro, Prau dan beberapa gunung kecil lain di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Hutannya nyaris habis, berubah fungsi menjadi lahan perkebunan teras terutama kentang dan kubis. Tak urung, longsor dan banjir bandang kerap mengintai pemukiman warganya saat intensitas hujan tinggi.

Keberadaan aneka pohon produktif jelas kian memperkaya flora lereng hutan Gunung Rajabasa. Tapi jujur aku sempat ngeri sewaktu melintasi perkebunan kelapa yang tengah berbuah, begitu juga ketika berada di bawah pohon-pohon duren yang besar. Ada kekwatiran takut kejatuhan buahnya dan menimpa kepala. Untunglah kecemasanku itu tak terjadi.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: adji k & adji azhari

Read more...

Makyus-nya Ayam Goreng & Tempe Orek Buatan Bunda di Atap Lampung Selatan

Menu utamaku selagi nanjak gunung biasanya serba praktis seperti mie, roti isi, dan buryam kemasan. Lauknya telur asin, ikan teri, dan abon. Sisanya makanan kecil seperti biskuit, madu, dan minuman kotak serta kopi ataupun sari jahe. Tapi sewaktu mendaki Gunung Rajabasa, hmmm.., bertambah komplit plit, plit, plit. Soalnya dua dari lima rekanku juga membawa ayam goreng, tempe orek, dan nasi buatan bunda. 

“Dimas tempe orek dan nasinya jangan lupa dibawa. Nanti makan apa di sana? Ini buat teman-temanmu juga,” kata bundanya Dimas sewaktu kami hendak berangkat dari rumahnya menuju kaki Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 1,5 Km. Mendapat perhatian seperti itu, jujur membuatku iri dan kangen perlakuan bundaku dulu.

Aku yakin bundanya Dimas begitu, bukan semata karena dia khawatir lantaran jagoan mudanya ini baru kali pertama nanjak gunung, sekalipun lokasinya tak jauh dari kediamannya, masih di Kalianda, Lampung Selatan. Melainkan karena naluri keibuannyalah yang membuatnya selalu begitu, dan akan terus begitu sepanjang hayat.

Aku jadi ingat bundaku dulu. Sewaktu aku masih berstatus mahasiswa, setiap kali aku packing barang buat nanjak, dia selalu bertanya mau kemana? Nanti makannya dimana? Sikapnya kadang bikin bete, kayak baru pertama kali lihat aku mau naik gunung saja. Padahal dia sudah tahu betul, sejak masuk SMA anaknya ini doyan nanjak dan terbiasa mandiri.

Seiring bertambahnya usia, akhirnya aku menyadari mengapa bundaku selalu bersikap begitu dulu. Itu semata karena dia sayang dan tak ingin anaknya kenapa-kenapa. Sekalipun kekhawatirannya itu terkesan berlebih dan menganggap anaknya masih seperti bocah.

Sekantong plastik putih berisi tempe orek yakni tempe yang dipotong kecil-kecil lalu digoreng kering dengan kecap, potongan cabe, irisan bawang merah dan ditambah lada, hasil racikan bundanya Dimas dan juga lima bungkus nasi putih, akhirnya jadi kami bawa. Dimas membawa tempe oreknya, sedangkan Adji  rekanku yang termuda, kebagian membawa lima bungkus nasi karena daypack-nya masih longgar.

Aku yakin, suatu saat Dimas, pemuda berdarah Jawa-Jogja yang kini tengah menyelesaikan semester 8 di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandar Lampung ini, akan memahami sikap keibuan yang ditunjukkan bunda kandungya itu secara spontan dan alamiah.

Dan aku pun percaya, dimanapun sikap orangtua terutama seorang ibu selalu begitu dengan anaknya. Sekalipun anaknya sudah menjadi pria dewasa.

Cuma kadar dalam menunjuknya rasa kekhawatiran sebagai salah satu bentuk perwujudan kasih sayangnya itu masing-masing berbeda. Ada yang frontal alias blak-blakan, ada juga yang biasa-biasa saja, dan ada pula yang tak kentara padahal dalam hatinya dia sangat menyayangi darah dagingnya. Sikap yang terakhir, biasanya cenderung lebih kepada seorang ayah terhadap putranya.



Ayam Kuning Buatan Bunda 
Dengan tambahan tempe orek dan nasi itu, aku pikir ini lebih dari cukup. Soalnya aku sendiri sudah bawa aneka logistik favorit praktis dari Jakarta. Ditambah logistik hasil patungan dengan kelima rekanku dari tim CICAK alias Comunitas Cinta Alam Kalianda yakni Iyan, Amin, Andi, Dimas, dan Adji.

Ternyata tak cuma itu. Rekanku yang lain Amin, membawa seekor ayam yang sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian dan juga sudah dimasak oleh bundanya dengan bumbu kuning seperti kunyit, bawah putih, jahe, garam, dan batang sereh.

Teman-temannya mengira Amin sengaja membawa ayam karena anggota CICAK yang mahir otak-atik mesin mobil ini ingin merayakan ulang tahunnya dengan sesuatu yang berbeda di puncak gunung. Ternyata bukan, ultahnya bukan di bulan Mei. "Lagi pingin bawa ayam aja, baru sekarang kesampaian," ujar Amin.

Lalu apa karena disuruh bundanya sebagai bekal? Entahlah, yang pasti bundanya Amin, turut berjasa karena telah meracik ayam itu menjadi masakan yang tak patut ditolak.

Potongan ayam yang sebenarnya sudah siap santap itu ditempatkan dalam baskom plastik kecil lalu dibungkus dengan kantong plastik biar tidak tumpah.

Ayam goreng buatan bundanya Amin itu akhirnya kami nikmati sebagai lauk utama santap malam di puncak utama Gunung Rajabasa yang berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut sekaligus menjadi atap tertinggi Kabupaten Lampung Selatan, setelah lebih kurang 8 jam mendaki lewat jalur Way Belerang.

Sebelum disantap, potongan ayam itu aku goreng di wadah nasting dengan minyak mie, lantaran Iyan lupa membeli mentega. Paduan minyak mie ditambah kuah minyak ayam yang sudah mengental, justru membuat rasa ayamnya makin makyus setelah digoreng. Apalagi disantapnya di puncak gunung, kenikmatannya jadi bertambah-tambah.

Satu orang kebagian satu potong ayam berukuran cukup besar. Bahkan masih tersisa 3 potong lagi yang kami santap keesokan paginya sebagai lauk sarapan.

“Woi, tempe oreknya mana nih, tadi ada di sini,” teriak Dimas menanyakan lauk buatan bundanya itu. “Oiya, pantas ada yang kurang. Itu di dekat pintu tenda,” sahut Amin sambil menunjuk ke arah bungkusan tempe acak-acak itu. Kami pun hanyut dalam kenikmatan special dinner itu.

Saat aku melihat kelima rekanku begitu asyiknya melahap dua menu ditambah nasi dan mie, aku jadi teringat bundanya Dimas yang ramah saat bertemu di rumahnya dan bundanya Amin yang berjiwa muda dan senang bercanda, sekurangnya begitu saat bareng satu mobil melawat orang meninggal.

Berkat naluri keibuan keduanyalah, makan malam kami di puncak mungil yang cuma mampu menampung sekitar 3 tenda ini, menjadi begitu istimewa.

Bayangkan kalau tidak ada perhatian luar biasa dari keduanya, belum tentu kami dapat makan senikmat ini. Andai pun kami bawa bahan mentahnya lalu mengolahnya sendiri mulai dari beras, ayam dan bumbu-bumbunya pasti kami kerempongan alias kerepotan dan kesusahan memasaknya, selain pastinya menyita banyak waktu.



Saat makan, aku juga teringat akan anggapan, apapun lauknya kalau dimakan di puncak gunung akan terasa nikmat. Sebab bukan menunya yang membuatnya begitu, melainkan kebersamaan dan atmosfirnya. Aku setuju hal itu.

Tapi harus aku akui pula, kehadiran tempe orek dan ayam goreng buatan kedua bunda rekan pendakianku itu, mengubah makan malam kami di puncak yang berpanorama perairan Selat Sunda dan pesisir Kalianda di kejauhan saat cuaca cerah ini, menjadi mewah. Rasanya mengalahkan kemewahan candle light dinner di hotel berbintang lima dengan aneka menu berkelas sekalipun.

Saking nikmatnya, Andy, anggota CICAK yang biasa disapa Belo sampai lupa kalau dia sedang sakit gigi dan pipi kanannya bengkak. Dia terus saja menyantap kedua menu itu dengan lahapnya.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Adji K & Amin

NB.: Termakasih buat Bundanya Dimas dan Bundanya Amin atas tempe orek, nasi, dan ayamnya yang super makyus.

Read more...

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP