. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 16 Juni 2010

Gaya Penggiat Alam Bebas Era Digital



Pernah booming lalu hening. Kini kegiatan alam bebas kembali bergeming. Komunitas baru bergenre petualangan bermunculan bak jamur di musin hujan. Ada yang memiliki warna tersendiri dengan penambahan kegiatan khusus. Tak sedikit yang masih sekadar wadah penyaluran hobi. Tapi yang pasti, gaya dan karakternya beda dengan pendahulunya.

Daftar acara di facebook Anjani (27) dan Rahman (29), penuh undangan kegiatan alam bebas dari sejumlah komunitas. Ada yang mengajak mereka mendaki gunung, rafting, caving, diving, hunting photography, offroad, mengunjungi suku pedalaman, menjambangi pulau-pulau eksotis, mencicipi kuliner tradisional, menyusuri peninggalan bersejarah, dan melakukan aksi konservasi.

Kedua penggiat alam bebas yang bekerja di perusahaan swasta di Jakarta ini mengaku senang mendapat bermacam undangan itu namun terkadang bingung memilihnya. “Kalau diikuti semua, mungkin hampir setiap akhir pekan tak pernah di rumah. Jadi aku pilih yang menarik dan pas waktunya,” jelas Anjani yang diamini Rahman.

Sejumlah pemilik akun di jejaring sosial yang belakangan ini digandrungi masyarakat Indonesia pun kebanjiran undangan serupa, terutama mereka yang berteman dengan penyuka kegiatan alam bebas bernuansa petualangan. Belum termasuk lagi undangan senada dari milist-milist berbasis minat yang sama. Ini menjadi bukti kegiatan alam bebas yang dulu lebih sering disebut kepecintaalaman, kembali berdenyut.

Bagaimana bisa kembali bergairah dan apakah ada perbedaan karakter kepecintaalaman dulu dan kini? Berdasarkan pengamatan penulis, banyak faktor penyebab terjadinya kelemahan lalu kegairahan kembali kepecintaalaman di Tanah Air. Perbedaan karakternya juga kental, mulai dari peminatnya, perlengkapan, kekuatan keanggotaan, dan cara penjaringan anggotanya.

Masa Keemasan
Sebelum mendalam, baiknya kita tengok sedikit latarbelakang organisasi kepecintaalaman terbesar di Indonesia yang muncul pada era tahun 60-an yakni Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta. Wanadri dicetuskan oleh sekelompok pemuda yang sebagian besar bekas pandu (pramuka) Januari 1964 kemudian diresmikan 16 Mei 1964.

Sedangkan Mapala UI, cikal-bakalnya tercetus 8 November 1964 oleh Soe Hok Gie yang meninggal karena menghirup gas beracun saat turun dari Puncak Mahameru Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 (satu hari jelang ultahnya ke-27). Semula bernama Impala, kemudian Mapala Prajnaparamita dan kemudian sejumlah organisasi kepecintaalaman di UI itu bergabung dan menyandang nama Mapala UI.

Kedua organisasi di atas menjadi pelopor berbagai ekspedisi baik di dalam maupun mancanegara. Mereka seolah ‘bersaing’, dan ternyata keduanya berhasil mendapat simpati dan tempat di hati para pendatang baru di dunia petulangan Indonesia.

Semasa itu kelompok-kelompok pecinta alam marak di kalangan SMA dan kampus lain. Beberapa di antaranya gaungnya cukup menonjol seperti Trupala SMA 6 Jakarta. Ada juga kelompok pecinta alam yang dibangun oleh anak-anak karang taruna yang memiliki pendidikan dasar dan pengalaman kepecintaalaman.

Jalur umum pendakian seperti Jalur Cibodas Gunung Gede-Pangrango ketika itu sudah ramai ditapaki pendaki dari berbagi penjuru kota di Pulau Jawa. Bahkan jalur tersebut dijuluki ‘jalan raya’ oleh para pendaki yang berpengalaman dan suka membuka jalur baru atau mencoba jalur lama yang sudah jarang dijajaki.

Sejumlah prestasi berhasil diraih saat itu, Wanadri misalnya sukses ber-ekspedisi di Sungai Mahakam tahun 1987, pendakian gunung es di Garwal dan Gunung Himalaya (1982), dan ekspedisi Leuser (1986). Sedangkan Mapala UI juga berhasil melakukan ekspedisi pendakian puncak Trikora bersama pendaki Amerika tahun 1981, penelitian pegunungan salju katulistiwa (1984), pendakian Himalaya (1986), mengarungi Jeram Sungai Alas 1986, pemanjatan dinding Utara Jayakusuma (986), pemanjatan Bogaboo Spire, Canada (Juli– gustus 1988), pendakian Gunung Salju Kaulistiwa Andes (September 1988), dan ekspedisi caving Gua Lebak Tipar(1987).

Tak sedikit pula petaka yang berujung kematian para pedaki gunung, antara lain Willy dan Arief di Pangrango tahun 1970, Sukardi di Gunung Burangrang (1986), enam pelajar STM Pembangunan di Gunung Salak (1987-penulis sempat ikut SAR), dan Sri Yanser di Gunung Ceremai(1988).

Puncak dukanya, ketika pecinta alam legendaris Norman Edwin meninggal saat mendaki Gunung Aconcagua (6.959 m dpl) di perbatasan Argentina-Chile, April 1992. Pendakiannya merupakan rangkaian dari ekspedisi Sevent Summits atau pendakian 7 puncak dunia oleh Mapala UI. Norman merupakan salah satu pelopor ekspedisi besar ke beberapa gunung ternama di dunia. Berkat aksi dan prestasinya semasa itu, nama Mapala UI kian tersohor.

Era Pengujian
Entah benar atau tidak, sejak kematian Norman, masa keemasan Mapala UI ikut meredup. Meski ekspedisi baru masih dilakukan, namun tak jua mengangkat ketenarannya. Begitu juga dengan Wanadri, kendati sejumlah ekspedisi rajin digelar sampai era 2000-an, namun gaung dan kibarnya tak setegar dulu, semasa era 70 dan 80-an.

Aktivitas organisasi kepecintaalaman lain di tingkat SMA dan kampus juga turut melemah. Bahkan ada yang mati lantaran tak lagi mendapat izin pihak sekolah. Pendakian pun tak seramai dulu dan bukan satu-satunya pilihan. Kemunculan kegiatan alam bebas lain yang kian berkembang seperti wall-climbing, caving, rafting, paragliding, dan menyusul diving yang 5 tahun belakangan ini mendapat respon luar biasa, menjadikan pendakian gunung tidak lagi memonopoli kegiatan alam bebas Indonesia. Kegiatan pendakian pun sempat hening.

Akibat krisis moneter (krismon) tahun 1998, biaya pendakian meninggi. Tarif transportasi, perlengkapan, dan logistik ikut-ikutan naik. Pendakian yang dulu terjangkau kalangan pelajar dan mahasiswa berubah menjadi kegiatan mahal. Kondisi itu pun berimbas terhadap kegiatan pendakian yang kian hening.

Setelah perekonomian Indonesia membaik, peminat kepecintaalaman belum sepenuhnya pulih. Menjamurnya pusat hiburan di kota-kota besar seperti mall, diskotik, fitnes, dan karoke membuat banyak generasi muda memiliki alternatif selain mendaki gunung dan kegiatan alam bebas lain.

Kegiatan pendakian sepi tapi tidak mati. Bendera beberapa organisasi pecinta alam masih berkibar di puncak-puncak gunung meski tak seramai dulu. Masa-masa itulah kualitas kepecintaalaman seseorang teruji. Ketika banyak orang memilih kegiatan lain termasuk sejumlah pendaki yang pindah ke lain hati, segelincir pendaki tetap loyal dengan pilihannya. Tak sedikit terdengar cemoohan, “hari gini masih naik gunung” dari mereka yang sudah mati rasa dengan kegiatan mendaki. Bahkan generasi anak mall dan dugem, seakan aneh melihat para pendaki yang tetap setia di jalurnya.

Proses alami pun terjadi. Mereka, pendaki sejati, tak bergeming dengan godaan hiburan gaya anak-anak urban kota. Andaipun ada yang mencoba kegiatan petualangan lain seperti rafting, paragliding, surfing, dan diving, mereka hanya ingin melebarkan sayap petualangannya. Rasa cinta terhadap pendakian tetap hidup dan tak pernah ditinggalkan.

Sementara mereka yang menjadikan kegiatan kepecintaalaman sebagai wadah pelarian dari masalah pribadi (entah itu masalah asmara, keluarga, sekolah, kampus, dan masalah di lingkungan pergaulannya) akhirnya kandas, mundur perlahan tapi pasti. Sebaliknya, mereka yang lebih serius menganggap kepecintaalaman sebagai wadah untuk mengenal Tanah Air lebih dekat sekaligus menumbuhkan nasionalisme-nya, tetap bertahan. Terlebih mereka yang memberi nilai plus atas kegiatan kepecintaalamannya dengan berekspedisi, penelitian, dan pelestarian.

Masa Kebangkitan
Memasuki era 2000, kepecintaalaman khususnya pendakian mulai berdenyut. Pengaruh perkembangan internet dan teknlogi informasi termasuk ponsel turut membantu geliat itu. Muncul komunitas-komunitas baru penggiat alam bebas yang menjaring anggotanya lewat milist.

Contoh Kembaratropis yang terbentuk akhir 2001 usai kegiatan di Taman Nasional Ujung Kulon. Komunitas ini memiliki ciri khas makan bersama beralaskan daun pisang atau daun jati utuh dalam setiap perjalanannya.

Mereka berhasil melakukan sejumlah petualangan, antara lain caving Gua Kerek di Sukabumi, pendakian ke Gunung Krakatau, Puntang, Gede, Papandayan, Guntur, Klabat, dan Gunung Salak, perjalanan ke Kawah Ratu, Badui, Taman Nasional Meru Betiri, Alas Purwo, Kawah Ijen, Ujung Genteng, Curug Cikaso, hingga ke Curug Gendang di Pandeglang Mei 2010 lalu. "Meski anggotanya kian menipis lantaran kesibukan mengurus rumah tangga dan pekerjaan, namun komunitas yang selalu mempublikasikan hasil kegiatannya ke media cetak dan online ini tetap hidup," aku Herman salah satu pendiri.

Kehadiran tayangan kegiatan kepecintaalaman di stasiun TV swasta seperti Jejak Petualang dengan host cantik dan fresh Riani Jangkaru tak bisa dipungkiri ikut menggairahkan kepecintaalaman Tanah Air yang sempat lesu. Terlebih sejak booming-nya jejaring sosial facebook yang memudahkan segelincir orang membuat jaringan pertemanan baru lalu membentuk komunitas penggiat alam bebas dadakan.

Komunitas yang tercipta dari hasil perjalanan atau dari pertemanan dunia maya itu, keanggotaanya lebih bersifat longgar. Jarang atau mungkin tidak ada yang memberikan pendidikan dasar kepecintaalaman kepada anggotanya sebagai bekal sebelum terjun berpetualang. Anggotanya didasarkan perasaan sehobi. Umumnya para pekerja yang semasa sekolah atau kuliah pernah bergelut dalam kegiatan alam bebas. Tapi banyak pula yang tidak punya latar belakang itu, alias pemain baru dalam dunia petualangan.

Karena tidak terikat, komunitas ini mudah menerima anggota dan simpatisan, kapanpun dan dari manapun. Tapi mudah pula ditinggalkan. Rasa memiliki (sense of belonging) terhadap komunitas itu pun tidak sekuat dibandingkan organisasi pecinta alam di kampus atau sekolah, yang harus melalui proses pendidikan dasar dan serangkaian ‘tugas’ sebelum menjadi anggota tetap.

Justru kelonggaran itulah membuat orang dengan mudah membuat komunitas baru tanpa harus repot menyusun Angaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga sebagaimana organisasi resmi di kampus maupun sekolah. Komunitas-komunitas baru ini kian marak meski kebanyakan peminatnya menjadikannya semata sarana buat alternatif mengusir jenuh dari rutinitas sehari-hari, pelampiasan hobi lama, dan sekaligus menjalin pertemanan baru.

Tapi ada pula beberapa komunitas yang punya karakter lebih, misalnya dengan memberi pelatihan penulisan dan pemotretan perjalanan kepada anggotanya. Komunitas khusus seperti itu memang bukan hal baru, jauh sebelumnya sudah ada PHINISI Outdoor Activity Companion (POAC) yang terbentuk di Jakarta tahun 1992.

Komunitas ini bermotto journalistic adventure, yang mewajibkan anggotanya membuat hasil karya jurnalistik baik itu tulisan maupun foto dari setiap perjalanan yang dilakukan. “Anggotanya sekarang sibuk bekerja sebagai wartawan di berbagai media, jadi komunitas ini perlahan lenyap,” kata Erwin, salah satu anggotanya yang kini sukses menjadi fotografer di sebuah kantor berita asing.

Ada juga komunitas baru yang menekankan pada kegiatan petualangan yang peduli akan kelestarian. Namanya PROGA (Pro Green Adventures). Komunitas yang terbentuk 2008 lalu di Jakarta ini memiliki 10 sub bidang petualangan; Pro Green Mountaineering, Climbing, Diving, Rafting, Caving, Paragliding, Surfing, Sailing, Canoeing, dan Pro Green Camping. “Kegiatan kami menekankan petualangan yang berpihak pada kelestarian alam dan konservasi, bukan sekadar pemuasan adrenalin semata” jelas Bara, pendiri komunitas ini.

Masih banyak komunitas lain yang mengkhususkan pada kegiatan bernilai plus seperti FORPEG (Forum Pengelolaan dan Pemanfaatan Gunung) yang kerap menggadakan penelitian di gunung mulai dari flora, fauna, kondisi tanah, batu, dan obyek-obyek alamnya, serta tradisi budaya masyarakatnya. “Tujuannya untuk pengumpulan data yang berujung pada pengembangan daya tarik wisata dan lainnya,” terang Bram, sang pendiri.

Penampilan & Perlengkapan
Penampilan peminat penggiat alam bebas era digital ini juga beda, lebih fashionable dan lengkap. Pakaian, kaos, celana, dan aksesorisnya (kacamata, balaklava, jam tangan, dan topi) bermacam pilihan. Begitu juga dengan sepatu, sandal lapangan, dan raincoat-nya. Ranselnya besar berwarna-warni. Intinya, pendaki era masa kini dimanjakan dengan berbagai macam pilihan perlengkapan pendakian dari bermacam merk dalam dan luar negeri. Dulu, hanya ada dua produk lokal yang ketika itu berkibar namanya (maaf tidak bisa saya sebutkan di sini). Paling banter sepatu dan ransel ABRI serta kemeja planel kotak-kotak.

Perlengkapan masaknya juga lebih praktis, ada satu set trangia bermacam ukuran dengan bahan baker spritus. Tidak seperti jaman dulu, cuma parafin atau gas padat, kompor parafin dari seng dan wadah nasting. Perlengkapan tidurnya tenda domme aneka warna berbeda ukuran, lengkap dengan sleeping-bag yang lebih ringkas namun hangat serta matras aluminiumfoil yang dapat mengantarkan panas. Tidak seperti jaman dulu, bivak jadi andalan untuk bermalam atau tenda pramuka, karena tenda domme masih barang langka.

Alat navigasi untuk orientasi medan (ormed) pendaki sekarang jelas hightec seperti alat pengukur ketinggian sekaligus pencatat suhu digital Garmint GPS Map 76, Garmint Vista CX, Garmint 60, dan tentu saja ponsel teranyar dengan fitur-fitur lengkap dan praktis. Sedangkan dulu, cuma ada kompas dangdut dan peta tofografi lama buatan Belanda.

Pembekalan
Mengingat kegiatan kepecintaalaman berunsur petualangan termasuk kegiatan yang berisiko tinggi (high risk activity), komunitas-komunitas penggiat alam bebas yang baru terbit, semestinya membekali anggotanya dengan pengetahuan dasar kepecintaalaman meski kadar dan bentuk penyampaiannya berbeda dengan pendidikan dasar di sekolah dan kampus. Namun materinya tetap sama, seperti pembekalan tentang orientasi medan (navigasi), survival, ketrampilan tali-temali, pengepakan peralatan, penguasaan PPPK, dan ketrampilan SAR serta etika.

Pembekalan materi itu ditujukan terutama buat anggota yang tidak punya latarbelakang kepecintaalaman untuk menghindari atau mengurangi risiko yang sangat mungkin terjadi. Sebaiknya pula dibekali pengetahuan dalam bidang lingkungan hidup seperti konservasi, penghijauan, dan kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat lokal.

Dengan pembekalan itu, pengikut komunitas penggiat alam bebas era dunia maya ini bukan sekadar lebih gaya dalam penampilan tapi juga kaya akan wawasan kepecintaalaman. Kemudahan mengakses informasi aktivitas alam bebas lewat internet dan kelengkapan perangkat digitalnya, turut menunjang.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan_pemerhati gunung & pariwisata (adji_travelplus@yahoo.com)

NB.: Boleh mengutip tulisan ini, asal menyebutkan sumbernya.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP